Tiauw Hong buta, tidak tahu ia di dekatnya ada sebuah pohon kayu besar. Ia pun percaya betul kepandaiannya, tidak suka ia mengangkat kaki. Sebelah tangannya ia masuki ke dalam sakunya.
“Baiklah, hari ini nyonya besarmu menyerah!” katanya kemudian. “Kau ambillah ini!”
“Kau lemparkan!” kata Auwyang Kongcu yang licik.
“Kau sambutlah!” seru Bwee Tiauw Hong, yang tangannya terayun.
Menyusul itu Auwyang Kongcu roboh.
Liam Cu mendengar suara sar ser, lantas dua orang wanita disampingnya turut roboh juga. Hanya Auwyang Kongcu tetap bergulingan, di waktu mana ia dapat dengar robohnya lagi dua wanitanya. Ia berlompat bangun dengan hatinya gentar, tubuhnya mandi keringat dingin. Hebat senjata rahasia musuh, yang juga membikin ia menjadi sangat gusar.
“Perempuan siluman!” dia berteriak seraya mundur, “Hendak aku membikin kau hidup tidak, mati pun tidak!”
Bwee Tiauw Hong menyerang dengan “bue¬heng-teng”, yaitu paku rahasia yang seperti tidak tampak wujudnya. Ia kagum mendapatkan musuh dapat menolong diri. Tentu saja, hatinya pun cemas.
Auwyang Kongcu mengawasi tajam kedua tangan orang, ia mau menunggu asal cambuk wanita itu kendor, ia akan menitahkan ularnya menyerbu. Di sampingnya sudah ada bangkai beberpaa puluh ularnya itu. Tapi ia mempunyai ribuan, laksaan, mana orang bisa keluar dari kurungan? Cuma, karena jeri pada cambuk perak lawannya, si pemuda juga tidak berani datang dekat.
Satu jam orang seperti saling berdiam, rembulan mulai doyong ke barat.
Ini hebat untuk Tiauw Hong. Mana ia mesti putar cambuknya, mana ia mesti memasang kuping. Dengan terpaksa, kalangan cambuknya itu menjadi menciut.
Senang Auwyang Kongcu menyaksikan itu. Ia perintahkan ularnya merangsak maju. Ia hanya khawatir orang menjadi nekat dan merusak kitabnya. Ia lantas bersiap sedia, asal Tiauw Hong mulai merobek, ia hendak merampasnya.
Tiauw Hong meraba ke dalam sakunya, kepada kitabnya, wajahnya berubah pucat.
Auwyang Kongcu tidak tahu bahwa musuhnya ini telah berkata di dalam hatinya: “Sungguh aku tidak sangka, selagi sakit hatiku belum terbalas, aku mesti terbinasa di sini….”
“Baiklah, hari ini nyonya besarmu menyerah!” katanya kemudian. “Kau ambillah ini!”
“Kau lemparkan!” kata Auwyang Kongcu yang licik.
“Kau sambutlah!” seru Bwee Tiauw Hong, yang tangannya terayun.
Menyusul itu Auwyang Kongcu roboh.
Liam Cu mendengar suara sar ser, lantas dua orang wanita disampingnya turut roboh juga. Hanya Auwyang Kongcu tetap bergulingan, di waktu mana ia dapat dengar robohnya lagi dua wanitanya. Ia berlompat bangun dengan hatinya gentar, tubuhnya mandi keringat dingin. Hebat senjata rahasia musuh, yang juga membikin ia menjadi sangat gusar.
“Perempuan siluman!” dia berteriak seraya mundur, “Hendak aku membikin kau hidup tidak, mati pun tidak!”
Bwee Tiauw Hong menyerang dengan “bue¬heng-teng”, yaitu paku rahasia yang seperti tidak tampak wujudnya. Ia kagum mendapatkan musuh dapat menolong diri. Tentu saja, hatinya pun cemas.
Auwyang Kongcu mengawasi tajam kedua tangan orang, ia mau menunggu asal cambuk wanita itu kendor, ia akan menitahkan ularnya menyerbu. Di sampingnya sudah ada bangkai beberpaa puluh ularnya itu. Tapi ia mempunyai ribuan, laksaan, mana orang bisa keluar dari kurungan? Cuma, karena jeri pada cambuk perak lawannya, si pemuda juga tidak berani datang dekat.
Satu jam orang seperti saling berdiam, rembulan mulai doyong ke barat.
Ini hebat untuk Tiauw Hong. Mana ia mesti putar cambuknya, mana ia mesti memasang kuping. Dengan terpaksa, kalangan cambuknya itu menjadi menciut.
Senang Auwyang Kongcu menyaksikan itu. Ia perintahkan ularnya merangsak maju. Ia hanya khawatir orang menjadi nekat dan merusak kitabnya. Ia lantas bersiap sedia, asal Tiauw Hong mulai merobek, ia hendak merampasnya.
Tiauw Hong meraba ke dalam sakunya, kepada kitabnya, wajahnya berubah pucat.
Auwyang Kongcu tidak tahu bahwa musuhnya ini telah berkata di dalam hatinya: “Sungguh aku tidak sangka, selagi sakit hatiku belum terbalas, aku mesti terbinasa di sini….”
Tepat tengah wanita ini berpikir keras, kupingnya mendengar suara seperti bunyi burung hong di tengah udara, atau suara seperti ditabuhnya batu kumala. Menyusul beberapa suara itu, terdengarlah seruling yang halus dan merdu.
Kedua pihak, yang “tengah” bertempur, menjadi terkejut. Auwyang Kongcu yang mengangkat kepalanya untuk melihat, mendapatkan orang yang tadi, mengenakan baju hijau, lagi bercokol di atas pohon. Dialah yang lagi meniup seruling itu.
Bukan main herannya pemuda ini. Ia tahu baik lihaynya matanya tetapi toh kali ini ia gagal. Tak tahu kapan si baju hijau itu berada di atas pohon. Pula aneh, orang itu duduk dengan tenang sekali selagi pohon itu bergoyang-goyang. Ia lihay ilmunya ringan tubuh tetapi tidak nanti ia dapat menyamai orang itu. Ia sampai mau menerka hantu…..
Seruling masih berbunyi terus. Hati Auwyang Kongcu goncang, tetapi wajahnya tersenyum. Ia lantas merasakan tubuhnya panas, dengan sendirinya ia seperti hendak menari-nari. Baru tangan dan kakinya bergerak, ia kaget sendiri, lekas-lekas ia menetapkan hatinya. Ia sekarang mendapatkan ular-¬ularnya pada mendekati bawah pohon itu, kepalanya diangkat tinggi-tinggi, bergerak-gerak mengikuti irama seruling.
Hampir di waktu itu, si penggembala ular, tiga pria itu, bersama-sama belasan wanita serba putih, sudah berada di bawah pohon, dimana mereka itu menari-nari. Hebat caranya mereka menari, sebab selanjutnya mereka bukan cuma menari, mereka merobek-robek pakaian mereka dan mencakari muka mereka, toh mereka pada tertawa. Mereka menari bagaikan kalap, tak lagi merasakan sakit.
Auwyang Kongcu kaget bukan main. Tahulah ia bahwa telah bertemu musuh yang tangguh. Ia lantas mengeluarkan enam biji senjata rahasianya, torak perak yang beracun, dengan sekuat tenaga menyerang orang itu di tiga juruan: kepala, dada dan perut. Dalam hal senjata rahasia, ia adalah satu ahli, belum pernah ia gagal. Tapi aneh kali ini, toraknya itu disampok ujung seruling dan jatuh, serulingnya tak pernah terpisah dari mulutnya orang itu.
Atau dilain pihak saat pemuda ini membeber kipasnya, ia pun menari-nari. Dia kaget bukan main, ia mencoba untuk menguasai dirinya. Dia menahan gerakan tangan dan kakinya. Katanya itu dalam hati: “Lekas robek baju, sumpal kupingmu, jangan dengar lagi serulingnya!”
Hanya luar biasa suara seruling itu, telinga telah disumbat tapi suaranya masih terdengar. Maka pemuda itu kaget dan khawatir sekali. Baru sekarang ia tahu takut. Ia bermandikan keringat dingin.
Bwee Tiauw Hong sendiri duduk bercokol di tanah, kepalanya dikasih tunduk. Terang ia tengah bersemadhi, untuk menguasi dirinya.
Beberapa perempuan dari Auwyang Kongcu itu telah roboh di tanah, tubuhnya bergulingan. Mereka telah merobek pakaian. Liam Cu tengah tertotok jalan darahnya, tidak bisa ia menggerakkan kaki tangannya, tetapi mendengar suara seruling itu, hatinya goncang. Ia sekarang rebah di tanah, hatinya tidak karuan rasa.
Auwyang Kongcu menderita hebat. Kedua belah pipinya menjadi merah, kepalanya dirasakan panas sekali, lidah dan tenggorokannya kering. Tapi ia masih ingat untuk membela diri. Maka ia gigit lidahnya, ia merasakan sakit, gangguan seruling itu menjadi berkurang sendirinya. Lekas-lekas ia bergerak, lompat ke Liam Cu, tubuh siapa ia pondong, untuk dibawa lari. Sebentar saja ia sudah berada jauh beberapa lie, di mana suara seruling tadi tidak terdengar pula. Di sini ia merasa hatinya lega tetapi tenaganya habis, tubuhnya basah kuyup dengan keringat, ia seperti sakit berat. Tapi ia menguatkan hati, mencoba lari terus. Supaya tak usah berhenti di tengah jalan, ia bebaskan totokan tubuh Liam Cu, menyuruh si nona turut lari masuk ke dalam kota Souwciu.
Kedua pihak, yang “tengah” bertempur, menjadi terkejut. Auwyang Kongcu yang mengangkat kepalanya untuk melihat, mendapatkan orang yang tadi, mengenakan baju hijau, lagi bercokol di atas pohon. Dialah yang lagi meniup seruling itu.
Bukan main herannya pemuda ini. Ia tahu baik lihaynya matanya tetapi toh kali ini ia gagal. Tak tahu kapan si baju hijau itu berada di atas pohon. Pula aneh, orang itu duduk dengan tenang sekali selagi pohon itu bergoyang-goyang. Ia lihay ilmunya ringan tubuh tetapi tidak nanti ia dapat menyamai orang itu. Ia sampai mau menerka hantu…..
Seruling masih berbunyi terus. Hati Auwyang Kongcu goncang, tetapi wajahnya tersenyum. Ia lantas merasakan tubuhnya panas, dengan sendirinya ia seperti hendak menari-nari. Baru tangan dan kakinya bergerak, ia kaget sendiri, lekas-lekas ia menetapkan hatinya. Ia sekarang mendapatkan ular-¬ularnya pada mendekati bawah pohon itu, kepalanya diangkat tinggi-tinggi, bergerak-gerak mengikuti irama seruling.
Hampir di waktu itu, si penggembala ular, tiga pria itu, bersama-sama belasan wanita serba putih, sudah berada di bawah pohon, dimana mereka itu menari-nari. Hebat caranya mereka menari, sebab selanjutnya mereka bukan cuma menari, mereka merobek-robek pakaian mereka dan mencakari muka mereka, toh mereka pada tertawa. Mereka menari bagaikan kalap, tak lagi merasakan sakit.
Auwyang Kongcu kaget bukan main. Tahulah ia bahwa telah bertemu musuh yang tangguh. Ia lantas mengeluarkan enam biji senjata rahasianya, torak perak yang beracun, dengan sekuat tenaga menyerang orang itu di tiga juruan: kepala, dada dan perut. Dalam hal senjata rahasia, ia adalah satu ahli, belum pernah ia gagal. Tapi aneh kali ini, toraknya itu disampok ujung seruling dan jatuh, serulingnya tak pernah terpisah dari mulutnya orang itu.
Atau dilain pihak saat pemuda ini membeber kipasnya, ia pun menari-nari. Dia kaget bukan main, ia mencoba untuk menguasai dirinya. Dia menahan gerakan tangan dan kakinya. Katanya itu dalam hati: “Lekas robek baju, sumpal kupingmu, jangan dengar lagi serulingnya!”
Hanya luar biasa suara seruling itu, telinga telah disumbat tapi suaranya masih terdengar. Maka pemuda itu kaget dan khawatir sekali. Baru sekarang ia tahu takut. Ia bermandikan keringat dingin.
Bwee Tiauw Hong sendiri duduk bercokol di tanah, kepalanya dikasih tunduk. Terang ia tengah bersemadhi, untuk menguasi dirinya.
Beberapa perempuan dari Auwyang Kongcu itu telah roboh di tanah, tubuhnya bergulingan. Mereka telah merobek pakaian. Liam Cu tengah tertotok jalan darahnya, tidak bisa ia menggerakkan kaki tangannya, tetapi mendengar suara seruling itu, hatinya goncang. Ia sekarang rebah di tanah, hatinya tidak karuan rasa.
Auwyang Kongcu menderita hebat. Kedua belah pipinya menjadi merah, kepalanya dirasakan panas sekali, lidah dan tenggorokannya kering. Tapi ia masih ingat untuk membela diri. Maka ia gigit lidahnya, ia merasakan sakit, gangguan seruling itu menjadi berkurang sendirinya. Lekas-lekas ia bergerak, lompat ke Liam Cu, tubuh siapa ia pondong, untuk dibawa lari. Sebentar saja ia sudah berada jauh beberapa lie, di mana suara seruling tadi tidak terdengar pula. Di sini ia merasa hatinya lega tetapi tenaganya habis, tubuhnya basah kuyup dengan keringat, ia seperti sakit berat. Tapi ia menguatkan hati, mencoba lari terus. Supaya tak usah berhenti di tengah jalan, ia bebaskan totokan tubuh Liam Cu, menyuruh si nona turut lari masuk ke dalam kota Souwciu.
**** 054 ****
OBJEK WISATA MANCA NEGARA
===============================



Tidak ada komentar:
Posting Komentar