Rabu, 28 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 053

Itulah suara Wanyen Kang, yang sadar sebab barusan mendengar suara tubuh roboh di luar rumah. Dia memang lagi memasang kuping. Dia kenali suara si nona.

Dalam gelap gulita, Liam Cu segera menghampiri.

“Ada dua orang pandai yang membantuku, entah siapa mereka,” kata nona ini. “Mari kita pergi!”

“Apakah kau membawa golok pedang mustika?” tanya pangeran itu.

“Kenapa?” balik tanya si nona.

Wanyen Kang tidak menjawab, ia hanya perdengarkan suara borgolan.

Liam Cu mengerti, ia menjadi sangat masgul. “Menyesal pisau belati mustikaku itu telah aku berikan pada adik Oey,” ia menyesalkan diri.

Oey Yong dan Kwee Ceng yang tetap bersembunyi, mereka dapat dengar suara si nona. Di dalam hatinya, nona Oey berkata: “Sebentar akan aku serahkan pisau mustika itu.”

“Sebentar aku pergi curi kunci borgolnya!” kata Liam Cu akhirnya. Ia bingung dan khawatir.

“Jangan pergi, adik!” Wanyen Kang mencegah. “Orang disini lihay, percuma kau pergi.”

“Bagaimana kalau aku gendong kau?” tanya si nona.

“Tidak bisa, aku diikat pada tiang.” jawab sang pangeran.

“Habis bagaimana?” tanya si nona lagi.

Lalu terdengar suara menangis perlahan dari nona itu.

“Mari kau dekati aku….” kata Wanyen Kang tertawa.

Liam Cu membanting kaki. “Orang tengah gelisah, kau masih bisa bergurau!” tegurnya.

“Siapa bergurau?” Wanyen Kang masih tertawa. “Aku omong sebenarnya.”

Liam Cu tidak memperdulikannya, ia mengasah otaknya.

“Kenapa kau ketahui aku berada disini?” Wanyen Kang tanya kemudian.

“Aku mengikuti kau terus-menerus…” jawab si nona perlahan.

“Oh, adik, kau baik sekali.” Suara Wanyen Kang agak tergerak. “Mari kau dekati aku, kau menyender di tubuhku, hendak aku bicara.”

Liam Cu menjatuhkan diri dan duduk, ia menurut.

“Aku adalah utusan negeri Kim, mereka tidak akan berani lancang membunuh aku,” berkata Wanyen Kang. “Hanya dengan tertahan di sini, pastilah gagal urusan tentara dari ayahku. Aku bingung….Adik, baiklah kau tolongi aku?”

“Bagaimana?” tanya si nona.

“Di leherku ada cap emas, kau loloskan itu.”

Liam Cu menurut.

“Inilah cap utusan,” Wanyen Kang memberitahukan.“ Sekarang kau lekas pergi ke Lim¬an, di sana kau tenemui Soe Mie Wan, perdana menteri kerajaan Song….”

Nona Bok terkejut.

“Aku seorang wanita biasa, bagaimana perdana menteri itu dapat menemui aku?” tanyannya.

“Kalau ia melihat cap ini, pasti ia repot sekali menyambut kau!” kata Wanyen Kang tertawa. “Kau beritahu padanya bahwa aku ditawan perampok di Thay Ouw ini, hingga aku tidaik dapat datang padanya. Kau pesan apabila ada utusan Mongolia yang datang, suruh jangan menerimanya segera bunuh saja si utusan itu!“

“Eh, kenapa begitu?” si nona menanya heran.

“Ini urusan besar dari tentara dan negera, dijelaskan pun kau tidak bakal mengerti! Pergi kau sampaikan pesanku ini kepada perdana menteri itu, artinya kau sudah mewakili aku melakukan satu pekerjaan yang besar. Jikalau utusan Mongolia itu keburu sampai dan dapat bicara dengan raja Song, artinya kerugian besar bagi kami negara Kim.”

“Apa itu negara Kim?” Liam Cu tanya. “Aku adalah rakyatnya kerajaan Song! Sebelum kau omong jelas, tidak bisa aku bekerja”.

“Bukankah nanti kau bakal menjadi permaisuri di negara Kim?” Sembari berbicara, Wanyen Kang tersenyum.

“Ayah angkatku ialah ayahmu sejati, adalah orang Han. Apakah kau benar-benar sudi menjadi raja Kim?” tanya Liam Cu. “Aku cuma tahu, cuma….”

“Kenapa?” Wanyen Kang memotong.

“Sampai sebegitu jauh aku pandang kau sebagai orang pintar dan gagah,” kata Liam Cu, “Dan aku menyangka kau berpura-pura saja menjadi pangeran, bahwa kau lagi menanti saatnya yang baik untuk berbuat sesuatu guna kerajaan Song! Kau benar-benarkah hendak mengakui musuh sebagai ayahmu!”

Wanyen Kang diam. Ia dapat mendengar suara lagu orang berubah, kata-katanya seperti macet di tenggorokan. Itulah tandanya orang gusar dan menyesal. Maka ia diam.

“Negara yang indah dari kerajaan Song telah separuhnya dirampas orang asing!” berkata pula Liam Cu. “Dan rakyat kita bangsa Han telah ditangkap¬i, dibunuh dan dianiaya! Mustahilkah kau sendiri juga tidak memikirkan itu? Kau….kau…..”

Berhenti si nona bicara, ia lemparkan cap ke tanah, sambil menutup muka, ia bertindak pergi.

Wanyen Kang terkejut, segera ia memanggil

“Adik, aku salah!” katanya, memanggil, “Mari kembali!”

Liam Cu berhendti bertindak, ia berpaling, “Mau apa kau?!” ia tanya.

“Tunggulah sampai aku sudah lolos dari sini, aku tak akan lagi menjadi utusan negeri Kim,” berkata Wanyen Kang. “Aku juga tidak akan kembali ke negera Kim, hanya bersama kau, aku akan hidup menyepi sebagai petani, supaya kita bisa hidup bersama dengan tenang dan berbahagia….”

Nona Bok menghela napas, ia berdiri menjublak. Semenjak pibu, ia sudah pandang Wanyen Kang sebagai pemuda yang paling gagah. Bahwa Wanyen Kang tidak hendak mengakui ayahnya sendiri, ia masih menyangka ada sebabnya. Ia pun menduga orang menjadi utusan negara Kim karena ada suatu maksud tersembunyi, guna nanti melakukan suatu usaha besar untuk kerajaan Song. Tapi siapa tahu, sekarang sia-sia saja pengharapannya itu. Ia dapatkan kenyataan orang hanya satu manusia sekakar, yang kemaruk sama harta dan kemuliaan….

“Adikku, kau kenapa?” Wanyen Kang tanya.

Liam Cu berdiam.

“Memang ibuku bilang bahwa ayah angkatmu adalah ayahku yang sejati,” Wanyen Kang berkata pula. “Sayang sebelum aku menanya dengan jelas, keduanya sudah menutup mata, karenanya sampai sekarang aku jadi ragu-ragu…..”

Pikiran Liam Cu tergerak juga.

“Kalau ia belum mengetahui jelas, dapat diberi maaf…” pikirnya. Lalu ia berkata: “Sekarang kau jangan sebut lagi hal aku harus pergi kepada perdana menteri Song untuk membawa capmu ini. Hendak aku mencari adik Oey untuk minta pisau mustika guna menolong kau…”




Oey Yong mendengar itu semua, kalau tadinya ia hendak menyerahkan pisau, segera ia merubah maskdunya. Ia benci mendengar Wanyen Kang hendak berbuat sesuatu untuk tentara Kim. Ia pikir: “Baiklah aku membiarkan dia tertutup lagi beberapa hari di sini….” Ayahnya memang membenci sekali negera Kim.

“Taman ini aneh, kenapa kau tahui jalanannya?” kemudian Wanyen Kang menanya.

“Ada seorang pandai yang memberi petunjuk padaku,” sahut Liam Cu. “Dia menyembunyikan diri, aku belum tahu siapa dia.”

Wanyen Kang mengasih dengar suara tidak tegas.

“Adikku,” katanya pula, “Kalau lain kali kau datang pula, mungkin kau kepegrok penghuni rumah ini. Kalau benar kau hendak menolongi aku, pergi kau cari satu orang…”

“Aku tidak sudi mencari perdana menteri she Soe itu!” memotongi si nona.

“Bukan Soe Sinsiang, hanya guruku,” Wanyen Kang memberi tahu

“Oh…” si nona terhenti suaranya.

“Kau pergi membawa ikat pinggangku ini,” Wanyen Kang berkata pula. “Di gelang emasnya ikat pinggang itu kau ukir kata-kata: ‘Wanyen Kang dapat susah di kwie-in-chung di tepi telaga Thay Ouw’ Tigapuluh lie di utara kota Souwciu ada sebuah bukit belukar, di sana kau cari sembilan buah tengkorak yang bertumpuk menjadi satu: Satu di atas, tiga di tengah dan lima di bawah. Ikat pinggangku ini, kau letakkan di bawah tenggorak itu.

Liam Cu heran, “Untuk apakah itu?” ia menanya.

“Guruku itu telah buta kedua matanya,” Wanyen Kang memberi keterangan. “Kalau ia dapat memegang ikat pinggang itu serta gelang emasnya, lantas ia bakal dapat mencariku. Setelah meletakkan ikat pinggang itu, jangan kau berlambat, kau mesti lekas-lekas mengangkat kaki. Aneh tabiat guruku, apabila ia mendapatkan ada orang di dekat tumpukan tengkorak itu, mungkin ia akan membunuhmu. Guruku lihay, pasti dia bakal dapat menolong aku. Kau tunggu saja aku di kuil Hian Biauw Koan di kota Souwciu.”

“Kau bersumpah dulu, bahwa kau tidak akan akui pula bangsat menjadi ayah dan tidak menjual negara ini untuk mencelakai rakyat!” berkata si nona.

Mendengar itu, Wanyen Kang menjadi tidak senang. Ia kata: “Setelah urusanku beres, sudah tentu aku akan bertindak menurut kata hatiku yang benar. Sekarang kau memaksa aku mengangkat sumpah, apakah mau?!”

Liam Cu lemah hatinya. “Baik, aku akan pergi menyampaikan warta!” bilangnya. Ia meloloskan ikat pinggang si anak muda.

“Adikku, kau hendak pergi sekarang?” kata Wanyen Kang, “Mari, adik!”

“Tidak!” kata si nona yang bertindak ke pintu.

“Aku khawatir belum lagi guruku datang menolong, mereka sudah keburu membunuh aku,” kata pula Wanyen Kang, “Maka itu untuk selama-lamanya aku tidak bakal melihat pula padamu…”

Liam Cu menjadi lemah hatinya. Ia kembali, ia senderkan tubuhnya dalam rangkulan pangeran itu. Ia pasrah. Kemudian, mendadak ia berkata dengan keras: “Di belakang hari, jikalau kau tidak menjadi orang baik-baik, aku bakal mati di hadapanmu!”

Inilah Wanyen Kang tidak sangka, maka itu, ia menjadi melengak.

Liam Cu lompat bangun, untuk berlalu.

Oey Yong sudah lantas menunjukkan pula jalan secara diam-diam seperti tadi, maka setibanya di kaki tembok, Liam Cu bertekuk lutut, mengangguk tiga kali, katanya: “Oleh karena cianpwee tidak sudi memperlihatkan diri, biarlah aku memberi hormatku ke udara saja.”

“Oh, itulah aku tidak berani terima!” terdengar satu suara halus dibarengi sama tertawa geli.

Liam Cu segera mengangkat kepalanya tetapi tetap ia tidak melihat siapapun juga kecuali bintang-bintang di langit. Ia heran bukan main. Ia seperti mengenali suara Oey Yong, hanya ia heran, kenapa orang berada di sini dan tahu jalan rahasia. Ia jalan belasan lie, lantas ia berhenti di bawah sebuah pohon besar untuk tidur, lalu besoknya, dengan menaiki perahu, ia menyeberangi telaga Thay Ouw dan pergi ke kota Souwciu.

Souwciu adalah kota ramai di tenggara walaupun ia tidak dapat melawan Hangciu, di sini orang hidup secara mewah melupakan kekejaman bangsa Kim yang pernah menggilas-gilasnya. Tapi Liam tidak pikirkan pelesiran. Habis bersantap di sebuah rumah makan, melihat matahari sudah doyong ke barat, ia lantas pergi keluar kota utara. Dengan menuruti petunjuk Wanyen Kang, mencari gurunya pemuda itu. Makin lama jalanan makin sulit. Matahari pun segera lenyap di belakang bukit. Segera terdengar suara-suara aneh dari burung¬-burung hutan. Sampai langit sudah gelap ia mencari di lembah, belum juga ia menemui tumpukan tengkorak seperti katanya Wanyan Kang.

“Baiklah aku cari pondokan, besok pagi aku mencari pula,” pikirnya.

Syukur di sebelah barat situ ada sebuah rumah, dengan girang ia lari menghampiri, hingga ia mendapatkan sebuah kuil tua dan rusak, namanya Yoh Ong Bio. Ketika ia menolak pintu, pintu itu roboh menjeblak, debunya beterbangan. Terang sebuah kuil kosong. Di dalamnya penuh kabang¬-kabang, segala apa tidak teratur.

Senang juga Liam Cu mendapati meja masih utuh, ia lantas bersihkan itu, untuk menempatkan diri. Ia tutup pintu, yang ia pasang lagi, lantas ia mengeluarkan rangsum kering untuk menangsal perut. Ia pakai buntalannya sebagai bantal waktu ia merebahkan diri. Ketika ia ingat Wanyen Kang, ia menjadi berduka dan malu, tanpa terasa air matanya meleleh turun. Karena ini, sampai kentongan yang kedua barulah ia dapat tidur. Tiba-tiba saja ia sadar. Ada suara di luar kuil, bukan suara angin, bukan suara air. Ia duduk memasang kuping terlebih jauh. Ketika ia mendengar suara bertambah nyaring, ia lompat ke pintu untuk melihat keluar. Ia menjadi kaget sekali, hatinya memukul dengan keras.

Di bawah terangnya rembulan, terlihat ribuan, ya laksaan ular hijau, bergulat-legot menuju ke timur, bau amisnya masuk ke dalam kuil. Menggelesernya ular itu, itulah yang menerbitkan suara luar biasa itu. Di belakang pasukan ular itu nampak tiga orang pria dengan pakaian serba putih yang tangannya memegang galah panjang peranti menggiring ular itu.

Liam Cu tidak berani mengintai lebih lama, ia khawatir kepergok. Sesudah mendengar suara orang pergi jauh, baru ia mengintai pula. Sekitarnya jadi sepi lagi, ia merasa tengah bermimpi.

Ia membuka pintu, lantas pergi ke luar. Tidak lagi ia melihat ketiga orang dengan pakaian putih itu, hatinya lega. Ia jalan beberapa tindak ke jalan bekas diambil ular itu. Disaat ia hendak membalikkan tubuh, untuk kembali ke kuil, ia melihat barang putih tidak jauh dari dekatnya. Warna putih itu bertojoh sinar rembulan, adanya di atas batu. Ia heran, lalu menghampiri. Ia segera melihat tumpukan tengkorak, malah bertumpuknya tepat seperti ditunjuk Wanyen Kang. Ia kaget berbareng girang. Dengan hati kebat-kebit, ia menghampiri, untuk meletakkan ikat pinggang Wanyen Kang. Tangannya bergetar ketika ia meraba tengkorak itu. Luar biasa sekali, lima jarinya tepat masuk ke dalam lima lubang di tulang tengkorak itu hingga ia menjerit seraya memutar tubuh untuk kabur. Mendadak ia ingat tak perlu ia takut. Ia ketakutan sendiri tanpa perlunya. Maka sekarang ia dapat tersenyum. Maka ia lantas merapikan menaruh ikat pinggangnya itu.

“Pasti benar gurunya luar biasa sekali, entah bagaimana romannya yang menakuti…” pikirnya. Ia memang belum pernah melihat Bwee Tiauw Hong, dan tempo Tiauw Hong bertempur hebat di istana, dia dan ayahnya sudah kabur lebih dulu. Habis itu ia memuji, mengharap gurunya Wanyan Kang itu menemui ikat pinggang ini nanti segera menolongi muridnya balik ke jalan yang lurus.

Tengah si nona memuji, ia merasa pundaknya ada yang pegang. Ia kaget sekali. Tanpa menoleh, ia lompat ke depan, kemudian sambil meletakkan kedua tangannya di depan dadanya, baru ia memutar tubuhnya. Di luar dugaan, orang sudah berada di belakangnya, kembali pundaknya di pegang. Ia berlompat pula, kembali dia disusul, kembali pundaknya di pegang. Kejadian ini terulang empat lima kali. Ia bermandikan keringat dingin. Tak tahu, ia lagi menghadapi manusia lihay atau hantu.

“Kau siapa?!” akhirnya ia menanya, suaranya bergemetar.

Orang itu mencium ke lehernya. “Harum!” katanya.

Liam Cu berbalik dengan cepat sekali, maka sekarang ia dapatkan di depannya berdiri seorang pemuda dengan dandanan sebagai pelajar, tangannya menggoyang-goyangkan kipas, gerak-¬geriknya halus. Dalam kagetnya ia kenali Auwyang Kongcu, salah seorang yang memaksa kematian ayah dan ibu angkatnya. Ia gusar tetapi ia tidak berdaya, maka itu ia memutar tubuhnya untuk lari. Baru saja belasan tindak, Auwyang Kongcu sudah berada di hadapannya sembari tertawa haha-hihi, ia mementang kedua tangannya.

Asal ia maju lagi, ia tentu telah masuk ke dalam rangkulan pemuda itu! Maka ia menghentikan tindaknnya, untuk lari ke kiri. Tapi baru beberapa tindak, kembali orang berada di hadapannya. Ketika ia mengulangi lari beberapa kaki lagi, tetap pemuda itu menyaksikan orang kaget dan takut, saban-saban dia mengulur tangannya untuk umencekuk. Rupanya senang dia mempermainkan nona itu.

Liam Cu menjadi nekat, ia menghunus goloknya dan menyerang. Dua kali membacok, semuanya gagal.

“Ah, jangan galak!” seru pemuda itu tertawa, habis ia membebaskan diri. Ia mengegos ke kiri, tangan kanannya dikebaskan, tangan kirinya di ulur. Maka si nona sudah lantas kena dipegang pinggangnya yang ceking ramping itu.

Liam Cu berontak tetapi sia-sia, ia merasakan tubuhnya sakit. Goloknya pun sudah kena dirampas si pemuda. Ia berontak pula tetapi hanya menyebabkan tubuhnya kena dipeluk. Ia merasakan nadinya ditekan, habislah semua tenaganya, tubuhnya menjadi lemas, tidak bisa meronta lagi.

Auwyang Kongcu mengasih dengar tertawa ceriwisnya. “Kau angkat aku menjadi gurumu, segera aku merdekakan kau!” katanya.

Liam Cu merasakan mukanya diusap-usap, ia mengerti, orang bermaksud buruk terhadapnya, saking mendongkol dan takutnya, mendadak saja ia pingsan. Beberapa lama ia tak sadarkan diri, ia tidak tahu, kapan kemudian ia sadar perlahan-lahan, ia merasakan tubuhnya masih dipeluk orang. Mulanya ia menyangka berada dalam rangkulan Wanyan Kang, ia girang, tetapi ia membuka matanya, ia dapatkan Auwyang Kongcu. Ia kaget, malu, lantas berontak. Hendak ia berteriak, mulutnya sudah disumpal dengan sapu tangan. Sekarang ia mendapatkan dirinya diapit kiri dan kanan oleh masing-masing delapan wanita yang canti-cantik, yang semuanya pun serba putih pakaiannya, setiap wanita memegang senjata, hanya mata mereka mengawasi ke tengkorak-¬tengkorak di atas batu.

Heran nona Bok, tak tahu orang lagi berbuat apa. Ia menyesal tak dapat menggerakkan tubuhnya, ia hanya bisa menoleh. Ia kaget luar biasa waktu ia berpaling ke Auwyang Kongcu.

Di belakang pemuda itu berkumpul ular-ular hijaunya, tubuh semua ular itu tidak bergerak, mulutnya terbuka, di situ terlihat lidahnya semua, warnanya merah, merupakan sebagai lautan lidah. Di antara ribuan ular itu ada tiga pria dengan baju putih dan tangan mencekal galah.

Ketika ia menoleh ke arah sembilan tengkorak, yang ia awasi, di sana terlihat gelang emas pada ikat pinggang mengasih lihat warna gemerlapan, tiba-¬tiba ia ingat suatu.

“Mungkin mereka ini lagi menanti tibanya guru engko Kang,” ia berpikir. “Mestinya mereka lagi bersiap dengan sikap bermusuh….. Kalau gurunya Wanyen Kang datang seorang diri, mana ia sanggup melawan mereka ini? Di sini pun ada ribuan ular hijau….”

Cemas hatinya si nona. Ia lalu berharap-harap supaya gurunya Wanyen Kang jangan datang.

Selang tengah jam, rembulan tampak mulai naik, Auwyang Kongcu terlihat mendongak memandang si putri malam.

“Apakah mungkin guru Wanyen Kang baru akan datang sesudah rembulan naik?” nona Bok ini menduga-duga.

Rembulan terus naik perlahan-lahan, naik melintasi di atas pepohonan. Langit menjadi terang sekali dan bersih. Tidak ada suara lain, kecuali kutu-kutu dari empat penjuru atau suara burung malam. Malam sunyi sekali……….

Auwyang kongcu masih memandangi putri malam. Sekarang ia serahkan Liam Cu kepada satu nona, untuk nona itu yang memeluknya. Ia sendiri mengeluarkan kipasnya, dicekal di tangan kanan. Matanya mengawasi ke sebuah pengkolan.

Liam Cu menduga bahwa orang yang dinanti-nanti bakal segera datang, dengan sendirinya hatinya tegang. Apa yang bakal terjadi?

Tidak lama dalam kesunyian itu, dari jauh terdengar suara tajam, lalu suara itu datang mendekat. Maka sekarang terlihat seorang wanita dengan rambut riap-¬riapan muncul di pengkolan. Dia sudah lantas bertindak dengan perlahan. Mungkin ia sudah merasa ada orang di dekatnya.

Liam Cu menduga inilah guru Wanyen Kang. Ia menjadi heran. Ia telah menyangka kepada seorang luar biasa, tidak tahunya cuma wanita macam ini….

Bwee Tiauw Hong telah memperoleh kemajuan setelah di dalam istana mendapatkan beberapa petunjuk dari Kwee Ceng untuk melatih diri. Ia meyakinkannya dengan sungguh-sungguh. Hasilnya kedua kaki dapat dipakai berjalan dengan cepat. Ia tahu Kanglam Liok Koay sudah pulang ke Kanglam, ia hendak menyusul untuk membalas dendam. Demikian ia menyusul selagi si pangeran muda menjadi utusan negara Kim, mengikuti ke Selatan. Ia masih berlatih diri terus, karena itu ia tidak dapat naik perahu, ia ambil jalan darat, supaya nanti dapat bertemu di Souwciu.

Karena perpisahan ini, ia tidak tahu bahwa Wanyen Kang sudah terjatuh ke tangan perampok. Ia pun tidak tahu bahwa Auwyang Kongcu untuk membalas sakit hati gundiknya, telah menanti di tempat ini. Hanya saking lihaynya, ia segera mendengar suara orang bernapas. Sekarang ia mendengar satu suara lain yang ia anggap luar biasa.

“Sungguh lihay!” kata Auwyang Kongcu dalam hatinya. ia lihat berhenti bertindak. Ia lantas mengebaskan kipasnya, ia bangkit, berniat untuk segera menyerang. Syukur sebelum ia melompat, tiba-¬tiba ia melihat satu orang muncul dari sebuah tikungan. Ia mengawasi, orang itu tinggi dan kurus, pakaiannya sebagai seorang sastrawan, hanya mukanya belum tampak jelas. Yang aneh, tindakan orang itu tidak bersuara. Sekalipun Bwee Tiauw Hong, ia masih mengasih dengar tindakan perlahan.

Segera orang itu datang mendekat. Ia berdiri di belakang Bwee Tiauw Hong, matanya menyapu kepada pemuda she Auwyang.

Sekarang Auwyang Kongcu dapat melihat wajah orang, ia terkejut, tubuhnya menggigil. Itulah muka dengan sepasang mata seperti berputaran, dengan warna kulit dari mayat, romannya tidak jelek amat tetapi diam dan dingin. Karena ini, ia mesti mengatasi dirinya.

Ketika itu Bwee Tiauw Hong pun bertindak perlahan, setindak demi setindak.

Hati Auwyang Kongcu gentar. “Baiklah aku turun tangan lebih dulu!” pikirnya. Maka tangan kirinya dikibaskan sebagai tanda. Menyusul tiga penggembala ular lantas membunyikan suitan. Maka semua ular mulai bergerak.

Semua wanita berbaju putih itu duduk tidak bergeming. Mungkin mereka semua membekal obat pemunah racun, semua ular berlegot melewati mereka, tidak ada yang melanggarnya.

Bwee Tiauw Hong mendengar suara bergeraknya ular-ular itu. Ia berlompat mundur beberapa tombak.

Dengan petunjuk si penggembala, semua ular itu memisahkan diri memenuhi tegalan belukar. Siapa kena tergigit, celakalah dia. Semua binatang itu berbisa.

Liam Cu mengawasi dengan hati kebat-kebit. Ia lihat Bwee Tiauw Hong beroman jeri, maka ia cemas hatinya untuk gurunya Wanyen Kang ini. Hanya sedetik, Bwee Tiauw Hong lantas mengeluarkan cambuknya yang panjang, terus putar di sekitarnya. Dilain pihak, semua ular sudah datang mendekat, sikapnya mengurung. Beberapa ekor, menuruti titahnya siutan, berlompat menyerang, tetapi segera mereka terpental balik terkena angin cambuknya Tiauw Hong itu.

“Siluman wanita she Bwee!” berseru Auwyang Kongcu sesudah sekian lama ia membungkam saja. “Ketahui olehmu, aku tidak menghendaki nyawamu! Kau keluarkan kitab Kiu Im Cin-keng, kongcumu akan segera membebaskanmu!”

Tiauw Hong tinggal mengambil mumat, ia terus putar cambuknya.

“Jikalau kau sanggup, kau putarlah cambukmu selama satu jam!” Auwyang Kongcu berkata pula. “Aku nanti menunggu kau sampai besok pagi. Aku mau lihat kau serahkan kitabmu itu atau tidak!”

Tiauw Hong tidak menyahuti, ia gelisah, memikir daya untuk meloloskan diri. Ia pasang kupingnya. Ia ketahui, disekitarnya ular belaka. Ia tidak berani bertindak, khawatir nanti kena menginjak ular. Hebat kalau ia kena dipagut walaupun cuma satu kali saja…..

Dari berdiri, Auwyang Kongcu lantas duduk. Ia berdiam lagi sekian lama, lalu dengan suara puas, ia mengasih dengar suaranya: “Orang she Bwee, kitabmu itupun kau dapati dari mencuri, dan selama duapuluh tahun, kau pasti sudah meyakinkan dengan seksama, maka itu, perlu apa kau peluki saja kitab itu hingga mampusmu? Kau pinjamkan kepadaku, untuk aku lihat, dengan begitu dari musuh kita menjadi sahabat, aku akan melupakan segala apa yang sudah lewat! Tidakkah itu bagus sekali?”

“Kalau begitu, bubarkan barisan ularmu ini!” menyahut Bwee Tiauw Hong.

Auwyang Kongcu tertawa, “Kau serahkan dulu kitabmu!” katanya.

Kitab “Kiu Im Cin-keng” di tangan Bwee Tiauw Hong hanya separuh ia pandang itu bagaikan nyawanya, dari itu tidak sudi ia menyerahkannya. Ia sudah mengambil keputusan: “Kalau aku mati, aku akan merobek-robek ini!”

Liam Cu tegang hatinya, ia habis sabar.

“Lekas panjat pohon! Lekas panjat pohon!” ia berteriak menganjurkan. Tapi mulutnya disumbat, tak dapat ia mengasih dengar teriakannya itu.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar