Kamis, 18 Maret 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 136

Habis membaca, Kwee Ceng berpikir; "Dulu Coan Cin Cit Cu bertempur sama OeyYok Su di Gu¬kee-cun, lantas Auwyang Hong diam-diam menggunakan akal jahatnya dan membinasakan Tiang Cun Cu Tam Cie Toan, kesalahan digeser kepada Oey Yok Su. Oey Yok Su berkepala besar, dia tidak menghiraukan urusan itu tidak mau membersihkan diri, maka kejadian Coan Cin Cit Cu jadi sangat membenci padanya. Rupanya sekarang guruku mendengar Coan Cin Cit Cu datang untuk melakukan pembalasan, karena khawatir kedua pihak rusak bersama, guruku menulis surat ini nenganjurkan Oey Yok Su menyingkirkan diri untuk sementara waktu, supaya kemudian dapat jalan guna membeber duduknya hal. Dengan begitu, guruku ini bermaksud baik, maka Oey Yok Su si tua, kenapa dia telah menurunkan tangan jahatnya kepada guruku semua?"

Baru ia berpikir begitu, lantas berpikir pula: "Jiesuhu sudah menulis surat ini, kenapa dia tidak menyampaikannya hanya dibiarkan berada di dalam sakunya? Ah, mungkin waktu terlalu mendesak, Coan Cin Cit Cu telah keburu datang, dia jadi tidak mendapat waktu lagi untuk menyerahkannya, maka mereka lantas datang sendiri, guna menengahi kedua pihak yang bertempur. Oey Lao Shia, mungkin menyangka guruku kawan-kawan undangan dari Coan Cit Cin Cu, yang bakal membantu pihak sana, maka dengan sembrono kau telah menurunkan tangan jahatmu……"

Kembali pemuda ini berdiam. Surat itu ia lipat, hendak dimasukkan ke dalam sakunya. Selagi ia melipat tiba-tiba di belakang ia melihat coretan beberap huruf, yang membikin kaget membuat hatinya berdebaran. Tulisan itu, tidak karuan, berbunyi; "Segera bakal terjadi hal yang tidak diduga-¬duga, maka semua bersiaplah berjaga-jaga……" Masih ada tulisan lainnya, yang belum tertulis lengkap, mungkin disebabkan bencana sudah lantas tiba.

"Inilah terang huruf 'Tong' yang hendak ditulisnya. Jiesuhu memperingatkan untuk bersiaga untuk 'Tong Shia' sayang sudah terlambat……"

Maka ia kepal-kepal surat itu menjadi gulungan kecil dengan mengertak gigi, ia berkata dengan sengit; "Jiesuhu, jiesuhu, maksudmu yang baik telah dipandang sebagai maksud jahat oleh Oey Lao Shia……"

Setelah itu, surat itu jatuh ke tanah, ia sendiri lantas mengangkat tubuh Cu Cong. Oey Yong mengawasi terus pemuda itu, ia melihat air muka orang yang seperti berubah-ubah. Ia menduga surat itu mesti penting sekali, maka perlahan-lahan ia bertindak. Ia pungut surat itu untuk segera dibaca dua-duanya, yang di depan dan yang di belakang. Ia berpikir "Keenam gurunya datang ke Tho Hoa To dengan maksud baik, maka sayang Biauw Ciu Sie-seng hatinya tidak lurus, sudah biasa dia menjadi pencopet melihat harta ibuku hatinya terpincuk, hingga dia melanggar pantangan besar dari ayahku……"

Ketika itu Kwee Ceng telah meletakkan tubuh Cu Cong, lalu dia membuka tangan kiri orang yang terkepal, mengambil dari situ serupa barang.

Oey Yong melihat itulah sebuah sepatu wanita, yang panjangnya satu dim lebih. Terang itu adalah sepatu mainan sebab terbuat dari batu hijau tetapi buatannya indah sekali. Itu adalah benda yang berharga mahal. Belum pernar ia ingat ibunya mempunyai barang mainan semacam itu maka entahlah dari mana Cu Cong mendapatkannya.

Kwee Ceng membulak-balik sepatu-sepatuan itu bagian bawahnya ia melihat ukiran huruf "ciauw" sedang di dasar sebelah dalam, ada ukiran huruf "pie". Ia sengit ia banting sepatu batu itu, syukur tidak pecah. Kemudian ia bergantian mengangkat tubuh Han Po Kie dan Coan Kim Hoat, dikasih masuk ke dalam lubang yang besar itu diletakkan dengan rapi. Ketika ia hendak mulai menguruk ia melihat muka ketiga gurunya hatinya tak tega. Maka ia mengawasi ke batu permata. Tiba-tiba timbul pula hawa amarahnya. Ia pungut semua itu dengan kedua tangannva, ia lari ke kuburan ibunya Oey Yong.

Si nona khawatir orang merusak peti mati ibunya, ia pun lari. Ia lari, untuk mendahului. Ia bisa memotong jalan, maka ia tiba lebih dulu. Lantas ia menghadang di depan pintu kuburan, kedua tangannya dipentang.

"Kau mau apa?" ia tanya si pemuda.

Kwee Ceng tidak menjawab, dengan tangan kirinya ia menolak tubuh si nona, lalu kedua tangannya disempar ke depan, maka terdengarlah suara nyaring, dari meluruk jatuhnya barang-barang permata, di antaranya sepatu mainan dari batu hijau yang jatuh ke kaki si nona.

Oey Yong membungkuk, memungutnya. "Ini bukan barang ibuku," ia kata, dan ia mengembalikannya.

Kwee Ceng menyambut, ia awasi itu, terus ia masukkan ke dalam sakunya. Setelah itu ia memutar tubuh. Kali ini ia mulai menguruk tanah, hingga menutup rapat mayat keempat gurunya.

Lama sang waktu lewat, hari mulai magrib. Oey Yong menyaksikan, Kwee Ceng terus tidak menangis, ia merasa sangat berduka. Maka ia pikir, kalau dibiarkan sendiri, mungkin hati pemuda itu lega. Dari itu ia pergi pulang, untuk memasak nasi serta lauk-pauk. Apabila semua itu sudah matang, ia pernahkan di dalam naya, ia membawanya keluar.




Kwee Ceng terlihat berdiri menjublak di depan kuburan gurunya. Dia berdiri tetap di tempat dia berdiri semula, tubuhnya juga tidak berkisar atau berubah. Ia berdiam setengah jam lebih selama si nona masak, hinggga dia mirip patung. Maka si nona kaget sekali.

"Engko Ceng, kau kenapa?" ia tanya.

Kwee Ceng tidak menyahut, tubuhnya tetap tidak bergerak. "Engko Ceng, mari dahar," kata pula si nona. "Sudah satu harian kau belum dahar……"

"Mesti aku mati kelaparan tidak mungkin aku maka barang dari Tho Hoa To!" berkata si anak muda.

Mendengar itu, meskipun tidak sedap, hati Oey Yong sedikit lega. Ia mengerti adat orang, tentu Kwee Ceng pegang perkataannya itu. Dari itu ia meletakannya, duduk di tanah.

Demikian, yang satu berdiri tegak, yang lain berduduk, keduanya berdiam menghabiskan waktu, hingga rembulan mulai muncul di permukaan laut. Si Putri Malam naik terus, sampai dia berada di atasan kepalanya dua orang itu, sedang sayur di dalam naya telah menjadi dingin. Hati mereka seperti sama dinginnya. Dengan kesunyian itu, suara gelombang terdengar semakin nyata. Dari kejauhan pun terdengar beberapa kali suara seperti suara srigala dan harimau, suaranya mirip dengan jeritan. Sang angin juga yang membikin suara itu lenyap.

Oey Yong memasang kuping, ia menyangsikan itu suara manusia atau suara binatang yang sedang menderita, karena perhatiannya tertarik, ia berbangkit, lari menuju ke sana. Sebenarnya ia berniat mengajak si anak muda tetapi membatalkan pikirannya itu setelah ia berpikir pula: "Kebanyakan inilah urusan tidak bagus, aku akan cuma-cuma menambah keruwetan pikirannya……" Ia sebenarnya sedikit jeri untuk suasana seperti itu, tetapi karena ia kenal baik pulaunya itu, ia maju terus.

Selagi si nona berlari-lari, dia merasakan angin menyambar di sampingnya. Segera ia mendapat kenyataan, Kwee Ceng lagi mencoba mendahului. Pemuda ini tidak kenal jalanan, maka ia maju dengan tangan dan kakinya menghajar pohon-pohon yang menghadang di hadapannya. Dilihat dari romannya, pemuda itu seperti telah kehilangan pikiran sehat.

"Kau ikut aku!" kata si nona.

Kwee Ceng tidak menyahut, hanya ia berteriak-¬teriak: "Soe-suhu! Soe-suhu!" Ia telah mengenali suara gurunya yang keempat, Lam Hie Jin.

Hati Oey Yong terkesiap. Ia tahu, kalau Kwee Ceng bertemu sama gurunya itu, entah bakal terjadi apa lagi atas dirinya. Tapi ia tidak takut, maka ia lari terus, menunjukkan jalan. Ia lari ke timur, di mana ada banyak pepohonan. Tiba di situ, ia melihat seorang berada di bawah sebuah pohon, tubuhnya bergulingan, tubuh itu melingkar. Itulah Lam Hie Jin.

Kwee Ceng menjerit, ia lompat menubruk gurunya, untuk dipondong. Ia melihat mulut gurunya terbuka, tertawa, tetapi suaranya bukan tertawa wajar. Ia kaget dan girang, hingga ia menangis.

"Soe-suhu! Soe-suhu!" ia memanggil-manggil.

Lam Hie Jin tidak menyahut, hanya sebelah tangannya melayang. Kwee Ceng tidak menyangka tetapi ia sempat berkelit. Habis menggaplok dan gagal, Hie Jin terus meninju dengan tangan kirinya. Kali ini si anak muda tidak berkelit, ia tidak menangkis. Ia menyangka gurunya menyesal atau mempersalahkan padanya. Hebat serangan guru nomor empat ini, Kwee Ceng terpental jumpalitan. Ia tidak menduga gurunya bertenaga demkian besar. Dulu, di waktu berlatih dengannya, tenaga gurunya tidak sedemikian besar. Ia baru bangun, Hie Jin sudah maju, menyerang lagi denga kepalannya. Masih si murid tidak berkelit, ia mandah. Hajaran ini lebih hebat lagi, Kwee Ceng merasa matanya berkunang-kunang, hampir ia roboh pingsan.

Setelah itu, Hie Jin memungut batu besar, lagi-lagi dia menyerang. Kalau Kwee Ceng terhajar batu ini, mesti ia pecah batok kepalanya. Ia memang masih pusing kepalanya. Melihat demikian, Oey Yong melompat maju, dengan tangan kirinya menolak lengan Kanglam Cit Koay yang nomor empat itu, atas mana, bersama¬-sama batunya Hie Jin roboh ke tanah, mulutnya mengasih dengar suara tertawa seperti tadi, habis itu dia tidak merayap bangun lagi……

Adalah maksud si nona untuk menolong Kwee Ceng, maka diluar sangkaannya, Hie Jin demikia tidak bertenaga, dia roboh hanya karena tolakan tangan yang enteng. Dengan lantas si nona mengulur tangannya untuk mengasih bangun. Tetapi ia melihat muka orang yang tertawa, tertawa yang dipaksakan, hingga menjadi menyeringai, nampaknya sangat menakutkan. Ia menjerit, menarik pulang tangannya, untuk membikin tangan itu tidak mengenai tubuh orang. Sebaliknya tangan kiri Hie Jin menyambar pundak si nona. Atas itu dua-duanya, si nona dan si penyerang, mengasih dengar seruan sakit dan kaget.

Oey Yong mengenakan baju lapisnya, meski begitu ia merasakan sakit sampai ia terhuyung beberapa tindak. Hie Jin merasa sakit karena ia menghajar baju yang ada durinya, karena itu tangannya mengucurkan darah.

"Soe-suhu!" Kwee Ceng berteriak saking kagetnya.

Hie Jin menoleh mengawasi si anak muda, ia mengenalinya, hanya ketika hendak membuka mulut cuma bibirnya bergerak sedikit, suaranya tidak terdengar. Ia masih mengasih lihat senyuman hanya itulah senyum dari putus asa. Sinar matanya pun guram.

"Soe-suhu, sebaiknya kau beristirahat," kata Kwee Ceng: "Sebentar kemudian kita bicara."

Hie Jin mencoba mengangkat kepala, ia seperti memaksa mau bicara, tapi gagal, mulutnya tidak dapat dibuka. Ia cuma dapat bertahan sebentar segera kepalanya teklok, terus tubuhnya roboh terjengkang, lalu berbalik.

"Soe-suhu!" Kwee Ceng berseru, ia berlompat maju, guna mengasih bangun.

"Jangan!" berkata si nona, "Gurumu lagi menulis surat……" Tajam matanya si nona.

Kwee Ceng mengawasi. Benar, dengan tangan kanannya, 'Hie Jin lagi mencoret ke tanah. Di antara sinar rembulan, segera terlihat ia menulis: "Yang …… membunuh…… aku…… ialah ……"

Oey Yong mengawasi, ia mendapatkan Hie Jin menulis dengan susah payah, ia lantas goncang hatinya. Ia lantas ingat; "Dia berada di Tho Hoa To, sekalipun orang yang paling tolol tentulah tahu ayahku yang membunuhnya, maka kenapa dia begini susah menulis nama ayahku? Apakah si pembunuh orang lain sebenarnya ……?"

Semakin lama dia menulis, tenaganya Hie Jin makin habis. Hati si nona tegang, hingga ia memuji;

"Kalau kau mau menulis nama lain orang, lekaslah!"

Ketika Hie Jin menulis huruf yang kelima, yang mesti menjadi she atau nama orang yang membunuh dia, baru dia menulis dua coret, yang menjadi huruf "sip" - "sepuluh", mendadak tangannya berhenti bergerak.

Kwee Ceng melihat tubuh orang bergerak, tanda dari pengerahan tenaga yang terakhir, habis itu berhentilah napasnya sang guru. Ia sendiri menahan napas, ketika ia melihat huruf "sip" itu, ia berteriak:

"Soe-suhu, aku tahu kau hendak menulis huruf oey!" Terus ia menubruk tubuh gurunya, ia menangis, kedua tangannya menumbuki dada. Dengan demikian meledaklah amarah dan kedukaannya yang sangat, yang sekian lama terbenam di dalam dadanya. Ia menangis menggerung-gerung kemudian pingsan di atas tubuh gurunya.

Berapa lama anak muda ini tak sadarkan diri, ia tidak tahu, ketika kemudian ia sadar, ia melihat sinar matahari, langit telah menjadi terang. Ia bangun, untuk melihat ke sekitarnya. Ia tidak melihat Oey Yong, entah ke mana perginya si nona. Ia mendapatkan tubuh Hie Jin yang kedua matanya terbuka besar. Ia lantas ingat pembilangan, "mati tidak meram", maka ia menangis lagi, air matanya turun deras. Ia mengulurkan kedua tangannya, guna merapatkan mata gurunya.

Mengingat gurunya begitu sengsara hendak melepaskan napasnya yang terakhir, Kwee Ceng menjadi heran maka ia membuka baju gurunya, memeriksa tubuhnya. Aneh, seluruh tubuh itu tidak kurang suatu apapun, dari kepala sampai di kaki, tidak ada yang luka, kecuali luka di tangan bekas terkena duri baju lapisnya Oey Yong. Pula tidak ada luka dalam, kulitnya tidak hitam atau hangus.

Sesudah memeriksa dengan sia-sia, Kwee Ceng memondong mayat gurunya, niatnya untuk dikubur bersama dengan ketiga gurunya yang lain. Ketika ia sudah jalan beberapa puluh tindak ke tempat darimana tadi dia datang, ia kehilangan jalan. Terpaksa ia menggali sebuah lubang lain di bawah pohon, guna mengubur di situ.

Habis itu, ia menjadi bingung. Ia pun merasa sangat lapar. Sia-sia ia berjalan, untuk mencari jalan keluar. Ia duduk di bawah sebuah pohon, guna beristirahat, menentramkan pikirannya. Ketika ia berjalan lagi, ia mengambil putusan tidak perduli apapun, ia mengambil satu tujuan, ialah ke arah timur, terus menghadapi matahari. Dengan begini, ia masih mengalami kesukaran, dan pepohonan yang sangat lebat. Sekarang di setiap pohon ia melihat adanya rotan panjang dan duri tajam. Umpama kata ia jalan di atas pohon, di situ tidak ada tempat untuk menaruh kaki……

"Tapi hari ini, cuma ada maju, tidak ada mundur!" ia pikir. Ia paksa berlompat naik ke atas pohon. Ia baru menindak ketika "Bret!" celananya robek kesangkut duri, kulitnya lecet dan darahnya mengalir. Rotan pun ada yang melilit kakinya. Maka dengan pisau belatinya, ia memotong putus pohon oyot itu. Memandang jauh ke depan, Kwee Ceng melihat hanya oyot belaka.

"Biar habis daging betisku, aku mesti keluar dari pulau iblis ini!" katanya dalam hati. Degan itu ia mengambil keputusan. Ia mau bertindak lagi, lalu mendadak mendengar suara OeyYong: "Kau turun! Nanti aku mengantarkanmu!" Ia lantas tunduk, maka ia melihat si nona, dengan pakaian putih seluruhnya, lagi berdiri di bawah pohon. Tanpa bilang apa-apa, ia lompat turun. Ia melihat muka Oey Yong pucat sekali, seperti tidak ada darahnya. Ia terkejut. Hendak ia menanya, tetapi segera ia dapat menguatkan hati.

Oey Yong melihat orang hendak bicara tetapi gagal. Ia menanti sekian lama, tetap ia tidak mendengar suara orang. Ia menghela napas.

"Jalanlah!" katanya.

Dengan berliku-liku, mereka menuju ke timur. Oey Yong lesu dan berduka. Ia baru sembuh, ia perlu beristirahat dan ketenangan hati, siapa tahu ia telah mesti membuat perjalanan jauh dan menghadap peristiwa berat dan gelap ini. Ia pikir tidak dapat ia menyesalkan Kwee Ceng atau mempersalahkan ayahnya, ia juga tidak bisa menyesalkan Kanglam Liok Koay, Ia hanya menyesalkan diri sendiri. Kenapa Thian berbuat begini macam terhadapnya? Apa Thian membenci kepada orang yang hidup terlalu senang?

Tanpa berkata-kata nona ini menunjukkan jalan kepada Kwee Ceng menuju ke tepi laut. Ia percaya, dengan kepergiannya ini, anak muda itu bakal tidak kembali. Maka setiap satu tindaknya, ia merasa hatinya pecah satu potong. Ketika akhirnya mereka keluar dari rimba lebat dengan rotan dan duri itu, pesisir terlihat di depan mata.

Oey Yong merasa dirinya sangat letih, ia mencoba menguatkan hati tetapi tubuhnya terhuyung juga, lekas ia menggunakan tongkatnya, untuk menekan tanah, guna menunjang, hanya sekarang ia merasakan tangannya juga tidak bertenaga, tongkatnya miring, tubuhnya terguling.

Kwee Ceng melihat itu, segera ia mengulur tangan kanannya, guna memegangi si nona, tetapi mendadak ia ingat sakit hati hebat dari guru-gurunya, segera dengan tangan kirinya ia menghajar tangan kanannya. Itulah pukulan ajaran Ciu Pek Thong, yang dapat memecah pikiran, hingga kedua tangannya dapat bergerak sendiri-sendiri. Karena dihajar, tangan kanannya segera membalas. Habis itu, ia berlompat mundur. Dengan sendirinya robohlah Oey Yong.

Oleh karena jatuhnya ini tanpa pertolongan, hati si nona pepat sekali. Ia menyesal, ia penasaran, ia berduka. Juga Kwee Ceng kaget, juga menyesal, penasaran dan berduka. Ia lompat maju, untuk mengangkat tubuh si nona. Ia melihat kelilingan, untuk membawa nona itu ke tempat di mana dia bisa beristirahat. Juga Oey Yong turut melihat ke sekitar mereka.

Di arah timur laut, di mana ada sebuah batu besar, terlihat sepotong kain hijau tertiup angin. Ketika melihat itu Oey Yong lantas berteriak;

"Ayah!" Ia lantas saja mendapat tenaga, ia lari.

Kwee Ceng juga lari bersama, maka itu mereka saling berpegang tangan. Tiba di batu itu, di situ pun kedapatan sepotong kulit muka orang. Oey Yong kenal baik topeng kulit kepunyaan ayahnya, dengan kebingungan ia membungkuk akan memungutnya begitu pun baju hijau itu di mana ada tapak tangan dari darah, tegas nampak bekas telunjuk.

Melihat itu Kwee Ceng berpikir; "Pasti ini tapak Kiu Im Pek-kut Jiauw dari Oey Yok Su, habis dia mencelakai samsuhu, dia menyusut tangannya di sini……" Ia tengah memegang tangan si nona ketika mendadak melepaskannya sambil menyempar terus ia merampas baju hijau itu dan merobeknya. Ketika ia melihat ujung baju itu pecah sedikit, maka ia ingat, juiran itu pastilah yang telah dibawa burung rajawali waktu si nona minta ikan emas istimewa.

Kwee Ceng berdiri diam kapan ia telah mengawasi tapak jari tangan itu, kemudian ia lekas menggulung itu dan mengasih masuk ke dalam sakunya, habis itu tanpa membilang apa-apa, ia lari ke pinggir laut di mana ada sebuah perahu layar, yang tidak ada anak buahnya. Entah ke mana perginya semua budak gagu. Ia tidak berpaling pula pada Oey Yong ketika ia memotong putus dadungnya perahu, ia mengangkat jangkarnya, memasang layar, terus ia berlayar…

Oey Yong dengan bengong mengawasi perahu menuju ke barat. Mulanya ia masih mengharap si anak muda berbalik pikir dan akan kembali, untuk mengajak ia pergi, maka ternyata, habislah pengharapannya. Dengan lekas perahu layar itu seperti terbenam di dalam lautan. Sekarang merasalah ia berada sebatang kara di pulaunya. Engko Cengnya pergi, ayahnya entah bagaimana, entah masih hidup atau telah terbinasa……!

"Yong-jie, Yong-jie!" akhirnya ia berkata pada diri sendiri. "Siang hari masih panjang! Kau tidak dapat berdiri diam saja di pesisir ini! Ingat Yong-jie, jangan kau berpikiran pendek!"

**** 136 ****







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar