Sabtu, 24 Oktober 2020

Pendekar Pemanah Rajawali Jilid 050

Oey Yong lari berliku-liku, sampai di bawah sebuah pohon yang besar, ia berdiri diam. Ia lihat di sekitar situ tidak ada lain orang. Sembari tertawa, ia berkata: “Jikalau kau dapat mengalahkan aku, segera aku pulangi pisau ini!”

“Adik, jangan main-main,” kata Liam Cu sabar setelah ia menyandak. “Melihat pisau itu, aku seperti melihat ayah ibuku, kenapa kau hendak mengambilnya?”

“Siapa adikmu?!” bentak si nona Oey, terus ia menyerang.

Liam Cu kaget, ia berkelit, tetapi Oey Yong lihay, “Buk! Buk!” dua kali dia kena dihajar iganya. Dia menjadi gusar sekali, lantas ia membalas menyerang, hebat.

“Oey Yong tertawa, “Ilmu silat Po-giok-kun, apa anehnya!” katanya, mengejek.

Liam Cu heran, “Inilah tipu silat ajaran Ang Cit Kong, kenapa dia dapat tahu?” pikirnya. Ia menjadi lebih heran ketika nona itu menyerang pula, ia justru menggunakan ilmu silat yang sama. “Tahan!” ia berseru seraya lompat mundur. “Siapa yang ajari kau ilmu silatmu ini?”

“Aku yang menciptakan sendiri!” sahut Oey Yong, tertawa. “Inilah ilmu yang kasar, tidak ada keanehannya!” Perkataannya itu disusul sama dua serangannya, kembali jurus-jurus dari Po-giok-kun itu – Kepalan Memecahkan Kumala.

Liam Cu semakin heran. “Apakah kau mengenal Ang Cit Kong?” ia menanya, sambil menangkis.

“Dia sahabat kekalku, tentu saja aku kenal!” Oey Yong tertawa. “Kau gunakan ilmu silat pengajarannya, aku menggunakan ciptaanku sendiri, coba lihat, bisa tidak aku mengalahkan kau!”

Nona ini tertawa tetapi serangannya terus bertambah dahsyat. Tentu saja Liam Cu tidak sanggup menandingi. Sudah kepandaian warisan ayahnya sendiri, dia juga dapat didikan Ang Cit Kong. Sebentar saja nona Bok kena terhajar pundaknya, tempo ia terpukul juga pinggang kanannya, ia roboh seketika. Sudah begitu, Oey Yong menghunus pisau belatinya, ia bulang-balingkan itu di muka orang, saban-saban hampir mengenakan kulit wajahnya.

Liam Cu menutup matanya, ia tidak merasakan luka, cuma angin dingin meniup kulit mukanya itu. Satu kali ia membuka matanya, ia lihat pisau berkelebat, cuma berkelebat saja. Ia menjadi mendongkol. “Mau bunuh, bunuhlah, buat apa kau menggertak pula!” ia membentak.

“Kita tidak bermusuhan, buat apa aku membunuh kau?” kata Oey Yong tertawa. “Kau dengar aku, kau mengangkat sumpah, lantas aku akan memerdekakanmu!”

Liam Cu beradat keras, ia tidak sudi menyerah.

“Kalau kau berani, kau bunuhlah!” ia menantang. “Untuk kau minta sesuatu dari aku, bermimpi pun jangan kau harap!”

Oey Yong menghela napas, tetapi ia berkata dengan nyaring, “Nona begini elok, mati muda, sungguh kecewa.”

Liam Cu meramkan mata dan menulikan kupingnya, dia berdiam saja.

Hening sejenak, lalu ia mendengar nona itu berkata: “Engko Ceng baik denganku, biar dia menikah denganmu, tidak nanti ia mencintainya…”

Ia menjadi heran, segera ia membuka matanya. “Apa kau bilang?” ia menanya.

“Kau tidak mau mengangkat sumpah, tidak apa,” kata Oey Yong, tanpa menjawab. “Biar bagaimana, dia tidak bakal menikah padamu, inilah aku tahu pasti!”

“Sebenarnya siapa yang baik padamu?” tanya Liam Cu semakin heran. “Kau bilang aku hendak menikah dengan siapa?”

“Dengan engko Ceng – Kwee Ceng!” Oey Yong jelaskan.

“Oh, dia!” kata Liam Cu. “Bilanglah, kau menghendaki aku bersumpah apa?”

“Aku ingin kau bersumpah dengan berat, biar bagaimana, kau tidak bakal menikah dengan engko Ceng!” sahut Oey Yong.

Akhirnya Liam Cu tertawa. “Biarpun kau ancam aku dengan goloku di leher, aku tidak akan menikah dengan dia!” katanya.

Oey Yong girang mendadak. “Benar?” tanyanya. “Kenapa begitu?”

“Benar ayah angkatku telah memberikan pesannya yang terakhir, aku telah dijodohkan dengannya, sebenarnya,” sahut Liam Cu, yang lalu meneruskan dengan perlahan sekali; “Sebenarnya ayah angkatku itu pelupaan, dia lupa aku telah dijodohkan kepada orang lain…”

Oey Yong menjadi girang sekali. “Oh, maaf!” katanya. “Aku telah menyangka keliru terhadapmu….”

Ia lantas menotok nona itu, membebaskan dari totokannya tadi, terus ia menguruti tangan dan kakinya. Sembari berbuat begitu, ia menegaskan: “Enci, kau telah berjodoh dengan siapa?”

Muka Liam Cu menjadi merah. “Orang itu pernah kau melihatnya,” sahutnya.

Oey Yong berpikir. “Orang mana yang pernah aku lihat?” ia tanya. “Mana ada lain pemuda yang sembabat untuk dipasangi denganmu, enci?”

Mau tidak mau, nona Bok itu tertawa. “Apakah di kolong langit ini cuma ada satu engko Cengmu yang paling baik?” dia membalas menanya.

Oey Yong tertawa. “Enci,” katanya, “Kau tidak sudi menikah dengannya, apakah karena kau menganggap dia terlalu tolol?”

“Siapa yang bilang engko Kwee itu tolol?” Liam Cu membaiki. “Yang benar dia sangat polos dan wajar, bahkan hatinya yang mulia aku sangat mengaguminya.”

Oey Yong heran. “Habis kenapa kau tidak sudi menikah dengannya walaupun kau diancam dengan golok di leher?” tanyanya pula.

Melihat orang pun polos, Liam Cu mencekal tangannya erat-erat. “Adikku,” katanya, “Di dalam hatimu sudah ada engko Kwee itu, umpama kata dilain waktu kau bertemu lain orang yang berlaksa kali lipat menangkan dia, kau tidak akan mencintai lain orang, bukankah?”

Oey Yong mengangguk, “Sudah pasti,” sahutnya. “Cuma tidak ada orang yang melebihkan dia!”

Liam Cu tertawa. “Kalau engko Kwee itu mendengar pujianmu ini, entah berapa besar kegirangannya,” katanya. “Kau tahu, hari itu saat ayah angkatku mengajak ke Pakhia, di mana kita pibu, di sana telah ada orang yang mengalahkan aku…”




Oey Yong lantas saja sadar. “Oh, aku tahu sekarang!” serunya. “Orang yang kau buat pikiran itu adalah si pangeran muda Wanyen Kang!”

“Dia boleh menjadi pangeran, dia boleh menjadi pengemis, di hatiku cuma ada dia seorang,” Liam Cu mengaku. “Dia boleh menjadi orang baik, dia boleh menjadi orang jahat, di dalam hatiku tetap ada dia seorang!” Perlahan suara nona Bok, tetapi tetap nadanya.

Oey Yong mengangguk, ia membalas mencekal erat tangan orang. Mereka berdua berendeng di bawah pohon itu, hati mereka bersatu padu.

Cuma sebentar Oey Yong berpikir, ia pulangi piasu orang. “Ini aku kembalikan,” katanya.

Liam Cu sebaliknya menolak. Katanya, “Ini kepunyaan engko Cengmu itu, ini harus menjadi kepunyaanmu.”

Bukan kepalang girangnya Oey Yong. Ia simpan pula pisau itu.

“Enci, kau baik sekali!” katanya, bersyukur. Ia lantas berniat memberikan sesuatu tetapi ia tidak ingat punya barang yang berharga untuk tanda mata. Maka ia menanya: “Enci, kau datang ke Selatan ini seorang diri untuk urusan apakah? Maukah kau menerima bantuan adikmu ini?”

Mukanya Liam Cu bersemu merah. “Tidak ada urusan yang penting,” sahutnya.

“Kalau begitu, mari aku mengajak kau menemui Ang Cit Kong,” kata Oey Yong.

Liam Cu menjadi sangat girang. “Cit Kong ada disini?” tanyanya cepat.

Oey Yong mengangguk, lantas ia lompat bangun seraya menarik tangan orang.

Justru itu di atas pohon terdengar suara berkeresek, lalu terjatuh selembar kulit kayu, disusul berkelebat bayangan seorang, yang berlompatan di atas pohon-pohon di dekat situ, lantas lenyap. Dengan heran Oey Yong jumput babakan pohon itu, di situ ia lihat sebaris huruf bertuliskan jarum, bunyinya, “Dua nona yang baik sekali! Yong-jie, apabila kau main gila pula, Cit Kong ingin menggaplokmu beberapa kali!” Di bawah itu tidak ada tanda tangannya, cuma gambaran sebuah cupu-cupu. Tahulah ia, itu perbuatannya Ang Cit Kong, maka tahu juga ia, segala sepak terjangnya sudah ketahuan si kepala pengemis itu. ia jengah sendiri. Tapi ia ajak Liam Cu ke rimba, di sana ia tak tampak Cit Kong. terpaksa mereka balik ke pondokan.

Kwee Ceng sudah kembali dari belakang bukit, heran ia melihat Oey Yong bergandengan tangan bersama Liam Cu.

“Enci Bok, apakah kau melihat guruku beramai?” ia tanya.

“Aku telah berpisah dari gurumu itu,” menjawab Liam Cu. “Mereka telah berjanji untuk bertemu pula di Yan Ie Lauw di Kee-hin pada Pee Gwee Tiong Ciu.”

“Baik-baikkah mereka semua?” tanyannya.

“Jangan kuatir, Kwee Sieheng,” sahut Liam Cu tersenyum. “Mereka semua tidak mendongkol karena perbuatanmu itu.”

Tidak lega hatinya Kwee Ceng, yang menyangka gurunya semua pasti gusar sekali. Karena ini ia menjadi tidak bernapsu dahar dan minum, ia duduk berdiam saja.

Liam Cu sebaliknya menanya Oey Yong cara bagaimana mereka bertemu dengan Ang Cit Kong. Oey Yong memberikan keterangan dengan jelas.

“Kau sangat beruntung, adikku,” kata Liam Cu, seraya menghela napas. “Kau dapat berkumpul begitu lama bersama dia, sedang aku sendiri, bertemu pun susah.”

“Tapi diam-diam ia melindungimu, Enci,” Oey Yong menghibur. “Kalau tadi aku benar-benar mencelakai kau, dia tentu bakal turun tangan menolongmu.”

Liam Cu mengangguk, ia membenarkan.

Kwee Ceng mendengar pembicaraan orang, ia heran. “Yong-jie, bagaimana?” tanya. “Kenapa kau hendak mencelakai enci Bok?”

Oey Yong menoleh sambil tersenyum. “Tidak dapat aku menerangkan kepadamu,” sahutnya.

“Dia takut…dia takut….” kata Liam Cu tertawa. Ia pun likat, ia tidak berani bicara terus.

Oey Yong mengitik, “Kau berani menceritakan atau tidak?” katanya.

Liam Cu mengulurkan lidahnya. “Mana aku berani?” sahutnya. “Maukah aku bersumpah?”

“Cis!” Oey Yong berludah. Tapi mukanya kembali menjadi merah. Ia malu sendiri ketika ingat tadi sudah memaksa nona itu bersumpah untuk dinikahi Kwee Ceng.

Kwee Ceng tidak tahu hati orang tapi ia senang melihat mereka rukun sekali.

Habis bersantap bertiga mereka pergi ke rimba berjalan-jalan. Di sini Oey Yong tanya bagaimana caranya Liam Cu bertemu dengan Ang Cit Kong hingga ia diajarkan silat.

“Waktu itu aku masih kecil,” menyahut Liam Cu bercerita. “Pada suatu hari ayah ajak aku pergi ke Pian-liang, di sana kita ambil tempat di penginapan. Itu hari aku keluar untuk main-main di depan pintu, aku lihat dua orang pengemis rebah di tanah, tubuh mereka berlumuran darah bekas bacokan, tidak ada orang yang memperdulikan, rupanya mereka jijik atau jeri….”

“Aku mengerti,” memotong Oey Yong, “Kau tentu baik hati, kau rawat mereka.”

“Aku tidak bisa mengobati mereka tetapi karena kasihan, aku pepayang mereka ke kamar ayah, aku cuci lukanya dan membalutnya,” Liam Cu melanjutkan. “Ketika ayah pulang dan aku tuturkan apa yang aku lakukan, ayah menghela napas dan memujiku. Ia pun kata, dulu juga istrinya murah hati seperti aku. Kemudian ayah memberikan beberapa tail perak kepada kedua pengemis itu, untuk membeli obat. Mereka menerima seraya mengucap terima kasih dan lantas pergi. Selang beberapa bulan, kami tiba di Sin-yang. Kebetulan sekali, aku bertemu kedua pengemis itu, waktu itu luka mereka sudah sembuh. Mereka mengajak aku ke sebuah kuil rusak, di sana aku bertemu sama Ang Cit Kong. Dia memujiku, lantas ia mengajari ilmu silat Po-giok-kun itu. Baru tiga hari, aku sudah dapat memahami. Dihari keempat, aku pergi ke kuil tua itu, ternyata lojinkee sudah pergi, dan selanjutnya aku tidak pernah bertemu lagi dengannya.”

Oey Yong ketarik hatinya. “Cit Kong telah mengajarkan banyak padaku, Enci,” ia berkata. “Kalau kau suka, aku nanti turunkan beberapa di antaranya padamu. Mari kita berdiam di sini untuk belasan hari. Umpama kata Cit Kong ketahui perbuatanku, tidak nanti ia gusar.”

“Terima kasih adik,” kata Liam Cu. “Sekarang ini aku ada punya urusan sangat penting, tidak ada tempo luangku. Nanti saja, biarnya kau tidak mengajari, aku sendiri yang akan minta padamu.”

Sabar dan lembut kelihatannya Liam Cu dari luar, tetapi sekali ia berkata, ia membuatnya orang bungkam. Begitulah Oey Yong, tadinya ia ingin menanya keterangan, lalu ia batal sendirinya.

Pagi itu Liam Cu pergi seorang diri, ia pulang di waktu sore, romannya gembira. Oey Yong lihat itu, ia pura-pura pilon.

Malam itu berdua mereka tidur dalam satu kamar. Oey Yong naik lebih dulu ke atas pembaringannya. Diam-diam mencuri lihat orang duduk menghadapai lampu seraya menunjang dagu, seperti lagi berpikir keras. Ia menutup matanya rapat-rapat, untuk berpura-¬pura pulas.

Berselang beberapa saat, Liam Cu mengeluarkan serupa barang dari buntalannya, dengan lembut barang itu di ciumi berulang-ulang, dibuatnya main di tangannya, dipandangi lama. Samar-samar Oey Yong melihat seperti sepotong sapu tangan sulam.

Tiba-tiba Liam berbalik, tangannya mengebaskan barang di tangannya itu.

Oey Yong kaget, lekas-lekas ia meram. Ketika ia mendengar siuran angin perlahan-lahan, ia membuka matanya sedikit, mengintai. Ia dapatkan Liam Cu jalan mundar-mandir di depan pembaringan, lengannya dilibatkan barang yang tadinya dia buat main itu. Nyatalah itu adalah juwiran jubahnya Wanyen Kang, yang didapat pada harian mereka pibu. Nona Bok tersenyum, rupanya dia membayangkan kejadian di hari itu dan hatinya berbunga, begitulah satu kali ia menendang, lain kali kepalanya melayang, alisnya bergerak-gerak.

Oey Yong terus berpura pulas tapi setiap waktu ia mengintai. Ia lihat orang datang dekat sekali padanya dan menatap mukanya. Ia mendengar orang menghela napas dan berkata dengan perlahan: “Kau cantik sekali….” Mendadak nona itu membalikkan tubuh, ia pergi ke pintu dan membukanya, dilain saat ia sudah berada di luar, melompati tembok pekarangan dan pergi…..”

Oey Yong heran bukan main. Ia lompat turun, lantas ia keluar, menyusul. Ia lihat orang lari ke arah Barat. Ia menguntit. Tentu saja ia berhasil, karena ia dapat berlari dengan cepat. Ia hanya menjaga agar tidak diketahui nona she Bok itu.

Liam Cu pergi ke pasar, menaiki sebuah rumah, sesudah melihat keempat penjuru, dia pergi ke Selatan dimana ada sebuah lauwteng paling tinggi. Setiap hari Oey Yong pergi berbelanja ke pasar, ia tahu itulah rumah keluarga Chio, hartawan terbesar di tempat itu. Ia menjadi heran dan menduga-duga apa mungkin Liam Cu membutuhkan uang.

Sebentar saja keduanya sudah sampai di samping rumah keluarga Chio itu. Dari situ terlihat di depan rumah ada sinar terang dari dua buah lentera besar, yang bertuliskan huruf-huruf air emas: “Utusan Negara Kim”. Di bawah itu, di muka pintu, ada berjaga-jaga empat serdadu Kim dengan tangannya mencekal golok.

Liam Cu pergi ke belakang dimana keadaan sunyi, tapi ia masih mencoba menimpuk dengan batu, mencari tahu di situ ada orang yang jaga atau tidak. Setelah itu ia lompati tembok masuk ke pekarangan dalam. Ia jalan di antara pohon-pohon bunga, di gunung palsu.

Oey Yong terus menguntit.

Liam Cu pergi ke jendela sebuah kamar timur, di situ di kertas jendela terlihat bayangan seorang lelaki, yang tengah berjalan mondar-mandir. Si nona menjublak mengawasi bayangan orang itu.

Oey Yong menduga, tapi tidak sabaran.

“Baik aku masuk dari lain sebelah, aku totok roboh orang itu, supaya ia kaget,” pikirnya. Ia anggap nona Bok terlalu ragu-ragu. Disaat ia hendak membuka jendela, untuk lompat masuk, ia dengar pintu dibuka, lalu seorang bertindak masuk. Orang itu memberi kabar bahwa menurut warta, utusan raja yang bakal menyambut yaitu Toan Ciangkun yang berpangkat komandan tentara, akan tiba lusa.

Orang di dalam itu menyahut, lalu si pembawa kabar mengundurkan diri pula.

“Terang ini adalah utusan negara Kim, kalau beitu enci Bok punya maksud lain,” Oey Yong berpikir, “Aku tidak boleh sembrono.” Ia lantas membasahkan kertas jendela, buat membikin sebuah lobang kecil, untuk mengintai ke dalam. Ia heran berbareng gembira. Orang di dalam kamar itu adalah si pangeran muda Wanyen Kang, tangannya memegang serupa benda hitam yang tengah dibuat main sembari ia jalan mundar-mandir, matanya mengawasi wuwungan, entah apa yang dipikirkannya. Ketika pangeran itu mendekati api, Oey Yong melihat tegas barang itu adalah kepala tombak yang sudah karatan, masih ada sisa sedikit gagangnya.

Nona Oey ini tidak tahu tombak itu adalah tombak warisan Yo Tiat Sim, ayahnya si pangeran, ia hanya menduga, Liam Cu tentu ada hubungannya dengan itu. Ia tertawa di dalam hatinya dan berpikir: “Kamu lucu! Yang satu membuat main juwiran jubah, yang lain membuat main ujung tombak! Kamu berada begini dekat satu sama lain, kenapa kamu bagaikan terpisah antara ujung dunia?”. Tanpa merasa, ia tertawa.

Wanyen Kang dapat dengar suara itu, ia terperanjat. “Siapa?!” ia menanya seraya mengebas mati api lilin.

Oey Yong tidak menyahut, hanya ia melompat kepada Liam Cu, sebelum nona Bok mendusin, ia sudah ditotok hingga tidak dapat bergerak lagi. Baru setelah itu sembari tertawa ia berkata: “Enci, jangan khawatir, jangan sibuk! Nanti aku antarkan kau kepada kekasihmu!”

Wanyen Kang telah membuka pintu untuk keluar ketika ia mendengar suara tertawa satu nona sambil terus berkata: “Inilah kekasihmu datang, lekas menyambut dia!” Ia terkejut, tapi ia mesati menantang kedua tangannya, karena ada tubuh yang ditolak kepadanya, hingga ia mesti memeluk orang itu juga. Itulah tubuh yang lemas. Si nona tadi lompat ke tembok, sembari tertawa, dia berkata pula: “Enci, bagaimana nanti kau membalas budiku?” Sesaat kemudian, suara itu lenyap, lenyap bersama orangnya.

Disaat itu juga, tubuh yang lemah itu bergerak, jatuh ke lantai.

Wanyen Kang heran, ia kaget hingga ia mundur. Ia khawatir sudah melukai orang.

Apakah kau masih ingat aku?” ia dapat jawaban, yang perlahan sekali.

Ia kenal suara itu, ia terperanjat. “Kau?” katanya. “Oh!”

“Memang aku,” sahut Liam Cu.

“Apakah ada orang lain bersamamu?” tanya sang pangeran lagi.

“Yang tadi itu adalah sahabatku yang nakal dan jahil, dia menguntit aku di luar tahuku.” jawab sang nona.

Wanyen Kang masuk ke dalam, ia menyalakan api. “Nona mari masuk!” ia mengundang.

Liam Cu bertindak masuk sambil bertunduk, terus ia duduk di sebuah kursi. Ia tunduk terus dan membungkam, cuma hatinya berdebaran.

Wanyen Kang mengawasi orang yang agaknya kaget dan girang, mukanya sebentar pias sebentar merah. Itulah kelikatannya seorang nona. tentu saja hatinya pun memukul.

“Ada apa malam-malam kau datang mencariku?” ia menanya akhirnya. Liam Cu tidak menyahut.

Wanyen Kang ingat kematian hebat dari ayah dan ibunya, tanpa merasa ia menjadi mengasihani nona ini.

“Adik,” katanya kemudian, “Karena ayahmu telah menutup mata, selanjutnya kau baik tinggal bersamaku. Nanti kuanggap kau sebagai adik kandungku.”

“Aku adalah anak angkat ayah, bukan anak kandung…” kata Liam Cu. Wanyen Kang sadar. “Dia bicara terhadapku,” pikirnya. “Diantara kita jadinya tidak ada hubungan darah….” Ia ulur tangannya, mencekal tangan kanan si nona. Ia tersenyum.

Liam Cu merah mukanya, ia berontak perlahan tetapi tangannya tak terlepaskan. Ia tunduk , ia membiarkan tangannya itu terus dipegang. Hati Wanyen Kang berdebaran. Ia ulur tangan kirinya, dan merangkul leher si nona.

“Inilah untuk ketiga kalinya aku memeluk kau,” ia berbisik di kuping orang. “Yang pertama di gelanggang pibu, yang kedua kali di luar kamar. Adalah kali ini kita ada bersama tanpa orang ketiga….”

Liam Cu mengasih dengar suara perlahan, hatinya berdebar bukan main. “Kenapa kau mencariku?” ia mendengar pula si pangeran bertanya.

“Semenjak dari kota raja aku mengikuti kau,” menyahut si nona. “Setaip malam aku mengawasi tubuhmu dari antara jendela, aku tidak berani…” “Aku tidak mempunyai ayah dan ibu lagi, jangan kau sia-¬siakan aku…” kata pula Liam Cu kemudian, suaranya sangat perlahan.

Pangeran itu mengusap-usap rambut orang yang bagus.

“Kau jangan khawatir,” katanya. “Untuk selama-¬lamanya aku adalah kepunyaanmu dan kau pun untuk selama-lamanya kepunyaanku. Tidakkah itu bagus?”

Liam Cu puas sekali, ia mendongak menatap wajah pemuda itu. Ia mengangguk.

“Pasti aku akan nikahi kau,” katanya. “Kalau di belakang hari aku mensia-siakan kau, biar aku terbinasa di antara bacokan-bacokan golok, biar aku mati tidak utuh!” bersumpah sang pemuda.

Liam Cu menangis saking terharu. “Meski aku adalah seorang nona kangouw, aku bukannya satu manusia rendah,” ia berkata. “Jikalau kau benar mencintai aku, kau juga mesti menghargainya. Seumurku, aku tidak berpikiran lain, meskipun leherku ditandalkan golok, pasti aku akan mengikuti kau.” Perlahan suara si nona tetapi tetap.

Mau tidak mau, Wanyen Kang jadi menaruh hormat. “Adikku, kau baik sekali,” ia berkata.

Terbuka hati Liam Cu, ia tertawa. Ia kata: Aku akan menantikan kau di rumah ayah angkatku di Gu-kee¬cun di Liam-an, sembarang waktu kau boleh kirim orang perantaranmu melamar diriku….” Ia berhenti sebentar, baru ia meneruskan: “Selama kau tidak datang, seumurku aku akan menantikan kau!”

“Jangan sangsi, adikku,” kata Wanyen Kang. “Setelah selesai tugasku, nanti menyambutmu untuk kita menikah.”

Liam Cu tertawa, ia memutar tubuhnya, bertindak keluar.

“Jangan lantas pergi, adikku!” Wanyen Kang memanggil. “Mari kita beromong-omong dulu….”

Nona itu berpaling tetapi tindakannya tak dihentikan.

Wanyen Kang mengantar dengan matanya sampai orang melompati tembok, ia berdiri menjublak, kemudian barulah ia balik ke kamarnya. Ia lihat tombaknya dimana masih ada air mata si nona. Ia merasakan dirinya sedang bermimpi.

Oey Yong pulang ke pondokannya terus tidur. Ia puas karena ia merasa sudah melakukan sesuatu perbuatan yang baik. Begitulah, ia tidur dengan nyenyak. Ketika besok paginya ia mendusin, ia tuturkan pada Kwee Ceng apa yang ia lakukan itu. Si anak muda pun senang. Keduanya lantas sarapan, terus mereka memasang omong. Tunggu punya tunggu, sampai bersantap tengah hari, Liam Cu masih belum kembali.

“Baiklah kita tidak usah menantikan dia, kita berangkat sekarang!” Oey Yong mengajak akhirnya.

Kwee Ceng setuju.

Mereka pergi ke pasar, untuk membeli seekor keledai, di waktu mereka mulai berangkat, sengaja mereka memutar ke rumah keluarga Chio, di sana sudah tidak ada lagi lentara tanda dari peruntusan negara Kim. Rupanya Wanyen Kang sudah berangkat. Hal ini melegakan hati kedua anak muda itu.

Dalam perjalanan ini, Oey Yong menyamar sebagai seorang pemuda, senang ia berpesiar. Mengikuti saluran sungai Oen Ho, mereka menuju ke Selatan. Kuda mereka kuat jalannya, keledai yang mereka beli pun cukup tangguh, dengan begitu, walaupun tidak terburu-buru, mereka juga dapat berjalan lekas.

Pada suatu hari mereka tiba di Gie-hin, suatu tempat pembuatan barang tembikar yang kesohor, di situ mereka menyaksikan aneka warna barang-barang itu. Inilah pemandangan yang lain dengan pemandangan di lain-lain tempat.

Jalan lebih jauh ke Timur, tak lama tibalah mereka di telaga Thay Ouw, pusat tumpahnya air dari tiga kota Timur dan Selatan. Luasnya telaga sekitar lima ratus lie, maka itu dinamakan Ngo Ouw atau Danau Lima.

Hati Kwee Ceng tertarik. Belum pernah ia melihat air seluas itu. Ia berdiri berendeng bersama Oey Yong di tepian, tangan mereka berpegangan satu pada lain. Tanpa merasa ia berseru kegirangan.







OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar