Senin, 15 Maret 2021

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 135

Oey Yong bersyukur. Ia menarik tangan si anak muda, ia menyenderkan tubuhnya ke tubuhnya.

"Engko Ceng, apakah kau anggap Tho Hoa To ini bagus?" ia tanya. Ia menunjuk ke barisan pohon yangliu di tepi air. Perlahan suaranya.

"Mirip tempat dewa-dewi," Kwee Ceng menyabut.

Si nona menarik napas. "Ingin aku tinggal hidup di sini, tidak sudi aku di bunuh kau……" bilangnya.

Kwee Ceng mengusap-usap rambut nona itu. "Anak tolol! Mana bisa aku membunuh kau……"

"Bagaimana kalau kau didesak enam gurumu, ibumu dan sekalian sahabatmu? Kau turun tangan juga atau tidak?"

"Biar semua orang di seluruh jagat memusuhi kau, aku tetap akan melindungimu!" berkata si anak muda.

Oey Yong memegang keras tangan orang. "Untukku, kau suka mengorbankan segalanya?" ia bertanya.

Kwee Ceng berdiam, agaknya ia bersangsi. Oey Yong mengangkat kepalanya, mengawasi mata orang. Sinar mata itu menunjukkan roman kedukaan atau ragu.

"Yong-jie," kata si anak muda kemudian. "Aku telah bilang padamu aku suka berdiam di Tho Hoa To untuk menemani kau seumur hidupku, ketika aku mengatakan itu, aku telah mengambil keputusan."

"Bagus!" si nona berseru. "Mulai hari ini, kau tidak akan meninggalkan pulau ini!"

Kwee Ceng heran. "Mulai hari ini?" dia bertanya.

"Ya, mulai hari ini!" berkata si nona. "Aku akan minta ayah pergi ke Yan Ie Lauw untuk membantu pihakmu, aku bersama ayah nanti pergi membunuh Wanyen Lieh guna membalaskan sakit hatimu, habis itu aku bersama ayah pergi ke Mongolia menyambut ibumu! Bahkan, aku akan minta ayah menemui keenam gurumu memohon maaf untukmu. Aku hendak membikin supaya hatimu lega dan tidak ada apa-apa lagi yang harus dipikirkan!"

Kwee Ceng heran. Aneh sekali sikap nona ini. "Yong-jie, apa yang aku bilang, semua itu kata-¬kataku," ia bilang. "Kau baiklah bertetap hati."

Si nona menghela napas. "Urusan di dunia ini banyak yang sukar dibilang pasti," ia berkata. "Ketika dulu kau menerima baik perjodohan putri Mongolia, kau pernah ingat bahwa hari ini kau bakal menyangkal dia. Juga aku sendiri, aku pikir dapat melakukan segala kesesukaku. Sekarang baru aku tahu…… Ah, apa yang kita pikir baik, Thian justru pikir sebaliknya." Kedua matanya si nona menjadi merah, lekas-lekas ia tunduk.

Kwee Ceng pun berdiam, pikirannya bekerja. Ingin ia menemani Oey Yong seumur hidup di pulau Tho Ho To ini, tetapi berat meninggalkan semua urusan di dunia, itu tidak sempurna. Hanya kenapa ia tidak dapat menyebutnya.

"Aku bukannya tidak percaya kau dan hendak memaksa berdiam di sini," si nona berkata pula sesaat kemudian, perlahan, "Hanya…… hanya…… Di hatiku, aku sangat takut……" Ia lantas mendekam di pundak anak muda itu, ia menangis.

Kwee Ceng bengong, ia tidak sangka juga heran. "Kau takut apa, Yong-jie?" ia tanya.

Si nona tidak menjawab, hanya menangis terus. Kwee Ceng menjadi semakin heran. Semenjak mengenal si nona, biar bagaimana hehat pengalaman mereka, belum pernah si nona menangis, dia lebih banyak tertawa, tetapi sekarang, sepulangnya ke pulau ini? Kampung halamannya. Apakah yang takutkan? Bukankah justru bakal segera bertemu ayahnya?

"Apakah kau mengkhawatirkan keselamatan ayahmu?" akhirnya ia bertanya.

Oey Yong menggoyangkan kepala.

"Apakah kau takut, aku meninggalkan Tho Hoa To, lantas aku tidak kembali?"

Oey Yong menggeleng kepala lagi. Dan ini dilakukan terus meski si anak muda menanya hingga empat atau lima kali. Maka berdiamlah mereka sekian lama.

"Engko Ceng," kata si nona kemudian seraya mengangkat kepala mengawasi si anak muda. "Aku takut tetapi tidak dapat mengatakan apa sebabnya …… Kalau aku ingat sikap dan roman gurumu waktu hendak membinasakan aku, aku jadi bingung sekali. Aku khawatir, satu saat kau mendengar perintah gurumu untuk membunuhku…… Maka aku minta kau jangan meninggalkan lagi pulau ini. Kau berjanjilah!"

Kwee Ceng tertawa. "Aku kira urusan besar, tak tahunya urusan begini!" katanya. "Ingatkah kau kejadian dulu di Pakhia ketika keenam guruku mengatakan kau siluman? Ketika itu aku ikut kau pergi, lalu akhirnya tidak terjadi apa-apa. Memang roman keenam guruku bengis tetapi hati mereka baik, maka kalau nanti kau sudah mengenal baik, mereka tentulah akan menyukaimu …… Jiesuhu lihay ilmunya merogoh saku orang, nanti kau boleh belajar padanya. Tentang Citsuhu, ia sangat halus dan sabar……"

Tapi si nona memotong: "Dengan begitu, artinya kau mau meninggalkan pulau ini?"

"Kita meninggalkannya bersama-sama," berkata si anak muda. "Kita sama-sama pergi ke Mongolia menyambut ibuku. Kita bersama-sama membunuh Wanyen Lieh. Lalu bersama-sama juga kita pulang! Bukankah itu bagus?"

Si nona melongo. "Kalau begitu, tidak dapat selamanya kita pulang bersama dan tidak dapat juga selamanya berada bersama," katanya selang sesaat.

Kwee Ceng menjadi heran. "Kenapa begitu?" ia tanya.

"Aku tidak tahu," si nona menggeleng kepala. "Jikalau aku melihat roman toasuhumu, aku dapat menerka sesuatu. Untuk dia, tidak cukup mengutungi kepalaku saja! Dia membenci aku sampai di tulang-tulangnya!"

Kwee Ceng melihat orang bicara sungguh-¬sungguh, nona itu sangat berduka. Ia jadi memikir. Tanpa merasa, ia pun berkhawatir. Ia ingat pula sikap gurunya yang kesatu yang sangat bengis.

"Dia biasa pandai berpikir," katanya di dalam hati, "Kalau sekarang aku tidak turuti dia dan kemudian kekhawatirannya berbukti bagaimana nanti jadinya?" Ia jadi sangat berduka. Tapi ia pun dapat mengambil putusannya. Maka ia berkata:

"Baiklah, aku tidak akan berlalu dari sini!"

Mendengar itu, Oey Yong bengong mengawasi si pemuda, air matanya meleleh dari kedua belah pipinya.

"Yong-jie, kau menghendaki apa lagi?" tanya si pemuda perlahan.

"Aku menghendaki apa lagi?" menyahut si nona. "Aku tidak menghendaki apapun." Lantas sepasang alisnya yang bagus bergerak, dia tertawa. Ia berkata lagi: "Kalau aku menghendaki apa-¬apa, Thian juga tidak bakal meluluskannya!"




Saking gembiranya, di situ dia menari-nari, tangan bajunya yang panjang berseliweran, gelang emasnya berkilauan. Kadang-kadang ia menyambar-¬nyambar pohon bunga dengan bunganya berwarna merah, putih kuning dan ungu, hingga dia mirip seekor kupu-kupu Tiba-tiba ia berlompat naik ke atas pohon, ke pohon yang lain, kembali lagi. Dalam kegembiraannya ia bersilat dengan Yan Siang Hui dan Lok Eng Ciang.

Menyaksikan si nona, Kwee Ceng seperti ngelamun: "Dulu ibu mendongeng bahwa di laut Tang Hay ada sebuah gunung dewa, bahwa di atas gunung itu ada sejumlah dewi. Mustahilkah di dunia ada gunung dewi yang lebih indah daripada pulau Tho Hoa To ini? Mungkinkah benar ada dewi yang melebihi cantiknya Yong-jie?" Ia tersadar ketika mendadak Oey Yong berseru seraya melompat turun, tangannya menggapai seraya dia lari ke depan, nerobos di antara rimba.

Kwee Ceng menyusul. Ia pun khawatir nanti kesasar. Oey Yong lari berliku-liku kemudian berbenti dengan mendadak.

"Apa itu?" tanyanya seraya menunjuk ke depan di mana ada benda bertumpuk.

Kwee Ceng mendahului maju. Itu adalah seekor kuda yang lagi rebah. Bahkan ia mengenali kudanya Han Po Kie, samsuhu atau gurunya yang ke tiga. Ia mengulur tangan memegang perut kuda. Dingin rasanya. Terang kuda telah mati lama. Berbareng heran, Kwee Ceng berduka. Kuda ini pernah turut pergi ke gurun pasir dan dengannya Kwee Ceng kenal sejak ia masih kecil.

"Boleh dibilang ini kuda luar biasa dan kuat, kenapa dia mati di sini?" si anak muda berpikir. "Tentu sekali samsuhu sangat berduka……"

Mengawasi lebih jauh, Kwee Ceng memperhatikan, kuda itu bukan mati rebah melonjor hanya keempat kakinya tertekuk meringkuk. Ia terkejut. Ia lantas ingat kudanya Gochin Baki, yang binasa dihajar Oey Yok Su. Kuda putri itu mati melingkar, mirip dengan kuda ini. Maka dengan tangan kirinya ia mengangkat leher kuda dan dengan tangan kanannya meraba dua kaki depan. Betapa kagetnya, ia mendapatkan tulang-tulang kuda remuk. Ia lantas meraba punggung kuda. Tulang punggung itu juga patah! Ketika ia mengangkat tangannya, ia melihat tangannya berlepotan darah - darah yang sudah berubah menjadi hitam tetapi bau amisnya masih ada. Mungkin sudah tiga empat hari matinya kuda.

Oleh karena penasaran, Kwee Ceng membalikkan tubuh binatang itu, untuk memeriksa. Ia tidak mendapatkan luka luar. Saking heran, ia duduk menjatuhkan diri di tanah, hatinya bekerja: "Mungkinkah ini darah samsuhu? Habis dimana adanya guruku?"

Sekian lama Oey Yong berdiam di samping menyaksikan kelakuan Kwee Ceng, ia pun heran, tetapi ia dapat menenangkan diri. Maka kemudian ia berkata;

"Kau jangan gelisah. Mari kita memeriksa dengan perlahan-lahan……"

Nona ini maju, mementang kedua tangannya membiak pohon-pohon bunga, sembari jalan ia memperhatikan tanah. Kwee Ceng mengikuti, ia juga mengawasi ke tanah, maka terlihat olehnya titik-titik ceceran darah. Saking ketarik dan tegang hatinya, ia sampai lupa jalan yang sesat, ia mendahului si nona, dari perlahan, ia menjadi membuka tindakan lebar. Tidak heran kalau beberapa kali ia kesasar.

Oey Yong berlaku teliti, ia berjalan hingga di gombolan rumput, di pinggir batu karang. Di situ tanda darah sebentar kedapatan sebentar lenyap. Ia memeriksa dan melihat tapak serta bulu kuda.

Tanpa mengenal capai, mereka berjalan terus hingga beberapa lie, sampai di depan sekumpulan pohon bunga dan pepohonan lain di mana ada sebuah kuburan. Melihat itu Oey Yong lari menghampiri.

Ketika dia pertama kali datang ke Tho Hoa To, Kwee Ceng pernah melihat kuburan itu, ia masih mengenalinya. Itu kuburan dari ibunya si nona. Hanya kali ini, kuburan itu tidak utuh seperti dulu. Batu nisannya telah roboh. Ia maju mengangkat. Ia membaca tulisan batu peringatan itu. Ibunya Oey Yong adalah orang she Phang. Terang tulisan itu adalah tuli Oey Yok Su - tulisannya bagus dan tegak.

Oey Yong melihat pintu pekuburan telah terpentang lebar-lebar. Ia merasa pasti bahwa di pulaunya sudah terjadi sesuatu. Tadi pun ketika dari atas pohon ia melihat melingkarnya kuda, hatinya sudah bercekat. Ia tidak lantas bertindak masuk. Lebih dulu memasang mata ke sekitar kuburan. Di kiri kuburan, rumput hijaunya bekas diinjak-injak. Di muka pintu terlihat bekas-bekas senjata beradu. Ia memasang kuping. Ia tidak mendengar apapun. Maka dengan membungkuk, ia masuk.

Kwee Ceng berkhawatir, ia mengikuti masuk. Begitu berada di dalam, muda-mudi ini merasa tegang. Lebih-lebih si pemuda. Bukankah itu kuburan ibunya? Tembok pada gugur atau gugus, bekas terhajar senjata tajam akibat suatu pertempuran dahsyat.

Oey Yong memungut sesuatu ketika mulai bertindak masuk. Kwee Ceng mengenali itulah batang timbangan atau dacin, yang menjadi senjata gurunya keenam, Coan Kim boat. Timbangan itu terbuat dari besi, ukurannya sebesar lengan, tetapi toh orang dapat mematahkannya menjadi dua. Maka berdua mereka saling mengawasi, mulut mereka bungkam, mereka seperti tidak berani membuka mulut. Mereka tahu, cuma ada beberapa gelintir orang yang tenaganya kuat istimewa dan untuk di Tho Hoa To, orang itu hanyalah Oey Yok Su……

Kwee Ceng menyambut dari tangan Oey Yong potongan dacin itu, ia lantas mencari potongan yang lainnya, sembari mencari ia merasakan hatinya tertindih berat sekali. Ia sangsi, ingin ia mencari dapat, ingin ia tidak dapat mencarinya……

Lebih jauh ke dalam, kuburan itu bertambah suram. Kwee Ceng membungkuk, tangannya meraba-raba ke tanah. Mendadak tangannya membentur sesuatu yang keras, ternyata batu timbangan, batu ini dapat dipakai Kim Hoat sebagai senjata rahasia untuk menimpuk. Hatinya berdebar. Ia masukkan gandulan itu ke sakunya, ia maju lebih jauh.

Seketika terkesiap hatinya, Kwee Ceng meraba benda yang dingin tetapi lunak. Ia meraba-¬raba. Akhirnya ia kaget hingga berlompat bangun, ia kena pegang muka orang. Saat melompat, justru – duk ……! Kepalanya membentur langit-langit. Tapi disaat seperti itu, ia melupakan nyerinya. Maka lantas mengeluarkan bahan apinya dan menyalakan. Begitu dapat melihat, ia menjerit, kemudian roboh pingsan! Api di tangannya tidak padam, dengan cahaya api, Oey Yong bisa melihat tegas.

Coan Kim Hoat rebah terlentang menjadi mayat, kedua matanya terbuka besar. Di dadanya menancap potongan yang lain dari dacinnya. Maka sekarang duduknya hal telah menjadi terang.

Oey Yong kaget tetapi ia mencoba menentramkan diri. Dari tangan Kwee Ceng ia mengambil api, dengan itu ia mengasapi hidungnya si anak muda, untuk menyadarkan orang pingsan.

Tidak lama, anak muda itu berbangkis dua kali, lantas ia sadar. Ia membuka matanya mengawasi si pemudi. Kemudian bangun berdiri. Tanpa bilang apapun, ia masuk lebih jauh. Oey Yong mengikuti.

Di ruang dalam, yang merupakan liang kubur asli, nampak kacau. Meja sembahyang pecah ujungnya. Pikulan besi dari Lam Hie Jin nancap di lantai. Di pinggir kiri kamar, rebah melintang tubuh satu orang, ikat kepalanya robek, sepatunya copot. Dengan melihat dari punggung saja sudah dapat dikenali dialah Biauw Ciu Sie-seng Cu Cong si Mahasiswa Tangan Lihay.

Dengan tindakan perlahan, Kwee Ceng menghampiri. Ia membalikkan tubuh jiesuhu, gurunya yang nomor dua. Ia melihat bibir yang tersenyum, tapi sudah dingin, seperti dingin seluruh tubuhnya. Maka anehlah senyuman Kanglam Cit Koay yang kedua ini.

"Jiesuhu, teecu Kwee Ceng datang!" kata si anak muda perlahan. Setelah itu dengan berhati-hati, ia mengangkat tubuh gurunya, kemudian - tingtang! Ia mendengar suara barang jatuh saling susul dari sakunya banyak barang permata, seperti batu kumala, yang berserakan di lantai.

Oey Yong menjumput beberapa potong barang permata itu, untuk diteliti. Segera ia melemparkannya pula, dengan dingin, ia berkata:

"Ini permata mulia yang dikumpulkan ayahku yang disengaja dipakai untuk menemani ibuku!"

Kwee Ceng terkejut. Ia menoleh kepada kekasihnya. Ia menjadi lebih kaget lagi. Di samping suara dingin dan tak sedap dari nona itu, ia melihat sinar mata yang mencorong tajam dan bengis, dari mata yang merah bagaikan darah.

"Apakah kau maksudkan guruku datang ke mari mencuri permata ini?" ia menanya perlahan.

Mata si pemudi menatap akan tetapi dia tidak dapat mundur, dia bahkan mengawasi, hanya sekarang sinarnya berubah. Itulah sinar mata dari putus asa, dari kedukaan.

"Guruku yang kedua seorang laki-laki sejati," kata Kwee Ceng. "Mana mungkin dia mencuri harta ayahmu? Lebih-lebih tak mungkin dia mencuri barang permata di kuburan ibumu ini!"

Oey Yong mendengar nada orang, dari gusar menjadi berduka. Memang juga pikiran Kwee Ceng berubah dengan perlahan-lahan. Ia menyangka si nona menuduh gurunya, seorang ksatria, ia menjadi tidak senang, ia menjadi gusar. Segera setelah itu, ia memikir kenyataan. Bukankah gurunya itu terkenal si tangan lihay, yang sangat pandai mencopet? Bukankah semua permata itu meluruk dari saku gurunya? Bukankah mereka berada di dalam liang kubur di mana harta itu disimpan? Tapi, benarkah gurunya datang ke situ untuk mencuri? Bukankah gurunya laki-laki sejati? Ia menyangsikan gurunya berbuat demikian busuk dan hina. Maka ia menduga sesuatu yang diluar dugaannya. Dalam kesangsian itu, antara kegusaran, kedukaan dan keragu-raguan ia mengepal keras tangannya hingga terdengar suara meretek.

Oey Yong masih mengawasi lalu ia berkata dengan perlahan. "Ketika itu aku melihat air muka gurumu yang nomor satu, aku merasa aneh sekali, aku lantas seperti dapat firasat bahwa di antara kita berdua sulit berakhir dengan baik, yang membahagiakan. Jikalau kau hendak membunuhku, sekarang kau boleh turun tangan. Ibuku ada di sini, maka kau tolong saja mengubur aku di sisinya. Setelah selesai kau mengubur aku, kau lekas angkat kaki dari sini, jangan sampai kau bertemu dengan ayahku……"

Kwee Ceng tidak menyahut, ia mondar-¬mandir, tindakannya lebar dan cepat, napasnya pun memburu.

Oey Yong berdiam. Ia mengawasi gambar lukisan ibunya. Ia melihat sesuatu di situ, ia lantas menghampiri. Nyata itulah dua senjata rahasia yang nancap. Ia menurunkannya. Kwee Ceng melihat senjata itu, ia mengenali tok¬leng, atau lengkak rahasia, dari Kwa Tin Ok.

Oey Yong terus berdiam, tangannya menyingkap toh-wie di belakang meja sembahyang. Di situ ada pernahnya peti mati ibunya. Ketika ia menghampiri, mendadak ia menghela napas panjang. Di belakang peti mati ibunya rebah dua mayat dari kakak beradik, atau engko dan adik. Han Po Kie dan Han Siauw Eng. Siauw Eng itu terang telah membunuh diri, sebab tangannya masih memegang gagang pedang. Tubuh Po Kie sendiri menindih peti mati. Hanya yang hebat, batok kepalanya meninggalkan liang bekas lima jari.

Kwee Ceng telah melihat kedua mayat itu. Ia sekarang bisa berlaku tenang. Ia memondong turun tubuh gurunya yang ketiga itu, seorang diri ia berkata:

"Aku melihat sendiri kematian Bwee Tiauw Hong. Di kolong langit ini, orang yang pandai Kiu Im Pek-kut Jiauw, siapa lagi kecuali Oey Yok Su?" Ia mengambil pedang Siauw Eng, terus ia bertindak keluar, ketika ia melewati Oey Yong, ia tidak berpaling lagi pada si nona.

Nona Oey merasa hatinya dingin secara tiba-tiba. ia terdiam. Saat itu, ruangan menjadi gelap, sebab apinya padam. Ia kaget, hatinya berdebaran. Itulah kuburan yang ia kenal baik, tetapi di situ sekarang rebah empat mayat dalam caranya yang berlainan, yang mengerikan, maka ia lantas lari keluar. Satu kali ia terpeleset, hampir roboh. Setibanya di luar baru ia ingat bahwa ia kesandung tubuh Coan Kim Hoat. Sekarang ia melihat batu nisan yang roboh. Ia hendak menutup pintu kuburan ketika ia ingat satu hal. Ia lantas berkata pada dirinya sendiri: "Kalau ayah yang membunuh keempat anggota Kanglam Cit Koay ini, kenapa pintu ini tidak dikunci? Ayah sangat mencintai ibu, biarpun ia sangat kesusu, tidak mungkin membiarkan pintu tinggal terpentang?" Maka ia menjadi ragu-ragu. Ia menjadi ingat pula: "Cara bagaimana ayah dapat membiarkan mayat keempat orang ini menemani ibu? Tidak mungkin! Mungkinkah ayah sendiri yang nampak sesuatu yang tidak dinyana?"

Lantas Oey Yong membetulkan batu nisan itu, ia mengunci pintunya, dengan mendorong batu nisan ke kanan tiga kali dan ke kiri tiga kali juga, habis itu ia lari ke arah rumahnya. Ia dapat menyusul Kwee Ceng meskipun si anak muda telah keluar lebih dulu beberapa puluh tindak. Anak muda itu berputaran karena kesasar. Kapan dia melihat si nona, dia lantas mengikuti. Mereka berjalan tanpa membuka suara, mereka melintasi pengempang, sampai di rumah peranti bersemedi dari Oey Yok Su. Hanya sekarang rumah itu roboh tidak karuan, di bagian depan terlihat tiang-tiang dan penglari yang patah.

Oey Yong kaget sampai ia menjerit-jerit. "Ayah! Ayah!" Dia lari ke dalam rumahnya. Di situ kursi meja pada terbalik dan segala perabot tulis, buku semua berserakan di lantai. Di situ tidak ada sekalipun bayangan Oey Yok Su.

Nona ini berotak tajam, dia cerdas dan lekas berpikir, tetapi kali ini pikirannya kacau. Ia memegang meja tulis ayahnya, tubuhnya bergoyang-goyang mau jatuh. Sampai sekian lama, baru ia bisa menetapkan hati. Ia lari ke samping, ke kamar budak-budaknya yang gagu, sia-sia belaka ia mencari, tidak dapat menemukan seorang budakpun. Di dapur sunyi senyap. Rupanya, meski orang tidak mati, semua telah pergi entah ke mana. Rupanya di pulau, kecuali mereka berdua, tidak ada orang lain lagi……

Dengan tindakan perlahan Oey Yong menuju ke kamar tulis, di sana Kwee Ceng berdiri menjublak, matanya mengawasi lerus ke depan.

"Engko Ceng, lekas kau menangis!" berkata si nona. "Kau menangis dulu, baru kita bicara!"

Kwee Ceng tidak menyahut, hanya dengan mata mendelik ia mengawasi si nona. Ia sangat mencintai keenam gurunya, sekarang ia mendapat pukulan begini hebat, kedukaannya sampai di puncaknya hingga tak dapat ia menangis.

Oey Yong kaget. "Engko Ceng!" katanya. Cuma sebegitu ia bisa bilang, lantas berdiam.

Keduanya berdiri saling mengawasi. Akhirnya si anak muda ngoceh seorang diri "Tidak dapat aku membunuh Yong-jie, tidak dapat aku membunuh Yong-jie!"

Oey Yong lantas berkata: "Gurumu telah mati, kau menangislah!"

"Tidak, aku tidak menangis!" kata Kwee Ceng seorang diri.

Kembali keduanya berdiam. Sunyi kamar tulis itu. Cuma di kejauhan terdengar samar-samar suara berdeburnya gelombang.

Oey Yong berpikir keras, ia mengingat segalanya, tetapi tetap ia berdiam.

"Aku mesti mengubur dulu guru-guruku……" Kemudian terdengar Kwee Ceng mengoceh lagi.

"Benar, semua guru mesti dikubur lebih dulu!" menimpali Oey Yong. Bahkan ia mendahului berjalan kembali ke kuburan ibunya.

Tanpa bersuara, Kwee Ceng mengikuti, selagi si nona hendak mendorong batu nisan, mendadak ia lompat melewati, terus menendang batu nisan. Ia menggunakan tenaga besar tetapi batu besar dan berat, ia tidak dapat menggempur roboh, sebaliknya, kakinya berdarah, hanya ia tidak merasakan itu. Bagaikan kalap, ia menyerang kalang kabutan dengan pedangnya: menikam dan menebas, dan tangan kirinya juga menghajar, hingga batu gugur dan gugusannya terbang berhamburan. Pedangnya tak tahan, pedang itu patah. Ia menjadi panas, maka ia terus menyerang dengan tangannya. Kali ini ia berhasil membikin batu patah, hingga terlihat sebatang besi. Ia pegang besi itu, ia menggoyang-goyang keras. Dengan satu suara nyaring, besi itu membuat pintu kuburan terbuka sendiri. Ia melengak, ia berkata seorang diri;

"Kecuali Oey Yok Su, siapa dapat membikin pintu rahasia ini dan siapa dapat memancing semua guruku masuk ke dalam kuburan hantu ini?" Lalu dia berdongak dan berseru nyaring, terus ia melemparkan pedang buntungnya, untuk lari masuk ke dalam kuburan itu!

Oey Yong mengawasi pedang buntung dan batu nisan yang patah, yang terkena darah si anak muda, ia bengong, hatinya bekerja. Ia melihat kebencian hebat dari Kwee Ceng. Ia berpikir; "Jikalau dia melampiaskan hawa marahnya dengan merusak peti ibuku, lebih dulu aku akan membunuh diri dengan membenturkan kepalaku ke peti……" Lantas ia hendak menyusul pemuda itu ketika melihat Kwee Ceng berjalan keluar dengan memondong tubuh Coan Kim Hoat, setelah meletakkan tubuh itu, dia masuk lagi, akan mengambil mayat Cu Cong. Perbuatan itu dilanjutkan kepada mayat Han Po Kie dan Han Siauw Eng.

Dengan mata mendelong, Oey Yong mengawasi si anak muda pada air muka siapa kentara sekali cintanya kepada guru-gurunya. Hatinya menjadi dingin. Ia berkata dalam hati: "Nyatalah dia mencintai gurunya melebihi cintanya kepadaku. Ah, mesti aku cari ayahku, mesti aku cari ayahku……"

Kwee Ceng membawa mayat keempat gurunya ke dalam rimba, terpisah dari kuburan ibunya Oey Yong beberapa ratus tindak, di situ barulah menggali lobang. Ia menggali dengan patahan pedang, hebat ia menggunakan tenaganya. Sekian lama bekerja, mendadak pedangnya bersuara keras - pedang itu patah!

Justru itu ia merasakan dadanya sesak, hawa panas naik, ketika ia mementang mulut, ia muntahkan darah segar hingga dua kali, tetapi ia bekerja terus, dengan kedua tangannya membongkar tanah,

Melihat demikian, Oey Yong lari mengambil dua buah sekop peranti bujang gagunya, yang satu ia kasihkan pada si anak muda, yang lain ia pakai sendiri, membantu menyingkirkan tanah.

Kwee Ceng merampas sekop di tangan si nona, ia patahkan itu kemudian dengan sekop yang satunya bekerja sendiri, ia menggali terus.

Oey Yong tahu artinya perbuatan pemuda itu, hatinya sakit, tetapi ia tidak menangis, ia lantas duduk mengawasi saja.

Kwee Ceng bekerja luar biasa. Ia berhasil menggali dua buah liang besar dan satu kecil. Ke lubang yang kecil ia pondong tubuh Siauw Eng, diletakkan dengan hati-hati. Ia lantas berlutut, paykui beberapa kali. Ia mengawasi muka guru wanita itu, guru yang ketujuh, sesudah itu baru ia menguruknya. Setelah itu mengangkat tubuh Cu Cong dimasukkan ke dalam liang kubur yang besar. Mendadak ia berpikir: "Permata mulia kotor dari Oey Yok Su mendapat menemani jiesuhu?" Maka itu, ia merogoh saku gurunya, mengeluarkan sisa batu permatanya. Paling akhir ia menarik keluar sehelai kertas putih, yang ada suratnya. Ia membeber itu dan membaca:

"Yang rendah dari Kanglam, Kwa Tin Ok, Cu Cong, Han Po Kie, Lam Hie Jin, Coan Kim Hoat dan Han Siauw Eng, dengan ini menghaturkan beritahu kepada cianpwe pemilik Tho Hoa To bahwa mereka telah mendengar kabar bahwa Coan Cin Cit Cu, dengan tidak menaksir tenaganya sendiri, hendak melakukan sesuatu terhadap Tho Hoa To. Mengenai itu, menyesal kami tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengakurkannya, hanya mengingat bahwa cianpwee adalah pantarannya Ong Tiong Yang Cinjin, kami memikir mana dapat cianpwee malayani anak-anak muda. Di jaman dulu Lin Siang Jie telah mengalah terhadap Liam Po, peristiwa itu menjadi buah tutur berupa pujian. Karena siapa gagah, dadanya lapang bagaikan lautan, dia tentu tidak menghiraukan segala perbuatan antara ayam dan kutu. Kalau nanti kejadian Coan Cin Cit Cu datang ke Tho Hoa To, untuk nengakui kesalahannya sendiri, pastilah semua orang gagah di kolong langit ini akan mengagumi kepribadian cianpwee. Tidakkah itu bagus?"







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar