Senin, 01 November 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 192

Memang aneh benar. Katanya Kwe Siang bertemu Yo Ko di dasar jurang, tetapi mengapa rombongan Oey Yong tidak menemukannya? Sebab apa dalam waktu tiada satu hari Yo Ko menghilang tanpa bekas?

Kiranya saking berduka dan putus asa takkan berjumpa dengan Siao-liong-li, Yo Ko terjun ke dalam jurang dengan anggapan tubuhnya hancur lebur.

Tak terduga sesudah lama melayang ke bawah, akhirnya terdengar suara yang keras.

“Plungg...!” tubuhnya tercemplung masuk kolam air.

Betapa tinggi ia terjun dari atas, dengan sendirinya daya tekanan itu amat kerasnya, maka ia tenggelam lurus ke bawah entah berapa dalamnya. Mendadak matanya terbeliak, lapat-lapat seperti dilihatnya ada sebuah goa air. Pada saat ia hendak menegasi, daya tolak air kolam yang keras luar biasa telah mengapungkan tubuhnya ke atas lagi, pada saat itulah Kwe Siang pun ikut kecemplung ke dalam kolam.

Karena kejadian aneh yang susul menyusul itu, maka tanpa pikir Yo Ko menunggu Kwe Siang mengambang ke atas air, lantas menyeretnya ke pinggir serta menanyai:

“Adik cilik, kenapa kau terjatuh ke bawah sini?”

“Melihat kau terjun, aku lantas ikut terjun ke sini,” sahut Kwe Siang.

“Tobat! Ampun!” kata Yo Ko geleng-geleng kepala, “Apakah kau tidak takut mati?”

“Kau tidak takut mati, aku pun tidak takut,” sahut Kwe Siang pula dengan tersenyum.

Hati Yo Ko jadi tergerak, pikirnya diam2: “Apakah mungkin pada usia semuda ini ternyata sudah mendalam cintanya kepadaku?” Berpikir demikian, tanpa merasa kedua tangannya rada gemetar.

Tiba-tiba Kwe Siang mengeluarkan sebuah jarum emas, dia angsurkan kepada Yo Ko dan bertanya:

“Toakoko, dahulu waktu kau memberikan tiga jarum padaku, kau bilang setiap jarum ini berlaku bagiku untuk mengajukan satu permintaan padamu dan engkau pasti tak akan menolak. Kini aku memohon padamu: Tidak peduli apakah Liong-cici dapat bertemu kembali denganmu atau tidak, janganlah sekali-sekali kau mencari pikiran pendek.”

“Apakah jauh-jauh kau datang dari Siang-yang, perlunya melulu untuk memohon hal ini padaku?” tanya Yo Ko dengan suara terputus-putus sambil memandangi jarum emas itu.

“Ya, benar,” sahut Kwe Siang dengan penuh girang, “lelaki sejati sekali berkata harus bisa dipercaya, apa yang kau pernah sanggupkan padaku, jangan kau mungkir janji.”

Yo Ko menghela napas panjang sekali. Seorang hidup ingin mati, tetapi dari mati kembali hidup melalui suatu proses tertentu, betapa pun tadinya dia berkeras ingin mati, tidaklah mungkin untuk sekali lagi mencari mati, hal ini adalah kelaziman manusia tanpa kecuali.

Kini demi dilihatnya sekujur badan Kwe Siang basah kuyup, kedinginan sehingga giginya gemertak saling beradu, tapi rasa girang pada wajahnya tak tertutup oleh semua itu, lekas Yo Ko mengumpulkan kayu kering hendak menyalakan api. Tapi ketikan api yang mereka bawa sudah ikut basah semua, tidak bisa digunakan lagi, terpaksa dia berkata:

“Adik cilik, kau latihan Lwekang dulu dua kali, supaya hawa dingin tidak menyerang badanmu hingga menimbulkan sakit.”

“Marilah kita berdua berlatih semua,” sahut Kwe Siang.

Lalu mereka pun duduk berendeng menjalankan darah dan mengatur napas. Sejak kecil Yo Ko sudah digembleng tidur di atas batu kemala dingin di dalam kuburan kuno di Cong-lam-san itu, maka sedikit hawa dingin ini bukan apa-apa baginya. Dia mengulurkan tangan lalu memegang punggung Kwe Siang, maka mengalir hawa hangat melalui ‘Sin-tong-hiat’ di punggung anak dara itu dan perlahan-lahan merata ke seluruh tubuhnya.

Tidak lama kemudian Kwe Siang merasa seluruh badannya hangat kembali bahkan lebih segar. Lalu Yo Ko tanya untuk apa anak dara itu datang pula ke Coat-ceng kok. Dengan terus terang Kwe Siang lantas menceritakan pengalamannya.

Yo Ko menjadi gusar, katanya: “Kim-lun Hoat-ong ini benar-benar jahat. Marilah kita cari jalan naik ke atas, biar kakak hajar dia hingga setengah mati.”

Pada saat mereka bicara itulah tiba-tiba dari atas jatuh seekor burung raksasa ke dalam kolam, itulah rajawali jantan. Keruan Kwe Siang terkejut, lekas-lekas mereka memeriksa rajawali itu yang ternyata terluka amat parah.

Tak lama kemudian menyusul rajawali betina turun ke bawah dan membawa yang jantan ke atas. Ketika untuk kedua kalinya turun kembali, Yo Ko mendukung Kwe Siang ke atas punggung binatang itu. Dia sangka tentu rajawali itu akan turun pula untuk menjemputnya, siapa tahu ditunggu hingga lama sekali masih tiada sesuatu suara.

Sudah tentu tak diketahuinya bahwa saat itu rajawali betina sudah mati menumbukkan diri pada batu cadas menyusul rajawali yang jantan.

Menunggu hingga lama dan rajawali betina itu tetap tidak datang, lalu Yo Ko memeriksa keadaan sekitar kolam itu. Tiba-tiba saja dilihatnya di atas pohon-pohon besar ber-jajar2 beberapa puluh sarang tawon, sarang tawon ini berlipat ganda besarnya dari pada sarang tawon biasa, pula tawon2 yang meng-aum2 berseliweran itu ternyata adalah jenis tawon putih yang dulu biasa dipiara Siao-liong-li di kuburan kuno itu.

Tanpa terasa Yo Ko berseru terkejut dan seketika itu pula terpaku di tempatnya. Selang agak lama barulah ia mendekati sarang tawon itu, ia lihat di pinggir sarang tawon terpoles tanah liat, terang buatan manusia, lapat-lapat dikenalinya sebagai karya Siao-liong-li.

Yo Ko tenangkan semangatnya, dia pikir: “Jangan-jangan dahulu ketika Liong-ji terjun ke bawah sini, lalu ia bertempat tinggal di sini?”

Tetapi ketika ia periksa sekitarnya, tempat ini melulu dinding tebing curam bagai di dasar sebuah sumur saja, di atas penuh kabut putih yang menutupi sinar matahari.

Yo Ko coba ketok2 dan mencari sesuatu tanda pada dinding bata itu, tetapi tiada sesuatu yang mencurigakan, hanya ada beberapa pohon yang kulitnya seperti pernah dikeletek orang, juga ada tetumbuhan seperti pernah dicangkok ke tempat lain.

Sesaat itu rasa suka duka berkecamuk memenuhi benaknya, hatinya berdebar-debar. Kini ia yakin bahwa Siao-liong-li pun pernah tinggal di sini, cuma telah lewat 16 tahun lamanya, sampai hari ini apakah orangnya masih sehat walafiat, siapa yang tahu?

Biasanya Yo Ko tidak percaya setan malaikat segala, tapi dalam cemasnya ia berlutut dan komat-kamit berdoa:

“Thian yang maha kasih, berkahilah aku untuk bertemu sekali lagi dengan Liong-ji.”

Sesudah berdoa, Yo Ko mencari lagi sebentar, namun tetap tidak ditemukan sesuatu. Dia duduk di atas pohon dan berpikir: “Apa bila Liong-ji sudah mati, seharusnya tertinggal juga kerangka tulangnya di sini, kecuali kalau tulangnya tenggelam di dalam kolam.”

Berpikir sampai di sini, mendadak dia melompat turun, dia menggumam: “Betapa pun juga pasti akan kuselidiki sehingga segalanya jadi jelas. Sebelum melihat tulang-belulangnya, hatiku belum lega.”

Segera dia terjun ke dalam kolam terus menyelinap ke dasarnya. Makin dalam makin dingin rasanya di bawah kolam itu. Biar pun Yo Ko tidak takut dingin, tapi daya tolak air di bagian bawah terlalu kuat, walau pun beberapa kali Yo Ko berusaha menerjang ke bawah, tapi tetap tak bisa mencapai dasarnya, sedangkan napasnya sudah semakin memburu. Terpaksa dia apungkan diri ke atas, setelah merangkul sepotong batu besar, kembali dia terjun pula ke dalam kolam.

Sekali ini orangnya berikut batunya terus tenggelam dengan cepat. Tiba2 pandangannya terbeliak, pikiran Yo Ko tergerak, lekas-lekas ia menyelidiki ke arah yang terang. Tiba-tiba terasa pusar air yang menggulung tubuhnya terus terhanyut dengan ketatnya, ternyata di tempat yang terang itu memang ada sebuah goa.

Yo Ko melepaskan batu besar yang dirangkulnya itu, segera ia menyelam menuju goa itu dan ternyata goa itu menembus miring ke atas. Yo Ko cepat mengapungkan diri mengikuti lorong goa itu dan selang sejenak, tahu-tahu kepalanya sudah muncul ke permukaan air. Cahaya matahari menyorot dengan terangnya, bunga semerbak mewangi, ternyata di situ terdapat suatu ‘dunia luar’.

Dia tidak lantas mendarat, dia melihat sekitarnya pemandangan menghijau permai, bunga mekar menarik, tempat itu seperti sebuah taman bunga yang besar, namun di sekitarnya tiada suatu bayangan orang pun.

Girang dan kejut Yo Ko. Ia cepat melompat keluar air, kemudian terlihat olehnya di tempat sejauh beberapa puluh tombak sana terdapat beberapa buah rumah petak.

Yo Ko berlari ke sana, tetapi mendadak ia berhenti pula, lalu selangkah demi selangkah ia mendekati rumah-rumah petak itu, dalam hati ia pikir: “Jika dalam rumah-rumah petak ini tetap tidak diperoleh beritanya Liong-ji, lalu bagaimana baiknya?”

Makin dekat dengan rumah-rumah itu, jalannya makin lambat, dalam hati dia kuatir kalau-kalau harapannya yang terakhir ini pun akan buyar. Akhirnya sampai juga di depan rumah petak, waktu ia dengarkan sekitarnya, sunyi senyap, tiada suara orang, tiada berkicaunya burung, hanya suara mendengungnya tawon yang perlahan.

Dengan menabahkan diri, Yo Ko lantas menegur beberapa kali, namun tiada jawaban dari rumah itu. Perlahan Yo Ko dorong daun pintu rumah, maka terpentanglah pintu itu dengan mengeluarkan suara kriat-kriut.

Ketika Yo Ko melangkah masuk, baru sekilas saja ia memandang ke dalam, tak tahan lagi sekujur badannya mendadak tergetar. Ia lihat keadaan di dalam rumah sangat sederhana, tetapi rajin dan resik luar biasa.

Di tengah ruangan hanya sebuah meja dua sebuah kursi, lain tidak. Tapi letak meja kursi itu ternyata sudah amat dikenalnya, serupa benar dengan keadaan meja kursi di ruangan batu dalam kuburan kuno.

Tanpa pikir Yo Ko berjalan membelok ke kanan. Betul saja, di sana adalah sebuah kamar. Lewat kamar ini ada lagi sebuah kamar yang berukuran lebih ‘besar’, sebagian meja-kursi dan pembaringan di dalam kamar ini sama saja seperti apa yang terdapat di kamar tidur Yo Ko di kuburan kuno dulu, cuma perabot rumah di kuburan kuno itu seluruhnya terbuat dari batu, sedangkan yang di sini terbikin dari kayu.

Setelah masuk ke dalam kamar itu, sambil me-raba2 alat-alat perabot kamar itu, air mata Yo Ko telah mengembeng, malah tak dapat ditahan lagi, air matanya meleleh membasahi pipinya.

Mendadak terasa sebuah tangan yang halus lemas per-lahan2 membelai rambutnya, lalu suatu suara lemah lembut telah bertanya padanya:

“Ko-ji, urusan apakah yang membuat kau sedih?”

Suara itu, lagunya, cara membelai rambutnya, seluruhnya mirip benar dengan cara Siao-liong-li dahulu bila mana sedang menghiburnya, Mendadak Yo Ko membalik tubuh, maka tertampaklah di depannya berdiri seorang perempuan berbaju putih, kulit badannya putih bagai salju, mukanya cantik bagai bunga sedang mekar, siapa lagi dia kalau bukan Siao-liong-li yang dirindukannya siang dan malam selama 16 tahun ini?

Kedua orang saling menjublek sekian saat, lalu sama-sama berseru perlahan terus saling rangkul. Sungguh-sungguh atau mimpikah ini? Benar-benar ataukah khayalan? Yang jelas rasa rindu selama 16 tahun ini seketika itu tak bisa diutarakan seluruhnya!

Lewat agak lama barulah Yo Ko berkata: “Liong-ji, wajahmu masih tetap cantik molek, tapi aku sudah tua.”

“Tidak, kau tidak tua,” sahut Siao-liong-li dengan pandangan penuh arti. “Tapi aku punya Ko-ji kini sudah dewasa.”

Sebenarnya umur Siao-liong-li banyak lebih tua dari pada Yo Ko, tetapi semenjak kecil ia sudah berdiam di Ko-bong atau kuburan kuno dan belajar Lwekang dari gurunya, segala cita rasa dan napsu sudah dihilangnya jauh-jauh. Sebaliknya semenjak kecil Yo Ko sudah kenyang menderita dan banyak berduka, maka pada saat keduanya kawin, wajah mereka tampaknya sepadan.

Dan sesudah menikah hingga berpisah selama 16 tahun, Yo Ko merana dan merantau ke mana-mana, siksaan batin itulah yang membikin rambut di kedua pelipisnya sudah mulai memutih. Sebaliknya Siao-liong-li yang tinggal di tengah jurang, sungguh pun tidak kurang derita rindunya, tapi latihan selama berpuluh tahun di masa kecilnya itu tidaklah percuma, malah ia kembali melatih Lwekang ajaran gurunya dulu, tidak banyak berpikir dan sedikit urusan, seorang diri tinggal di dalam jurang rasanya juga tidak begitu sunyi. Kini mereka bersua kembali, Yo Ko malahan tampaknya lebih tua.

Sudah 16 tahun Siao-liong-li tidak berbicara, sekarang meski hatinya sangat girang, tetapi rasanya menjadi tidak lancar hendak bercakap-cakap. Namun bicara pun tidak perlu buat mereka, hanya saling pandang saja sambil tersenyum penuh arti, sampai akhirnya Yo Ko menarik tangan Siao-liong-li dan diajaknya keluar.

“Liong-ji, alangkah girangku!” kata Yo Ko kemudian. Mendadak ia jumpalitan beberapa kali bagai anak kecil.

Memang pada waktu kecilnya Yo Ko suka berjumpalitan seperti ini dan Siao-liong-li suka menggunakan tangannya untuk mengusap keringat pada jidatnya. Kini tanpa terasa ia pun keluarkan sapu tangan mengusap beberapa kali di jidat Yo Ko, walau pun sebenarnya Yo Ko tidak berkeringat sama sekali.

Waktu Yo Ko periksa sapu tangan itu, dia lihat terbuat dari serat kulit pohon yang kasar, karena itu dapatlah ia membayangkan betapa menderitanya Siao-liong-li hidup selama 16 tahun di lembah terasing ini. Dia menjadi terharu, dia mem-belai2 rambut Siao-liong-li dan berkata:

“Liong-ji, sungguh menderita sekali kau selama 16 tahun ini.”

Siao-liong-li menghela napas, sahutnya. “Jika aku tidak dibesarkan di dalam kuburan kuno itu, selama 16 tahun ini pasti tidak sanggup bertahan.”

Apa yang dikatakan Siao-liong-li ini memang benar. Kalau umpamanya Yo Ko yang harus tinggal seorang diri di lembah sunyi ini, sekali pun ilmu silatnya tinggi tidak nanti sanggup hidup sendiri selama 2-3 tahun.

Harus diketahui sejak kecil Siao-liong-li dibesarkan di dalam istana kuburan kuno, meski pun mula-mula ada Suhu dan Sun-popo yang merawatnya, dan kemudian berkawankan Yo Ko, tetapi dia sudah biasa hidup bebas sendirian, sedikit sekali bersandar pada orang lain. Dan karena hidup sepi dalam waktu panjang itulah dia mampu bertahan melewatkan penghidupan yang tak mungkin ditahan oleh orang lain.

Begitulah mereka berdua duduk berendeng di atas batu besar sambil saling mengutarakan rasa rindu selama ini.

**** 192 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar