Jumat, 29 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 187

Kembali kepada Kim-lun Hoat-ong yang membawa Kwe Siang menuju Coat-ceng-kok. Hoat-ong benar-benar manusia aneh. Di waktu ganas kejamnya melebihi binatang berbisa, tetapi karena dia sudah mengambil ketetapan akan menerima Kwe Siang sebagai ahli warisnya, sepanjang jalan dia menjadi begitu memperhatikan diri anak dara itu, begitu sayang bagai puteri sendiri saja. Sebaliknya karena benci pada Hoat-ong yang telah membinasakan Tiang-si-kui dan Toa-thau-kui secara keji, maka Kwe Siang selalu bersikap dingin. Hari itu mereka sampai di Coat-ceng-kok. Tiba-tiba terdengar suara teriakan orang yang sangat keras:

“Kenapa kau tidak menepati janji?!”

Suara itu penuh rasa penasaran, putus asa dan menderita sekali. Ketika kemudian suara yang menggema itu berkumandang kembali dari balik ke lembah gunung, Kwe Siang terkejut. Serunya:

“Ha, itulah suara Toakoko, lekas kita mencarinya ke sana.” Sembari berkata segera dia mendahului memburu ke lembah pegunungan itu.

Mendengar lawan besar telah mendekat, semangat Kim-lun Hoat-ong bangkit seketika, segera dari buntalannya dia keluarkan ‘panca-roda’, senjatanya yang istimewa, lima roda yang terdiri dari lima macam logam: emas, perak, tembaga, besi dan timah. Biar pun sekarang ilmu sakti tenaga naga dan gajah sudah dilatih hingga tingkatan ke-11, namun seIama 16 tahun ini dia yakin Yo Ko dan Siao-liong-li juga tidak melewatkan waktu percuma, maka Hoat-ong sedikit pun tidak berani meremehkannya.

Begitulah Kwe Siang berlari menuju tempat datangnya suara. Tak lama ‘jurang patah hati’ itu sudah dekat, terlihatlah waktu itu Yo Ko masih berdiri di atas karang, belasan tangkai bunga merah bergerak di sekitarnya. Melihat jurang itu amat curam, Kwe Siang lidak berani melayang ke sana, maka serunya:

“Toakoko, aku datang!”

Namun hati Yo Ko sudah hancur luIuh, tidak mendengar seruan anak dara itu. Dari jauh melihat kelakuan orang agak aneh, cepat Kwe Siang berteriak:

“Toakoko, aku masih menyimpan sebuah jarum emas pemberianmu. Kau harus dengar kataku, jangan kau bunuh diri!”

Sembari berkata, tanpa pikir lagi ia berlari hendak mendekati Yo Ko melalui belandar batu jurang, namun sampai di tengah jalan, terlihatlah Yo Ko sudah terjun ke bawah jurang yang tak terperikan dalamnya. Keruan kejut Kwe Siang tidak kepalang dan terasa sukmanya terbang ke awang. Sesaat itu juga entah terpeleset karena kaget atau sebab berpikir hendak menolong Yo Ko, atau mungkin juga karena cintanya sudah mendalam hingga rela menyusulnya ke alam baka, mendadak anak dara itu pun ikut terjun ke bawah jurang.

Tatkala itu Kim-lun Hoat-ong ketinggalan kira-kira beberapa tombak di belakang. Melihat Kwe Siang jatuh ke bawah, cepat dia melesat maju untuk menolong. Betapa pesat ilmu entengi tubuh Hoat-ong ini seperti anak panah terlepas dari busurnya, namun toh masih terlambat sedikit. Saat memburu sampai di tepi jurang, tubuh Kwe Siang telah terjerumus ke bawah. Tanpa pikir lagi Hoat-ong gunakan gerakan ‘To-kwa kim-kau’ atau kaitan emas tergantung terbalik, dengan kakinya menggantoI di pinggir jurang. Cara Hoat-ong ini sesungguhnya sangat berbahaya, sedikit saja meleset, boleh jadi dia sendiri pun tergelincir masuk jurang.

“Brett!”

Maka terdengarlah suara kain baju Kwe Siang sobek sebagian, sedang tubuh anak dara itu masih terus tenggelam ke bawah jurang, kabut tebal yang menutupi dari bawah jurang itu segera menelan Kwe Siang tanpa bekas. Kim-lun Hoat-ong menghela napas gegetun. Dia menjadi lesu, sepotong kain baju masih dipeganginya, dia termangu-mangu memandang ke dalam jurang. Selang agak lama, tiba-tiba saja didengarnya di seberang sana ada seseorang menegurnya:

“Hai, Hwesio, apa yang kau lakukan di sini?”

Hoat-ong menoleh. Dia lihat di atas gunung sana berdiri enam orang, yang paling depan seorang tua bermuka muda, Ciu Pek-thong. Di sampingnya berdiri tiga wanita yang dikenalnya sebagai Oey Yong, Thia Eng, dan Liok Bu-siang. Dan di belakangnya seorang Hwesio tua beralis jenggot putih beserta seorang wanita tua berbaju hitam mulus. Dua orang terakhir ini tak dikenalnya, yakni It-teng Taysu dan Eng-koh. Sudah beberapa kali Hoat-ong kenal kepandaian Ciu Pek-thong. Ia tahu ilmu silat si tua ini luar biasa lihaynya, selamanya ia pun rada jeri padanya, apa lagi kini ditambah Oey Yong yang merangkap pelajaran Tang-sia dan Pak-kay, orangnya cerdik isinya banyak. Lebih-lebih dalam keadaan berduka atas kematian Kwe Siang, sebenarnya tiada niat lagi buat bermusuhan, maka katanya kemudian dengan muram:

“Nona Kwe Siang telah terjun ke dalam jurang!”

“Hah?!” semua orang terkejut. Terutama Oey Yong sebagai ibu, ia yang paling tergoncang hatinya, dengan suara gemetar ia menegas: “Apa benar katamu?”

“Untuk apa aku dusta? Bukankah ini kain bajunya?” sahut Hoat-ong sembari menggerakkan sobekan baju Kwe Siang yang masih dipegangnya.

Melihat kain itu memang benar-benar adalah sobekan baju puterinya, seketika Oey Yong menggigil seakan-akan terjerumus ke dalam jurang es dan tak sanggup buka suara. Segera Ciu Pek-thong menjadi marah bukan main, damperatnya:

“Hwesio busuk, kenapa kau membunuh nona cilik itu? Hatimu benar-benar kejam!”

“Bukan aku yang membunuhnya,” sahut Hoat-ong.

“Tanpa sebab mengapa dia bisa terjun ke dalam jurang?” debat Pek-thong. “Kalau bukan kau mendorongnya, tentu kau yang memaksanya!”

“Bukan keduanya,” kata Hoat-ong sambil menggelengkan kepala. “Aku malah bermaksud menerimanya sebagai murid ahli warisku, mana mau sembarangan aku membunuhnya?”



“Fuih!” mendadak Ciu Pek-thong meludahi orang dengan dahak kental. Lalu damperatnya: “Kentut, kentut! Engkongnya adalah Oey-losia, ayahnya Kwe Ceng dan ibunya Oey Yong, siapa di antara mereka yang tidak lebih hebat dari pada kau, Hwesio busuk? Mana sudi ia mengangkat guru padamu untuk mewarisi ilmumu yang apek? Huh, melulu aku Lo-wan-tong saja jika mau mengajarkan beberapa jurus padanya juga lebih hebat dari pada segala gelangmu yang rombengan ini!”

Jarak Pek-thong dengan Hoat-ong cukup jauh, tetapi dahak kental yang disemprotkan itu laksana sebutir peluru saja mengarah ke mukanya. Lekas-lekas dia mengegos dan diam-diam merasa kagum. Sebaliknya Lo-wan-tong menjadi bertambah senang karena orang tidak berani menjawab damperatannya tadi. Dengan suara keras dia mendesak pula:

“Nah, tentunya dia tak sudi mengangkat guru padamu, bukan? Tapi kau tetap berkeras hendak menerimanya sebagai murid?”

Hoat-ong mengangguk.

“Nah, apa yang perlu dikatakan lagi? Bukankah karena itu lantas kau mendorongnya ke dalam jurang?” teriak Pek-thong pula.

Namun perasaan Hoat-ong masih cemas oleh kematian Kwe Siang. Dia menghela napas dan menyahut:

“Aku tidak mendorong dia. Tapi sebab apa aku tidak mengerti!”

Sementara itu Oey Yong sudah agak tenang. Sekali dia mengertak gigi, pentung bambu diangkat terus menubruk ke arah Hoat-ong. Dengan gaya ‘bong’ mengurung, bayangan pentungan berkelebat kian kemari, seketika tubuh Hoat-ong dikurung oleh pentungnya. Karena ingin membalaskan dendam puterinya, di atas belandar batu yang lebarnya hanya satu dua kaki itu Oey Yong meluncurkan tipu-tipu serangan mematikan ber-tubi-tubi.

Meski ilmu silat Hoat-ong sebenarnya lebih tinggi dari pada Oey Yong, tapi tak berani dia mengadu jiwa. Melihat permainan pentung orang sangat hebat, bila dia terlibat sedikit saja hingga Ciu Pek-thong maju membantu, pula di tempat yang berbahaya, tentu ia akan sulit melawannya. Mendadak dia tutul kakinya melompat mundur, habis itu dia bersiul panjang, tahu-tahu dia melayang Iewat di atas kepala Oey Yong.

Cepat Oey Yong angkat pentungnya menyodok ke atas, namun kena ditangkis oleh roda perak Hoat-ong. Ketika Oey Yong membalikkan tubuh, saat itu pula Ciu Pek-thong memberondongkan pukulan dan tendangan, lantas bergebrak dengan Hoat-ong. Mengingat dirinya seorang guru besar aliran silat tersendiri, melihat lawannya tidak bersenjata, Hoat-ong menyelipkan rodanya ke pinggang, lalu dengan tangan kosong dia melayani Pek-thong. Dalam pada itu Oey Yong sudah memburu lagi, pentungnya terus menyodok ke punggung Hoat-ong.

Sejak Hoat-ong berhasil melatih ‘Liong-jio-pan-yok-kang’ hingga tingkat ke-11, selamanya ilmu ini belum pernah dia gunakan. Kini ketemu lawan tangguh, kebetulan baginya untuk mencobanya. Karena itu, ketika melihat jotosan Ciu Pek-thong tiba, segera dia pun balas menjotos dengan kepalan lawan kepalan. Pek-thong terperanjat. Ia tahu tenaga kepalan orang tentu hebat, maka tak berani keras lawan keras. Sedikit ia tekan ke bawah, cepat ia gunakan pukulan ‘Khong-beng-kun’ atau pukulan terang-terang kosong.

Meski tidak sekuat naga atau gajah, tenaga pukulan Hoat-ong itu beratnya melebihi ribuan kati, tubuh manusia tak mungkin sanggup menahannya. Tapi ketika saling beradu dengan tenaga pukulan Ciu Pek-thong, tiba-tiba saja terasa mengenai tempat kosong. Diam-diam Hoat-ong heran, menyusul cepat tangan kiri pun dihantamkan. Sementara itu Lo-wan-tong sudah dapat mengetahui tenaga Hoat-ong ternyata besar luar biasa. Tapi dasar pembawaannya ‘gila silat’, asal mengetahui siapa mempunyai semacam kepandaian istimewa, pasti ingin dijajalnya.

Tetapi selama hidupnya tenaga pukulan sebesar Hoat-ong ini belum pernah didengarnya, apa lagi melihat. Seketika ia menjadi bingung macam apakah ilmu silat orang ini? Segera dia keluarkan 72 jurus Khong-beng-kun yang ‘terang-terang kosong’ itu untuk melawan tenaga pukulan orang yang maha kuat.

TOAN-JONG-KHE (Jurang Patah Hati)

Dengan begitu, tenaga raksasa Hoat-ong menjadi tidak berguna. Beberapa kali Hoat-ong melontarkan serangan, tidak mencapai sasarannya, keruan dia menjadi kesal tidak kepalang. Ilmu sakti yang sudah dilatihnya belasan tahun dan baru sekali keluar ternyata tidak berguna. Pada saat lain tiba-tiba didengarnya sambaran angin dari belakang, pentung bambu Oey Yong kembali menotok lagi ke ‘Ling-tay-hiat’ di punggungnya. Tanpa pikir dia menyampuk ke belakang.

“Krakk!”

Seketika pentung bambu Oey Yong remuk, bahkan sisa tenaganya menggoncangkan debu pasir hingga berhamburan. Oey Yong melompat terkejut. Dia kenal kelihayan Hoat-ong, tapi kepandaian orang sekarang ternyata jauh lebih hebat dari pada dulu, sekali gaplok bikin remuk pentung bambunya, ilmu pukulan apakah itu? Begitu melihat Oey Yong terdesak, cepat Thia Eng dan Liok Bu-siang mengerubut maju dari kanan-kiri, yang satu bersenjata seruling kemala dan yang lain berpedang.

“Awas!” segera Oey Yong memperingatkan mereka.

“Krakk! Krakk!”

Betul saja, menyusul terdengar suara dua kali, seruling dan pedang patah semua. Oleh karena berduka atas kematian Kwe Siang yang mengenaskan, Hoat-ong tidak ingin mencelakai nyawa manusia lagi, maka ia hanya membentak:

“Minggir!”

Dia tidak mendesak Thia Eng dan Bu-siang lebih jauh. Ilmu kepandaian Eng-koh sebetulnya belum setinggi Oey Yong, tapi ilmu ‘Ni-jiu-kang’ atau ilmu belut, sangat tepat untuk berkelit dan mengegos. Ketika dilihatnya Hoat-ong hendak angkat kaki, segera dia pun maju menyerang. Namun sekali Hoat-ong menangkis, terus memotong ke pinggang Eng-koh. Ketika mendadak terasa sesuatu tenaga maha besar menubruk pinggangnya, lekas-lekas Eng-koh mengegal-egolkan tubuhnya seperti belut, dan terhindarlah tenaga pukulan Hoat-ong.

Hoat-ong tidak tahu kepandaian Eng-koh sesungguhnya belum mencapai tingkatan kelas wahid, tapi beberapa kali menghantam selalu dapat dihindarkan dengan gaya yang sangat aneh. Dia sangat terkejut, ilmu sakti yang amat dia aguIkan untuk menjagoi kolong langit ternyata seorang wanita saja tak dapat dirobohkannya. Mau tak mau ia menjadi jeri, ia tidak berani terlibat lebih lama lagi, sekali tubuhnya melesat, cepat ia menyingkir ke kiri.

“Jangan Iari!” bentak Pek-thong sambil mengudak.

Selagi Hoat-ong hendak membalikkan tangan menyerang, tiba-tiba terdengar suara mencicit perlahan, suatu hawa hangat menyerang mukanya. Itulah ‘lt-yang-ci’ atau ilmu jari betara surya, ilmu kepandaian khas It-teng Taysu yang telah mencegat larinya. Sejak tadi Hoat-ong tidak memperhatikan paderi tua ini, siapa duga tenaga totokan jarinya ternyata sedemikian hebatnya.

Ketika itu ilmu ‘It-yang-ci’ It-teng Taysu telah mencapai puncak kesempurnaan, meski tenaga totokannya tampak lambat dan halus, tetapi sesungguhnya kuat luar biasa tak tertahankan. Dalam terkejutnya Hoat-ong cepat berkelit, habis itu barulah dia balas menyerang sekali. Karena melihat tenaga pukulan Hoat-ong keras luar biasa, It-teng Taysu juga tidak berani menyambutnya dari depan, dengan enteng ia melangkah mundur beberapa tindak. Yang satu adalah paderi berilmu dari selatan dan yang lain adalah orang kosen dari benua barat, setelah saling gebrak sekali, masing-masing tiada yang berani memandang rendah lawannya lagi.

Ciu Pek-thong ingin menjaga harga diri, maka ia tidak mau mengerubuti melainkan berdiri mengawasi saja di samping. Jarak antara It-teng dan Hoat-ong tadinya tidak ada beberapa kaki, tetapi sesudah serang menyerang, yang satu menotok dan yang lain memukuI, akhirnya jarak mereka semakin jauh hingga lebih dari dua tombak, masing-masing mengeluarkan tenaga sepenuhnya dan menyerang dari jauh. Kepala It-teng Taysu tampak mulai menguap, terang sekali dia sedang pusatkan seluruh Iwekang-nya.

Oey Yong jadi kuatir. Usia It-teng sudah tua hingga tak sanggup melawan Hoat-ong. Hatinya sedih oleh kematian puterinya, meski sebetulnya tiada niat untuk adu jiwa dengan musuh, tapi bila melihat serang menyerang kedua orang masih begitu dasyatnya, ia tidak berani sembarangan menerjang maju. Selagi ia tidak berdaya, tiba-tiba terdengar suara mencuitnya rajawali di udara. Pikirannya tergerak, segera ia bersuit sambil menunjuk Hoat-ong. Melihat itu, sekali bercuit sepasang rajawali itu langsung menubruk turun ke atas kepala Hoat-ong.

Jika Sin-tiau kawan Yo Ko itu yang datang, mungkin Hoat-ong akan jeri. Tetapi sepasang rajawali ini hanya badannya yang besar, namun burung biasa saja, mana dapat menakuti Hoat-ong? Cuma saat itu ia lagi pusatkan pikiran dan tenaga buat melawan It-teng Taysu, sedikit pun tidak berani ayal. Kini mendadak disergap kedua rajawali dari atas, terpaksa ia mengayun tangan kirinya ke atas, dengan tenaga pukulan kuat menghantam sepasang rajawali. Karena tak tahan, cepat rajawali itu terbang ke atas lagi. Dan karena godaan itu, keadaan It-teng Taysu di atas angin. Lekas-lekas Hoat-ong kerahkan tenaga baru kemudian bisa mengimbangi lagi.

Sepasang rajawali itu sudah lama dipiara Oey Yong dan sudah pintar. Ketika mendengar suitan Oey Yong yang mendesak terus, padahal musuh terlalu lihay, mereka tidak berani menubruk lagi seperti tadi, melainkan hanya menyambar kian kemari di atas kepala Hoat-ong. Walau pun tidak bisa melukainya, tapi perhatian Hoat-ong banyak terkacau. Sebenarnya tenaga pukulan Hoat-ong masih lebih unggul dari pada It-teng, tapi kalau soal ilmu kebatinan dia kalah jauh. Ditambah kini dia merasa gegetun oleh matinya Kwe Siang, semangatnya yang memang sudah tidak tenang kena dikacau lagi oleh kedua rajawali itu, keruan dia menjadi gopoh.

Segera hal ini diketahui It-teng. Sambil tersenyum It-teng lantas mendesak maju setengah langkah. Meski Oey Yong sendiri sangat berduka akan kematian puterinya, tapi kecerdikannya tak pernah berkurang. Ketika melihat It-teng melangkah maju, mendadak ia pun menggertak:

“Kwe Ceng, Yo Ko, kebetulan kedatangan kalian, lekas tangkap dia beramai-ramai!”

Padahal tak mungkin Oey Yong menyebut nama sang suami, seruannya ini hanya gertak sambal belaka untuk mengejutkan Hoat-ong, sebab bila dia bilang ‘Ceng-koko’ Hwesio itu akan berpikir, dan kalau sempat berpikir rasa kaget itu pun akan berkurang. Benar saja, ketika tiba-tiba Hoat-ong mendengar suara ‘Kwe Ceng dan Yo Ko’, dia terperanjat, pikirnya: “Jika kedua jago ini datang juga, maka melayanglah jiwaku!”

Pada saat itulah kembali It-teng mendesak maju setengah langkah lagi. Rupanya kedua rajawali di atas udara itu pun melihat ada kesempatan, mendadak rajawali yang betina bercuit keras terus menubruk cepat ke bawah untuk mencakar biji mata Hoat-ong.

“Binatang!” damperat Hoat-ong sengit, berbareng sebelah tangannya digablokkan.

Tak terduga sergapan rajawali betina itu hanya pura-pura belaka. Setelah dekat mukanya tiba-tiba membelok ke atas lagi, sebaliknya rajawali yang jantan malah menyerang dari samping. Ketika Hoat-ong mengetahui tapi cakar rajawali itu sudah menyentuh kepalanya yang gundul. Terkejut dan marah sekali Hoat-ong, sehelai tangannya menyampuk ke atas.

“Plokk!”

Bulu-bulu bertebaran, rajawali jantan berhasil mencengkeram kopiah emas Hoat-ong terus terbang pergi. Tapi sampukan Hoat-ong itu pun sangat keras, rajawali jantan sudah terbang sampai di tengah udara tapi akhirnya tidak tahan dan mendadak terjungkal terjerumus ke dalam jurang yang tak terkirakan dasarnya. Oey Yong, Thia Eng, Liok Bu-siang dan Eng-koh menjerit kaget, ada pun Ciu Pek-thong menjadi marah.

“Hwesio apek!” segera ia memaki, “Kini Lo-wan-tong tidak mau pakai aturan Kangouw lagi, mungkin harus dua lawan satu sekaligus.” Habis itu secara bertubi-tubi dia kirim hantaman ke punggung Kim-lun Hoat-ong.

Dalam pada itu si rajawali betina melihat yang jantan terjerumus ke dalam jurang, sekali bercuit panjang, tahu-tahu yang betina ini pun ikut terjun ke bawah hingga lama sekali tak nampak naik kembali.

Karena dikeroyok dari muka belakang, mau tak mau Kim-lun Hoat-ong menjadi jeri. Sekali pun tinggi ilmu silatnya, mana mungkin melawan keroyokan dua jago tertinggi ini? Maka ia tak berani terlibat lebih lama. Mendadak terdengar suara gemerantang. Roda emas dan perak menyambar sekaligus, yang depan menahan totokan ‘lt-yang-ci’ dan bagian belakang menolak serangan ‘Khong-beng-kun’, tubuhnya terus mencelat pergi dan cepat sekali sudah melintasi tanah bukit. Dengan membentak-bentak, segera Ciu Pek-thong mengudak.

Sesudah berhasil meloloskan diri, Hoat-ong terus berlari dengan cepat. Dia tahu bila kena ditahan lagi oleh Ciu Pek-thong, mungkin beberapa ratus jurus tidak akan bisa ketahuan unggul atau asor, tatkala itu It-teng Taysu tentu akan menyusul tiba dan jiwanya boleh jadi akan melayang di lembah sunyi ini. Tiba-tiba dilihatnya di depan membentang hutan yang lebat. Dia menjadi girang, cepat dia berlari ke sana. Tak terduga mendadak terdengar suara mendenging yang cepat, sebutir batu kecil tahu-tahu menyambar keluar dari dalam hutan.

Jarak hutan itu dengan Hoat-ong masih ada beratus tindak, tetapi entah tenaga sakti apa yang menyambitkan batu sekecil itu, dari suara mendengingnya teranglah keras luar biasa dan mengarah badan Hoat-ong. Lekas Hoat-ong angkat rodanya menyampuk. Dibarengi suara benturan, batu itu pecah berantai hingga muka Hoat-ong sendiri kecipratan beberapa butir krikil. Hoat-ong sungguh terkejut, pikirnya:

“Batu sekecil ini disambitkan dari tempat jauh, tetapi rodaku kena terbentur mundur, nyata tenaga orang ini tidak di bawah Lo-wan-tong dan Hwesio tua tadi, sungguh tidak nyana di jagat ini masih terdapat jago sebanyak ini.”

Sedang dia tertegun, terlihatlah dari dalam hutan muncul seorang tua berjubah hijau. Ciu Pek-thong menjadi girang sekali, segera ia berseru:

“Oey-losia! Hwesio apek itu telah membinasakan cucu perempuanmu, lekas kau ikut menangkapnya.”

Orang yang muncul dari hutan itu memang Tho-hoa-tocu Oey Yok-su adanya. Sejak ditinggalkan Yo Ko, ia meneruskan pengembaraannya lagi ke utara. Suatu hari saat singgah minum di suatu pedusunan, tiba-tiba terlihat sepasang rajawali terbang lewat. Dia tahu kalau bukan Oey Yong, tentulah Kwe Hu atau Kwe Siang yang berada di sekitar sini, maka diam-diam dia menguntit hingga sampai di Coat-ceng-kok. Karena tak ingin dilihat oleh puterinya, dia hanya menguntit dari jauh saja hingga akhirnya dia melihat It-teng Taysu dan Ciu Pek-thong berturut-turut bergebrak melawan Kim-lun Hoat-ong. Dia merasa paderi asing ini benar-benar seorang lawan tangguh yang jarang diketemukan, maka dia menjadi tertarik dan ikut turun tangan.

Maka berkatalah Hoat-ong sembari gosok-gosokkan kedua rodanya hingga mengeluarkan suara nyaring:

“Apakah kau ini Tang-sia Oey Yok-su?”

“Betul,” sahut Yok-su mengangguk. “Ada petunjuk apakah, Taysu?”

“Waktu aku berada di tempatku, kudengar di daerah Tionggoan terdapat Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong. lima orang lihay. Hari ini beruntung dapat bertemu dan ternyata memang bukan omong kosong belaka,” demikian sahut Hoat-ong, “Dan di manakah yang empat orang?”

“Tiong-sin-thong (Ong Tiong-yang), Pak-kay dan Se-tok sudah lama meninggal,” kata Yok-su, “Paderi agung inilah Lam-te yang kau tanyakan, sedangkan yang ini adalah Ciu-heng, Sute-nya Tiong-sin-thong.”

“Jika Suheng-ku masih hidup, hm, tak akan kau mampu menahan 10 jurus serangannya,” kata Pek-thong.

Mereka bertiga mengepung Hoat-ong. Dalam keadaan begitu Hoat-ong menjadi serba susah. Dia pandang It-teng Taysu, di lain saat melihat Ciu Pek-thong dan sebentar dia memandang Oey Yok-su. Setelah itu mendadak dia menghela napas panjang, lima rodanya dilempar ke tanah, lalu katanya:

“Jika satu lawan satu, siapa pun tiada yang kutakuti.”

“Betul,” kata Pek-thong. “Tetapi hari ini kita bukan bertanding untuk perebutan gelar juara segala, siapa ingin main satu lawan satu denganmu? Hwesio apek, kau sudah terlampau banyak melakukan kejahatan, dan sekarang kau lekas bunuh diri saja.”

“Lima tokoh besar Tionggoan, kini dua di antaranya sudah kulihat, meski pun aku mati di tangan kalian bertiga tidak kecewa,” sahut Hoat-ong. “Cuma sayangnya ilmu Liong-jio-pan-yok-kang terputus sampai di tanganku, selanjutnya di jagat ini tiada ahli warisnya lagi.” Habis berkata, sebelah tangannya diangkat hendak menabok batok kepalanya sendiri.

Ketika mendengar kata-kata ‘Liong-jio-pan-yok-kang’, tiba-tiba Ciu Pek-thong jadi tertarik. Secepat kilat dia melompat maju menangkis tangan Hoat-ong itu dan berkata:

“Nanti dulu!”

“Aku lebih suka mati dari pada dihina, lantas apa lagi yang kau inginkan?” kata Hoat-ong mendongkol.

“Kau bilang sayang Liong-jio-pan-yok-kang tiada ahli warisnya, kenapa tidak kau turunkan saja padaku, kemudian kau boleh bunuh diri?” sahut Pek-thong tertawa.

Tapi sebelum Hoat-ong buka suara, mendadak terdengar suara rajawali betina yang sudah membawa rajawali jantan dari dalam jurang. Kedua rajawali itu sama basah kuyup, agaknya di dalam jurang itu adalah sebuah kolam air. Rajawati jantan bulunya serawutan tak keruan, napasnya sudah kempas kempis, tetapi cakarnya masih mencengkeram kopiah emas Hoat-ong dengan kencang. Sesudah meletakkan yang jantan, rajawali betina mendadak terjun lagi ke bawah jurang. Ketika naik lagi, di atas punggungnya menunggang satu orang. Ternyata Kwe Siang yang disangka sudah mati itu.

Keruan Oey Yong terkejut bercampur girang, cepat dia berseru: “Siang-ji...! Siang-ji...!” Ia memburu maju untuk menurunkan puterinya itu dari punggung rajawali betina.

Melihat Kwe Siang ternyata tak kurang suatu apa pun, Hoat-oag juga tercengang. Waktu itu Ciu Pek-thong masih menahan tangan Hoat-ong. Sekali si Tua Nakal ini kedipi It-teng dan Oey Yok-su, segera Tang-sia dan Lam-te turun tangan berbareng, dengan cepatnya ketiak kanan dan kiri Hoat-ong sekalian kena ditotok. Menyusul Ciu Pek-thong menambahi sekali gebuk pada ‘Ci-yang-hiat’ di punggungnya sambil tertawa:

“Nah, tidurlah sebentar!”

Maka lemaslah kedua kaki Hoat-ong, dia lantas mendeprok terduduk. It-teng bertiga saling pandang dengan tercengang. Sungguh Hwesio ini lihay luar biasa, beruntun tubuhnya kena ditotok dan digebuk tapi masih tidak roboh menggeletak. Lalu mereka pun mendekati Kwe Siang untuk menanyakan keadaannya.

“Ibu,” demikian anak dara itu menutur,” dia berada di... di bawah... lekas menolongnya ... lekas menolongnya...” saking cemas dan kuatir hanya beberapa kata itu saja yang dapat diucapkannya, lalu jatuh pingsan.

“Tidak apa,” ujar It-teng sesudah memegang nadi Kwe Siang.

Segera dia memijit beberapa kali pinggang anak dara itu, berselang tak lama, Kwe Siang pun siuman.

“Di manakah Toako Yo Ko? Apakah dia sudah naik?” tanyanya segera setelah anak dara itu menenangkan diri.

“Apakah Yo Ko juga berada di bawah sana?” tanya Oey Yong cepat.

Kwe Siang mengangguk, sahutnya perlahan: “Ya, tentu...” Di dalam hati dia pun berkata: “Jika dia tidak di bawah, untuk apa aku ikut terjun ke sana?”

Melihat badan puterinya basah kuyup, Oey Yong bertanya lagi: “Apakah di bawah adalah sebuah kolam air?”

Kwe Siang mengangguk saja. Ia pejamkan matanya, tak sanggup lagi buka suara, hanya menunjuk ke bawah jurang.

“Kalau Yo Ko memang berada di bawah sana, terpaksa suruh Tiau-ji mengambilnya naik,” ujar Oey Yong. Lalu dia bersuit buat memanggil rajawali betina tadi.

Namun aneh, sudah berapa kali dia bersuit rajawali betina itu masih tidak menggubrisnya. Oey Yong menjadi heran, sudah berpuluh tahun kedua rajawali ini sangat penurut, kenapa sekarang perintahnya dianggap angin belaka? Maka kembali dia ulangi suitannya. Dia lihat rajawali betina itu pentang sayap dan terbang lagi. Setelah mengitar beberapa kali dan bersuara memilukan, burung itu menjungkal ke bawah secepat batu meteor.

“Celaka!” keluh Oey Yong dalam hati, segera dia pun berteriak: “Tiau-ji!”

Akan tetapi sudah terlambat. Rajawali itu tertumbuk batu cadas hingga kepalanya pecah dan sayapnya patah terus mati.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar