Selasa, 02 November 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 194

Kembali berceritera tentang Kim-lun Hoat-ong yang membangun sebuah panggung tinggi di luar benteng Siang-yang dan hendak membakar Kwe Siang untuk memaksa Kwe Ceng takluk kepada pihak Mongol, sementara Oey Yok-su bilang akan mengatur suatu ‘barisan 28 bintang-bintang’ untuk menempur musuh.

Kwe Ceng sudah melaporkan hal itu kepada gubernur militer kota Lu Bun-hwan supaya memberi mandat, agar Oey Yok-su dapat mengatur siasat dan membagi tugas pada para perwira dan prajurit.

Tatkala itu para ksatria yang hadir sebagian besar sudah bubar, yang masih tinggal di situ seluruhnya adalah pahlawan-pahlawan yang berjiwa patriot, maka semuanya berkumpul di lapangan militer menunggu perintah.

“Mereka mengerahkan 40 ribu orang untuk mengepung panggung. Kalau kita pakai orang yang banyak, biar pun kita menang rasanya juga tidak mengherankan,” kata Oey Yok-su. “Maka kita pun hanya perlu 40 ribu orang, menurut Sun Cu, yang penting mahir mengatur, satu lawan satu, apa susahnya?”

Maka Oey Yok-su segera naik ke atas podium panglima, katanya pula: “Barisan bintang-bintang kita ini seluruhnya terbagi dalam lima kesatuan menurut hitungan panca-buta.”

Sesudah itu segera dia kumpulkan semua komandan pasukan, dia memberi petunjuk dan penjelasan seperlunya, katanya lagi: “Perubahan2 kita yang amat ruwet ini seketika sukar dipahami, tetapi pertempuran hari ini harus dipimpin oleh lima tokoh silat terkemuka yang paham tentang perubahan panca-buta, komandan pasukan harus menurut petunjuk kelima pemimpin dan menjalankan perintahnya.”

Maka pergilah para komandan pasukan itu dengan menerima perintah itu.

Kemudian Oey Yok-su mulai membagi tugas, katanya: “Kesatuan tengah tergolong bumi, dipimpin oleh Kwe Ceng dengan jumlah prajurit 8000 orang. Pasukan ini harus mengarah bagian tengah musuh, tujuannya menolong Kwe Siang, tidak perlu harus menghancurkan musuh. Setiap prajurit membawa kantong berisi pasir, begitu menyerbu sampai di bawah panggung, segera gunakan pasir untuk menyirapkan api yang berkobar untuk menolong anak dara di atas panggung itu.”

Kwe Ceng menerima tugas itu dan berdiri ke samping.

“Dan kesatuan jurusan selatan tergolong api,” demikian Oey Yok-su melanjutkan. “Harap It-teng Taysu yang memimpin 8000 orang. Pasukan ini yang 1000 orang akan melindungi pimpinan, 7000 orang lainnya terbagi menjadi tujuh regu, masing-masing dipimpin oleh Cu Cu-liu, Bu Sam-thong, Su-sui Hi-un, Bu Tun-si dan Bu Siu-bun serta kedua isteri mereka, Yalu Yen dan Wanyen Peng.”

It-teng Taysu beserta Cu Cu-liu dan lainnya juga menerima perintah itu lalu pergi mengatur tentaranya masing-masing.

Lalu Oey Yok-su berkata pula: “Barisan utara tergolong air, di bawah pimpinan Oey Yong dengan 8000 orang. 1000 orang di antaranya mengawal pimpinan, sedangkan 7000 orang lainnya terbagi di bawah Yalu Ce, Nio-tianglo, Kwe Hu dan para Tianglo lainnya dari Kay-pang.”

Oey Yong pun langsung menerima perintah itu dengan baik. Kesatuan ini terdiri dari anak murid Kay-pang sebagai kekuatan inti, rata2 orangnya memiliki kepandaian tinggi.

Sesudah membagi ketiga kesatuan tadi, kemudian Oey Yok-su meneruskan. “Dan jurusan timur tergolong hawa, kesatuan ini biar aku Tang-sia Oey Yok-su sendiri yang memimpin, jumlah orangnya juga 8000.”

Semua orang pikir, jurusan timur dipimpin Tang-sia, Lam-te mengepalai selatan, sedang anak murid Pak-kay menduduki utara. Kwe Ceng adalah panglima pusat, memangnya dia juga murid keturunan Ong Tiong-yang, cara mengatur Oey Yok-su itu memang tepat. Tapi masih ada jurusan barat, gerangan siapakah yang akan mengepalai jurusan ini?

Sementara terdengar Oey Yok-su sudah berkata pula: “Dan jurusan barat akan dipimpin oleh pejabat ketua Coan-cin-kau, Li Ci-siang.”

Mendengar ini, semua orang merasa baik mengenai kepandaian mau pun tenarnya nama, pimpinan jurusan ini jauh lebih lemah dari pada yang lain-lain.

Pada saat itulah mendadak terdengar seorang berteriak: “Hai, Oey-Iosia, kenapa kau jadi lupa padaku?”

Waktu dipandang, kiranya yang bersuara itu adalah Lo-wan-tong Ciu Pek-thong.

“Ciu-heng,” sahut Yok-su, lukamu belum sembuh, belum dapat bekerja berat, sebenarnya jurusan barat ini harus kau pimpin, tapi...”

“Ah, hanya luka kecil saja, kenapa harus dipikirkan?” sahut Pek-thong cepat. “Biarlah aku memimpin jurusan barat itu saja. He, Ci-siang, apa kau berani berebut dengan aku?”

“Tecu tidak berani,” sahut Li Ci-siang sambil memberi hormat.

“Memang aku sudah tahu kau takkan berani” ujar Pek-thong tertawa. Habis itu segera dia ambil panah tanda tugas dari tangan Li Ci-siang.

Terpaksa kata Oey Yok-su kemudian: “Jika begitu hendaklah Ciu-heng suka berhati-hati. Engkau pun memimpin 8000 orang, 1000 di antaranya harap Eng-koh suka memimpinnya untuk mengawal kau, tujuh regu lainnya biar dipimpin masing-masing oleh Li Ci-siang dan anak murid Coan-cin-kau yang lain.”

Setelah membagi tugas, kemudian Oey Yok-su memerintahkan semua prajurit menerima perlengkapan seperlunya di gudang. Kemudian, setelah bendera kebesarannya memberi tanda, 40 ribu orang lantas terbagi dalam 5 jurusan timur, barat, utara selatan dan tengah.

Dengan suara lantang dia memberi petuah agar prajurit-prajurit itu bertempur mati-matian menghancurkan musuh. Segera anjuran itu disambut dengan sorak-sorai yang gemuruh penuh semangat. Sesudah meriam berdentum tiga kali, empat pintu benteng terbuka, lima pasukan itu lantas keluar berbareng.

Perubahan barisan bintang-bintang ini ternyata aneh luar biasa. Pasukan timur itu setiap orangnya menggendong sepotong kayu cagak yang panjang, sesudah menyerbu hingga mendekati sebelah timur panggung, 1000 prajuritnya lantas mempergunakan perisai untuk menahan panah musuh, sedangkan 7000 orang lainnya segera menggunakan cagak kayu untuk dipasang di sana sesuai petunjuk Oey Yok-su yang sudah mengaturnya menurut perhitungan Pat-kwa dan panca-buta, maka sekejap saja bagian timur panggung itu sudah tertutup.



Pasukan jurusan barat berintikan anak murid Coan-cin-kau. Para Tosu itu memang sudah paham tentang barisan bintang-bintang, maka terlihatlah sinar pedang gemerlapan hingga terpaksa prajurit MongoI menghamburkan panah untuk mencegah lajunya.

Mendadak terdengar suara teriakan bergemuruh dari bagian utara. Itulah Oey Yong yang memimpin anak-anak murid Kay-pang dengan membawa banyak sekali pipa air dan terus menyemprotkan air berbisa ke tubuh prajurit musuh.

Racun air yang disemprotkan itu ternyata amat jahat, seketika tubuh yang terkena terasa sangat sakit, sebentar pun melepuh dan bernanah. Karena tidak tahan, prajurit Mongol lari tunggang langgang mundur ke selatan.

Tapi tiba-tiba terlihat bagian selatan asap mengepul tinggi. Kiranya It-teng Taysu bersama 8000 anak buahnya telah melakukan serangan dengan api, memakai sebangsa belerang dan bahan2 lainnya yang mudah terbakar. Api menyembur terus dari bumbung besi yang khusus mereka bawa.

Melihat gelagat jelek, segera prajurit Mongol mundur ke bagian tengah.

Namun Kwe Ceng sudah siap, ia pimpin delapan ribu orangnya dan maju perlahan. Ketika dilihatnya keadaan pasukan musuh kacau, segera ia kerahkan pasukannya menerjang ke tengah menuju ke panggung.

Pada saat itulah mendadak terdengar di samping panggung itu suara tiupan tanduk, sekali berteriak dari dalam parit yang sengaja digali itu menongol keluar berpuluh ribu topi baja.

Kiranya pimpinan pihak Mongol juga pandai mengatur siasat, kecuali di sekitar panggung jelas kelihatan 40 ribu orang, namun di dalam tanah galian itu bersembunyi lagi beberapa puluh ribu prajurit Iain.

Dari jauh Kwe Ceng menyangka itu hanya parit biasa yang digali musuh, siapa tahu justru di situlah tersembunyi kekuatan cadangan musuh.

Karena itulah terdesaknya pasukan Mongol tadi segera berubah. Meski barisan bintang-bintang itu dapat menerjang kacau pasukan musuh, tapi jika hendak membasminya jelas tak bisa lagi.

Maka terdengarlah genderang dipukul dengan kerasnya, pasukan Song dan Mongol telah saling tempur, sementara pasukan penjaga di samping panggung lantas menghamburkan panah hingga beberapa kali Kwe Ceng terpaksa harus mundur kembali.

Setelah hampir satu jam kedua pihak bertempur dengan sengitnya, tiba-tiba Oey Yok-su mengibarkan bendera hijau, sekonyong-konyong pasukan sebelah timur ganti menyerang ke selatan, sedangkan pasukan barat menggempur ke utara. Karena perubahan barisan ini, kembali pasukan musuh menjadi kacau lagi.

Meski prajurit Song hanya 40 ribu orang, tapi pertama karena barisan bintang-bintang ini sangat hebat, kedua dipimpin oleh jago-jago silat terkemuka pada jaman ini, ketiga, setiap prajurit Song merasa berterima kasih pada Kwe Ceng suami-isteri, mereka bertekad akan menolong puteri kesayangannya. Oleh sebab itulah meski jumlah orang Mongol berlipat ganda namun tidak sanggup menahannya.

Setelah berlangsung agak lama, tiba-tiba saja Oey Yok-su bersiul panjang dan keras, lalu bendera isyarat mengebas beberapa kali, maka pasukan berpanji hijau mundur ke tengah, pasukan panji merah menuju ke sebelah barat, pasukan panji kuning berganti ke utara, pasukan panji putih menggempur bagian timur, pasukan panji hitam mengarah ke selatan. Kembali barisan berubah lagi!

Dari atas panggung Kim-lun Hoat-ong dapat menyaksikan pertempuran hebat di bawah panggung itu, dalam hati diam-diam dia terperanjat sekali. Pikirnya: “Sungguh tidak nyana di daerah Tionggoan ternyata terdapat orang kosen seperti ini, sejak sekarang tak berani lagi aku memandang sepele orang Tionggoan.”

Sementara itu dilihatnya prajurit2 Mongol yang mati atau luka makin lama makin banyak, pasukan panji kuning terus mendesak ke panggung itu, walau pun dia gunakan Kwe Siang sebagai sandera, tetapi toh tidak tega benar2 membakarnya.

Ia menoleh dan memandang anak dara itu. Dia lihat meski kedua kaki dan tangan terikat, tapi kepala anak dara mendongak, sikapnya gagah tak gentar sedikit pun.

“Kwe Siang cilik,” seru Hoat-ong. “Lekas kau minta ayahmu supaya menyerah, aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, jika ayahmu tidak mau takluk, segera aku memberi perintah membakarmu.”

“Apa kehendakmu boleh sesukamu. Jangankan hanya satu sampai sepuluh, kau boleh menghitung satu sampai seribu atau sejuta juga aku tak peduli,” sahut Kwe Siang dingin.

“Hm, apa kau kira aku tak berani membakar kau?” Hoat-ong menjadi gusar.

“Ha-ha-ha, sungguh kasihan kau ini,” jengek Kwe Siang tiba-tiba.

“Kasihan apa kau bilang?!” bentak Hoat-ong.

“Ya, sungguh kasihan. Sebab kau tak sanggup melawan ayahku, tak sanggup menandingi Gwakong-ku Oey-losia, tidak lebih unggul dari pada It-teng Taysu, juga tidak berani pada Toakoko-ku Yo Ko, paling-paling kau hanya mampu meringkus aku di sini,” demikian Kwe Siang mengolok-olok. “Caramu ini, biar pun seorang prajurit Siang-yang kami juga takkan sudi melakukan ini, Hoat-ong. Aku justru ingin menasehatkan kau.”

“Apa?! Nasihat?” seru Hoat-ong sengit

“Ya,” sahut Kwe Siang. “Manusia hidup seperti kau ini apa artinya? Lebih baik kau terjun ke bawah panggung dan membunuh diri saja!”

Kwe Siang tak pikirkan mati-hidupnya lagi. Semenjak kecil memang tajam kata-katanya, selamanya tak pernah kalah adu muIut, keruan kini Hoat-ong kewalahan, saking gusarnya serasa dadanya akan meledak.

“Wahai, dengarlah Kwe Ceng!” segera dia berteriak keras-keras. “Aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, apa bila kau masih belum mau takluk, segera aku perintahkan membakar panggung ini.”

“Boleh kau lihat apakah aku Kwe Ceng manusia yang suka takluk atau bukan!” sahut Kwe Ceng.

“Wahai, Kim-lun Hoat-ong!” tiba-tiba saja Oey Yok-su menyambung. “Kau salah menaksir musuh, inilah kebodohanmu. Kau menghina seorang dara cilik, ini namanya tidak berbudi. Kau tak berani bergebrak terang-terangan dengan kami untuk menentukan menang atau kalah, ini namanya tidak berani. Manusia yang tidak pintar, tidak berbudi, tiada keberanian tetapi masih berani kau bicara tentang pahlawan dan ksatria segala? Kau tertangkap oleh kami di Coat-ceng-kok, dan untuk menyelamatkan jiwamu kau sudah menyembah 27 kali kepada Kwe Siang cilik, kemudian kau diampuninya. Ha-ha, manusia yang takut mati dan tamak hidup macam kau ini ternyata masih ada muka untuk menjadi Koksu (imam negara MongoI) segala?”

Sesungguhnya tentang menyembah minta ampun kepada Kwe Siang segala tiada pernah terjadi, tapi Oey Yok-su sengaja gembar-gembor di hadapan umum, di tengah2 pasukan MongoI, agar Hoat-ong serba salah, hendak mendebat sulit, tidak mendebat juga salah.

Bangsa Mongol justru paling menghormati orang gagah berani dan memandang hina pada manusia pengecut. Kini mendengar gemboran Oey Yok-su itu, tanpa terasa banyak yang menengadah ke atas panggung dengan pandangan hina.

Oey Yok-su sudah berpikir panjang. Sebelum berangkat menyerbu dia sudah minta Oey Yong menterjemahkan kata2 untuk mengolok-olok Hoat-ong ini ke dalam bahasa Mongol. Kini digemborkannya di hadapan berpuluh ribu prajurit yang sedang bertempur itu hingga terdengar jelas.

Dan karena mendengar pemimpin di pihak sendiri adalah manusia rendah dan hina, tanpa terasa pasukan Mongol menjadi kurang bersemangat, sebaliknya prajurit Song semakin gagah menyerbu musuh.

Melihat gelagat jelek, Kim-lun Hoat-ong yang berada di atas panggung itu segera berteriak lagi: “Wahai, Kwe Ceng, dengar kau. Aku akan menghitung dari satu sampai sepuluh, apa bila kata-kata ‘sepuluh’ terucapkan, puteri kesayanganmu segera akan terbakar menjadi arang. Nah, satu... dua... tiga... empat... lima...”

Begitulah setiap kata-kata diucapkan, dia sengaja berhenti sejenak dengan harapan Kwe Ceng yang tidak tahan oleh desakan itu akan menyerah atau sedikitnya juga akan patah semangat, lalu tidak berani bertempur lagi.

Di lain pihak, Kwe Ceng, Oey Yok-su, It-teng Taysu, Oey Yong, dan Ciu Pek-thong yang memimpin lima pasukan, sesudah mendengar Hoat-ong mulai menghitung, sedangkan di bawah panggung beratus-ratus serdadu Mongol sudah mengangkat obor mereka tinggal menunggu komando, bila tanda diberikan segera panggung itu akan dibakar. Oleh karena itu Kwe Ceng dan lain-lainnya menjadi kuatir dan gusar, mati-matian mereka menerjang ke depan panggung buat menolong Kwe Siang.

Tetapi barisan pemanah bangsa Mongol yang terkenal tangkas itu sudah siap. Di bawah hujan panah itu segera terlihat Su-sui Hi-un, Nio-tianglo, Bu Siu-bun dan lainnya terluka panah semua, malah ada beberapa anak murid Kay-pang dan Coan-cin-kau yang gugur.

Sebelumnya Oey Yong sudah menyuruh Kwe Hu supaya meminjamkan ‘Nui-wi-ka’ atau kutang berduri landak kepada kakeknya, Oey Yok-su, sebab pertempuran ini berbahaya luar biasa. Apa bila karena ingin menolong Kwe Siang, tapi jiwa ayahnya harus berkorban atau terluka, hal ini benar-benar akan membuat Oey Yong menyesal selama hidup.

Karena maksud baik sang puteri itu sukar ditolaknya, terpaksa Oey Yok-su menerimanya, tetapi diam-diam ia pinjamkan baju pusaka itu kepada Ciu Pek-thong. Sebab itulah meski luka Pek-thong belum sembuh, tapi ia sudah berani terobosan kian kemari di bawah hujan panah dan senjata musuh tanpa luka.

Malahan ketika melihat panah musuh yang mengenai tubuhnya jatuh semua, hati si tua nakal itu menjadi riang. Terus saja dia menyerbu maju, di mana tangannya tiba, di situlah segera musuh menggeletak.

Sementara itu terdengar Hoat-ong sudah menghitung sampai: “...delapan... sembilan... sepuluh! Baik, bakarlah!”

Dan sekejap saja asap lantas ber-guIung2, api berkobar dengan hebat.

Sungguh pun sebenarnya delapan ribu prajurit panji kuning semuanya membawa kantong pasir, tetapi karena tidak sanggup menyerbu sampai di dekat panggung, terpaksa mereka tidak bisa berbuat apa-apa.

Pikiran Oey Yong menjadi butek ketika dilihatnya api menjilat dengan hebatnya, mukanya pucat dan orangnya sempoyongan. Lekas Yalu Ce memayang ibu mertua itu dan berkata:

“Hendaklah Gakbo mengaso dulu ke garis belakang, sekali pun aku harus berkorban jiwa, Siang-moay pasti akan kutolong.”

Pada saat itulah sekonyong-konyong terdengar suara teriakan gemuruh hebat memecah bumi, dari garis belakang pasukan MongoI tiba2 datang menyerbu dua pasukan berkuda yang langsung menggempur benteng kota Siang-yang.

Terdengarlah teriakan “Banswe! Banswe!” yang hiruk-pikuk, panji kebesaran raja Mongol, Monko, tertampak diangkat tinggi-tinggi dan cepat sekali sudah sampai di bawah benteng Siang-yang. Di bawah pimpinan raja mereka, pasukan Mongol itu semakin bersemangat menggempur benteng.

Di lain pihak, tatkala itu Kwe Ceng dengan satu tangan membawa perisai dan tangan lain memegang tombak, sebenarnya tinggal ratusan tindak dari panggung, betapa pun barisan pemanah menghujani panah tetap tak bisa melukainya. Tampaknya sebentar lagi dia pasti dapat melompat ke atas panggung.

Tiba-tiba didengarnya di bagian belakangnya keadaan menjadi kacau. Ia terkejut, pikirnya: “Celaka, kita terperangkap oleh tipu musuh ‘memancing harimau meninggalkan gunung’. Sedangkan gubernur kota lemah dan penakut, walau pun kekuatan tentara cukup, tapi jika tiada pimpinan, mungkin urusan bisa runyam.”

Sebetulnya ke-40 ribu tentara dari barisan bintang-bintang ini kuat menandingi beratus ribu pasukan Mongol dan melawan dengan gigihnya, sementara raja Monko tanpa memikirkan pertempuran besar yang sedang berlangsung itu terus memimpin sendiri pasukan lainnya untuk menggempur benteng Siang-yang.

Tiba-tiba Kwe Ceng berganti pikiran, dia membatin. “Urusan anak soal kecil, pertahanan kota lebih penting!” Karena itu segera dia berteriak:

“Gakhu, jangan pedulikan lagi gagal tidaknya mengurus anak Siang, lekas kembali menggempur bagian belakang musuh!”

Waktu Oey Yok-su memandang, ia lihat api berkobar-kobar semakin hebat, Hoat-ong lagi turun setindak demi setindak dari tangga panggung itu. Sekarang di atas panggung melulu tinggal Kwe Siang sendiri saja yang teringkus. Sudah tentu Oey Yok-su juga bisa berpikir, ia mengerti seorang Kwe Siang tidak dapat dibandingkan dengan hancur atau selamatnya kota Siang-yang. Karena itu, ia menghela napas panjang dari berkata:

“Sudahlah.” Lalu ia kibarkan panji hijau dan menarik pasukannya kembali ke selatan.

Kwe Siang menyaksikan ayah-bunda dan Gwakong-nya tak berdaya menolongnya, ada pun asap tebal dan api menganga membakar dengan hebatnya mengitari panggung, ia tahu sebentar lagi dirinya bakal terbakar mati.

Mula-mula ia pun takut sekali, tapi akhirnya ia malah menjadi tenang, ia memandangi jauh ke depan. Dia pikir: “Sebentar lagi aku akan mati, tetapi entah saat ini Toa-koko berada di mana? Apakah sudah naik kembali dari jurang itu?”

Begitulah, sambil memandangi lereng-lereng gunung yang jauh, dia menjadi terkenang waktu berkumpul dengan Yo Ko walau pun hanya beberapa hari saja. Meski selanjutnya tiada harapan buat bertemu lagi, tapi rasanya sudah puaslah hidup ini.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara nyaring sayup-sayup terbawa angin. Begitu tajam suara itu hingga suara gemuruh pertempuran beratus ribu prajurit seakan-akan tenggelam di bawah pengaruh suara itu.

Terkesiap hati Kwe Siang. Suara itu mirip benar dengan suara siulan Yo Ko tatkala dulu menggetarkan kawanan binatang-binatang buas. Sewaktu ia menoleh ke arah datangnya suara, ia lihat pasukan MongoI di arah barat-laut tunggang-langgang tersiak minggir ke dua samping sehingga terbelah menjadi satu jalan.

Dua orang tampak datang dengan cepat bagai bahtera laju didorong angin buritan, di depan kedua orang itu sebagai pembuka jalan adalah seekor burung raksasa, sepasang sayapnya terpentang lebar sambil menyabet ke kanan dan ke kiri sehingga anak-anak panah yang menghujani terpental pergi semua.

Menyelamatkan SIANG-YANG

Burung raksasa itu tangkas dan ganas luar biasa, itulah Sin-tiau (rajawali sakti) kawan Yo-Ko, betapa kuat kedua sayapnya ternyata tiada satu pun panah yang dapat melukainya.

Kwe Siang girang luar biasa. Waktu ia mengawasi, satu orang berkopiah hijau berbaju kuning, siapa lagi kalau bukan Yo Ko, dan di sebelahnya wanita cantik berbaju putih mulus. Keduanya sama-sama mempergunakan pedang yang diputar kencang sambil menyusul di belakang Sin-tiau terus menerjang ke arah panggung.

“Toa-koko, apakah wanita itu Siao-liong-li?” saking ingin tahu Kwe Siang berteriak menanyakan.

Memang tidak salah, wanita di samping Yo Ko itu adalah Siao-liong-li, tapi jaraknya terlalu jauh, maka teriakan Kwe Siang tidak terdengar oleh Yo Ko.

Begitulah dengan amat tangkasnya si rajawali sakti menyampuk semua anak panah yang berhamburan, bila ada prajurit atau perwira Mongol yang berani merintangi, segera Yo Ko dan Siao-liong-li menggulingkan mereka dengan pedang. Dengan saling melindungi, tidak berapa lama mereka menerjang sampai di depan panggung.

“Jangan kuatir, adik cilik, aku datang menolong kau!” seru Yo Ko.

Sementara itu sebagian tangga panggung sudah terbakar. Namun sekali enjot, Yo Ko melompat ke undakan tangga bagian tengah terus memanjat ke atas.

Pada saat itulah mendadak angin pukulan yang maha dahsyat menghantamnya dari atas, itulah Kim-lun Hoat-ong yang melontarkan pukulan saktinya. Lekas Yo Ko membalikkan tangannya menyambut.
“Plakk!”

Terdengarlah suara keras, kedua tenaga raksasa saling bentur, tubuh keduanya terguncang, tangga panggung ikut tergoyang-goyang hampir patah. Sekali jajal kedua orang sama-sama terkejut. Sungguh tidak terduga, 16 tahun tidak bertemu, kepandaian lawan ternyata sudah banyak lebih maju.

Melihat keadaan sangat genting, tidak mungkin mengadu tenaga di tengah tangga, mendadak Yo Ko angkat pedangnya menusuk ke atas, susul-menyusul dia membabat kaki terus menusuk perut lawan.

Karena berada di atas maka Kim-lun Hoat-ong dapat mengeluarkan senjata rodanya menempur Yo Ko. Tetapi roda bentuknya pendek, terpaksa dia harus membungkuk untuk bisa menghantam, hal ini sungguh tidak leluasa, maka terpaksa dia mundur ke atas panggung.

Karena itu bertubi-tubi Yo Ko mengirim beberapa kali tusukan ke arah punggung Hoat-ong. Namun Hoat-ong tidak menoleh, hanya gunakan kepandaian ‘thing-hong-piao-gi’ (mendengarkan angin membedakan senjata), dia ayun roda ke belakang buat menangkis, punggungnya seakan bermata, tiap tangkisannya sangat tepat.

“Bangsat gundul, hebat juga kau!” mau tak mau Yo Ko memuji ketangkasan orang.

Ketika Hoat-ong hinggap di atas panggung, sekali membalik segera roda emasnya mengepruk kepaia Yo Ko. Syukur Yo Ko sempat mengegos ke samping, berbareng pedangnya menegak ke atas, tubuhnya mencelat dan selagi melayang di udara, dia menubruk ke bawah dengan pedang menusuk ke wajah musuh.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar