Rabu, 03 November 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 195

Lekas Hoat-ong mengangkat roda emasnya buat menangkis, sedangkan roda perak di tangan lain mengetok ke batang pedang Yo Ko.

Tadi mereka sudah saling gebrak di atas tangga. Yo Ko merasa tenaga Hoat-ong sangat kuat dan berat, seumur hidupnya belum pernah dia ketemu lawan setangguh ini, maka diam-diam dia amat heran. Dia pikir dengan gemblengannya di tengah ombak, tenaganya cukup kuat melawan gelombang ombak, 16 tahun yang lalu Hoat-ong bukan tandingannya, akan tetapi tadi ketika dia menghantam hampir-hampir saja dirinya malah tak sanggup menahannya!

Karena pikiran itu, demi nampak kedua roda orang maju berbareng, ia tidak menghindar melainkan pedangnya lantas disendal, ia sengaja hendak menjajal tenaga Hoat-ong yang sebenarnya.

Terdengarlah suara gemerincing keras. Kalau orang lain pasti tidak akan tahan oleh tenaga sendalan Yo Ko, tapi Hoat-ong punya ‘ilmu sakti bertenaga naga dan gajah’ dan sudah terlatih sampai tingkat ke-11.

“Pletak!”

Begitu kedua tenaga raksasa berbenturan, terdengarlah suara keras, pedang Yo Ko yang kalah, patah menjadi beberapa potong, sedang sepasang roda Kim-lun Hoat-ong juga terlepas dari cekalan kemudian terpental jatuh ke bawah panggung. Sial bagi tiga pemanah Mongol, kepala mereka pecah terketok roda-roda itu.

Setelah gebrakan ini, keduanya melompat mundur, tangan terasa pedas kesemutan. Namun Hoat-ong masih belum kehabisan senjata, segera roda besi dan roda tembaga dikeluarkannya terus menubruk maju lagi. Sebaliknya Yo Ko tiada senjata lain, terpaksa lengan baju kirinya mengebas, ia balas menghantam dengan tangan kanan.

“Hai, hai, Hwesio besar, aku sudah bilang kau tak mampu menandingi Toa-koko-ku, sekarang benar tidak?” Kwe Siang berteriak-teriak. “Ha, masih berani kau berlagak pandai, kenapa sekarang kau bersenjata melawan dia yang bertangan kosong?”

Hoat-ong hanya menjengek, ia tidak menjawab, permainan kedua rodanya semakin kencang.

Tatkala itu Oey Yok-su, Kwe Ceng, Oey Yong dan lainnya sedang memimpin pasukannya pulang kembali untuk menolong kota Siang-yang. Ketika melihat Yo Ko, Siao-liong-li dan Sin-tiau muncul terus menyerbu ke atas panggung, tentu saja semangat mereka bangkit.

Segera Oey Yok-su gerakkan panji komandonya, ia menarik kelima pasukannya masing-masing 4000 orang 20 ribu orang untuk menggempur bagian belakang musuh yang sedang menyerang benteng kota, sisanya 20 ribu orang tetap di formasi semula, tetap mengepung panggung untuk membantu Yo Ko.

Walau pun pasukan Song sudah berkurang separoh, tapi demi nampak Yo Ko sudah naik ke atas panggung, mereka menjadi gagah berani, dengan 1 lawan 10 mereka bertempur mati-matian. Akan tetapi pasukan pemanah Mongol berjaga terlalu rapat dan kuat hingga beberapa kali pasukan Song menyerbu maju dan selalu kena didesak mundur lagi.

Sementara itu di bawah benteng Siang-yang pertempuran juga sedang berjalan dengan sengitnya antara yang menggempur dan yang bertahan. Gubernur militer kota, Lu Bun-hwan, dengan seragam lengkap tidak berani memimpin sendiri ke atas benteng melainkan mengkeret bersembunyi di kamar dengan dua selir kesayangannya, dengan badan gemetar sebentar-sebentar menyebut sabda Buddha, lain saat bertanya kuatir bagaimana suasana pertempuran di luar?

Saat itulah dengan tangan kosong dan berlengan tunggal Yo Ko menempur kedua roda besi dan tembaga Kim-lun Hoat-ong hingga lebih dari 400 jurus.

Ilmu silat yang dilatih kedua orang itu meski berbeda, tapi sama-sama lihaynya dan makin lama semakin kuat. Sementara itu asap tebal dari bawah panggung membuat mata ketiga orang di atas panggung menjadi pedas.

Walau pun Yo Ko tidak bersenjata tetapi dia tidak pernah terdesak di bawah angin. Dalam pertarungan sengit ini Hoat-ong merasa panggung rada bergoyang, dia tahu tentu kaki panggung sudah terbakar, sebentar lagi akan ambruk, tatkala itu tak terhindarkan dirinya tentu akan gugur bersama dengan Yo Ko dan Kwe Siang. Pula melihat pukulan Yo Ko makin lama makin aneh, kalau ratusan jurus lagi, mungkin dia sendiri akan terdesak.

Dalam gugupnya mendadak timbuI pikiran jahatnya, tiba-tiba roda besinya dia hantamkan ke pundak kanan Yo Ko dan selagi orang mengegos, secepat kilat roda tembaganya disambitkan ke muka Kwe Siang.

Gadis itu terikat di satu cagak, tentu saja badannya tidak dapat bergerak apa lagi hendak menghindar. Keruan Yo Ko sangat terkejut. Lekas ia melompat dan dengan lengan bajunya dia sabet jatuh roda tembaga orang.

Namun waktu bertarung sesungguhnya jago silat tidak boleh lengah sedetik pun. Karena pikirannya dipusatkan menolong Kwe Siang, maka pertahanan diri sendiri menjadi terbuka. Hoat-ong tidak sia-siakan kesempatan itu, tangannya menjulur dan roda besinya mengiris paha kiri Yo Ko.

Dalam keadaan badan malayang, lekas Yo Ko depakkan kaki kirinya ke pergelangan tangan musuh, namun roda besi Hoat-ong membalik ke bawah. Sekali ini Yo Ko tak mampu lagi menghindar.

“Crett!”

Betis kanan terkena roda besi dan mengucurkan darah, lukanya ternyata tidak enteng. Dalam kagetnya Kwe Siang menjerit kuatir. Sementara Hoat-ong sudah mengeluarkan serep rodanya yang masih satu, roda timah. Kembali dengan sepasang roda dia menyerang kalap, cuma bukan diarahkan kepada Yo Ko, tetapi selalu mengincar Kwe Siang.

Kiranya dia tahu meski Yo Ko terluka, tapi hendak mengalahkannya tidak mungkin terjadi dalam waktu singkat, karena itu ia hanya mengincar Kwe Siang, dengan demikian Yo Ko pasti akan berusaha menolongnya dan kedudukan lawan tentu saja berada di pihak terdesak.

“Toa-koko, jangan kau urus aku, kau bunuh saja Hwesio jahat ini untuk membalaskan sakit hatiku!” Kwe Siang berseru.

Tiba-tiba terdengar suara tertahan Yo Ko. Kiranya pundak kirinya terluka oleh roda musuh lagi, luka ini ternyata lebih berat hingga tangannya hampir-hampir tak bisa diangkat.

Di bawah panggung Siao-liong-li, Sin-tiau dan Ciu Pek-thong telah menghalau pemanah-pemanah Mongol supaya mereka tak sempat melepaskan panah kepada Yo Ko dan Kwe Siang. Akan tetapi seluruh perhatian Siao-liong-li tidak pernah meninggalkan diri Yo Ko, di samping memutar senjatanya membunuh musuh, saban-saban dia mendongak memandang ke atas panggung. Ketika mendadak dilihatnya tubuh Yo Ko penuh berlepotan darah, hatinya mencelos, kagetnya tidak kepalang.



Tatkala itu tangga panggung sudah putus terbakar, tiada jalan lagi untuk naik ke atas buat membantu. Pikiran Siao-liong-li kabur, walau pun pedangnya masih terus diputar membacok dan membabat namun otaknya seperti kosong plong tak tahu berada di mana dan sedang melakukan apa!

Menghadapi bahaya, beberapa kali Yo Ko mengeluarkan ilmu pukulan ‘lm-jian-siau-hun-ciang’ untuk menggempur musuh. Tetapi untuk memainkan ilmu pukulan ini, jiwa dan raga harus bersatu, padahal sejak dia bertemu kembali dengan Siao-liong-li, dia menjadi girang dan periang, dari mana dapat timbul lagi perasaan ‘lm-jian-siau-hun’ (hati muram jiwa merana)?

Meski pun dalam keadaan berbahaya, tiada sedikit pun rasa rindunya seperti ketika berpisah tempo hari, maka gerakan serangannya selalu berselisih sedikit dari pada kehendaknya dan tak dapat menunjukkan daya saktinya lagi.

Kwe Ceng dan lainnya juga melihat keadaan Yo Ko yang menempur musuh dengan bertangan kosong dan sudah terluka, tetapi jaraknya terlampau jauh, bagaimana mereka bisa membantunya?

Tiba-tiba pikiran Oey Yong tergerak. Ia sambar pedang Yalu Ce dan dilemparkan kepada sang suami sambil berseru:

“Lemparkan ke atas panggung kepada Ko-ji!”

Kwe Ceng menurut. Pedang itu dipasang ke atas busurnya terus dijepretkan, maka meluncurlah pedang itu dengan pesatnya sambil mengeluarkan sinar ber-kilauan.

Pedang itu cukup berat, bentuknya juga berlainan dari pada anak panah biasa, jika bukan bidikan tenaga sakti Kwe Ceng sukar juga bila hendak diluncurkannya ke atas panggung, Maka menyambarlah pedang itu dengan cepatnya ke punggung Yo Ko.

Ketika sudah dekat, mendadak lengan baju Yo Ko mengebas ke belakang hingga dengan tepat dapat melibat batang pedang itu. Saat itu pula kebetulan roda Hoat-ong sedang dihantamkan padanya. Segera Yo Ko menarik pedangnya terus ditusukkan melalui sela-sela kedua roda musuh.

Tak terduga, karena pundaknya terluka, gerak-geriknya menjadi terganggu, pula pedang ini bukan Hian-tiat-pokiam yang tajam tiada bandingan. Maka, ketika roda Hoat-ong menjepit terus memuntir kedua rodanya,

“Pletak!” kembali pedang Yo Ko patah.

Menyaksikan itu, semua orang di bawah panggung menjadi terkejut luar biasa. Diam-diam Yo Ko insaf bahwa hari ini pasti celaka, bukan saja tidak dapat menolong Kwe Siang, bahkan jiwa sendiri akan melayang di panggung ini. Karena itu dengan cemas dia memandang sekejap ke arah Siao-liong-li sembari berseru:

“Selamat tinggal, Liong-ji, jagalah dirimu baik-baik!”

Dan pada saat itu juga, sebuah roda Hoat-ong mengepruk ke atas kepalanya. Dalam keadaan putus asa, dengan lesu dan kurang semangat Yo Ko mengebaskan lengan bajunya menangkis dan sebelah tangannya memukul.

“Plakk!”

Di luar dugaan, terdengar suara yang keras, pukulannya dengan tepat mengenai pundak Kim-lun Hoat-ong. Menyusul terdengar Ciu Pek-thong berteriak dari bawah panggung:

“Bagus sekali tipu pukulan ‘tho-ni-tay-sui’ (berlepotan tanah membawa air)!”

Yo Ko melengak, tetapi lantaran itu pula barulah dia sadar. Kiranya dalam keadaan putus asa dan lesu, tanpa terasa dia sudah keluarkan tipu serangan ‘tho-ni-tay-sui’, satu jurus dari ilmu pukulan ‘Im-jian-soh-hun-ciang’.

Ilmu pukulan ini harus timbul sendiri dari lubuk hati, lantas dari lubuk hati meneruskan perasaan ke lengan dan lengan menggerakkan tangan, semuanya tergantung pada sang perasaan. Rahasia ini sekali pun Ciu Pek-thong yang serba lengkap mempelajari ilmu silat macam apa pun juga tak mampu memahaminya.

Semenjak Yo Ko bertemu kembali dengan Siao-liong-li, ilmu pukulan ciptaannya ini sudah kehilangan daya gunanya, baru pada saat yang paling kritis, ketika dalam hati merasa akan berpisah untuk selamanya dengan Siao-liong-li, pada detik rasa dukanya itulah tanpa terasa kekuatan dari ilmu pukulan ‘lm-jian-siau hun-cio’ itu timbul dengan sendirinya.

Karena pundaknya kena digebuk sekali hingga tubuhnya sempoyongan, Hoat-ong terkejut dan heran, tetapi segera dia menubruk maju lagi.

Yo Ko mengegos mundur, lalu memberondongi tiga kali serangan ‘Lik-put-ciong-sim’ (keinginan ada, tenaga kurang), ‘To-heng-gik-si’ (jalan terbalik, berbuat berlawanan) dan “Yok-yu-soh-sit” (se-olah kehilangan sesuatu). Menyusul dengan tipu ‘Heng-si-cau-bak’ (mayat berjalan bangkai bergerak), kakinya segera menendang.

Tendangan ini datangnya mendadak dan tidak ter-duga, maka tak sanggup lagi Hoat-ong menghindar, tepat sekali kena ‘Tan-tiong-hiat’ dadanya. Sambil menjerit keras dan muntahkan darah tegar, tanpa ampun lagi Hoat-ong terjungkal ke bawah panggung.

Melihat itu, tanpa berjanji lebih dahulu pasukan Song dan pasukan Mongol berteriak berbareng, Bedanya pasukan Song bersorak gembira, sebaliknya pasukan Mongol berteriak kaget.

Saat itu panggung mulai bergoyang mengeluarkan suara “krak-krek” yang keras. Yo Ko tahu gelagat jelek, keadaan sudah mendesak, tak sempat lagi memutus tali ringkusan Kwe Siang. Maka sekali telapak tangannya memotong, ia hantam patah cagak kayu yang mengikat si anak dara, lalu orangnya bersama cagaknya diangkat sembari berseru:

“Tiau-heng, terimalah kami!”

Ia incar baik-baik punggung rajawali sakti terus melompat ke atasnya. Tangkas sekali Sin-tiau itu. Meski pun tak bisa terbang, tapi sekali meloncat setinggi dua-tiga tombak, dengan enteng Yo Ko bersama Kwe Siang jatuh dengan tepat di atas punggungnya kemudian perlahan-lahan turun ke tanah.

Saat itulah, didahului suara gedubrakan yang gemuruh, api dan asap berhamburan. Panggung tinggi itu ambruk rata dengan tanah.

Tatkala Kim-lun Hoat-ong ditendang terjungkal ke bawah, meski terluka parah ia masih berusaha menyelamatkan diri, dengan menahan napas ia berguling sekali di tanah. Selagi hendak bangkit tiba-tiba terdengar di belakangnya seseorang ketawa terbahak-bahak, tahu-tahu pinggangnya dirangkul terus ditahan di atas tanah lagi. Menyusul Hoat-ong merasa seperti beratus atau beribu jarum tajam menusuk masuk semua ke dalam tubuhnya.

Kiranya yang merangkul dan menindihnya bukan Lo-wan-tong Ciu Pek-thong. Si tua nakal ini memakai baju kutang berduri landak, benda pusaka Oey Yok-su, benda ini tak mempan segala senjata, sebaliknya penuh duri lancip bagai landak. Memang Hoat-ong sudah terluka parah, kini kena dirangkul terus ditindih Lo-wan-tong, keruan jiwanya melayang tanpa ampun.

Ketika panggung tinggi itu ambruk, cepat Ciu Pek-thong melompat pergi, sementara Hoat-ong terkubur di bawah puing panggung berapi itu.

Melihat puteri kesayangan terhindar dari elmaut, saking girangnya Oey Yong mencucurkan air mata. Sungguh tak terkatakan terima kasihnya pada Yo Ko. Sekali pun saat itu ia diharuskan mati untuk Yo Ko rasanya ia pun rela. Maka cepat ia mendekati sang puteri membuka tali pengikatnya.

Semangat Kwe Ceng, Oey Yok-su, It-teng Taysu, Kwe Hu dan lain-lain segera terbangun. Sebaliknya begitu melihat pemimpinnya mati, seketika pasukan Mongol yang mengepung panggung menjadi kacau-balau, ditambah lagi terjangan pasukan Song kian kemari, tentu saja tambah pontang-panting tak keruan.

“Gempur balik ke Siang-yang, bunuh raja itu!” teriak Kwe Ceng keras-keras.

Bersoraklah pasukan Song, mereka cepat memutar tubuh menerjang pasukan Mongol yang sedang menggempur benteng.

Melihat luka Yo Ko, Siao-liong-li menyobek kain bajunya membalut luka, saking terharunya hingga tangannya gemetar, tapi tak sanggup buka suara.

“Rasa kuatirmu di bawah panggung jauh lebih menderita dari pada aku yang bertarung di atas panggung tadi,” ujar Yo Ko tertawa.

Sementara itu terdengar teriakan pasukan Song yang hiruk-pikuk memecah bumi dan secara gagah berani menerjang musuh. Dari jauh Yo Ko melihat formasi pasukan musuh sangat teratur, pula jumlahnya berlipat ganda dari pada pasukan Song, ber-kali-kali pasukan Song menyerbu maju bagai gelombang ombak yang susuI-menyusuI, akan tetapi sama sekali tak bisa memboboIkan pertahanan pasukan Mongol.

“Liong-ji,” kata Yo Ko, “meski lawan tangguh sudah mampus, pasukan musuh belum kalah. Mari kita menyerbu. Kau letih tidak?”

Betapa bersemangat kata-kata Yo Ko bagian depan itu, sedangkan kata-kata terakhir berubah menjadi begitu halus lembut penuh kasih sayang. Siao-liong-li tersenyum, jawabnya:

“Jika kau bilang serbu, hayo serbu!”

“Toa-koko,” mendadak suara anak dara berkata di sampingnya, “Sungguh cantik Liong-cici seperti dewi kayangan.”

Siao-liong-li berpaling pada Kwe Siang, sahutnya sambil tertawa: “Adik cilik, banyak terima kasih atas doamu untuk pertemuan kembali kami, Toa-koko-mu banyak cerita tentang kebaikanmu, dia sengaja membawa aku ke Siang-yang sini buat bertemu dengan kau.”

“Dan hanya engkaulah yang setimpal berjodohkan dia,” ujar Kwe Siang menghela napas.

Siao-liong-li menggandeng tangan si anak dara dengan amat akrabnya. Sebenarnya terhadap siapa pun selalu Siao-liong-li bersikap dingin, tapi sepanjang jalan ia mendengar cerita Yo Ko yang memuji-muji Kwe Siang, pula melihat dalam usia sekecil anak dara ini, meski menghadapi ancaman elmaut tadi tetap tak gentar, maka sikap Siao-liong-li berubah dari pada biasanya.

Sementara itu Yo Ko membawakan beberapa ekor kuda yang tak bertuan, lalu katanya: “Marilah naik, aku membuka jalan, kita terjang musuh bersama!”

Segera dia mendahului cemplak kudanya lantas dilarikan paling depan. Dengan kencang Siao-liong-li dan Kwe Siang ikut di belakangnya. Mereka menuju ke selatan dan tak lama kemudian terlihatlah tangga pencakar langit berderet-deret bersandar pada tembok benteng, tentara Mongol bagai semut banyaknya sedang memanjat ke atas.

Ketika mereka memandang dari tempat yang tinggi, terlihat di sebelah barat beribu tentara Mongol mengurung Yalu Ce bersama 200 orang anak buahnya. Tentara Mongol itu semuanya bersenjata golok sepanjang lima kaki yang bentuknya melengkung, maka satu persatu anak buah Yalu Ce banyak yang kena dibabat terguling.

Kwe Hu kelihatan memimpin sepasukan tentara menerjang hendak menolong suaminya, tetapi kena ditahan pasukan Mongol yang berjumlah ribuan orang. Suami isteri itu hanya dapat melihat dari jauh, tapi tak bisa berhimpun menjadi satu.

Menyaksikan prajurit-prajurit di samping suaminya makin lama semakin berkurang, hati Kwe Hu benar-benar seperti disayat-sayat. Ia tahu dalam pertempuran besar demikian, bila sampai terkepung sendirian, betapa pun tinggi ilmu silatnya tak terhindar dari kematian.

Saat itulah mendadak terdengar Yo Ko berseru: “Kwe-toakounio (nona Kwe besar), asal kau menyembah tiga kali padaku, segera aku menolong suamimu!”

Kalau turuti watak Kwe Hu yang congkak dan tinggi hati, jangankan disuruh menyembah, sekali pun mati dia takkan mau kalah mulut pada Yo Ko. Tetapi kini jiwa sang suami bergantung di ujung rambut, tanpa ragu-ragu ia keprak kuda mendekati Yo Ko, sekali melompat turun, ia menekuk lututnya dan hendak menyembah sungguh-sungguh.

Melihat itu Yo Ko malah terkejut sekali. Lekas ia menarik bangun, ia menyesal atas kata-katanya tadi yang rendah budi,

“Maafkan aku telah salah omong, jangan kau anggap sungguh-sungguh. Yalu-heng adalah sahabatku yang baik, tidak mungkin aku tidak menolongnya.”

Habis itu ia mengumpulkan delapan ekor kuda lagi, yang empat ekor ia jadikan satu baris di depan dan empat ekor lain tergandeng satu baris di belakang. Dengan dua baris kuda muka belakang masing-masing empat ekor, segera dia melompat ke atasnya, dengan tangan tunggal ia pegang delapan tali kendali, sekali ia bersuit segera terjang pasukan musuh.

Walau pun ‘tank-kuda’ yang dikendalikan Yo Ko belum terlatih, namun dengan tenaga saktinya tidak sukar mengendalikannya. Maka 32 tapak kaki segera ber-detak-detak ke depan hingga debu pasir berhamburan, Yo Ko sendiri dengan Ginkang-nya yang tinggi, melompat ke sana ke sini di atas ke delapan ekor kuda itu.

Ketika tentara Mongol sedang tertegun menyaksikan ilmu menunggang kuda yang aneh menyerbu ke dalam pasukan mereka, sekali lengan baju Yo Ko mengebas, sebuah panji segera kena dirampasnya terus ditancapkan di atas pelana.

Dengan membentak-bentak segera perwira dan bintara Mongol hendak merintangi, tapi di mana panji Yo Ko rampasan tadi menyabet, sekaligus tiga perwira musuh terguling dari kudanya.

Saat itu Yalu Ce kelihatan tinggal tiga tombak jauhnya, segera Yo Ko berseru: “Yalu-heng lekas melompat ke atas!”

Berbareng itu, sekali panji diayunkan, Yalu Ce melompat tinggi ke udara. Cepat Yo Ko menggulung dengan panjinya hingga dengan tepat tubuh Yalu Ce terbungkus kain panji. Dua orang delapan kuda segera menerjang keluar kepungan musuh.

“Yo-hengte,” kata Yalu Ce menarik napas lega, “banyak terima kasih atas pertolonganmu, tapi anak buahku masih banyak yang terkepung, tidak mungkin aku menyelamatkan jiwa sendiri. Biarlah aku bertempur lagi dan mati bersama dengan mereka.”

Tiba-tiba saja pikiran Yo Ko tergerak, katanya: “Mari kau pun merampas sebuah panji besar!” Habis ini dia mengeluarkan geretan dan kain panji di tangannya dibakar.

“Akal yang bagus!” seru Yalu Ce. Segera ia pun merampas sebuah panji kemudian menyulutnya dengan api dari panji Yo Ko yang sudah berkobar-kobar.

Sambil mem-bentak-bentak panji berapi itu mereka ubat-abitkan, kembali mereka menyerbu ke tengah pasukan musuh. Dengan diputarnya kedua panji berapi yang menari-nari kian kemari di udara, asal sedikit kesenggol siapa pun pasti akan kepala gosong dan rambut hangus.

Walau pun pasukan Mongol gagah berani, namun ketika menghadapi api, tak bisa tidak mereka harus mundur. Sementara itu bawahan Yalu Ce tinggal 50-60 orang saja, segera mereka menerjang keluar dari kepungan. Dengan sisa prajuritnya itu, Yalu Ce berkumpul di atas tanah bukit sekedar melepas lelah.

Tiba-tiba Kwe Hu mendekati Yo Ko lalu menyembah. “Yo-toako, selama hidup aku selalu tak baik padamu, tapi kau berbudi luhur, kejelekanku kau balas dengan kebajikan dan kini engkau sudah menolong...” Berkata sampai di sini suaranya jadi parau dan tenggorokan se-akan-akan tersumbat.

Memang beberapa kali Yo Ko pernah menoIongnya, tetapi selalu merasa sirik dan dengki padanya. Sudah terang orang ada budi kepadanya, tapi rasa jemunya sukar dilenyapkan. Sering ia merasa Yo Ko terlalu angkuh dan suka agulkan kepandaiannya yang tinggi serta sengaja pamer. Dan sekarang sesudah Yo Ko menolong jiwa suaminya, barulah Kwe Hu benar-benar merasa berterima kasih, dia insaf kesalah-pahamannya yang lalu.

Lekas Yo Ko membalas hormat, sahutnya: “Adik Hu, semenjak kecil kita hidup bersama dan suka cekcok, padahal hubungan kita bagai kakak dan adik, asal kini kau tidak jemu lagi padaku, aku sudah merasa senang.”

Kwe Hu tertegun atas sebutan itu, sekilas segala kejadian di masa anak-anak terbayang olehnya.

“Ya, apakah karena aku jemu padanya? Ataukah benci kepadanya? Bu-si Hengte begitu baik dan suka me-nyanjung, tetapi dia selamanya tak gubris diriku. Padahal asal sedikit turuti kemauanku, sedikit pikirkan diriku, rasanya biar mati untuknya juga aku rela. Sebab apakah aku benci padanya tanpa alasan? Rupanya diam-diam aku suka padanya, tapi sedikit pun ternyata aku tidak terisi di hatinya,” demikianlah pikirnya.

Aneh juga, selama 20-an tahun Kwe Hu tidak tahu perasaan hatinya sendiri. Setiap ingat Yo Ko, selalu dia pandang sebagai musuhnya, padahal dalam hati kecilnya, betapa perhatian dan rindunya pada Yo Ko tidaklah dapat dilukiskan dengan kata-kata. Mungkin itulah yang dikatakan: ‘Cinta yang dalam, bencinya juga mendalam’.

Semenjak kecil sifat Kwe Hu tinggi hati, ia anggap seharusnya Yo Ko menjunjungnya seperti kedua saudara Bu yang begitu penurut. Akan tetapi, sedikit pun Yo Ko ternyata tidak paham perasaannya, sebaliknya dia sendiri pun tidak paham akan perasaan Yo Ko.

Apalagi Kwe Ceng dan Oey Yong. Kedua orang tua ini merasa Kwe Hu dan Yo Ko dilahirkan sebagai musuh, asal bertemu pasti cekcok, akhirnya lengan Yo Ko buntung ditebas Kwe Hu hampir-hampir urusan meluas sampai batas-batas yang sulit diatasi.

Kini sesudah rasa benci dan sirik itu hilang barulah Kwe Hu sadar, ternyata perasaannya pada Yo Ko sesungguhnya begitu mesra, begitu mendalam.

“Waktu dia menyerbu musuh menolong kakak Ce, sesungguhnya hatiku lebih kuatir untuk siapakah? aku tak bisa menerangkan. Tentu saja kini aku tak mencintainya lagi, tapi dulu, kenapa aku menjadi begitu benci padanya?” demikian pikirnya.

Demikianlah di tengah-tengah pertempuran yang gegap gempita tiba-tiba Kwe Hu menjadi jelas akan perasaan hatinya sendiri.

“Pada hari ulang tahun Siang-moay, dia memberikan tiga hadiah besar padanya dan mengapa aku harus begitu benci padanya? Dia membongkar kedok Hotu dan mendukung Ce-koko menjadi pangcu dari Kay-pang, kenapa diam-diam aku malah marah? Ahh, Kwe Hu, Kwe Hu! Nyata kau cemburu kepada adik perempuanmu sendiri! Soalnya budinya sedemikian manis kepada Siang-moay, tapi selamanya tak pernah sedikit pun begitu baik terhadapku.”

Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia mendongkol dan marah kembali, dengan sengit ia melotot sekejap ke arah Yo Ko dan Kwe Siang, tapi mendadak ia sadar lagi.

“Ah, kenapa aku pikirkan hal-hal ini? Bukankah sekarang aku sudah menjadi wanita yang bersuami? Lagi pula kakak Ce juga sangat cinta padaku.”

DemikianIah akhirnya ia menghela napas panjang. Walau pun hidupnya tidak kekurangan namun dalam lubuk hatinya yang paling dalam se-akan tertinggal semacam rasa penyesalan yang tak terkatakan.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar