Rabu, 03 November 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 197 (TAMAT)

Waktu Kwe Ceng memimpin pasukannya kembali ke kota, tampaklah gubernur Lu Bun-hwan beserta stafnya lengkap sudah menanti di pintu gerbang untuk menyambutnya. Begitu pula rakyat ber-jubel-jubel berdiri di luar benteng sambil membawakan arak dan segala macam daharan sebagai hiburan bagi pasukan yang menang itu.

Kwe Ceng menggandeng tangan Yo Ko. Dia terima secawan arak yang disuguhkan seorang penduduk tua, tapi ia angsurkan kepada Yo Ko, katanya.

“Ko-ji, hari ini kau telah berjasa sedemikian besar, namamu akan harum tersiar ke mana-mana, seluruh rakyat penduduk kota ini pun tiada yang tak berterima kasih padamu.”

Terharu sekali Yo Ko atas pujian Kwe Ceng. Ada sepatah kata yang tersimpan lebih 20 tahun dalam hatinya dan belum pernah diucapkan. Kini tak tertahan lagi, dengan suara lantang segera ia menjawab:

“Kwe-pepek, jika waktu kecil siautit (keponakan) tidak mendapat perawatan dan pengajaranmu, mana mungkin terjadi seperti hari ini?”

Lalu kedua orang bergandengan tangan masuk kota bersama. Terdengarlah suara sorak sorai rakyat yang gegap gempita menyambut mereka.

Tiba-tiba Yo Ko teringat akan kejadian dahulu: “Lebih 20 tahun yang lalu Kwe-pepek juga menggandeng tanganku mengantar aku ke Cong-lam-san untuk belajar silat, perhatiannya hingga sekarang sedikit pun tidak pernah berubah. Tapi aku sendiri telah berbuat onar, bikin gara-gara, mendurhakai guru dan mengkhianati agama. Coba kalau aku terus tersesat di jalan yang tidak benar, tidak akan hari ini aku dapat bergandengan tangan lagi dengan Kwe-pepek.” Berpikir demikian tanpa terasa Yo Ko merasa malu sendiri.

Malamnya di dalam kota diadakan perjamuan besar untuk merayakan kemenangan yang gilang gemilang itu. Di tengah suasana yang gembira itu, tiba-tiba Kwe Ceng berduka sebab terkenang pada Ang Chit-kong. Katanya:

“Dahulu kalau bukan Khu-totiang (Khu Ju-ki) dari Coan-cin-kau yang berbudi itu dan ketujuh Insu (guru berbudi) jauh-jauh mencariku ke Mongol, juga mendapatkan didikan dari Ang-lo-insu, tidak mungkin aku Kwe Ceng bisa sedikit berjasa seperti hari ini. Kini kita bergembira di sini, di antara para Insu, kecuali Kwa-Io-insu, selebihnya sudah wafat semua, kalau ingat beliau-beliau itu, sungguh aku menjadi berduka.”

Mendengar itu It-teng Taysu dan yang lain-lain ikut muram, sebaliknya Lu Bun-hwan sama sekali tidak mengerti seluk-beluknya, katanya di dalam hati:

“Orang-orang ini benar-benar tak tahu aturan, dalam perayaan yang gembira ria ini malah berbicara tentang orang mati segala.”

Sementara itu Kwe Ceng berkata kembali: “Jika urusan di sini selesai, besok aku ingin berangkat ke Hoa-san berziarah ke makam Insu.”

“Kwe-pepek,” sela Yo Ko. “aku pun lagi hendak bilang begitu. Mari kita pergi beramai-ramai.”

Memang Oey Yok-su, It-teng dan Ciu Pek-thong juga sudah kangen pada sobat tua yang telah meninggal lebih 20 tahun, segera mereka menyatakan setuju. Dan perjamuan terus berlangsung dengan meriah hingga jauh malam.

Besok paginya, diam-diam Kwe Ceng dengan rombongan berangkat menuju ke Hoa-san. Kesehatan Ciu Pek-thong, Liok Bu-siang, Su-si-hengte dan Su-sui Hi-un belum sembuh betul, maka mereka menunggang kuda dan berjalan perlahan. Baiknya tidak ada urusan penting, maka perjalanan mereka dilakukan seenaknya saja.

Tidak berapa hari tibalah mereka di Hoa-san, ketika itu Ciu Pek-thong dan lainnya telah sembuh semuanya. Maka naiklah mereka ke atas gunung, Yo Ko menunjukkan tempat di mana jenazah Ang Chit-kong dan Auyang Hong dikubur dulu.

Oey Yong membawakan sayur-mayur, ayam, daging dan lain-lain sesajen. Segera ia membikin tungku dan menyalakan api, ia bikin beberapa macam masakan yang paling disukai mendiang Ang Chit-kong sebagai sesajen sembahyang. Lalu para ksatria itu pun menjalankan penghormatan dan mengheningkan cipta.

Kuburan Auyang Hong letaknya di samping kuburan Ang Chit-kong. Namun dendam Kwe Ceng kepada Auyang Hong boleh dikatakan sedalam lautan, bila ingat beberapa gurunya yang berbudi seperti Ju Jong, Han Po-ki dan lain-lain terbunuh secara keji, meski kejadian sudah lewat berpuluh tahun, tapi rasanya masih sangat benci padanya.

Hanya Yo Ko yang mengingat budi kebaikan Auyang Hong dulu yang mengaku anak angkat padanya, maka dia pun berlutut dan menyembah di hadapan makam ayah angkatnya bersama Siao-liong-li.

Ciu Pek-thong maju ke depan kuburan Auyang Hong. Dia membungkuk memberi hormat, katanya:

“Wahai Lo-tok-but (makhluk berbisa tua, julukan Auyang Hong), hidupmu dahulu banyak melakukan kejahatan, sesudah mati kau menjadi tetangga Lo-kiau-hua (pengemis tua, Ang Chit-kong), boleh dikatakan kaulah yang beruntung. Hari ini semua orang datang berziarah ke makam Lo-kiau-hua, hanya dua bocah yang menyembah kepadamu, kalau di tanah baka kau tahu, seharusnya kau menyesali keganasan semasa hidupmu dulu.”

Mendengar doa sembahyang yang lucu aneh itu, semua orang menjadi geli. Kemudian semua orang mengambil mangkok dan sumpit, mereka hendak dahar di depan kuburan. Namun dari balik gunung tiba-tiba berkumandang terbawa angin suara beradunya senjata serta bentak-membentak orang, tampaknya seperti ada orang berkelahi.

Dasar watak Ciu Pek-thong paling getol mengenai sesuatu, langsung saja dia mendahului berlari ke tempat ramai-ramai itu, kemudian semua orang pun menyusulnya.

Lewat dua tanjakan, pada sebuah tanah datar yang sempit berkumpul 30-40 orang yang beraneka macam bentuknya, tinggi-pendek, gemuk-kurus, tua muda, laki-perempuan, ada paderi, ada preman semua bersenjata. Orang-orang itu sedang bertengkar.

Melihat kedatangan rombongan Ciu Pek-thong dan Kwe Ceng, dikira kaum pelancong biasa, maka tak digubrisnya. Terdengar seorang laki-laki tinggi besar berkata dengan suara lantang.

“Diam, diam! Kita jangan ‘hantam kromo’ tak keruan. Sebutan ‘juara ilmu silat’ tidak mungkin diperoleh dengan jalan ribut-ribut begini. Sekarang para orang gagah telah berkumpul semua di sini, mengapa kita tidak saling ukur kepandaian masing-masing dengan ilmu pukulan atau senjata? Barang siapa mampu memenangkan seluruh pertandingan, kita bersama lantas menyerah dan mengangkat dia sebagai juara.”

“Betul!” timbrung seorang Tojin berjenggot panjang bersenjata pedang. “Menurut cerita di kalangan Bu-Iim, dulu pernah terjadi ‘Hoa-san-lun-kiam’ (pertandingan pedang di Hoa-san). Sekarang kita boleh coba-coba bertanding, lihat siapa gerangan yang akan menduduki tempat tertinggi?”

Segera semua orang bersorak menyatakan akur, malah ada beberapa orang di antaranya tanpa disuruh terus melompat ke tengah sambil berteriak:

“Hayolah, siapa berani maju menghadapi aku?”

Melihat itu, Ciu Pek-thong, Oey Yok-su, It-teng dan yang lainnya saling pandang dengan bingung karena di antara orang-orang itu tiada seorang pun yang mereka kenal.

‘Hoa-san-lun-kiam’ (pertandingan pedang Hoa-san) yang di-sebut-sebut iitu, pada saat pertama kali diadakan, Kwe Ceng sendiri pun belum Iahir. Tatkala itu terjadi perebutan kitab Kiu-im-cin-keng. Untuk itu Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, yaitu nama-nama julukan Oey Yok-su. Auyang Hong, Toan-Ti-hin (It-teng Taysu sekarang), Ang Chit-kong dan Ong Tiong-yang berkumpul di puncak tertinggi Hoa-san untuk mengukur tenaga, dan akhirnya Tiong-sin-thong Ong Tiong-yang menjagoi tokoh-tokoh lainnya dan dapat menangkan gelar ‘Juara’.

25 tahun kemudian, saat Oey Yok-su dan lain-lain untuk kedua kalinya mengadakan ‘Hoa-san-lun-kiam’, Ong Tiong-yang sudah wafat. Sekali ini kecuali keempat tokoh yang lama, yaitu Tang-sia, Se tok, Lam-te dan Pak-kay, bertambah lagi Ciu Pek-thong, Kiu Jian-yim dan Kwe Ceng bertiga. Akan tetapi setelah saling gebrak, semuanya merasa kepandaian masing-masing belum mencapai tingkat yang susah diukur, untuk mendapatkan gelar ‘Juara’ sesungguhnya belum bisa.

Sungguh tak terduga sesudah berpuluh tahun kemudian, kini ada serombongan tokoh silat kalangan Bu-lim yang ingin mengadakan ‘Hoa-san-lun-kiam’ ketiga kalinya. Hal ini tentu saja membuat Oey Yok-su dan lain-lain rada heran, tetapi yang lebih aneh adalah berpuluh orang di hadapannya ini tak ada yang mereka kenal. Apakah mungkin karena diri mereka seperti kodok dalam sumur yang tak tahu di luar langit masih ada langit, orang pandai ada yang lebih pandai?

Sementara itu terlihat beberapa orang mulai saling gebrak, tetapi baru beberapa jurus saja Oey Yok-su dan Ciu Pek-thong tak dapat menahan rasa gelinya, sampai orang alim seperti It-teng juga ikut geli. Sejenak pula, saking tak tahan, Oey Yok-su, Ciu Pek-thong, Yo Ko dan Oey Yong tertawa ter-pingkal-pingkal.

Ternyata ilmu silat beberapa orang yang saling labrak itu terlalu rendah, hakikatnya cuma jual jamu di Kangouw saja. Entah kenapa mereka bisa datang ke Hoa-san dan me-niru-niru hendak mengadakan ‘Hoa-san-lun-kiam’ segala.

Ketika mendengar suara tawa Ciu Pek-thong dan lain-lain, pertarungan beberapa orang itu berhenti dan melompat mundur.

“Hai, manusia-manusia tak kenal mati-hidup! Tuan-tuan besar sedang bertanding silat di sini, kenapa kalian malah ter-kekeh-kekeh dan peringas-peringas di sini? Hayo lekas pergi jika ingin selamat!”

Tiba-tiba Yo Ko bergelak, begitu keras dan panjang suaranya hingga menggema angkasa laksana bunyi guntur gemuruh. Mula-mula rombongan itu berwajah pucat, menyusul badan gemetar, lalu senjatanya berjatuhan.

“Nah, lekas enyah!” bentak Yo Ko kemudian.

Sesudah terpaku sebentar, mendadak orang-orang itu berteriak ramai, lalu berbareng lari sipat-kuping ke bawah gunung, saking ketakutan sampai banyak yang jatuh bangun tanpa berani menoleh lagi, lapat-lapat terdengar ada di antaranya yang berseru:

“Lekas lari, lekas lari! Itu Sin-tiau-tayhiap!”

Sekejap mereka sudah kabur bersih. Saking gelinya Eng-koh dan Kwe Hu terpingkal-pingkal sembari memegangi perut.

“Manusia yang suka mengelabui orang dan memajukan nama di mana-mana selalu ada, tetapi tidak nyana di puncak Hoa-san ini pun diketemukan bangsa-bangsa demikian ini,” ujar Oey Yok-su gegetun.

“Dulu di seluruh jagat terkenal ada ‘Ngo-coat’ (panca mahayana, lima tokoh terkemuka),” tiba-tiba Ciu Pek-thong menyela. “Kini Se-tok, Pak-kay dan Tiong-sin-thong sudah tewas, lalu tokoh yang masih hidup sekarang ada berapa orang lagi yang dapat disebut ‘Ngo-Coat’?”

Sahut Oey Yong dengan tertawa: “It-teng Taysu dan ayahku makin hari makin tinggi ilmunya, dahulu saja sudah termasuk dalam hitungan ‘Ngo-coat’ apalagi sekarang tidak perlu disangsikan lagi. Dan kalau mau bicara jujur, suamiku sendiri murid Pak-kay, dia bisa termasuk satu di antara ‘Ngo-coat’. Usia Ko-ji meski muda tapi ilmu silatnya susah diukur, di antara angkatan muda siapa yang bisa membandinginya? Apa lagi ia pun anak angkat Auyang Hong. Jadi Tang dan Lam adalah orang lama, sedang Se dan Pak harus diteruskan oleh suamiku dan Ko-ji.”

“Salah, salah!” sahut Pek-thong tiba-tiba sambil geleng-geleng kepala.

“Kenapa salah?” tanya Oey Yong.

“Ya, salah,” kata Pek-thong. “Auyang Hong berjuIuk Se-tok, tapi hati dan tindak tanduk si Yo Ko ini sama sekali tidak ‘Tok’ (racun, artinya kejam), kalau dia pun disebut Se-tok, kan tidak cocok?”

“Benar! Ceng-koko juga tidak jadi pengemis, pula It-teng Taysu sekarang pun sudah tidak menjadi Hongte lagi,” ujar Oey Yong, “Maka menurut aku, julukan kalian sekarang harus diperbaharui. Tang-sia, julukan ayah, adalah ‘merek’ lama, maka itu tidak perlu diganti, It-teng Taysu tidak lagi menjadi Hongte, tapi menjadi Hwesio, dia harus disebut ‘Lam-ceng’ (paderi diri selatan). Mengenai Ko-ji (Yo Ko), biar kuhadiahi dia julukan ‘Ong’ (bebas, tak terkekang), kalian bilang tepat tidak?”

“Bagus!” seru Oey Yok-su yang pertama-tama menyatakan akur. “Ha-ha, sejak kini, satu Tang-sia dan yang lain Se-ong, satu tua dan satu muda, kita berdua memang pasangan yang setimpal.”

“Ahh, usiaku masih terlalu muda, mana berani berdiri sejajar dengan para Cianpwe,” ujar Yo Ko merendah.

“Aha, adik cilik, kau salah kalau berkata begitu,” seru Oey Yok-su, “Kau kan sudah pakai julukan ‘Ong’ (berlaku bebas)? Jika berdasarkan namamu yang tersohor dan ilmu silatmu, masa tidak lebih tinggi dari pada Lo-wan-tong?”

Oey Yok-su tahu puterinya (Oey Yong) sengaja tidak menyebut Ciu Pek-thong, agar si tua nakal itu tidak tahan, lalu muring-muring sendiri, maka ia pun sengaja membumbui sekalian.

Yo Ko pun paham maksud hati ayah dan anak itu. Ia saling pandang dengan Siao-liong-li sambil tersenyum, dalam hati ia berpikir: “Julukan ‘Ong’ ini memang sangat tepat.”

Di luar dugaan Oey Yok-su, sama sekali Ciu Pek-thong tidak ribut, malah dia bertanya: “Kalau Lam-ceng dan Se-ong sudah ganti merek, lalu Pak-kay bagaimana? Harus diganti apa?”

“Ksatrta seluruh jagat saat ini kalau menyebut Kwe-heng. semua menyebut ‘Kwe-tayhiap’ kepadanya,” demikian Cu Cu-liu ikut buka suara. “Selama berpuluh tahun ia mempertahankan Siang-yang dengan susah payah, membela tanah air dan melindungi rakyat, orang gagah perwira seperti dia semenjak dulu hingga sekarang susah dicari bandingannya. Maka menurut aku, jika kita menyebut dia ‘Pak-hiap’ (pendekar dari utara) rasanya semua orang akan setuju.”

Mendengar itu, segera It-teng Taysu, Bu Sam-thong dan lain-lain bertepuk tangan memuji nama baik itu.

“Nah, Tang-sia, Se-ong, Lam-ceng dan Pak-hiap sudah ada orangnya semua, lantas yang tengah, siapa yang harus menduduki menggantikan Tiong-sin-thong Ong Tiong-yang?” ujar Oey Yok-su. Sambil bicara ia sengaja melirik sekejap ke arah Ciu Pek-thong, lalu menyambung: “Yo-hujin (nyonya Yo, maksudnya Siao-liong-li) adalah ahli waris satu-satunya dari Ko-bong-pay, dulu nama Lim Tiau-eng menggetarkan Kangouw, meski Ong Tiong-yang sendiri juga jeri padanya. Dengan ilmu pedang Giok-li-kiam-hoat ciptaan Ko-bong-pay yang khas, kalau dulu Lim-lihiap juga ikut menghadiri Hoa-san-lun-kiam, jangankan nama Ngo-coat harus diubah, bisa jadi gelar ‘juara’ yang diperoleh Ong Tiong-yang itu sulit dipertahankan. Sekarang ilmu silat Yo Ko berasal dari ajaran sang isteri, muridnya saja termasuk ‘Ngo-coat’ baru, gurunya tentu saja tidak perlu disangsikan lagi, Sebab itulah Yo-hujin tepat sekali menduduki tempat tengah.”

Namun Siao-liong-li tidak pernah tertarik segala nama pujian itu, dengan tersenyum dia menjawab:

“Ahh, sekali-sekali aku tak berani menerimanya.”

“Jika tidak mau, tentunya harus Yong-ji,” kata Oey Yok-su, “Meski ilmu silatnya tidak terlalu tinggi, tetapi banyak tipu akal, pintar dan cerdik, kalau dia termasuk satu di antara Ngo-coat juga pantas.”

“Bagus, bagus!” seru Ciu Pek-thong mendadak sembari bertepuk tangan tertawa. “Terus terang, kau Oey-losia, Kwe-tayhiap, semuanya bikin hatiku kagum dan takluk betul, hanya Oey Yong si bocah ini memang cerdik dan licin, asal Lo-wan-tong ketumbuk dia lantas mati kutu. Jika dia dimasukkan salah satu di antara Ngo-coat, memang paling tepat.”

Semua orang tercengang mendengar ucapan itu. Sungguh kalau bicara mengenai ilmu silat, sekali pun Oey Yok-su dan It-teng juga merasa masih kalah sedikit dari pada Lo-wan-tong. Sebabnya nama Ciu Pek-thong tidak diungkap sebenarnya hanya ingin bergurau untuk menggodanya saja.

Siapa tahu dasar pembawaan Ciu Pek-thong memang jujur polos, sedikit pun hatinya tak ada rasa iri dan dengki. Meski pembawaannya gemar silat tetapi tak pernah timbul pikiran cari nama untuk menjagoi dunia, maka sama sekali tidak terpikir olehnya apakah ia sendiri harus termasuk di dalam Ngo-coat atau tidak.

Maka tertawalah Oey Yok-su, katanya: “Wahai, Lo-wan-tong, kau benar-benar hebat. Soal ‘nama’ aku Oey-losia memandangnya dingin. It-teng Taysu anggap ‘nama’ hanyalah khayalan belaka. Tapi kau, hatimu kosong bersih, bahkan hakikatnya tidak pernah terpikir tentang ‘nama’ segala, nyata kau lebih hebat setingkat lagi dari pada kami. Ha-ha-ha…, Tang-sia, Se-ong, Lam-ceng, Pak-hiap, Tiong-wan-tong. Di antara Ngo-coat, kaulah yang paling tinggi.”

Mendengar sebutan ‘Tang-sia, Se-ong, Lam-ceng, Pak-hiap, Tiong-wan-tong’, semua orang lantas bersorak memuji, tapi merasa geli pula.

Setelah kedudukan ‘Ngo-coat’ ditetapkan, semua orang lantas bergembira ria, lalu dengan berpencar mereka pergi pesiar sendiri-sendiri menikmati keindahan pegunungan Hoa-san.

Mula-mula Kwe Siang ikut di belakang sang ibu, Oey Yong. Dia lihat Yo Ko bergandengan tangan dengan Siao-liong-li dengan mesranya menuju ke arah lain. Katanya tiba-tiba pada ibunya:

“Ibu, sekarang aku bisa ikut pergi bersama Yo-toako dan Liong-cici dengan bebas, bukan?”
Oey Yong mendadak diam tertegun sejenak, tapi lantas tersenyum penuh arti.

T A M A T





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika