Jumat, 29 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 189

Sementara itu Kwe Siang yang ditinggalkan di atas jurang sedang berpikir: “Sungguh pun Toakoko tak mau naik, pasti Gwakong dan ibu akan menyeretnya dengan paksa. Kenapa ia ingin membunuh diri? Apakah Siao-liong-li benar-benar sudah mati? Selamanya takkan bertemu lagi dengan dia?”

Begitulah selagi ia termangu-mangu, mendadak didengarnya suara rintihan Kim-lun Hoat-ong. Waktu Kwe Siang berpaling, dia melihat urat daging di muka orang ber-kerut seperti kejang, terang sedang menderita sekali.

“Hm, ini namanya kualat, makanya jangan suka membunuh orang,” demikian jengek anak dara itu.

Tetapi Hoat-ong masih terus mengaduh semakin keras, sorot matanya mengunjuk rasa minta dikasihani. Betapa pun memang hati Kwe Siang bajik dan welas-asih, akhirnya ia menjadi tidak tega, maka tanyanya:

“Kenapa? Sangat sakitkah?”

“lbumu menotok ‘Leng-tay-hiat’ dan ‘Ki-koat-hiat’ pada punggung dan dadaku, maka seluruh badanku serasa digigit beratus ribu semut, sakit dan gatal luar biasa, kenapa dia tak mau sekalian totok aku punya ‘Tan-tiong-hiat’ dan ‘Giok-cim-hiat’?” sahut Hoat-ong.

Kwe Siang terkesiap. Ia sudah pernah belajar ilmu Tiam-hiat dari ibunya dan tahu tempat-tempat ‘Tan-tiong’ dan ‘Giok-cin’ adalah jalan darah penting di tubuh manusia, asal sedikit terluka saja bisa terbinasa, maka katanya:

“lbuku tidak menghabiskan jiwamu, kau tidak berterima kasih, masih cerewet?”

“Kalau ia totok kedua jalan darahku itu, rasa pegal kesemutanku akan banyak berkurang,” kata Hoat-ong sungguh-sungguh. “Begini tinggi ilmu kepandaianku, masa hanya sekali totok bisa bikin jiwaku melayang?”

Akan tetapi Kwe Siang tidak percaya. “Ahh, jangan kau berbohong,” jengeknya. “Kata ibu, tempat ‘Tan-tiong’ dan ‘Giok-cim’ sedikit tertotok lantas jiwa melayang. Kau hanya pegal kesemutan, bolehlah bersabar sebentar, segera ibu dan lain-lainnya akan kembaii.”

“Nona Kwe,” kata Hoat-ong pula, ”pada sepanjang jalan bagaimana aku memperlakukan dirimu?”

“Baik juga,” sahut Kwe Siang. “Cuma kau telah membunuh Tiangjiu-kui dan Toa-thau-kui, pula membunuh kedua rajawaliku, biar pun lebih baik lagi kau padaku juga aku tidak mau terima.”

“Baiklah, bunuh orang ganti jiwa, sebentar kau boleh membunuhku untuk membalas sakit hati kawanmu,” jelas Hot-ong, “Tetapi sepanjang jalan aku begitu baik padamu, apa balas budimu?”

“Coba katakan, bagaimana membalasnya?” tanya Kwe Siang.

“Harap kau totok Tan-tiong dan Giok-cim di punggung dan dadaku masing-masing sekali, biar mengurangi penderitaanku, itu pun sudah membalas budi padaku,” kata Hoat-ong.

Namun Kwe Siang geleng-geleng kepala, “Tidak, kau ingin aku membunuhmu, hm, mana mau aku melaksanakannya!” sahutnya.

“Hayolah, totoklah, tak akan mati,” pinta Hoat-ong. “Sebentar apa bila ibumu datang, malahan aku ingin minta ampun padanya, tidak akan mati secara begini mudah.”

Mendengar orang bicara dengan sungguh-sungguh, Kwe Siang menjadi ingin coba-coba, maka dengan perlahan dia totok dada orang satu kali.

“Ehm, segar rasanya, totoklah lebih keras,” kata Hoat-ong sambil menarik napas dalam-dalam.

Segera Kwe Siang menotok lebih kuat. Dia melihat Hoat-ong tersenyum, sedikit pun tidak menderita, mukanya dari merah berubah pucat, lalu merah lagi. Habis itu Hoat-ong berkata:

“Nah, lebih keras lagi sedikit...!”

Kwe Siang menurut. Dia pakai ilmu menotok yang dipelajari dari ayah-bundanya dan menotok satu kali pada ‘Tan-tiong-hiat” di dada orang.

“Ahh, baiklah, sekarang dadaku tidak pegal lagi! Nah, aku tidak mati, bukan?” kata Hoat-ong.

Kwe Siang amat heran oleh kekebalan orang, katanya kemudian: “Sekarang aku menotok lagi Giok-cim-hiat.”

Mula-mula ia pun menotok perlahan seperti tadi, lalu ditambahi sedikit lebih keras. “Banyak terima kasih, banyak terima kasih!” ujar Hoat-ong. Kemudian dia pejamkan mata menghimpun tenaga, mendadak ia melompat bangun sambil membentak: “Marilah pergi!”

Keruan Kwe Siang terperanjat luar biasa, “Kau...! Kau...!”

Akan tetapi dia tak sempat berkata lebih banyak, sekali Hoat-ong mencekal, pergelangan tangannya dipegang terus diseret pergi.

BERTAHAN DARI GEMPURAN MUSUH

Nyata ilmu melancarkan jalan dan membuka tempat totokan justru adalah Lwekang khas yang amat hebat bagi golongan pertapaan di Tibet. Ketika Kwe Siang menotok ‘Tan-tiong’ dan ‘Giok-cim’ kedua tempat jalan darah, diam-diam Hoat-ong sudah menghimpun tenaga melancarkan kembali aliran darahnya. Kwe Siang kuatir totokannya itu akan menewaskan orang, padahal justru malah membuka jalan darahnya.

BegituIah sambil menyeret Kwe Siang, segera Kim-lun Hoat-ong berlari pergi, tetapi baru beberapa tombak jauhnya, tiba-tiba timbul pikiran jahatnya. Dia lihat tambang yang terikat di dahan pohon itu, dia pikir asal tambang ini diputuskan, Ciu Pek-thong, It-teng, Oey Yok-su dan lain-lain pasti akan terbinasa di dalam jurang itu, maka cepat ia melompat ke sana terus hendak memutuskan tali tambang itu.

Tentu saja Kwe Siang menjadi terkejut, tanpa pikir sikutnya menyodok pinggang Hoat-ong di tempat ‘Nan-ik-hiat’. Salah Hoat-ong sendiri. Dia terlalu pandang sepele anak dara itu, maka sikutan itu dengan tepat mengenai jalan darah itu hingga sebagian tubuhnya sesaat lemas tak bertenaga.

Segera Kwe Siang meronta melepaskan cekalan orang, kedua tangannya lalu memegang punggung Hoat-ong dan berkata: “Aku dorong kau ke dalam jurang, biar kau terbanting mampus!”

Hoat-ong terkejut sekali. Diam-diam ia pusatkan tenaga dalam buat punahkan jalan darah sikutan anak dara tadi, sedangkan lahirnya tidak menjadi gugup, dia terbahak-bahak dan menggertak: “Ha-ha-ha, melulu sedikit kepandaianmu yang tak berarti ini masakah dapat mendorong diriku?”

Gertakan ini ternyata membuat Kwe Siang merasa ragu-ragu. Padahal saat itu jalan darah Hoat-ong belum terlepas, asal sedikit dia dorong, tentu akan terjerumus ke dalam jurang, atau dengan lain jalan, umpamanya menotok pula beberapa kali jalan darahnya yang lain, tentu Hoat-ong akan lumpuh.

Cuma totokannya tadi malah membikin Hoat-ong bangkit kembali, maka Kwe Siang pikir, tiada gunanya menotoknya lagi, sebab itulah ia melompat pergi dan berlari ke tepi jurang.

“Lebih baik aku mati bersama-sama dengan ibu saja!” katanya tiba2 terus hendak terjun ke dalam-jurang.

Terkejut Hoat-ong melihat anak dara itu sudah menjadi nekat. Ketika itulah totokan dapat dipunahkannya, tak sempat lagi dia putuskan tambang tadi, tapi cepat menubruk ke arah Kwe Siang.

Cepat Kwe Siang berlari pula. Dia melompat kian kemari di antara batu-batu cadas dan menyusuri pohon-pohon besar.

Jika di tempat datar, sekali lompat saja pasti Hoat-ong bisa menangkapnya kembali. Tapi di puncak karang Toan-jong-khe ini penuh batu-batu besar dan pohon-pohon, Kwe Siang sengaja menyusup ke sana dan mengumpet ke sini, makin lari makin jauh, seperti orang lagi main kucing2an dengan Hoat-ong.

Sesudah lama, akhirnya sekali menubruk dapatlah tangan Kwe Siang dipegang Hoat-ong.

Pada saat main umpet2an dengan Hoat-ong, Kwe Siang telah mulai melupakan apa yang terjadi tadi. Sekarang sesudah terpegang barulah dia sadar akan gelagat jelek, cepat dia berteriak. Tetapi secepat itu pula Hoat-ong sudah mendekap muIutnya.

Pada saat itulah terdengar berkumandang suara Liok Bu-siang sedang bertanya: “He, Kwe Siang cilik sudah lari ke mana?”

Diam-diam Hoat-ong gegetun. Karena telah kehilangan kesempatan baik, maka dia totok jalan darah yang membikin gagu, lalu Kwe Siang diseret pergi. Padahal saat itu baru Liok Bu-siang saja yang naik ke atas, kalau Hoat-ong mau mengulangi memutuskan tambang masih keburu, sebab melulu Liok Bu-siang seorang tak mungkin bisa menahannya. Tapi karena dia telah merasakan betapa lihaynya It-teng Tay-su, Ciu Pek-thong dan Oey Yok-su, nyalinya sudah ciut. Dia sudah bersyukur dapat menyelamatkan diri, mana berani lagi dia mencari penyakit?

Kiranya setelah memeriksa dan mencari di bawah jurang dan tidak mendapatkan sesuatu tanda, Oey Yong dan lain-lain menduga Yo Ko tidak menemukan sesuatu bahaya, maka setelah berunding, mereka memutuskan untuk naik kembali ke atas. Orang yang pertama naik itu adalah Liok Bu-siang, menyusul Thia Eng dan Eng-koh.

Ketika Oey Yong sudah naik, segera dia mendengar Thia Eng bertiga sedang ber-teriak2 memanggil: “Kwe Siang cilik, di mana kau?”

Begitu melihat puterinya dan Hoat-ong telah menghilang semua, sungguh tidak kepalang cemasnya Oey Yong. Ketika Oey Yok-su, Ciu Pek-thong dan It-teng berturut-turut sudah naik pu!a, mereka segera mencari ke segala pelosok lembah gunung itu, tetapi bayangan Hoat-ong dan Kwe Siang sama sekali tidak tertampak.

Sampai di mulut lembah, tiba-tiba diketemukan sebelah sepatu anak dara itu.

“Ahh, tak perlu kuatir, Suci.” ujar Thia Eng. “Tentu Hoat-ong yang menggondol Siang-ji ke selatan. Siang-ji sengaja meninggalkan sepatunya agar diketahui kita, sungguh bocah ini sangat cerdik, tidak kalah dari ibunya.”

Ketika Oey Yong ingat cerita Kwe Siang bahwa Hoat-ong berniat memaksa anak dara itu menjadi murid ahli warisnya, ia pikir untuk sementara ini mungkin tidak berbahaya, maka rasa kuatirnya banyak berkurang.

Segera rombongan mereka balik ke selatan, di sepanjang jalan mereka pun mencari tahu jejak Hoat-ong dan Kwe Siang.

Beberapa hari kemudian, mereka mendengar berita bahwa pasukan Mongol mengepung Siang-yang dan sudah terjadi pertempuran besar di luar kota itu, kedua pihak sama-sama ada kalah menangnya, kedudukan Siang-yang sangat genting.

“Musuh telah menggempur Siang-yang, kita harus lekas kembali ke sana, urusan Siang-ji untuk sementara terpaksa tak bisa dipikirkan lagi,” kata Oey Yong dengan kuatir.

Semua orang menyatakan benar dan bersedia ikut pergi.

Biar pun sebenarnya It-teng Taysu, Oey Yok-su dan Ciu Pek-thong tidak ingin mengurus soal2 keduniawian lagi, tetapi mati-hidup dari Song besar tergantung hancur atau utuhnya Siang-yang, maka pertempuran yang menentukan ini tidak memungkinkan mereka untuk berpeluk tangan saja.

Begitulah mereka lantas mempercepat perjalanan, maka tiada seberapa hari mereka telah sampai di luar kota Siang-yang. Dipandang dari jauh, panji ber-kibar2, senjata gemilapan, bunyi tiupan tanduk ber-huk2 sahut-menyahut, derap kuda kian kemari. Tertampak Siang-yang terkurung rapat2 oleh pasukan Mongol.

Walau pun sudah banyak memiliki pengalaman, melihat situasi demikian ini, mereka pun menjadi terperanjat.

“Kekuatan musuh terlalu besar, sungguh pun kita berilmu silat tinggi juga sukar mendekati benteng kota, terpaksa menanti hari gelap nanti baru mencari jalan lain,” demikian kata Oey Yong.

Mereka bersembunyi dalam hutan. Kecuali Ciu Pek-thong yang selalu periang, yang lain-lain berhati sedih semua. Sampai sudah dekat tengah malam, dengan Oey Yong sebagai pembuka jalan, mereka bertujuh lantas menerjang ke dalam perkemahan musuh.

Betapa pun tinggi ilmu silat ketujuh orang ini akan tetapi begitu besarnya tentara Mongol, perkemahan berderet2 tak terhitung panjangnya. Baru setengah jalan mereka menerjang sudah diketahui oleh patroli musuh dan sekali gembreng ditabuh bertalu-talu, seketika itu pula mereka sudah terkepung, walau pun begitu keruan yang lain ternyata tenang-tenang saja tidak kacau, suatu tanda betapa disiplin dan terlatihnya pasukan Mongol.

Baiknya di dalam pasukan tentara yang besar, karena kuatir terkena kawan sendiri maka prajurit Mongol tidak berani melepaskan panah. Kalau di tanah lapang dan dihujani panah, betapa pun tangkas Ciu Pek-thong, Oey Yok-su, Oey Yong dan lainnya juga tak mampu menahannya.

Sambil bertempur mereka maju terus, sedang pasukan musuh makin lama makin banyak, berpuluh2 tombak selalu menusuk ke arah mereka bergantian. Tapi di mana angin pukulan Ciu Pek-thong, Oey Yok-su dan It-teng Taysu sampai, di situ segera pula senjata2 musuh patah dan orangnya terluka atau mati, sungguh pun demikian tentara Mongol itu ternyata pantang mundur.

“Oey-Iosia, tampaknya kita bertiga tua bangka ini hari ini akan mampus di sini,” kata Lo-wan-tong tiba-tiba dengan tertawa, “Maka paling baik kan berdaya agar empat anak dara ini saja ditolong keluar.”

“Fui,” semprot Eng-koh. “Omong tidak-genah, masakah aku sudah nenek2 dianggap anak dara? Hendak mati biarlah kita mati bersama, tiga anak dara ayu inilah yang harus kita tolong.”

Diam-diam Oey Yong berkuatir, pikimya: “Selamanya Lo-wan-tong tak pernah kenal takut, kenapa sekarang tiba-tiba bilang jiwanya bakal melayang di sini, tampaknya alamat tidak baik!”

Tapi tentara musuh merubung bagai semut, kecuali melawan mati-matian, hakekatnya tak berdaya lain.

Sesudah beberapa deret perkemahan musuh ditembus lagi, tiba-tiba Oey Yong melihat di sebelah kiri sana terdapat dua kemah besar berwarna hitam. Dia pernah ikut Jengis Khan menggempur ke benua barat, dia pun tahu kemah demikian ini biasanya dipakai sebagai gudang rangsum.

Tiba-tiba pikirannya tergerak. Mendadak ia melompat ke samping dan berhasil merampas sebuah obor seorang prajurit musuh terus berlari ke kemah gudang rangsum itu.

Segera prajurit Mongol berteriak-teriak mengejarnya. Tapi Oey Yong sangat sebat, sekali menyelusup, segera ia masuk ke kemah itu, obornya diangkat, segala benda dibakarnya. Maka sekejap saja dua kemah besar itu sudah kebakaran beberapa tempat, habis itu Oey Yong menerobos keluar lagi bergabung dengan rombongan Ciu Pek-thong.

Benda yang tertumpuk di dalam kemah itu tidak sedikit terdiri dari barang2 yang mudah terbakar, maka cepat saja api sudah menjilat dengan hebatnya.

Lo-wan-tong menjadi tertarik, dia pun tidak mau ketinggalan. Dari prajurit musuh dia dapat merampas dua obor, dia pun pergi menyulut api ke mana-mana, malahan tanpa sengaja sebuah kandang kuda kena dibakarnya, keruan seketika kacau balau oleh lari kuda-kuda yang tunggang-langgang, maka pasukan Mongol menjadi kalang kabut.

**** 189 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar