Jumat, 30 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 055

Oey Yong sendiri bersama Kwee Ceng, sehabisnya menunjukkan jalan pada Liam Cu, sudah lantas pulang ke kamarnya untuk terus tidur. Mereka tidak memikir untuk mencari tahu apa yang nona Bok itu perbuat. Besok siangnya, mereka jalan-jalan di tepi telaga Thay Ouw. Malamnya, mereka berkumpul dengan tuan rumah, melihat gambar-gambar dan berbicara tentang ilmu surat.

Biar bagaimana, hati Kwee Ceng tidak tenang. Dengan kepergian Liam Cu, berarti Bwee Tiauw Hong bakal datang. Ia tahu Tiauw Hong kejam, maka ada kemungkinan Kwie-in-chung nanti menampak bahaya. Siapa di rumah ini yang sanggup melawan si Mayat Besi? Karenanya, waktu ia berada berduaan dengan Oey Yong, ia utarakan kekhawatirannya itu.

“Apakah tidak lebih baik kita memberitahukan tuan rumah perihal Bwee Tiauw Hong, supaya Wanyen Kang dibebaskan, agar rumah ini lolos dari bahaya?” katanya kepada si nona.

“Jangan,” Oey Yong menggoyangi tangan. “Mulanya aku percaya Wanyen Kang itu baik hatinya, setelah mendengar suara enci Bok, biarlah ia mengalami lebih banyak penderitaan. Kalau tetap dia tidak mengubah kelakuannya, kita bunuh saja!”

“Bagaimana kalau Bwee Tiauw Hong sampai datang?” tanya si pemuda lagi.

“Kita justru boleh mencoba kepandaian ajaran Ang Cit Kong terhadap dirinya!” sahut si nona, yang tertawa.

Oey Yok Su terkenal sebagai Tong Shia, si Sesat dari Timur, maka gadisnya ini, tak banyak tapi sedikit menerima warisan sifatnya yang kukuh dan keras luar biasa. Kwee Ceng ketahui baik sifat ini, ia tidak mau membantah, bahkan ia tertawa. Cuma di dalam hatinya ia sudah mengambil ketetapan, mengingat kebaikannya tuan rumah, layak saja apabila ia membantu melindungi tuan rumah.

Berselang dua hari, kedua tetamunya ini tidak mengutarakan bahwa mereka hendak pergi melanjutkan perjalanan. Tuan rumah tetap melayani mereka dengan manis, bahkan tuan rumah mengharap mereka berdiam lebih lama.

Dihari ketiga, pagi, selagi tuan rumah duduk pasang omong bersama Oey Yong dan Kwee Ceng di kamar tulis, Koan Eng muncul dengan air muka tak biasa, bersamanya ada satu chungteng yang membawa sebuah penampan, di atasnya ada serupa barang yang ditutupi kain hijau. Anak itu memberitahukan baru saja ada yang mengantar barang itu, setelah mana ia menyingkap kain hijaunya, maka di situ terlihatlah sebuah tengkorak dengan lubang lima jari tangan.

Terang sudah, itulah tanda mata dari Bwee Tiauw Hong.

Oey Yong dan Kwee Ceng telah menduga bakal terjadi hal begini, paras mereka tidak berubah, sebaliknya tuan rumah, mukanya pucat dan suaranya tak lancar ketika ia menanya: “Siapa… siapakah yang membawa ini kemari?” Ia pun memcoba bangkit dengan bantuan tangannya.

Koan Eng dapat menduga tengkorak itu aneh tetapi percaya ada ketangguhannya sendiri, ia tidak begitu khawatir, maka itu heran ia mendapatkan perubahan sikap dari ayahnya.

"Barusan orang mengantarkan ini termuat dalam sebuah kotak," ia menerangkan. "Chunteng kita mengira bingkisan biasa saja, ia menerima dan memberi upah, tanpa meminta keterangan lagi, setelah dibawa ke dalam, baru ketahuan barang itu inilah adanya. Pembawa barang itu dicari tetapi ia sudah pergi entah kemana. Ada apakah mengenai barang ini, ayah?"

Chungcu tidak menjawab, sebaliknya ia memasuki lima jari tangannya ke dalam lima lubang di tengkorak itu. Cocok lubang dan jari tangan itu.

Koan Eng mengawasi, ia heran bukan kepalang. "Adakah lubang ini dibikin dari tusukan jari tangan?" tanyanya.

Sang ayah mengangguk, ia mengasih dengar suara tak tegas. Sesaat kemudian barulah ia bilang: "Kau suruh orang menyiapkan semua barang berharga, lantas kau antarkan ibumu ke tempat sepi di dalam telaga, untuk menyembunyikan diri. Kau pun memerintahkan semua cecu supaya dalam tempo tiga hari janganlah mereka meninggalkan tempat mereka masing-masing walaupun satu tindak. Pesan mereka itu bahwa walaupun ada gerakan apapun di Kwie-in¬chung ini, ada api atau kitar berkurang, jangan mereka datang menolong….!"

"Ayah, apakah artinya ini?" Koan Eng tanya, kaget.

Liok Chungcu tertawa menyeringai. Bukan ia menjawab anaknya itu, hanya berpaling kepada kedua tetamunya untuk berkata: "Kita baru bertemu tetapi kita cocok sekali satu dengan lain, sebenarnya adalah maksudku akan meminta jiwi berdiam lagi beberapa hari di sini, sayang itu tak dapat dilakukan. Dengan sebenarnya aku ada mempunyai dua musuh besar yang lihay sekali, mereka itu sekarang hendak datang mencari balas, karena itu, bukan aku tidak ingin ketumpangan jiwi tetapi sesungguhnya Kwie-in-chung terancam bahaya hebat. Kalau nanti aku lolos dari bahaya maut, di belakang hari pastilah kita akan bertemu pula…."

Terus ia menoleh kepada kacungnya dan kata: "Pergi kau ambil uang emas empatpuluh tail."

Kacung itu sudah lantas mengundurkan diri, sedang Koan Eng tidak berani tanya-tanya lagi, ia pun mundur untuk melakukan titah ayahnya.

Sebentar kemudian kacung tadi muncul pula dengan uang emas di tangannya, Liok Chungcu menyambut itu, untuk terus dihaturkan kepada Kwee Ceng. Ia kata: "Nona ini cantik luar biasa, dengan saudara Kwee ia berjodoh sekali, maka itu haraplah saudara sudi menerima bingkisan ini yang tidak berarti untuk saudara nanti gunai di hari pernikahanmu. Harap saja saudara tidak menertawainya."

Mendengar itu muka Oey Yong merah sendirinya. "Tajam sekali mata orang ini," pikirnya. "Kiranya ia telah mengetahui penyamaranku. Anehnya kenapa ia pun ketahui aku belum menikah sama engko Ceng?"

Kwee Ceng tiadk bisa berpura-pura, ia menerima bingkisan itu seraya menghaturkan terima kasih.

Di meja sampingnya ada sebuah gendul, dari situ Liok Chungcu menuang beberapa butir obat pulung warna merah, terus ia bungkus, kemudian ia kata pula: "Aku tidak mempunyai kebisaan apa-apa, kecuali dulu pernah guruku mengajarkan ilmu obat-obatan. Inilah obat yang aku berhasil membuatnya. Khasiat obat ini ialah, setelah memakannya, orang akan dapat bertambah umur. Kita telah dapat berkenalan, inilah sedikit hormatku."

Obat itu menyiarkan bau harum, maka taulah Oey Yong bahwa itu ada yang dinamakan pil "Kiu-hoa Giok-louw-wan". Semasa kecil pernah ia mambantu ayahnya mengumpulkan sembilan rupa bunga yang tangkainya masih ada embunnya, untuk dibuat obat. Memang tidak gampang membikin obat itu. Maka itu ia kata: "Tidak gampang untuk membikin obat Kiu-hoa Giok-louw-wan ini," ia berkata, "Dari itu sudah cukup jikalau kami menerima dua butir saja."

Heran chungcu ini, hingga keheranan itu terkentara pada wajahnya. "Kenapa nona ketahui nama obat ini?" tanyanya.

"Dimasa kecil tubuhku lemah sekali," Oey Yong mendusta, "Kebetulan pandai kita bertemu dengan seorang pandai yang menghadiahkan tiga butir. Begitu makan obat itu, kesehatanku pulih."

Tuan rumah tertawa menyeringai pula. "Jangan menampik, jiwi," ia berkata. "Sebenarnya sia-sia belaka untuk aku menyimpannya."

Oey Yong tahu orang sudah bersedia untuk binasa, percuma ia menampik lebih jauh, maka ia terima pemberian obat itu. Kembali ia menghanturkan terima kasih.

"Perahu telah disiapkan, maka itu silakan jiwi lekas berangkat meninggalkan telaga ini," berkata lagi tuan rumah. "Di tengah jalan, jikalau ada terjadi sesuatu, harap jiwi jangan mengambil peduli. Aku minta jiwi perhatikan pesanku ini."

Sebenarnya Kwee Ceng hendak memberitahukan bahwa mereka berdua hendak berdiam di telaga itu untuk memberikan bantuan tetapi Oey Yong mengedipi mata padanya, terpaksa ia mengangguk.

"Aku lancang, ingin aku menanyakan suatu hal," kata Oey Yong.

"Apakah itu, nona?" tanya si tuan rumah.




"Chungcu sudah ketahui musuh lihay dan tidak dapat dilawan, kenapa chungcu tidak hendak menyingkir daripadanya? Menyingkir untuk sementara waktu. Peribahasa bilang, seorang budiman tak akan menerima malu di depan mata…."

Chungcu itu menghela napas.

"Tapi dua orang itu telah membuat aku menderita," katanya, masgul. "Cacad tubuhku ini pun adalah pemberian mereka. Selama duapuluh tahun, karena aku tidak dapat berjalan, tidak dapat aku mencari mereka membuat perhitungan, sekarang mereka datang sendiri, inilah ketika yang baik yang dihadiahkan Thian!"

Oey heran mendengar orang menyebut dua orang. "Ah, ia tentunya masih menduga si Mayat Perunggu Tan Hian Hong masih hidup. Sebenarnya, apakah permusuhan mereka? Sayang aku tidak dapat menanyakannya…." Tapi ia tertawa. Ia lantas menanya: "Chungcu, kau mengenali penyamaranku, inilah tidak aneh. Kenapa kau pun ketahui kami belum menikah? Kita toh tinggal dalam sebuah kamar?"

Ditanya begitu tuan rumah melengak. "Kau toh satu gadis putih bersih, mana aku tidak dapat melihatnya? Cuma, sulit untuk aku menjelaskannya…" pikirnya. Selagi ia bersangsi, Koan Eng datang, berbisik di kupingnya, "Pesan ayah sudah disampaikan tetapi empat cecu Thio, Kouw, Ong dan Tam, tidak hendak pulang. Mereka kata biar mereka dipotong kepalanya disini, mereka tidak hendak meninggalkan Kwie-in-chung!"

Liok Chungcu menghela napas. "Sungguh mereka baik sekali," katanya. "Nah, kau antarlah kedua tetamuku kita yang terhormat ini keluar dari telaga ini."

Oey Yong bersama Kwee Ceng lantas memberi hormat. Di luar mereka dapatkan kuda dan keledai mereka.

"Naik perahu atau tidak?" Kwee Ceng berbisik.

"Kita pergi untuk kembali!" sahut Oey Yong, berbisik juga.

Koan Eng tengah bingung, ia cuma tahu harus lekas-lekas mengantar kedua tetamunya itu pergi, ia tidak memperhatikan sikap kedua tetamunya itu.

Disaat Oey Yong berdua hendak naik perahu yang sudah disediakan, mendadak saja menampak suatu pemandangan yang luar biasa, ialah dari satu orang yang berjalan cepat sekali di tepi telaga, di kepala dijunjung satu jambangan yang besar. Kwee Ceng dan Koan Eng pun lantas dapat melihatnya maka mereka turut mengawasi seperti si nona.

Sebentar kemudian orang telah datang dekat. Sekarang terlihat nyata, ia adalah seorang tua dengan kumis ubanan, bajunya kuning, tangan kanannya memegang sebuah kipas besar. Masih ia bertindak tetap dan cepat. Jambangannya pun rupanya terbuat dari besi, beratnya mungkin beberapa ratus kati. Ia lewat di samping Koan Eng semua tetapi ia seperti tidak melihatnya. Beberapa tindak kemudian, ia terhuyung, lalu dari jambangan itu air mengeplok. Air itu sendiri mungkin seratus kati atau lebih beratnya. Seorang tua dapat membawa jambangan seberat itu benar-benar hebat.

"Apakah bisa jadi dia musuh ayah?" Koan Eng menduga-duga. Ia lantas menyusul.

Oey Yong dan Kwee Ceng segera mengikuti.

Cepat jalannya si orang tua, sebentar saja sudah lewat beberapa lie.

Koan Eng dapat berjalan cepat, bisa ia menyusul. Hanya ia heran untuk si orang tua.

Juga Oey Yong dan Kwee Ceng turut heran. Kwee Ceng malah menyangsikan mungkin dia ini melebihi lihaynya Khu Cie Kee. Ia ingat cerita gurunya tentang pertandingan mereka dengan Tian Cun Cu, yang kuat mempermainkan jambangan besar tetapi jambangan ini jauh lebih besar.

Si orang tua berjalan ke tempat belukar, berliku-liku. Koan Eng tinggal di tempat yang sunyi tetapi ia toh tidak kenal tempat ini. Ia jadi sangsi. Ia pikir: "Ini orang tua saja aku tidak dapat melayaninya, bagaimana kalau di sana ia menyembunyikan kawan-kawannya? Baiklah aku balik…" Tapi di depannya ada kali, ia heran. Pikirnya pula: "Di depan tidak ada jembatan, hendak aku lihat bagaimana dia melewatinya…. Atau dia jalan di tepian timur atau di tepian barat…"

Selagi ia menduga-duga. Koan Eng lantas berdiri melengak.

Si orang tua itu jalan terus di kali itu, kakinya terpendam di air sebatas betisnya. Dia jalan terus hingga di seberang. Setibanya dia meletakkan jambangan di rumput, dia sendiri kembali ke kali ke mana ia terjun, setelah mana, dia berjalan setindak demi setindak kembali ke darat.

Kwee Ceng dan Oey Yong, yang dapat menyusul, mengawasi dengan kekaguman.

Tiba-tiba si orang tua mengusut-usut kumisnya sambil tertawa lebar. "Tuan, adakah kau chungcu muda yang menjadi pemimpin jago-jago dari Thay Ouw?" dia bertanya.

"Maaf," kata Koan Eng merendahkan diri, lalu ia balik menanyakan she dan nama orang.

"Ah, masih ada dua engko kecil di sana!" kata si orang tua itu menunjuk Kwee Ceng dan Oey Yong. "Marilah kamu sama-sama datang ke mari!"

Koan Eng menoleh. Baru sekarang ia ketahui bahwa Kwee Ceng berdua telah mengikuti dia. Dia menjadi heran. Tidak dia sangka, orang dapat berlari keras seperti dia tanpa tindakannya bersuara.

Kwee Ceng dan Oey Yong memberi hormat sambil berjura. Mereka menyebutkan dirinya orang-orang dari tingkat muda dan memanggil orang dengan sebutan ¬thay-kong - orang tua yang dihormati.

Orang tua itu tertawa pula; "Sudah, Sudah!" ia mencegah orang menghormat. Kemudian ia mengawasi Koan Eng dan berkata: "Di sini bukan tempat yang tepat untuk memasang omong, mari kita mencari tempat untuk berduduk-duduk."

Koan Eng tetap sangsi orang ini musuh ayahnya atau bukan. "Apakah thaykong kenal ayahku?" ia menanya.

"Kau maksudkan chungcu yang tua? Belum pernah aku bertemu dengannya." sahut si orang tua.

Agaknya orang tidak berdusta, maka Koan Eng berkata pula: "Hari ini ayah menerima serupa bingkisan luar biasa, adakah thaykong ketahui itu?"

"Bingkisan apakah itu yang aneh?" si orang tua balik menanya.

"Sebuah tengkorak dengan lima lubang bekas jari tangan…." sahut Koan Eng.

"Benar-benar aneh! Apakah ada orang yang bergurau dengan ayahmu itu?" tanya si orang tua lagi.

Mendengar itu, Koan Eng mendapat kesan lain. Maka ia pikir, baik ia undang orang ini ke rumahnya, dia tentu gagah, mungkin dia dapat membantu ayahnya. Karena ini, ia lantas menunjuk wajah gembira.

"Jikalau thaykong tidak menampik, aku minta thaykong datang ke rumahku untuk minum teh," ia mengundang.

"begitupun baik," sahut orang tua itu setelah berpikir sejenak.

Bukan main girangnya Koan Eng. Ia lantas minta si orang tua jalan di muka.

"Apakah kedua engko kecil itu pun dari rumahmu?" tanya si orang tua seraya ia menunjuk Kwee Ceng dan Oey Yong.

"Kedua tuan ini adalah sahabat-sahabatnya ayahku," menyahut Koan Eng.

Lantas orang tua itu tidak memperdulikan lagi, dia jalan cepat.

Kwee Ceng dan Oey Yong mengikuti di belakang Koan Yeng. Lekas juga mereka tiba di Kwie-in-chung. Tuan rumah yang muda minta tetamunya menanti di ruang tamu, ia sendiri lari ke dalam untuk mewartakan kepada ayahnya.

Tidak lama, tuan rumah muncul digotong dua orangnya. Ia numprah di atas pembaringan bambu, yang merupakan bale-bale. Ia memberi hormat sambil menjura kepada tetamunya yang tua itu. Ia kata: "Maaf, tak tahu aku akan kedatangan tuan hingga tidak bisa aku menyambut dengan selayaknya."

Orang tua itu membalas hormat hanya dengan membungkuk sedikit. Suaranya pun tawar ketika ia berkata: "Tak usah menggunakan banyak adat peradatan, Liok Chungcu."

Tuan rumah tidak memperdulikan sikap orang, ia menanyakan she dan nama tetamunya.

"Aku she Kiu, namaku Cian Jin," sahutnya.

Tuan rumah terkejut.

"Jadi locianpwee adalah Tiat-ciang Sui-siang¬piauw!" katanya. Ia ketahui baik nama orang berikut gelarannya itu, yang berarti si Tangan Besi Mengambang di Air.

"Bagus sekali ingatanmu, Liok Chungcu, kau masih ingat julukanku! Sudah duapuluh tahun semenjak aku tidak muncul di dunia kangouw, aku menyangka orang telah melupakan aku."

Memang pada duapuluh tahun yang lampau, nama Tiat-ciang Siu-siang-piauw kesohor sekali, kemudian ia tinggal menyendiri, hingga orang seperti melupakannya. Liok Chungcu ingat nama orang, tidak heran kalau ia jadi terperanjat.

"Untuk apakah locianpwee datang ke sini?" ia menanya. "Bila aku sanggup, suka sekali aku berbuat sesuatu untukmu."

"Tidak ada urusan yang penting," sahut si orang tua tertawa. "Atau mungkin aku bakal ditertawakan sahabat-sahabat kalangan Rimba Persilatan. Sebenarnya aku ingat meminjam suatu tempat yang sunyi untuk aku melatih diri. Tentang ini baiklah sebentar malam saja kita bicarakan dengan perlahan-¬lahan."

Liok Chungcu tidak melihat niat orang yang tidak baik pada wajah orang tua ini akan tetapi ia tetap kurang tenang hatinya.

"Apakah locinpwee pernah bertemu sama Hek Hong Siang Sat?" ia menanya.

"Hek Hong Siang Sat? Apakah kedua iblis itu belum mampus?" si orang tua balik menanya.

Lega juga hatinya Liok Chungcu mendapat jawaban itu.

"Anak Eng, pergi kau minta locinpwee beristirahat di kamar tulis," katanya kemudian.

Kiu Cian Jin mengangguk, terus ia mengikuti Koan Eng.

Liok Chungcu belum tahu kepandaian Kiu Cian Jin itu, hanya ia tahu ketika dulu hari Tong Shia bersama See Tok, Lam Kay, Pak Tee dan Tiong Sin Thong berlima mengadu kepandaian di atas gunung Hoa San, dia telah diundang ikut hadir, hanya karena ada urusan, ia tak dapat datang. Dia telah diundang, itu tandanya dia bukan sembarang orang. Sekarang ia berada di sini, kalau Hek Hong Siang Sat datang, bolehlah tak usah ia terlalu khawatir.

"Jiwi belum berangkat, ini bagus," katanya kemudian kepada Kwee Ceng dan Oey Yong. "Kiu locianpwee lihay sekali, sekarang kebetulan dia datang kemari, selanjutnya aku tidak mengkhawatirkan lagi kedua musuh besarku itu. Sebentar silahkan jiwi beristirahat di dalam kamarmu, jangan jiwi keluar, selewatnya malam ini bahaya sudah tak ada lagi!"

Oey Yong tertawa. "Aku ingin menonton keramaian, bolehkah?" ia bertanya lucu.

Tuan rumah berpikir. "Aku cuma khawatir musuh datang dalam jumlah banyak, aku jadi tidak bakal dapat melayani jiwi," berkata dia. "Tapi baiklah, asal jiwi berdiam saja disampingku, jangan kamu berkisar, dengan adanya Kiu locianpwee di sini, segala tikus tentulah tidak ada artinya!"

Oey Yong bertepuk tangan saking girangnya.

"Aku memang paling gemar menonton orang berkelahi!" katanya. "Ketika kemarin ini kau menghajar pangeran cilik, sungguh senang menyaksikannya!"

"Tapi yang bakal datang malam ini adalah gurunya pangeran cilik," Liok Chungcu memberitahu. "Dia lihay sekali, karenanya aku khawatir."

"Ah, chungcu, mengapa kau bisa ketahui itu?" Oey Yong tanya, ia heran.

"Nona tentang lihaynya ilmu silat kau belum mengerti," berkata tuan rumah. "Ketika si pangeran cilik melukai anakku dengan totokan jari tangannya, kepandaiannya itu sama dengan kepandaian totokan lima jari tangan pada tengkorak itu."

"Aku mengerti sekarang!" kata Oey Yong. "Memang juga tulisan Souw Tong Po beda dengan tulisannya Oey San Kok, sama seperti bedanya lukisan Too Koen Hong dari lukisannya Cie Hie! Hanya seorang ahli yang dapat menbedakannya!"

"Sungguh kau cerdas, nona!" tertawa tuan rumah.

Oey Yong tarik tangan Kwee Ceng. "Mari kita lihat orang tua yang kumisnya ubanan!" katanya. "Sebenarnya ia tengah menyakinkan ilmu apa?"

"Eh, jangan nona!" mencegah tuan rumah, terkejut. "Jangan kau membuatnya gusar!"

"Oh, tidak ada!" kata Oey Yong, tertawa. Ia bangkit, untuk berlalu.

Liok Chungcu bercokol saja, tak dapat ia bergerak dengan leluasa, ia menjadi gelisah sendiri.

"Nona ini sangat nakal!" katanya. "Mana orang dapat diintai?" Terpaksa ia suruh orang menggotongnya ke kamar tulis, untuk bisa mencegah Oey Yong itu. Dari jauh ia sudah lihat Oey Yong dan Kwee Ceng lagi mengintai di jendela.

Oey Yong mendengar orang datang, ia menoleh, tangannya digoyang-goyangi, mencegah orang menerbitkan suara berisik, dilain pihak ia menggapai kepada tuan rumah supaya datang padanya.

Liok Chungcu bersangsi, tetapi ia toh datang mendekati juga. Ia khawatir, kalau ia menampik, nona itu nanti rewel. Dibantu kedua chungtengnya, ia turut mengintai. Oey Yong membikinkan ia sebuah lubang kecil di kertas jendela. Ia lantas menjadi heran sekali.

Kiu Cian Jin duduk bersila dengan kedua matanya ditutup rapat. Dari mulutnya menghembus keluar tak habisnya hawa mirip asap atau kabut. Ia luas pengetahuannya tetapi ia tidak mengerti ilmu apa itu. Maka ia tarik ujung baju Kwee Ceng, menyuruh jangan mengintai terlalu lama.

Kwee Ceng seorang terhormat, ia mengindahkan tuan rumah, ia pun insyaf tak pantas mencuri lihat lain orang, ia tarik Oey Yong. Bersama¬-sama tuan rumah mereka masuk ke dalam.

"Bagus sekali permainannya tua bangka itu!" kata Oey Yong tertawa. "Di dalam perutnya bisa api menyala!"

"Kau tidak tahu, nona," kata tuan rumah. "Itulah semacam ilmu yang lihay sekali!"

"Mustahilkah mulutnya nanti dapat menyemburkan api membuat orang terbakar mampus?" tanya Oey Yong. Ia menanya dengan sesungguhnya, sebab sebenarnya ia heran atas asap yang keluar dari mulut tetamu tua itu.

"Kalau itu benar api, itulah tidak mungkin," berkata tuan rumah. "Aku percaya, itulah semacam latihan tenaga dalam. Bukankah bunga dan daun pun dapat digunakan sebagai senjata rahasia untuk melukai orang?"

"Ya, dengan hancuran bunga menghajar orang!" seru Oey Yong.

"Benar-benar nona cerdas!" tuan rumah memuji pula. Kemudian ia mengasih perintah kepada Koan Eng untuk meronda dengan hati-hati di sekitar rumahnya itu dengan pesan, kalau ada orang atau orang-orang yang sikapnya luar biasa, mereka itu mesti disambut dengan hormat dan diundang masuk untuk bertemu dengannya.

Setelah mulai sore, Liok Chungcu memerintahkan menyulut beberapa puluh lilin besar untuk membikin ruang besar menjadi terang sekali, di tengah itu disiapkan meja perjamuan. Kiu Cian Jin lantas diundang dan dipersilahkan duduk di kursi kepala. Kwee Ceng dan Oey Yong yang menemani. Tuan rumah dan putranya duduk di paling bawah.

Liok Chungcu memberi hormat pada tetamunya dengan secawan arak, ia tidak berani menanyakan maksud kedatangan orang, ia hanya membicarakan lain urusan, yang tidak ada sangkut pautnya sama sekali.

"Liok Laotee," kata Kiu Cian Jin kemudian. "Kau menjadi pemimpin di Kwie-in-chung ini, ilmu silatpun bukan sembarang, apakah kau sudi memperlihatkan barang satu atau dua jurus kepadaku? Dengan begini mataku jadi dapat dibuka."

"Kepandaianku tidak berarti, tidak berani aku mempertunjuki itu dihadapan locianpwee," kata tuan rumah menghormat. "Laginya sudah lama aku cacad, sedikit pelajaran yang aku dapatkan dari guruku sudah lama aku mengalpakannya."

"Siapakah gurumu, laotee?" tanya tetamu itu. "Kalau kau menyebutkannya, mungkin aku si orang tua mengenalnya."

Liok Chungcu menghela napas panjang, lalu mukanya menjadi pias. "Kelakuanku tidak selayaknya, tak dapat aku diterima guruku, karena itu malu aku menyebutnya," katanya selang sejenak.

Mendengar itu, Koan Eng berduka. Baru sekarang ia ketahui ayahnya itu telah diusir gurunya. Dengan sebenarnya ia tidak tahu ayahnya lihay ilmu silat. Ia percaya ayahnya punya lelakon yang menyedihkan.

"Liok Chungcu," berkata si orang tua, "Kau menjadi pemimpin di sini, kenapa kau tidak hendak menggunakan ketika ini untuk membangun diri, untuk melampiaskan tak kepuasanmu itu? Dengan jalan ini kau nantinya membikin tetua dari partaimu menjadi insyaf dan menyesal karenanya."

"Aku cacad, bodoh, meskipun kata-kata cianpwee ada nasehat berharga sekali, menyesal aku tidak dapat menerimanya," sahut Liok Chungcu. Ia selamanya bicara dengan merendah.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar