Selasa, 02 November 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 193

Dahulu waktu mengetahui Siao-liong-li terlampau mendalam terkena racun hingga sukar disembuhkan lagi, Yo Ko menjadi putus asa, ia pun tak ingin hidup lagi tanpa Siao-liong-li. Meski pun ia sendiri juga terkena racun Coat-hoa atau bunga cinta, ia sengaja membuang separoh obat pil ‘Coat-ceng-tan’ yang bisa menyembuhkan racun yang diidapnya.

Melihat itu, malamnya Siao-liong-li tidak bisa tidur. Dia pikir pergi datang, dia tahu kecuali dia sendiri mati dulu untuk melenyapkan harapan Yo Ko, maka barulah ada kemungkinan untuk menyembuhkan racun Ceng-hoa di dalam badannya.

Tapi kalau dia perlihatkan tanda membunuh diri, itu berarti mempercepat kematian Yo Ko juga. Dia berpikir terus hingga jauh malam, akhirnya dia mengukir beberapa baris huruf itu di tebing karang Toan-jong-khe, ia sengaja menetapkan janji pertemuan kembali sesudah 16 tahun lagi, habis itu barulah ia terjun ke dalam jurang untuk membunuh diri.

“Mengapa kau menjanjikan 16 tahun? Jika kau berjanji 8 tahun saja, bukankah kita akan bertemu kembali lebih cepat 8 tahun?” tanya Yo Ko gegetun.

“Aku tahu cintamu padaku terlalu mendalam, kalau melulu 8 tahun yang singkat itu, pasti takkan padamkan watakmu yang kesap seperti api,” sahut Siao-liong-li. “Aih, siapa nyana meski sudah 16 tahun, akhirnya kau tetap terjun kemari.”

“Ya, itulah tandanya lebih baik orang memiliki cinta murni,” ujar Yo Ko tertawa. “Umpama rasa rinduku kepadamu menjadi dingin, paling banyak aku menangis di atas karang, lalu pergi, dengan begitu kita menjadi takkan bertemu lagi untuk selama-lamanya.”

Siao-liong-li menghela napas panjang oleh nasib mereka yang di luar dugaan ini.

Mereka terdiam agak lama, kemudian Yo Ko bertanya pula: “Dan sesudah kau terjun ke dalam kolam ini, lantas bagaimana?”

“Dalam keadaan antara sadar tak sadar aku jatuh ke dalam kolam, ketika mengapung ke atas lantas terbawa oleh pusaran air masuk goa es itu dan terhanyut sampai di sini. Sejak itu aku lantas hidup sendirian,” tutur Siao-liong-li. “Di sini tiada burung mau pun binatang, tapi di dalam kolam itu tidak sedikit terdapat ikan, juga buah2an di sekitar sini tidak pernah habis, cuma tiada kain, maka terpaksa harus mengupas kulit pohon untuk ditenun menjadi baju.”

“Ketika itu bukankah kau terkena racun Peng-pek-gin-ciam’ dan racunnya telah meresap? Di dunia ini tiada obat yang bisa menyembuhkan lagi, tetapi mengapa bisa menjadi baik di dasar lembah ini?” tanya Yo Ko.

“Waktu aku sampai di sini, beberapa hari kemudian racun di dalam badan lantas bekerja hebat, seluruh tubuh se-olah2 dibakar, kepala sakit hendak pecah, rasanya tak tahan lagi. Akan tetapi aku lantas teringat waktu malam pernikahan kita di kuburan kuno itu kau telah mengajarkan cara duduk di ranjang kemala dingin untuk menjalankan aliran darah secara terbalik. Meski tidak dapat menolak keluar racun, tapi rasa menderita banyak berkurang,” demikian tutur Siao-liong-li.

“Tetapi di sini tiada ranjang kemala dingin, yang ada hanyalah es beku yang entah berapa tuanya di dasar kolam air itu. Aku lalu menyelam kembali ke dasar kolam dan masuk goa es itu, aku berdiam sebentar di sana.

Kadang2 aku pun datang ke tepi kolam ketika terjatuh mula-mula itu, aku menengadah ke atas dengan harapan bisa memperoleh sedikit kabarmu. Pada suatu hari, tiba-tiba kulihat beberapa ekor tawon terbang turun menembus kabut yang menutupi permukaan jurang itu, terang itulah tawon tinggalan Lo-wan-tong yang dibawanya main-main ke Coat-ceng-kok itu. Aku menjadi tertarik, segera aku buatkan sarang dan memeliharanya.

BeIakangan semakin banyak tawon yang datang dan setiap kali aku minum madu tawon yang aku unduh, rasa sakit badanku lantas banyak berkurang, sungguh tak nyana khasiat madu tawon ini ternyata sangat mujarab untuk memunahkan racun.

Begitulah aku minum madu tawon dalam jangka panjang, kumatnya racun di dalam badan juga berkurang. Mula-mula setiap hari kumat, lalu beberapa hari kumat sekali, kemudian hingga beberapa bulan sekali, paling akhir selama 5-6 tahun ini, satu kali saja tak pernah kumat lagi, agaknya sudah sembuh.”

“Ah, itulah tandanya orang berhati baik tentu dibalas baik pula,” ujar Yo Ko senang. “Coba kalau dahulu kau tidak hadiahkan tawon kepada Lo-wan-tong dan ia tak membawanya ke Coat-ceng-kok, tentu penyakitmu pun takkan bisa sembuh.”

“Dan sesudah penyakitku sembuh...” demikian Siao-liong-li melanjutkan, “aku jadi sangat rindu padamu, tetapi sekeliling jurang itu tingginya beratus tombak dan terdiri dari dinding2 tebing yang curam, cara bagaimana bisa naik ke atas? Maka dengan duri bunga aku lalu menisik enam huruf ‘Aku berada di dasar Coat-ceng-kok’ di atas sayap tawon putih itu dengan harapan sesudah tawon itu terbang ke atas akan diketemukan orang.

Selama beberapa tahun ini telah beribu ekor tawon yang kutisik tulisan di atas sayapnya, tapi tetap tiada kabar berita yang dibawanya kembali, makin lama aku semakin putus asa, aku merasa hidup ini takkan bisa melihat kau lagi.”

“Ahh, kalau begitu aku pun terlampau ceroboh,” seru Yo Ko mendadak sambil tepuk paha penuh menyesal. “Setiap kali kudatangi Coat-ceng-kok ini, selalu aku melihat tawon putih, tetapi selamanya tak pernah menangkap seekor pun untuk diperiksa.”

“Sesungguhnya hal itu pun timbul dari pikiranku yang sudah kehabisan akal,” sahut Siao-liong-li tersenyum. “Padahal siapa bisa menduga bahwa di atas badan binatang sekecil itu tertisik tulisan? Tulisan itu demikian lembut, sekali pun beratus tawon itu terbang lewat di depan matamu juga takkan kau perhatikan. Harapanku hanya kalau-kalau kebetulan ada seekor tawon itu masuk jaring lahan2 dan Thian menaruh belas kasihan sehingga dapat kau lihat lalu menolongnya, ketika itu tentu tulisan di atas sayapnya akan bisa kau baca.”

Ia tidak tahu bahwa tulisan di sayap tawon itu akhirnya dapat diketahui oleh Ciu Pek-teng yang suka main-main piara tawon itu dan arti tulisan itu kena diterka oleh Oey Yong yang kecerdasannya melebihi orang biasa.

Begitulah, setelah lama bercakap-cakap akhirnya menjadi lapar, Siao-liong-li mengajaknya masuk rumah dan menyuguhkan senampan ikan, ada pula buah2an dan madu tawon.

Sesudah kenyang makan barulah ganti Yo Ko yang menceritakan pengalamannya selama 16 tahun ini. Siao-liong-li sendiri biasanya tidak banyak menghiraukan soal2 keduniawian, yang diharap asalkan dia bisa bertemu kembali dengan Yo Ko maka rasanya sudah puas, maka sekali pun cerita Yo Ko itu kadang-kadang mengenai kejadian aneh dan hal-hal lain yang mendebarkan hati, paling-paling Siao-liong-li hanya tersenyum saja, cerita2 itu bagai angin lalu saja di samping telinganya. Sebaliknya Yo Ko terus menerus bertanya tentang segala sesuatu selama Siao-liong-li tinggal di dasar jurang ini.

Sepanjang malam mereka pasang omong hingga hari sudah hampir pagi barulah mereka tidur.

********************

BARISAN 28 BINTANG-BINTANG

Waktu mendusin, hari sudah lewat lohor. Yo Ko berkata: “Liong-ji, kita akan hidup sempai tua di sini atau berdaya kembali ke dunia fana di atas sana!”

Menurut pendapat Siao-liong-li, ia lebih suka hidup aman tenteram dengan Yo Ko di jurang ini. Tapi Yo Ko suka keramaian, betapa pun cintanya kepada Siao-liong-li, tetap tak biasa hidup sunyi terpencil.

Maka Yo Ko berkata pula: “Lebih baik kita berusaha naik saja, kalau di atas sana ternyata tidak menyenangkan nanti kita bisa kembali ke sini lagi, cuma... cuma untuk naik ke atas kiranya sangatlah sulit.”

Dia menyelam lagi ke tepi kolam melalui goa es itu, maka tertampaklah dari atas menjulur seutas tambang yang amat panjang, juga di tepi kolam terdapat bekas-bekas kaki orang, malah ada segunduk api unggun yang apinya masih belum sirap sama sekali.

“Ah, ada orang datang mencari kita, malahan sudah menyelam ke dalam kolam,” kata Yo Ko.

Ia mengitari tepi kolam itu, tiba-tiba dilihatnya ada batang pohon besar terdapat ukiran dua baris tulisan yang berbunyi: ‘It-teng, Pek-thong, Eng-koh, Yong, Eng, Bu-siang, datang ke sini mencari Yo Ko, tetapi tidak ketemu dan pulang dengan masgul’.

Yo Ko sangat terharu, katanya: “Ternyata mereka tak pernah melupakan diriku!”

“Ya siapa pun tiada yang lupa padamu,” ujar Siao-liong-li

“Mereka telah melorot ke bawah sini dengan tambang panjang ini, meski telah menyelam, tapi karena tidak meloncat dari tempat setinggi ratusan tombak maka daya tenggelamnya tidak dalam sehingga goa es itu tak mereka lihat,” kata Yo Ko. “Coba kalau aku pun turun dengan memakai tambang, tentu takkan dapat menemukan kau.”

“Ya, makanya aku bilang segala apa memang sudah takdir,” sahut Siao-liong-li.

“Tidak, ini namanya di mana ada kemauan, batu pun akan luluh karenanya,” kata Yo Ko.

Lalu ia mencoba menarik tambang itu dan ternyata sangat kuat, maka katanya pula: “Biar aku naik dulu, entah Kim-lun Hoat-ong itu masih di atas tidak. Tetapi kalau It-teng Taysu dan Lo-wan-tong sudah ke situ, agaknya Hoat-ong sudah kabur pergi.”

Sesudah ini dia bertanya lagi: “Liong-ji, ilmu silatmu telantar tidak? Kalau kau tidak dapat memanjat, biar kupanggul kau.”

“Meski pun selama 16 tahun tiada kemajuan, tapi apa yang dulu kupelajari rasanya masih tetap,” sahut Siao-liong-li.

Yo Ko berpaling sambil tertawa, lalu dia pegang tambang panjang itu, sedikit dia gunakan tenaga, cepat dia melompat ke atas lebih satu tombak tingginya. Meski lengannya tinggal sebelah, tapi dibantu kedua kakinya, tidak lama kemudian dia telah memanjat sampai di atas jurang. Menyusul Siao-liong-li pun merambat naik dengan tali tambang itu.

Kedua orang berdiri sejajar di depan karang Toan-jong-khe sambil memandangi dua baris tuIisan yang dahulu diukir Siao-liong-li di dinding batu itu, sungguh mereka merasa seperti baru hidup kembali.

Mereka tertawa saling pandang, betapa suka ria hati mereka ketika itu, rasa penderitaan selama 16 tahun ini sudah buyar seluruhnya bagai asap tertiup angin.

Yo Ko memetik setangkai bunga merah ‘Liong-li-hoa’ lantas disuntingkan pada sanggul Siao-liong-li. Bunga merah di atas kulit badan yang putih, seketika sukar diketahui apakah bunga merah itu yang menambah kecantikan orangnya ataukah wajah orang yang cantik itu yang menambah keindahan bunganya.....?

**** 193 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar