Kamis, 29 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 052

“Tentu mereka sudah berhasil,” pikir Kwee Ceng berdua.

Tidak berapa lama, beberapa perahu datang mendekati perahu besar, dari dalam situ terdengar laporan: “Semua musuh sudah musnah, kepala perangnya sudah tertawan!”

Koan Eng girang sekali, dia pergi ke kepala perahu. Dia berseru: “Saudara-saudara, bercapai lelahlah sedikit lagi! Silahkan kamu membekuk utusan negara Kim!”

Pembawa kabar itu bersorak, mereka lantas berlalu pula, untuk menyampaikan titah itu. Habis itu, terdengar suara terompet dari pelbagai perahu kecil, semua perahu memasang layar, menuju ke barat, bertiup keras angin timur.

Perahu besar Koan Eng, yang tadinya berada di belakang, sekarang maju mendahului yang lain-lain, pesat sekali lajunya.

Kwee Ceng dan Oey Yong berdiam terus, mata mereka mengawasi ke depan. Tidak peduli angin keras mendampar-dampar punggung mereka, mereka gembira sekali. Coba tidak lagi sembunyi, tentulah si nona sudah bernyanyi. Pula menarik akan melihat perahu-perahu kecil mencoba melombai perahu besar itu.

Berlayar kira-kira satu jam, di depan mulai tampak cahaya terang. Maka dua buah perahu kecil terlihat melesat mendatangi, lalu seorang dikepala salah satu perahu, dengan tangan memegang bendera merah berteriak nyaring: “Kita sudah menemui perahu-¬perahu utusan negara Kim! Hoo Cecu sudah mulai menyerang!”

“Bagus!” Koan Eng menyahut.

Lekas sekali ada datang sebuah perahu lain, seorang memberi laporan: “Kaki tangan negara Kim itu lihay, Hoo Cecu telah terluka! Kedua cecu Pheng dan Tang tengah mengepung mereka!”

Kapan perahu itu sudah datang dekat, dua orang memanggul Hoo Cecu ynag terluka naik di perahu besar. Selagi Koan Eng hendak mengobati cecu itu, sudah lantas datang beberapa perahu lagi, yang membawa kedua cecu Pheng dan Tang yang tadi disebutkan, telah terluka pula. Pula dilaporkan yang, “Kwee Tauwnia dari puncak Piauw Biauw Hong telah kena ditombak mati utusan negara Kim, mayatnya kecemplung ke telaga.”

Mendengar itu Liok Koan Eng jadi gusar sekali. “Anjing Kim itu demikian galak, nanti aku sendiri pergi membinasakan dia!” ia berseru.

Kwee Ceng dan Oey Yong sesalkan kegalakan Wanyen Kang itu, yang membunuh bangsanya, dilain pihak, mereka khawatir kebinasaan pangeran itu, yang tentu tidak snaggup melayani kawanan perampok yang besar jumlahnya itu, hingga kalau dia mati, bagaimana jadinya dengan Bok Liam Cu

“Kita tolong dia atau jangan?” Oey Yong berbisik.

“Kita tolong dia tetapi dia mesti dibikin insyaf dan menyesal,” sahut anak muda ini.

Oey Yong mengangguk.

Waktu itu Koan Eng sudah membawa sebuah golok yang tajam di dua sisinya, dia berlompat ke sebuah perahu kecil. “Lekas!” dia berseru.

“Mari kita rampas itu perahu kecil di sampingnya!” Oey Yong mengajak kawannya.

Disaat keduanya hendak lompat, tiba-tiba tempik sorak riuh kawanan perampok, kemudian tampak perahu-perahu rombongan utusan Kim itu pada karam. Rupanya perahu mereka telah dipahat bolong dasarnya. Kemudian, dengan bendera merahnya dikibar-kibarkan, dua perahu datang melapor: “Anjing Kim itu kecemplung air. Dia sudah dapat dibekuk!”

Koan Eng girang, dia lompat kembali ke perahu besar.

Tidak lama, di antara berisiknya terompet, sejumlah perahu kecil datang membawa orang-orang tawanan mereka ialah si utusan Kim, sekalian pahlawan dan pengiringnya, semua sudah lantas digusur naik ke perahu besar.

Kwee Ceng dan Oey Yong mendapatkan Wanyen Kang dibelebat kaki tangannya, matanya meram saja, rupanya ia telah kena tenggak banyak air telaga.

Kebetulan saat itu sang fajar telah tiba, seluruh telaga mulai terang tertojohkan matahari dari timur, air telaga bersinaran, memain seperti berlugat-legotnya ular-ular emas.

Liok Koan Eng telah memberikan pengumumannya; “Semua cecu berkumpul di Kwie-in-chung untuk berjamu! Semua tauwnia pulang ke markas, untuk menanti hadiah!”

Kaum perampok bersorak-sorai, lantas tampak mereka berpencaran, lenyap di kejauhan. Dimuka telaga terlihat burung-burung melayang-layang, pula terlihat layar-layar putih. Segala apa tenang sekali, hingga orang tidak nanti menyangka bahwa baru saja dilakukan pertempuran mati hidup….

Kwee Ceng berdua menanti orang sudah pada ke darat, baru dengan diam-diam mereka pun pulang, untuk berpura-pura tidur.

Beberapa kali dua bujang pelayannya datang ke pintu kamar, mereka ini menyangka tetamunya sedang tidur nyenyak bekas letih pesiar kemarin, mereka tidak berani mengasih bangun.

Lewat lagi sesaat barulah Kwee Ceng berdua membuka pintu. Lantas mereka diberi selamat pagi oleh kedua pelayannya, kemudian cepat menyediakan sarapan pagi seraya memberitahukan bahwa chung-cu menanti di kamar tulis.

Keduanya menangsal perut sekedarnya, kemudian mereka pergi ke kamar tulis, di mana Liok Chung-cu duduk di pembaringan, menyambut sambil tertawa; “Angin besar di telaga, semalam gelombang mendampar-dampar gili-gili mengganggu orang tidur! Apakah semalam jiwi dapat tidur nyenyak?”

Kwee Ceng jujur, pertanyaan itu membuat ia bungkam, tetapi Oey Yong menyahut: “Tadi malam aku mendengar suara terompet kulit keong, rupanya paderi atau imam tengah membaca doa.”

Tuan rumah tertawa. Lantas ia mengatakan ingin memperlihatkan kumpulan gambar lukisan kepada kedua tetamunya.

“Tentu suka sekali kami melihat,” berkata Oey Yong. “Pasti lukisan-lukisan yang sangat indah.”

Liok Chung-cu menyuruh kacungnya mengambil gambar, maka sebentar kemudian Oey Yong sudah memandang menikmatinya.

Selagi hatinya sangat ketarik, mendadak Oey Yong mendengar bentakan-bentakan disusul berlariannya beberapa orang, seperti lari dikejar beberapa orang. Satu kali terdengar nyata bentakan: “Kalau sudah masuk ke dalam Kwie-in-chung, untuk kabur dari sini lebih sukar daripada mendaki langit!”




Diam-diam Oey Yong melirik tuan rumah, ia mendapat kenyataan orang ini tenang seperti biasa, bagaikan tidak mendengar apa-apa, bahkan ia menanya, dari empat sastrawan besar di jamannya itu, tulisan siapa yang tetamunya paling digemari.

Selagi Oey Yong hendak memberikan jawaban, tiba-tiba pintu kamar ada yang tabrak, seseorang nerobos masuk, pakaiannya basah kuyup. Ia lantas mengenali Wanyen Kang, maka ia tarik Kwee Ceng seraya membisiki: “Lihat gambar, jangan pedulikan dia…”

Keduanya segera tunduk, terus mengawasi gambar-gambar lukisan serta pelbagai tulisan. Tuan rumah mengawasi orang yang nerobos masuk itu.

Orang itu memang Wanyen Kang adanya. Dia tertawan karena ia kecemplung dan meminum banyak air. Tempo dia mendusin, dia mendapatkan kaki tangannya terbelenggu, dan Liok Koan Eng hendak memeriksa dia. Segera dia mengerahkan tenaga, sekali berontak, membuat belenggunya pada putus. Orang semua kaget, lantas mereka bergerak untuk menangkap. Dia membuka kedua tangannya, dua orang yang terdekat terpelanting roboh. Dia terus nerobos, untuk lari. Tapi Kwie-in-chung diatur menurut kedudukan patkwa, siapa tidak ketahui itu, jangan harap ia dapat lolos. Demikian dia lari tanpa tujuan sambil dikejar-kejar, sampai ia menabrak justru pintu kamar tulis.

Liok Koan Eng tidak khawatir orang akan lolos, tetapi melihat orang tawanan masuk ke kamar ayahnya, khawatir ayahnya nanti diserang, dia lompat untuk menghalang di depan ayahnya. Di muka pintu segera terlihat sejumlah cecu berdiri menghalang.

Dalam kesusu dan bingung seperti itu, Wanyen Kang tidak dapat memperhatikan Oey Yong berdua, dia menuding Liok Koan Eng dan menegor: “Perampok sangat jahat, kau sudah menggunakan akal busuk membocorkan perahu! Tidakkah kamu khawatir ditertawakan kaum kangouw?!”

Koan Eng tertawa lebar. “Kau putra raja Kim, perlu apa kau menyebut-nyebut dua huruf kangouw itu?” ia membaliki.

“Selama di Pakhia aku telah mendengar nama besar kaum kangouw di Selatan,” berkata Wanyen Kang berani, “Buktinya – hm – ternyata hari ini kamu hanya….”

“Hanya apa?!” Koan Eng memotong.

“Hanya kamu kaum hina dina yang pandai mengandalkan orang banyak!” sahut pangeran muda iru.

Koan Eng gusar sekali dihina demikian. Ia muda tetapi kepala untuk kaum Rimba Persilatan di Kanglam. Ia kata: “Kau ingin bertempur satu sama satu, baru kau mampus tidak menyesal?”

Inilah jawaban yang diharap Wanyen Kang. Memang ia sengaja memancing amarah orang. Maka ia kata; “Kalau orang Kwie-in-chung ada yang sanggup mengalahkan aku, aku akan mandah dibelenggu, tidak nanti aku membilang suatu apa. Siapa yang hendak memberikan pelajaran kepadaku?!” Ia pun bersikap temberang, matanya menyapu semua orang, kedua tangannya digendong di belakang.

Kata-kata tersebut itu membangkitkan amarah Cio Cecu dari puncak Bok Lie Hong, juga aseran tabiatnya, maka ia lantas majukan dirinya, malah segera dia menyerang dengan kedua tangannya.

Wanyen Kang berkelit, membikin serangan jatuh di tempat kosong, berbareng dengan itu, kedua tangannya bekerja. Tangan kanan menyambar ke baju di punggung, tangan kiri membantui, maka tubuh cecu itu lantas terangkat, terus dilemparkan ke arah kawan-¬kawannya di ambang pintu!

Koan Eng terkejut. Orang lihay, mungkin tidak ada cecu lawannya. “Tuan, kau benar lihay!” katanya. “Aku ingin meminta pengajaran beberapa jurus dari kau, mari kita pergi ke thia!”

Tuan rumah yang muda ini berkata demikian sebab ia duga pertandingan mesti hebat, di dalam kamar tulis itu ia khawatir nanti melukai ayahnya serta kedua tetamunya itu yang tidak mengenal ilmu silat…

“Untuk pibu, di manapun sama saja!” kata Wanyen Kang jumawa. “Apakah halangannya di sini? Silahkan cecu memberi pengajaran!”

Koan Eng terpaksa, tapi ia berlaku tenang. “Baik!” katanya. “Kau tetamu, kaulah yang mulai!”

Wanyen Kang benar lihay. Mendadak ia ulur tangan kirinya, mengancam, disusul tangan kanannya, menjambak baju orang. Ia sudah lantas menggunakan jurus dari Kiu Im Pek-kut Jiauw.

“Bocah kurang ajar, tahukah lihaynya chung-cu kamu!” kata Koan Eng di dalam hatinya. Ia tidak berkelit, ia cuma mengkeratkan tubuhnya sedikit, untuk meluncurkan tangan kanannya menghajar lengan orang, sedang dua jari dari tangan kirinya menyambar sepasang mata.

Wanyen Kang pun terperanjat mengetahui orang lihay. Ini ia tidak sangka. Ia lantas menarik pulang kedua tangannya, ia mundur setengah tindak, untuk memutar tangan menangkap lengan lawan. Tapi Koan Eng dapat membebaskan diri.

Melihat lihaynya tuan rumah, Wanyen Kang tidak berani memandang enteng. Maka ia berkelahi dengan sungguh-sungguh.

Koan Eng itu sebenarnya murid kesayangan dari Kouw Bok Taysu dari kuil Kong Hauw Sie di Lim¬an, ia pandai Gwa-kang yaitu ilmu luar Hoat Hoa Cong. Ia pun mengetahui orang lihay, ia bersilat dengan hati-hati. Ia tidak kasih tubuhnya dijambak.

Untuk Gwa-kang, kaum Gwa-kee, ialah ahli luar, ada pribahasa, “Kepalan tiga bagian, kaki tujuh bagian”, atau, “Tangan ialah kedua daun pintu, mengandal kaki menendang orang,” Maka itu, Koan Eng bersilat mengandal pribahasa itu.

Hebat pertarungan ini, sampai seratus jurus lebih belum ada yang menang atau kalah, Kwee Ceng dan Oey Yong diam-diam memuji Koan Eng demikian lihay.

Setelah bertempur lama, hati Wanyen Kang gentar. Ia tahu, terkurung dan lama-lama ia bisa kehabisan tenaga, kalau mesti banyak menempur banyak musuh bergantian, celakalah dirinya. Ia pun sebenarnya masih lemah bekas menenggak terlalu banyak air. Karena itu, ingin ia lekas mengakhiri pertandingan, untuk menyingkirkan diri.

Lewat beberapa jurus lagi, Koan Eng merasa keteter. Musuh telah mendesak. Satu kali ia terlambat, pundaknya kena terhajar. Tidak ayal lagi ia terhuyung mundur. Wanyan Kang merangsak, untuk memberikan hajaran terakhir. Justru ia maju, kaki kiri tuan rumah meleset ke arah dadanya. Itulah dupakan “Kaki jahat” yang berbahaya sekali.

Wanyen Kang tidak menyangka selagi terhuyung musuh dapat mendupak, ia ketahui itu sesudah kasep, dadanya kena terhajar kaki musuh. Ia merasakan dadanya sakit. Tapi ia tidak menyerah dengan begitu saja. Ia membalas dengan membareng menotok betis dengan lima jeriji kiri dan tangan kanannya dipakai menolak dengan keras seraya ia berseru: “Pergilah!”

Koan Eng berdiri dengan sebelah kaki, tidak heran kalau ia kena tertolak hingga mental ke arah pembaringan ayahnya, disaat tubuhnya bakal membentur pembaringan, mendadak Liok Chung-cu mengulur tangan kiri menahan punggungnya, lalu dengan perlahan tubuhnya dikasih turun. tapi ayah itu terkejut melihat betis anaknya mengucurkan darah.

“Kurang ajar!” ia berseru. “Pernah apa kau dengan Hek Hong Siang Sat?!”

Tanggapan dan seruan itu membikin heran semua orang tidak terkecuali Koan Eng sendiri, anaknya. Sebab anak ini semenjak kecil tahu ayahnya sudah cacad kedua kakinya, setiap hari ayahnya berdiam di kamar tulis saja berteman dengan alat tetabuhan khim, gambar dan kitab. Ia juga heran merasakan tanggapan ayah itu kepada tubuhnya. Tapi masih ada juga orang yang tidak heran, mereka ini ialah Oey Yong dan Kwee Ceng. Si nona karena melihat besi patkwa di pintu dan si pemuda karena mendengar keterangan kekasihnya.

Wanyen Kang melengak ditanyakan halnya Hek Hong Siang Sat. “Makhluk apa Hek Hong Siang Sat itu?” ia balik menanya. Ia telah diajari silat oleh Bwee Tiauw Hong tetapi Tiauw Hong tidak pernah memberitahukan asal usul dan she serta namanya.

“Jangan berlagak pilon!” membentak pula Liok Chung-cu. “Siapa yang ajarkan kau ilmu Kiu Im Pek-ku Jiauw yang jahat?!”

Wanyen Kang bernyali besar. “Tuan kecilmu tak sempat ngobrol denganmu, maaf tak dapat aku menemani kau!” katanya seraya ia memutar tubuh, bertindak ke arah pintu.

Semua cecu gusar, mereka mengangkat golok merintangi.

“Bagaimana kata-katamu?!” Wanyen Kang menoleh kepada Koan Eng, romannya bengis.” Kata-katamu berharga atau tidak?!”

Muka Koan Eng pucat. Ia mengangkat tangannya. “Kami kaum Thay Ouw bangsa terhormat!” katanya. “Saudara-saudara, lepaskan ia pergi! Thio Toako, tolong antar ia keluar!”

Semua cecu itu tidak puas tetapi mereka tidak berani membantah pemimpinnya.

Thio cecu pun sudah lantas membentak: “Mari turut aku! Sendiri saja tidak nanti kau menemani jalanan bocah!”

“Mana sekalian siwi dan pengiringku?” Wanyen Kang tanya.

“Mereka semua pun dimerdekakan!” menyahut Koan Eng.

Pangeran itu menunjuki jempolnya. “Bagus, benar kau satu kuncu! Nah, sekalian cecu, sampai bertemu pula di belakang hari!” Ia memutar tubuh untuk memberi hormat, romannya sangat puas.

“Tunggu dulu!” chung-cu tua membentak selagi orang hendak mengangkat kaki.

Wanyen kang segera menoleh, “Bagaimana?!” tanyanya.

“Aku si orang tua bodoh, ingin aku belajar kenal dengan Kiu Im Pek-ku Jiauwmu!” menyahut tuan rumah yang tua ini.

“Bagus! Bagus!” tertawa Wanyen Kang, sedang orang lainnya terperanjat.

Koan Eng sangat berbakti, ia terkejut lantas mencegah. “Ayah, jangan layani binatang ini!” katanya.

“Jangan khawatir!” berkata si ayah. “Aku lihat belum sempurna kepandaiannya itu.” Ia mengawasi dengan tajam kepada pangeran itu, lalu berkata pula: “Kakiku sakit, aku tidak dapat berjalan. Kau maju ke mari!”

Wanyen kang tertawa, tetapi ia tidak menghampiri.

Koan Eng habis sabar, meskipun kakinya sakit, ia tidak mau membiarkan ayahnya bertempur, maka ia lompat maju sambil berkata; “Hendak aku mewakilkan ayahku meminta pengajaran beberapa jurus dari kau!”

“Bagus, mari kita berlatih pula!” tertawa Wanyen Kang.

“Anak Eng, mundur!” mendadak Liong Chungcu berseru, sambil berseru tangan kanannya menekan pinggiran pembaringan, tubuhnya mencelat maju, berbareng dengan mana tangan kiri menyerang ke arah embun-embun si pangeran.

Semua orang terkejut, mereka berseru.

Wanyen Kang tidak takut, ia menangkis. Tapi kesudahannya ia kaget bukan main. Ketika kedua tangan beradu, merasa tangan kanannya terpegang keras, menyusul mana, tangan kanan si orang tua menyambar bahunya. Ia lantas menangkis seraya berontak untuk melepaskan tangan kanannya dari cekalan lawan.

Tubuh Liok Chungcu tidak turun ke lantai, tubuh itu berdiam mengandalkan tenaga lengan si pangeran, ia terus mencekalnya dengan keras, tangan kanannya menyerang pula, beruntun hingga lima enam kali. Wanyen Kang repot menangkis, ia berontak tapi sia-¬sia saja. Ia mencoba menendang dengan kaki kirinya, juga tidak ada hasilnya.

Melihat itu, para cecu heran dan girang. Semua mengawasi pertempuran yang luar biasa itu, yang hebat sekali.

Lagi sekali tangan kanan Liok Chungcu menyerang.

Wanyen Kang menggunakan lima jarinya, membabat tangan lawan, mendadak lengan si orang tua ditekuk, sikutnya menggantikan menyerang, tepat mengenai jalan darah kinceng-hiat. Pangeran itu kaget, merasa tubuhnya seperti mati separuh hingga gerakannya menjadi lambat, karenanya, tangan kirinya lantas kena ditangkap lawan, bahkan dengan suara meretek, sambungan tangannya kena dibikin terlepas!

Liok Chungcu benar-benar sebat, ia mengandalkan kedua tangannya saja, ia dapat bergerak dengan lincah. Kembali tangan kirinya menyerang, menyambar ke pinggang orang, berbareng dengan itu, cekalan tangan kanannya dilepaskan, tangan itu dipakai menekan pundak si pangeran, maka pesat sekali ia mencelat balik ke pembaringan di mana ia bercokol pula dengan tetap dan tenang.

Koan Eng lompat ke depan pembaringan. “Ayah, kau tidak apa-apa?” ia menanya.

Ayahnya itu tertawa. “Binatang ini benar-benar lihay!” katanya.

Dua tauwnia sudah lantas maju, untuk membelenggu kaki dan tangan Wanyen Kang.

“Dalam kantongnya perwira she Toan yang ditawan itu ada beberapa borgolan tembaga, itu dapat dipakai untuk membelenggu binatang ini, coba kita lihat, dia dapat berontak lagi atau tidak!” berkata Thio Cecu.

“Bagus!” sahut beberapa orang, diantaranya ada yang lantas pergi lari, untuk mengambil borgol, maka dilain detik, pangeran itu sudah diborgol tangan dan kakinya.

“Mereka sediakan ini untuk menyusahkan rakyat jelata, sekarang biarlah ia yang mencicipi sendiri!” kata Liok Chungcu dengan tertawa.

Wanyen Kang bermandikan peluh pada dahinya, ia menahan sakit, tidak mengeluh atau merintih.

“Bawa dia kemari!” kata Liok Chungcu, yang tahu orang kesakitan.

Dua tauwnia menggotong pangeran itu dekat kepada tuan rumah.

Liok Chungcu menotok tulang punggung serta dada kiri di beberapa tempat, setelah itu hilang rasa sakitnya Wanyen Kang, hingga pangeran itu mendongkol berbareng heran. Katanya dalam hati: “Gerakan tangan orang ini sama dengan gerakan tangannya suhu, mungkinkah mereka ada hubungan satu sama lain?” Tapi belum sempat ia bicara, Koan Eng sudah suruh orang bawa ia ke tempat tahanan. Semua cecu pun pada lantas mengundurkan diri.

Baru setelah itu, Kwee Ceng dan Oey Yong memutar tubuhnya. Semenjak tadi mereka berdiam saja, melainkan secara diam-diam mereka melirik.

“Anak-anak gemar berkelahi, jiwi tentu menertawakan mereka,” kata Liok Chungcu kepada tetamunya.

“Siapa dia itu?” tanya Oey Yong. Dia membawa sikap wajar, “Apakah dia telah mencuri disini, maka chungcu menjadi gusar sekali?”

Di dalam hatinya, nona ini semakin curiga. Gerakan tangan dan totokan tuan rumah ini sama dengan pelajarannya sendiri.

Chungchu itu tertawa. “Benar, dia telah mencuri tidak sedikit barang kami!” sahutnya. “Mari, mari kita melihat gambar-gambar dan kitab, jangan kegembiraan kita diganggu pencuri itu.”

Koan Eng sudah mengundurkan diri, maka dikamar tulis itu mereka tetap berada bertiga, tapi yang berbicara adalah tuan rumah dan Oey Yong berdua, Kwee Ceng tidak mengerti hal kitab dan gambar, pemuda itu tertarik sama huruf-huruf yang coret-coretannya tajam mirip dengan gerakan pedang. Meski begitu ia berdiam saja. Bukankah mereka toh sudah berpura-pura tidak mengerti silat?

Habis bersantap tengah hari, Liok Chungcu perintahkan kedua bujangnya mengantarkan kedua tetamunya pesiar kedua gua Thio Kong dan Sian Kong seperti ia telah menjanjikan. Kedua gua itu kesohor untuk pemandangan alamnya yang indah. Sampai sore baru mereka kembali dengan senang.

“Bagaimana, Yong-jie, kita tolong dia atau jangan?” tanya Kwee Ceng disaat mereka hendak masuk tidur.

“Kita baik tinggal dulu di sini beberapa hari,” sahut si nona. “Kita masih belum tahu jelas tentang tuan rumah kita ini.”

“Ilmu silatnya sama dengan ilmu silatmu,” Kwee Ceng memberitahukan.

Oey Yong berpikir, “Inilah anehnya,” katanya. “Mungkinkah ia kenal Bwee Tiauw Hong?”

Keduanya tidak dapat menerka. Mereka pun khawatirkan tembok ada kupingnya, lantas mereka memadamkan api dan tidur. Pada tengah malam, keduanya mendusin karena kuping mereka mendengar suara perlahan di atas genting. Keduanya lantas lompat bangun, menghampiri jendela. Begitu mereka mementang daun jendela, menampak berkelebatnya satu bayangan orang, yang terus bersembunyi di antara pohon-pohon bunga mawar. Setelah celingukan, orang itu bertindak ke timur, hati¬-hati sekali sikapnya, menandakan ia bukan salah seorang penghuni rumah.

Oey Yong menarik tangan Kwee Ceng, keduanya lompat keluar dari jendela, menguntit bayangan itu. Mereka bisa lantas bekerja karena tadi, diwaktu masuk tidur, mereka tidak membuka pakaian luar.

Belasan tindak kemudian, diantara cahya bintang-¬bintang, kelihatan nyata bayangan itu adalah seorang nona, yang ilmu silatnya lumayan juga. Karena ini Oey Yong bertindak mendekat,. Tepat orang itu menoleh, ia lantas mengenali Bok Liam Cu. Ia lantas saja tersenyum. Di dalam hatinya ia berkata: “Bagus, kau hendak menolong kekasihmu! Hendak aku melihat, bagaimana caramu bertindak!”

Bok Liam Cu jalan pergi datang di taman itu, lalu dilain saat ia tersesat jalan.

Oey Yong sebaliknya kenal taman itu, yang diatur menurut patkwa. Inilah keistimewaan Oey Yok Su, ayahnya. Tentang patkwa ini, ayahnya telah mengajari padanya. Jadi taman ini diatur menurut barisan rahasia Pat-kwa-tin.

“Dengan caramu ini berjalan, sampai seratus tahun pun tidak dapat cari kekasihmu itu,” kata Oey Yong dalam hati. Tapi ia hendak membantu. Maka ia memungut segumpal tanah, menimpuk, “Ambil jalan ke sana!” ia menunjuki, suaranya perlahan, ia sendiri bersembunyi di belakang pohon.

Nona Bom terperanjat. Ia menoleh, tidak melihat siapapun. Ia pun curiga dan sangsi. Lantas ia melompat ke arah darimana timpukan datang. Tentu sekali Oey Yong telah lenyap.

“Entah ia bermaksud baik atau jahat, tapi baiklah aku turuti pengunjukannya,” kemudian nona Bok berpikir. Ia terus pergi ke kiri. Lalu habis itu, setiap ia bersangsi, ada timpukan tanah yang memberi petunjuk padanya. Ia telah berjalan berliku-liku, sampai mendadak ada timpukan yang jauh, yang bersuara di jendelanya sebuah kamar yang di depannya. Berbareng dengan itu, dua bayangan berkelebat dan lenyap. Cerdas Liam Cu, segera ia lari menghampiri jendela itu, jendela dari sebuah rumah kecil. Setibanya di depan rumah itu, dua orang lelaki tergeletak di tanah, mata mereka mengawasi dia. Mereka itu masih mencekal senjata, tapi tak dapat bergerak. Terang sudah mereka itu adalah korban-korban totokan jalan darah.

“Pasti ada orang pandai yang membantuku,” berpikir Liam Cu. Ia masuk ke dalam rumah itu, kuping dan matanya dipasang. Segera ia dengar suara orang bernapas.

“Engko Kang!” ia memanggil perlahan. “Kau…!”

“Ya, aku!” ada jawaban untuk itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar