Senin, 26 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 051

“Mari kita main-main di air,” Oey Yong mengajak.

Pemuda itu setuju, mereka hampiri perkampungan nelayan, di sebuah rumah mereka menitipkan kuda dan keledai, lalu mereka meminjam sebuah perahu kecil, hingga di lain saat mereka sudah mengayuh di permukaan air, meluncurkan perahu itu, meninggalkan tepian. Dari perahu, mereka sekarang dapat melihat sekitarnya, yang agaknya jadi terlebih luas lagi.

Rambut dan baju Oey Yong dipermainkan angin keras. Ia gembira sekali, sambil tertawa ia berkata: “Dulu hari Hoan Tayhu telah menaiki perahu bersama¬ See Sie pesiar di Danau Lima ini, dia sungguh cerdik sekali. Mati tua disini bukankah ada lebih menang daripada seumur tahun repot sebagai pembesar negeri?”

Kwee Ceng tidak tahu riwayatnya Hoan Tayhu itu. “Yong-jie, coba kau tuturkan tentang Hoan Tayhu dan See Sie itu,” ia minta.

Oey Yong suka memberikan keterangan. Maka ia menutur tentang Hoan Tayhu atau Menteri Hoan itu yang bernama Lee, yang pandai, hingga ia berhasil membantu Raja Wat menuntut balas membangun negara, tetapi sesuadah berhasil, ia kenal batas, dia mengundurkan diri bersama-sama See Sie, hidup dalam kesunyian dan ketenangan di telaga Thay Ouw ini. Pandai ia menutur hingga pemudanya menjadi kesemsem saking tertarik harinya.

“Benar-benar Hoan Lee itu cerdik,” kata si pemuda kemudian, “Tidaklah demikian dengan Ngouw Cu Sih dan Bun Ciong, sampai hari ajalnya mereka masih bekerja setia untuk negara. Sukar dicari orang-orang seperti mereka itu.”

“Memang!” berkata si nona. “Ini dia yang disebut, ‘Negara adil, tak berubah, itulah kegagahan, negara buruk, sampai mati tak berubah, itulah kegagahan.’”

Kwee Ceng tidak mengerti, “Apakah artinya itu?” ia menanya.

“Itu artinya, di dalam negeri bijaksana, kau menjadi pembesar negeri, kau tetap tidak berubah kejujuranmu semenjak bermula, di dalam negara buruk, kau berkorban jiwa raga, kau tetap tidak merusak kehormatan dirimu, itu pun satu laki-laki sejati.”

Kwee Ceng mengangguk. “Yong-jie, cara bagaimana maka kau dapat memikir demikian?” ia bertanya pula.

“Aha!” Oey Yong tertawa. “Kalau aku yang dapat memikir begitu, bukankah aku telah berubah menjadi nabi? Itulah ujar-ujarnya Nabi Khong Hu-cu, diwaktu aku masih kecil, ayah paksa aku membacanya.”

“Sungguh banyak aku tidak mengerti,” Kwee Ceng menghela napas. “Coba aku bersekolah, pastilah aku ketahui itu semua.”

“Sebaliknya aku menyesal telah belajar surat,” berkata Oey Yong. “Coba ayah tidak memaksa aku bersekolah, melukis, menabuh khim, hanya aku dibiarkan meyakinkan ilmu silat, pasti kita tak usah takut Bwee Tiauw Hong dan si siluman bangkotan she Nio itu!”

Asyik mereka pasang omong tanpa merasa perahu mereka sudah meninggalkan tepian belasan lie. Di dekat mereka, melihat sebuah perahu kecil dimana seorang nelayan bercokol di kepala perahunya sedang mengail ikan sambil kepalanya ditundukkan, hingga dia nampak seperti lukisan gambar saja. Mereka bicara terus, ketika mereka berpaling kepada si nelayan, dia tetap duduk tak bergerak.

“Sungguh dia sabar dan ulet sekali!” kata Oey Yong tertawa. Kemudian di antara desiran angin dia bernyanyi, dari gembira menjadi sedih. Sebab ia menyanyikan “Syair Naga Air”. Ia bernyanyi baru separuh, tiba-tiba terdengar sambutan yang serupa, yang kemudian ternyata adalah suara si tukang pancing ikan itu.

Oey Yong terbengong.

“Eh, kau kenapakah?” tanya Kwee Ceng heran.

“Itu nyanyian yang sering dinyanyikan ayahku,” menyahut si nona. “Aku heran seorang tukang pancing di sini pun dapat menyanyikan itu dan suaranya pun bersemangat tetapi pun bernada duka. Mari kita lihat.”

Mereka mengayuh, menghampiri tukang pancing itu, siapa justru telah berhenti memancing dan menyimpan pancingnya serta ia mengayuh perahunya pergi.

Ketika kendaraan air mereka berpisah beberapa tombak lagi, tukang pancing itu terdengar berkata: “Di tengah telaga bertemu sama sepasang tetamu mulia, aku girang sekali! Sudikah kalau aku mengundang kalian bersama minum arak?”

“Cuma kami khawatir mengganggu lotiang,” Oey Yong menyahut. Ia heran untuk kata-kata rapi dari si tukang pancing itu.

“Tidak sama sekali, malah aku bergirang. Silahkan!” dia itu mengundang pula.

Dengan beberapa kali mengayuh pula, Oey Yong merapatkan perahunya kepada perahu si nelayan, bersama Kwee Ceng ia pindah perahu, habis menambat perahunya sendiri kepada perahu orang, mereka memberi hormat. Nelayan itu membalas sambil duduk terus.

“Maaf, jiwi, kakiku sakit, tidak dapat aku bangun berdiri.” katanya.

“Jangan merendah, lotiang,” berkata muda-mudi itu.

Mereka mendapatkan orang berusia empatpuluh lebih, mukanya kurus, mirip orang yang lagi menderita sakit berat, tubuhnya jangkung, meski duduk, ia jauh lebih tinggi dari Kwee Ceng. Ia tidak sendirian. Di buntut perahu ada satu kacung lagi mengipasi perapian, dimana ia tengah memanasi arak.

Oey Yong perkenalkan she mereka, bahwa saking gembira mereka bermain perahu. Ia memohon maaf yang mereka sudah mengganggu ketentraman si nelayan.

“Kau merendah,” kata si nelayan tertawa. “Aku she Liok. Apa jiwi berdua baru pertama kali ini pesiar di telaga ini?”

“Benar,” sahut Kwee Ceng.

Kedua pemuda ini – sebab Oey Yong menyamar – lantas diundang minum dan dahar sayur mayur yang terdiri dari empat rupa. Mereka mengucap terima kasih, mereka minum dan dahar bersama. Nyata araknya wangi dan sayurnya pun lezat, mesti itu masakan orang hartawan.

“Siauwko, kau muda sekali, tapi pandai kau menyanyikan syair Naga Air itu,” si orang she Liok itu memuji.

“Lotiang pun sama juga,” Oey Yong membalasi.

Keduanya lantas bicara hal syair itu, dua-duanya gembira. Kwee Ceng tidak mengerti hal syair, ia membungkam, cuma kagum.

Ketika itu terlihat mega berkumpul. Si orang she Liok itu mengundang kedua tetamunya berkunjung ke rumahnya, untuk berdiam beberapa hari. Ia kata rumahnya itu di tepi telaga.

“Bagaimana, engko Ceng?” Oey Yong tanya kawannya.

Belum lagi Kwee Ceng menyahut, si orang she Liok itu sudah berkata pula bahwa rumahnya dekat dan di sana ada puncak yang indah. “Jiwi tengah pesiar, maka itu, jangan kau menampik,” ia mendesak.

“Kalau begitu, Yong-jie, mari kita membikin berabe tuan Liok!” akhirnya Kwee Ceng menjawab kekasihnya. Ia pun mengucapkan terima kasih.

Si orang she Liok itu girang, ia terus menyuruh kacungnya mengayuh. Sampai di tepian, langit mulai gelap, Kwee Ceng kata ia hendak membayar pulang dulu perahunya, sedang di rumah si tukang perahu ada kuda dan keledainya, hendak binatang itu dititipkan terus.




“Tidak usah,” kata si orang she Liok mencegah. “Disini semua kenal aku, hal itu biar dia saja yang mengurusinya.” Dia menunjuk kacungnya.

“Kudaku nakal,” kata Kwee Ceng.

“Kalau begitu baiklah, nanti aku menanti di gubukku,” kata si orang she Liok itu. Dia tertawa, lantas dia mengayuh perahunya, lenyap di antara pohon-pohon yangliu. Tapi kacungnya ikut Kwee Ceng dan Oey Yong memulangi perahu dan mengambil kuda serta keledai mereka. Kemudian mereka mesti berjalan berliku-liku sampai di rumah si orang she Liok, yang merupakan suatu rumah besar dengan pekarangan yang lebar luas. Untuk tiba di muka pekarangan, mereka mesti melintasi dulu sebuah jembatan tunggu. Muda mudi itu saling mengawasi, kagum karena rumah orang itu.

Di muka pintu, kedua tetamu ini disambut seorang muda umur duapuluh lebih yang membawa empat budak. Ia kata diutus ayahnya untuk menyambut. Kwee Ceng membalas hormat, mengucap terima kasih. Ia melihat pemuda itu mengenakan jubah panjang, wajahnya mirip ayahnya, cuma tubuhnya besar dan kekar. Ia lantas minta belajar kenal.

Pemuda itu menyebutkan namanya, Koan Eng.

Sembari berbicara mereka bertindak masuk, memasuki hingga tiga ruangan. Kedua tetamu ini menjadi terlebih kagum. Rumah itu indah tiang-¬tiangnya terukir.

“Lekas silahkan tetamu masuk!” lantas terdengar suaranya si orang she Liok, yang berada di ruang belakang.

“Ayahku terganggu kakinya, sekarang ia menanti di kamar tulis Timur,” Koan Eng memberitahu.

Mereka melintasi pintu angin, lantas mereka lihat pintu kamar tulis yang dipentang. Di dalam situ si nelayan duduk di atas pembaringan. Sekarang ia tidak dandan lagi sebagai tukang pancing, hanya mengenakan pakaian pelajar atau sastrawan, tangannya mencekal kipas. Ia menyambut dengan gembira, sambil tersenyum, ia pun lantas mengundang duduk. Koan Eng tidak berani duduk bersama, ia berdiri di samping.

Dua tetamu itu mengagumi kamar tulis itu, yang banyak kitabnya serta juga rupa-rupa barang kuno, tetapi Oey Yong terbengong ketika ia melihat sepasang lian di tembok, bunyinya “Dalam tumpukan pakaian menyimpan pedang mustika” dan “Dalam suara seruling dan tambur ada tetamu tua”. Ia heran untuk kata-katanya. Itu kata-kata yang suka disenandungkan ayahnya. Di bawah lian itu tertulis nama penulisnya berikut keterangannya: “Coretan Ngo Ouw Hoat-jin selama dalam sakitnya”. Kata-kata “Ngo Ouw Hoat-jin” itu berarti “Orang tapakdaksa dari Thay Ouw”. Ia menduga, si orang tapakdaksa itu tentulah tuan rumah she Liok ini. Bukankah ia lagi menderita sakit kaki?

Tuan rumah heran. “Bagaimana pandanganmu tentang lian itu, laotee?” ia menanya.

“Kalau aku mengaco, harap chung-cu tidak buat kecil hati,” sahut Oey Yong. Ia sekarang memanggil “chung-cu” = tuan rumah. Ia kata lian itu mengandung kemurkaan dan penasaran, sedang tulisannya bagus dan keren. Ia anggap orang telah menyimpan pedangnya untuk hidup menyendiri di tempat sepi. Mendengar itu, tuan rumah menghela napas, ia berdiam.

“Aku masih muda dan tidak tahu apa-apa, aku telah sembarangan omong, harap chung-cu suka memaafkan,” berkata Oey Yong.

“Jangan mengucap demikian, Oey Laotee,” berkata Liok Chung-cu. “Apa yang tersimpan di dalam hatiku berulah hari ini dapat dilihat orang seorang sebagai kau, maka bisalah dibilang, kaulah orang yang paling mengenal aku selama hidupku ini.” Lalu ia menoleh kepada putranya, menyuruh lekas menyiapkan barang hidangan.

Oey Yong dan Kwee Ceng meminta tuan rumah jangan membikin berabe tetapi tuan rumah yang muda sudah lantas mengundurkan diri.

“Laotee, pandanganmu tajam, kau mestinya dari keluarga terpelajar, mungkin ayahmu seorang sastrawan besar,” berekat tuan rumah. “Entah siapa ayahmu itu, bolehkah aku mengetahui nama besarnya yang mulia?”

“Aku tidak mengerti apa-apa, chung-cu terlalu memuji,” menyahut Oey Yong. “Ayahku cuma membuka rumah perguruan di kampung halaman.”

Tuan rumah itu menghela napas. “Orang terpelajar tak menemui nasibnya yang baik, sejak dahulu hingga sekarang sama saja,” katanya. “Oey Laotee, kita ada bagaikan sahabat lama, maka itu aku ingin minta kau melukis sesuatu untukku, sebagai tanda peringatan. Sudikah kau meluluskannya?”

Oey Yong tersenyum. “Oh, chung-cu!” katanya. “Coretan buruk, cuma-cuma akan membikin kotor mata chung-chu saja!” Mengetahui orang suka meluluskan, tuan rumah menjadi sangat girang, ia suruh kacungnya lekas menyediakan perabot tulis. Si kacung sendiri yang menggosokan baknya.

Oey Yong tidak menampik lagi, cuma berpikir sebentar, lantas ia melukiskan gambarnya seorang pelajar usia pertengahan lagi berdiri di latar tengah sedang berdongak sambil menghela napas memandangi si putri malam yang cahayanya terang permai, pelajar itu agaknya kesepian, tetapi tangannya dia memegangi gagang pedang, romannya keren. Di samping lukisan itu dituliskan syair: “Siauw Tiong San” dari Gak Hui. Sebagai tanda tangan ia menyebutkan dirinya si anak muda she Oey.

Liok Chung-chu girang sekali, ia memuji dan mengucapkan terima kasih. Ia senang dengan gambar itu.

Habis bersantap, mereka kembali ke kamar tulis, akan pasang omong pula. Tuan rumah menyebutkan halnya kedua gua Thio Kong dan Sian Koan. Ia minta kedua tetamunya tinggal beberapa hari lagi untuk menjenguk kedua gua itu.

“Sekarang silahkan jiwi beristirahat,” kata tuan rumah akhirnya.

Kwee Ceng dan Oey Yong mengucap terima kasih, mereka bangkit, mengikuti kedua bujang yang membawa lentera, mengantar ke kamar yang telah disediakan untuk mereka. Selagi lewat di ambang pintu, Oey Yong mendongak, maka terkejutlah ia nampak di atas pintu ada delapan lembar besi merupakan patkwa. Tapi ia tidak bilang apapun, ia mengikuti terus pengantarnya itu.

Kamar yang disediakan diperaboti lengkap, pembaringannya dua. Kedua bujang menyediakan teh, ketika hendak mengundurkan diri mereka memberitahu apabila perlu apa-apa, kedua tetamunya boleh membunyikan kelenengan, yang diikat di pinggiran pembaringan. Kemudian mereka memesan agar diwaktu malam jangan kedua tetamunya itu pergi keluar.

“Engko Ceng, lihat, tempat apa ini,” berbisik Oey Yong setelah kedua bujang menutup pintu kamar dan berlalu. “Kenapa kita dilarang keluar di waktu malam?”

“Rumah ini luas sekali pekarangannya, berliku-liku juga, mungkin dikhawatirkan kita kesasar,” sahut Kwee Ceng.

“Bagaimana engko lihat tuan rumah kita?” si nona menanya pula.

“Dia mirip perwira yang telah mengundurkan diri!” jawab si anak muda.

“Tidak salah! Dia tentu mengerti ilmu silat, bahkan lihay. Kau lihat tidak tadi itu patkwa besi di atas pintu kamar tulis?”

“Patkwa besi? Apakah itu?” tanya si pemuda.

“Itu senjata yang menjadi alat untuk meyakinkan ilmu Pek-khong-ciang, latihan memukul udara kosong. Ayah pernah ajarkan aku ilmu itu, aku bosan, selang beberapa bulan, aku mengapalkannya siapa tahu, di sini aku melihat alat itu…”

“Kelihatannya Liok Chung-cu tidak bermaksud jahat, maka itu apabila dia tidak membilang sesuatu apa, kita baik perpura-pura pilon.”

Oey Yong tersenyum, lalu tangannya mengebas ke lilin, memadamkan api.

“Tanganmu sungguh lihay!” Kwee Ceng memuji perlahan. “Yong-jie, adakah ini Pek-khong-ciang?”

“Cuma sebegini pelajaranku,” Oey Yong tertawa. “Ini ada untuk main-main, buat dipakai menyerang orang, tidak dapat.”

Sampai di sini, keduanya tidur.

Mereka belum puas ketika kuping mereka dapat menangkap suara bagaikan orang meniup terompet kulit keong, terdengarnya samar-samar, tandanya jauh suara itu, kemudian datang suara yang menyambutnya, tanda terompet itu dibunyikan bukan oleh satu orang. Suara menyambut itu pun samar-¬samar.

“Engko Ceng, mari kita lihat,” Oey Yong mengajak, suaranya perlahan. Ia heran sebab terompet itu terang saling sahutan.

“Lebih baik kita jangan keluar, khawatir terbit gara-¬gara.” sahut si pemuda.

“Siapa bilang untuk menerbitkan gara-gara? Aku mengatakan untuk melihat.” jawab si nona bersikeras.

Kwee Ceng terpaksa menurut, maka dengan hati-hati keduanya membuka jendela, untuk melongok dulu keluar. Di paseban terlihat beberapa orang dengan lentera, beberapa lagi pergi datang, agaknya repot. Di atas genteng pun ada tiga empat orang lagi mendekam. Di antara terangnya lentera, terlihat nyata orang pada membekal senjata tajam. Tidak lama, semua orang itu pergi keluar.

Oey Yong heran, ingin ia mencari tahu, dari itu ia tarik tangan Kwee Ceng pergi ke jendela sebelah barat. Di luar situ tidak ada orang, keduanya lompat keluar. Kerena kegesitannya, mereka tak terlihat orang-orang di atas genting itu.

Dengan memberi tanda dengan tangannya, si nona mengajak kawannya jalan mutar ke belakang. Jalanan di situ dari timur belok ke barat, berliku-liku. Heran setiap paseban di tikungan, modelnya sama. Maka dalam beberapa belokan saja, tak dapat dibedakan lagi mana timur mana barat, mana selatan mana utara. Tapi si nona lihay, ia maju terus dengan cepat, tidak pernah ia bersangsi. Pernah nampaknya di depan tidak ada jalanan tetapi ia menobloskan gunung-gunungan.

Heran Kwee Ceng setibanya mereka di sebuah lorong yang agaknya buntu tetapi belakangnya pintu angin nyata ada sebuah tempat tenang dan indah, hingga ia kata pada kawannya: “Yong-jie, rumah ini aneh, cara bagaimana kau kenal semua jalanan?”

Oey Yong tidak menjawab, dengan tangannya ia memberi tanda supaya si pemuda tutup mulut. Mereka melalui beberapa tikungan, baru mereka tiba di tembok belakang. Di situ si nona menekuk-nekuk tangannya, ia maju beberapa tindak, kemudian Kwee Ceng dengar ia menyebutnya perlahan: “Cit satu…tun tiga…ie lima…hiu tujuh…kun….” yang ia tak mengerti, akhirnya si nona kata sembari tersenyum: “Cuma di sini ada jalan keluar, yang lainnya penuh dengan alat rahasia.” Habis berkata, ia lompat naik ke tembok. Kwee Ceng lantas mengikuti.

“Pekarangan ini diatur menurut patkwa,” Oey Yong memberi keterangan. “Inilah keahlian ayahku. Liok Chung-cu bisa menyulitkan orang lain, tidak aku!” Dan ia agaknya puas sekali.

Keduanya naik di tanjakan bukit kecil di belakang, memandang ke arah timur, mereka melihat sebarisan lentera obor yang menuju ke tepi telaga. Oey Yong memberi tanda, ia lari ke arah timur itu, kawannya mengikuti terus. Lantas mereka sembunyi di belakang batu besar, mengintai ke tepian. Di situ berbaris perahu-perahu nelayan, orang semua menaiki itu. Sejenak saja, semua api dipadamkan.

Oey Yong berdua menunggu naiknya rombongan paling belakang, di dalam gelap gulita mereka keluar dari tempat persembunyiannya, lari ke sebuah perahu yang paling besar, lompat naik ke gubuk perahu. Gesit dan enteng tubuh mereka, perbuatannya itu tidak ada yang ketahui. Mereka lantas mengintai di sela-sela gubuk. Segera ternyata, duduk di dalam perahu ada si chung-cu muda, Liok Koan Eng.

Semua perahu itu berlayar baru satu lie kira-kira, dari tengah telaga terdengar suara terompet. Dari perahu besar itu terlihat keluar seseorang, dia terus meniup terompet sebagai balasan. Perahu berlayar terus.

Selang beberapa lie lagi, terlihat di sebelah depan berbaris perahu kecil berjalan bagaikan kawanan semut, atau titik-titik di atas kertas putih, entah berapa jumlahnya.

Tukang terompet di perahu besar meniup pula terompetnya, tiga kali, lantas perahu kecil segera datang menghampiri dari pelbagai penjuru.

Oey Yong dan Kwee Ceng heran betul. Agaknya bakal ada pertempuran, tetapi Koan Eng tetap tenang sikapnya, tak seperti lagi mengahadapi musuh besar.

Lekas sekali semua perahu sudah datang dekat, dari setiap perahu lompat pindah satu orang, dua orang, tiga empat orang, tak tentu, di dalam, mereka memberi hormat kepada Koan Eng, terus mereka duduk, sikapnya tetap menghormat, duduknya rapi. Tempat duduknya seperti sudah diatur, sebab ada yang datang duluan duduknya di belakang atau di tengah, ada yang datang belakangan justru duduk di kursi kepala. Sebentar saja, semua sudah duduk. Mereka kelihatan keren, bukan seperti nelayan.

“Thio Toako, apa kabarmu?” tanya Liok Koan Eng seraya ia mengangkat tangannya. Ia memecahkan kesunyian setelah semua orang sudah duduk rapi itu.

Seorang yang kurus tubuhnya bangkit. Ia menyahuti: “Peruntusan negara Kim itu sudah mengatur sebentar pagi-pagi akan melewati telaga dan Toan Cie-hui akan tiba lagi dua jam. Dengan alasan menyambut peruntusan itu, di sepanjang jalan Cie-hui itu sudah memeras harta benda. Ini pun sebabnya dia datang terlambat.”

“Berapa banyak hasilnya?”

“Setiap kota ada bingkisan. Serdadu-¬serdadunya pun merampas di perkampungan. Aku lihat, waktu turun ke perahu, pengikutnya menurunkan duapuluh peti lebih yang semua nampaknya sangat berat.”

“Berapa banyak tentaranya?” Koan Eng menanya pula.

“Dua ribu serdadu berkuda. Yang naik perahu semuanya adalah serdadu berjalan kaki. Karena perahu tidak banyak, yang ketinggalan ada sekitar seribu jiwa.”

“Saudara semua, bagaimana pikiranmu?” Koan Eng tanya para hadiran.

“Kami menanti titah siauw chung-cu!” ia mendapat jawaban serempak.

Koan Eng lantas bersidakep tangan, lalu ia berkata: “Semua itu keringat darah rakyat, semuanya harta tak halal. Karena mereka lewat di sini, kalau kita tak ambil, kita menentang wet Tuhan! Mari kita ambil semuanya, nati separuhnya kita amalkan kepada rakyat jelata, yang separuhnya kita bagi rata antara semua markas!”

“Bagus!” semua hadirin setuju.

Baru sekarang Oey Yong berdua ketahui, semua orang itu adalah kepala-kepala perampok dan Koan Eng rupanya adalah pemimpin umumnya!

“Kita tidak dapat berayal lagi, mari segera kita turun tangan!” berkata Koan Eng lagi. “Thio Toako, tolong bawa lima buah perahu untuk membikin penyelidikan di depan!”

Si orang kurus menerima titah itu, ia berlalu paling dulu.

Setelah itu Koan Eng mengatur barisannya, siapa yang jadi pelopor, siapa penyambut atau pembantu, siapa mesti jadi “siluman air”, akan selulup di dalam air untuk memahat perahu-perahu musuh, dan siapa mesti jadi tukang angkut harta. Bahkan ditetapkan siapa mesti membekuk si kepala pasukan musuh. Dia kelihatan lemah tetapi rapi pengaturannya. Maka itu, Kwee Ceng berdua bertambah kagum.

Disaat orang hendak mulai berangkat, seorang hadirin bangkit dan berkata dengan suara dingin: “Kita yang bekerja tanpa modal ini, sudah cukup kalau kita makan dari kaum pedagang kaya raya, tetapi dengan menempur pembesar dan tentara negeri, apa selanjutnya kita masih bisa berdiam di telaga ini?”

Kwee Ceng dan Oey Yong mengawasi orang itu, yang suaranya mereka rasa mengenalinya. Tidak usah mereka memandang lama, lantas mereka kenali orang ini ialah Toat-pek-pian Ma Ceng Hiong, salah satu dari keempat Hong Ho Su Koay, Empat Iblis dari sungai Hong Ho, muridnya See Thong Thian. Maka heran mereka, kenapa iblis itu nelusup di antara kawanan dari Thay Ouw itu.

Wajahnya Liok Koan Eng menjadi merah padam. Belum lagi ia membuka suara, sudah ada dua tiga orang yang menegur Ceng Hiong itu.

“Ma Toako baru datang, tidak heran kau tidak ketahui aturan kami di sini,” kata Koan Eng mencoba bersikap sabar. “Bagi kami, satu kali semua orang sudah mengambil keputusan, kami mesti bekerja, biar kami semua ludas, kami tidak menyesal!”

“Baiklah!” kata Ceng Hiong. “Kamu lakuan usahamu, aku tidak dapat mencampuri air keruh kamu!” Ia terus memutar tubuhnya, berniat berlalu.

Dua orang, yang tubuhnya besar, melintang di mulut perahu. “Ma Toako!” kata mereka keras. “Kau sudah bersumpah memotong kepala ayam! Sumpah kita adalah, rejeki sama dicicipi, bencana sama diderita!”

Ma Ceng Hiong tidak menggubris cegahan itu. “Minggir!” ia membentak, kedua tangannya dikebaskan.

Sebagai kesudahannya, dua orang tinggi besar itu roboh terpelanting.

Disaat iblis ini hendak bertindak, ia merasakan sambaran angin pada punggungnya. Segera ia berkelit ke samping, tangan kirinya mencabut semacam pusut ia membalas menyerang dengan tikaman.

Penyerang yang gesit itu adalah Liok Koan Eng. Dia menangkis, kakinya dimajukan, tangan kanannya menyerang terus. Maka “Duk!” punggung Ceng Hiong kena terhajar hingga dia menjerit keras, memuntahkan darah, tubuhnya terus roboh binasa seketika.

“Bagus!” berseru semua hadirin, diantara siapa ada yang sambar tubuh Ceng Hiong itu, untuk digayor ke tengah telaga!

“Semua saudara, berebutlah maju!” Koan Eng menyerukan tanpa menghiraukan lagi apa yang ia barusan lakukan.

Semua orang menyahut, lantas semua kembali ke perahu masing-masing.

Sebentar kemudian, semua kendaraan air itu sudah menuju ke timur. Perahu besar Koan Eng mengiringi dari belakang. Tidak lama terlihatlah jauh di sebelah depan beberapa puluh buah perahu besar, yang apinya terang-terang, tengah menuju ke barat.

Di antara perahu kecil lantas terdengar suara terompet keong.

Kwee Ceng dan Oey Yong memasang mata. Mereka tidak usah menanti lama atau kedua pihak perahu sudah datang dekat satu pada lain, lantas terdengar suara bentakan-bentakan disusul mana beradunya senjata atau tubuh yang kecemplung ke muka air.

Selang tidak lama, di pihak perahu tentara terlihat api berkobar, hingga seluruh telaga menjadi merah marong.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar