Senin, 01 November 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 191

Dalam pada itu, setelah pasukan Siang-yang dapat menggempur mundur musuh, seluruh kota di mana-mana terdengar suara tangisan yang memilukan. Ada ibu menangis karena kehilangan anak, ada isteri menangisi suami, suasana tenggelam dalam keadaan berduka cita.

Tanpa mengaso segera Oey Yong pergi memeriksa dan menghibur para bawahannya, lalu pergi memeriksa keadaan lukanya Ciu Pek-thong dan Liok Bu-siang. Kiranya luka mereka sudah baikan. malah Lo-wan-tong sudah tidak sabar lagi rebah di pembaringan, dia sudah keluyuran ke taman.

Melihat muka orang yang kini kelimis, Kwe Ceng dan Oey Yong merasa geli.

Besok paginya, selagi Kwe Ceng hendak berunding situasi militer dengan Lu Bun-hwan. tiba-tiba ada laporan, katanya ada sepasukan tentara Mongol sekira 10 ribu orang sedang menuju ke arah pintu benteng utara. Lu Bun-hwan terkejut bahwa musuh berani datang lagi, Kwe Ceng juga segera naik ke atas benteng untuk memeriksa.

Maka tertampaklah pasukan musuh itu ambil kedudukan di tempat 3-4 li jauhnya dari kota namun tidak menyerang. Selang tidak lama, beribu tukang telah mendatangkan batu dan mendirikan cagak terus membangun sebuah panggung yang tingginya belasan tombak.

Tatkala itu Oey Yok-su, Oey Yong, It-teng Taysu dan Cu Cu-liu juga sudah naik ke atas benteng. Demi melihat tentara Mongol mendadak mendirikan panggung, mereka menjadi heran dan bingung.

“Jika panggung itu oleh musuh akan digunakan untuk mengintai keadaan dalam benteng, tempatnya tidak seharusnya begitu jauh, apa lagi kalau tentara kita memanahnya dengan api, segera bisa terbakar. Lalu apa gunanya?” demikian pendapat Cu-liu.

Oey Yong pun tidak mengerti akan maksud tujuan musuh itu meski pun sudah mencoba menyelami.

Dan sesudah panggung itu berdiri, beberapa ratus serdadu Mongol dengan kereta2 kuda tampak mengangkut datang kayu2 bakar terus ditumpuk di sekitar panggung, tampaknya panggung itu seperti hendak dibakar.

Cu-liu semakin heran, katanya: “Apakah musuh hendak memakai ilmu gaib? Atau hendak bersembahyang?”

“Sudah lama aku tinggal di tengah pasukan Mongol, tapi selamanya tidak pernah melihat cara aneh ini,” ujar Kwe Ceng.

Tengah bicara, kembali tertampak beribu serdadu Mongol sedang mengayun cangkul dan sekop, mereka sedang menggali sebuah parit yang lebar dan dalam di sekitar panggung, tanah yang digali itu menggunduk melingkari parit itu sehingga berwujud seperti pagar.

“Ha-ha-ha, kota Siang-yang adalah bekas kediaman Cukat Liang di jaman Samkok, tetapi bangsa asing ini berani main kayu di depan rumah nabi, sungguh terlalu menghina bangsa kita!” demikian jengek Oey Yok-su dengan gusar.

Dalam pada itu di tengah2 bunyi genderang ber-turut2 datang pula empat pasukan musuh terus melingkari keempat penjuru panggung tadi dengan bermacam-macam senjata siap di tangan. Panggung itu menjadi terkurung rapat.

CINTA SEJATI JODOH ABADI

Mendadak terdengar dentuman meriam sekali, suara genderang lantas berhenti, keadaan jadi sunyi senyap, dari jauh dua penunggang kuda berlari ke bawah panggung itu. Kedua penunggang itu turun dari kuda terus bergandengan tangan naik ke atas panggung.

Karena jaraknya jauh dari benteng, maka muka kedua orang itu tak jelas kelihatan, hanya lapat-lapat seperti seorang pria dan seorang perempuan.

Selagi semua orang ter-heran2, sekonyong-konyong Oey Yong menjerit kaget, terus roboh ke belakang dan pingsan.Lekas semua orang menolongnya siuman dan sama bertanya sebab apakah?

Dengan wajah pucat Oey Yong kemudian berkata dengan suara gemetar: “ltulah Siang-ji, itulah Siang-ji!”

Semua orang terkejut dan saling pandang. “Apakah kau melihat jelas, Kwe-hujin?” tanya Cu-liu.

“Meski tidak terang melihat mukanya, tapi menurut dugaan, pastilah dia,” kata Oey Yong. “Musuh tidak berhasil membobol benteng, sekarang ternyata memakai akal keji, sungguh rendah dan tidak tahu malu.”

Mendengar penuturan itu, segera Oey Yok-su dan Cu Cu-liu mengerti duduknya perkara. Mereka pun amat gusar, sebaliknya Kwe Ceng masih belum mengerti, tanyanya:

“Kenapa Siang-ji bisa berada di atas panggung itu? Tipu keji apa yang akan dipakai musuh?”

“Ceng-koko,” kata Oey Yong dengan bersemangat, “Sungguh tak beruntung Siang-ji jatuh dalam cengkeraman musuh, mereka sengaja bikin panggung dan taruh Siang-ji di atasnya sebagai umpan, tipuannya memaksa kau menyerah, jika kau tak menyerah mereka akan bakar panggung itu supaya kita berdua ngenas dan berduka, hilang semangat dan pikiran kacau, dengan begitu mereka bisa menggempur lebih leluasa tanpa perlawanan kita.”

“Sebab apa Siang-ji jatuh di tangan musuh?” tanya Kwe Ceng terkejut dan gusar.

“Ya, karena kesibukan militer beberapa hari ini, aku kuatir memecah perhatianmu, karena itu tidak kuceritakan padamu,” sahut Oey Yong.

Kemudian dia pun segera menceritakan pengalamannya di Coat-ceng-kok, di mana Kwe Siang kena digondol Kim-lun Hoat-ong.

Mendengar Yo Ko menghilang di dalam jurang, berulang-ulang Kwe Ceng bertanya lebih jelas, betapa perhatiannya pada Yo Ko kelihatan sekali pada wajahnya. Betapa tinggi budi luhur Kwe Ceng, dia tidak pikirkan puteri sendiri yang menghadapi bahaya dibakar, tetapi menanyakan dulu keselamatan Yo Ko, sungguh bikin semua orang amat mengaguminya.

Stelah selesai mendengarkan penuturan Oey Yong, dengan mengkerut kening Kwe Ceng berkata:

“Yong-ji, inilah kesalahanmu. Mati hidup Ko-ji belum diketahui, kenapa kau sudah meninggalkannya pergi?”

Selamanya Kwe Ceng sangat menghormat dan cinta isterinya, tidak pernah mencelanya di hadapan orang luar. Kini celaan itu diucapkannya dengan sungguh-sungguh, Oey Yong menjadi merah mukanya.

“Kwe hujin sudah menyelam ke dalam telaga hingga hampir beku kedinginan dan keadaan Yo Ko juga sudah kami selidiki memang benar-benar tidak berada di jurang itu, pula nona Kwe jatuh ke tangan musuh, maka beramai-ramai kami mengusulkan mengejar kembali, hal ini tidak bisa menyalahkan Kwe hujin,” demikian It-teng Taysu menjelaskan.

Karena itu terpaksa Kwe Ceng tidak berani bilang apa-apa lagi, hanya dengan gemas dia berkata pula: “Anak dara ini selalu bikin gara-gara saja, jika sampai Ko-ji terjadi apa-apa, hati kita apakah bisa tenteram? Hari ini biarlah dia dibakar mati musuh saja, beres!”

Dengan cemas diam-diam Oey Yong turun dari benteng. Mendadak pintu benteng dibuka, dengan menunggang kuda sendirian cepat ia kabur ke utara. Keruan semua orang sangat terkejut. Beruntun-runtun Kwe Ceng, Oey Yok-su, It-teng, Cu Cu-liu dan lainnya cemplak kuda menyusulnya.

Setiba di depan panggung tinggi tadi, mereka berhenti dalam jarak yang tak dapat dicapai panah musuh. Maka tampaklah di atas panggung berdiam dua orang, yang satu berjubah kuning, dialah Kim-lun Hoat-ong, sedangkan lainnya adalah seorang gadis remaja dengan kedua tangannya diikat pada sebuah cagak. Siapa lagi dia kalau bukan Kwe Siang.
Meski gusar karena anak dara itu suka timbulkan onar, tapi kasih-sayang ayah maka mau tak mau Kwe Ceng menjadi kuatir, teriaknya keras-keras:

“Siang-ji, jangan kuatir, ayah-ibu datang buat menolong kau!”

Betapa kuat tenaga dalamnya, suara teriakannya itu dengan jelas terkirim sampai di atas panggung itu.

Waktu itu Kwe Siang sudah dalam keadaan sadar tak sadar terpanggang sinar matahari yang terik. Ketika mendadak mendengar suara ayahnya, segera dia pun berteriak-teriak.

“Ayah, ibu!” Cuma panggung itu terlampau tinggi, jaraknya juga jauh, maka suaranya tak terdengar oleh ayah-bundanya.

Sementara itu Kim-lun Hoat-ong sedang tertawa terbahak-bahak, katanya lantang: “Kwe-tayhiap, tidaklah sulit apa bila kau ingin aku membebaskan puterimu. Soalnya tergantung apakah kau punya keberanian atau tidak?”

Selamanya Kwe Ceng sangat tenang, makin berbahaya keadaan yang dihadapi, semakin tenanglah pikirannya. Kini mendengar kata-kata Hoat-ong itu, sama sekali dia tidak gusar, jawabnya:

“Ada persoalan apa, silakan Hoat-ong menunjukkan.”

“Jika memang kau mempunyai rasa cinta kasih seorang ayah terhadap puterinya, segera kau naik panggung sini dan menyerahkan diri, kita satu tukar satu, maka puterimu segera kubebaskan,” demikian kata Hoat-ong.

Nyata Hoat-ong sudah tahu bahwa Kwe Ceng amat tinggi budi, tidak nanti untuk seorang puterinya mau mengorbankan jiwa penduduk seluruh kota Siang-yang, oleh karena itu dia sengaja keluarkan kata-kata pancingan supaya Kwe Ceng masuk perangkap sendiri.

Tak terduga Kwe Ceng ternyata tidak bisa ditipu, jawabnya lantang: “Jika musuh asing itu tidak takut padaku, mengapa kalian menawan puteriku? Dan kalau musuh takut padaku, suatu tanda Kwe Ceng bukanlah manusia tak berguna, mengapa mesti mati tanpa arti?”

“Hm, orang bilang ilmu silat Kwe-tayhiap amat lihay, gagah perkasa, tapi nyatanya hanya seorang manusia yang takut mati dan tamak hidup,” demikian jengek Hoat-ong.

Kata-kata pancingan ini bila dipakai terhadap orang lain mungkin akan berhasii, tetapi Kwe Ceng memikul tanggung jawab atas keselamatan seluruh penduduk kota, dia anggap sepi saja kata-kata orang dan diganda tersenyum belaka tanpa menggubris. Namun Bu Sam-thong dan Su-sui Hi-un menjadi murka, segera mereka hendak menerjang maju, namun It-teng Taysu keburu mencegah mereka.

“Kwe-tayhiap,” terdengar Hoat-ong berseru pula, “puterimu pintar dan cerdik, sebenarnya aku sangat menyukainya dan berniat menjadikan dia murid ahli warisku. Tetapi Hongsiang memberi titah, kalau kau tidak takluk segera anak dara ini akan dibakar di atas panggung ini. Bukan cuma kau yang sakit hati atas puterimu yang malang ini, sekali pun aku sendiri juga merasa sayang, maka harap kau suka memikirkannya dalam-dalam.”

Kwe Ceng menjengek tanpa menjawab. Dia lihat berpuluh serdadu musuh sudah siapkan obor di samping tumpukan kayu bakar di bawah panggung itu, asal sekali saja Hoat-ong memberi perintah, segera api akan disulut.

Berpuluh ribu serdadu musuh mengepung panggung dengan rapat, hanya manusia biasa saja mana mampu menembusnya? Lagi pula biar pun sudah dekat, jika api sudah menjilat panggung itu, cara bagaimana bisa menolong puteri kecil itu?

Waktu Kwe Ceng mendongak, ia lihat muka puterinya pucat lesu, tak tahan hatinya bagai disayat. Cukup lama Kwe Ceng ikut dalam pasukan Mongol, dulu ia kenal serdadu Mongol yang kejam tak kenal ampun, sehari saja tidak segan membunuh beratus ribu wanita mau pun anak-anak, apa lagi kini hanya Kwe Siang, mirip seekor semut yang tak berarti saja.

Karena itu dengan mengertak gigi ia berteriak: “Wahai, Siang-ji, dengarlah, ayah bundamu berjuang untuk negara dan bangsa, mati-hidup tidak terpikir. Kau adalah puteri ibu pertiwi, kau harus berani berkorban dengan gagah perwira dan jangan takut. Hari ini bila ayah-ibu tak bisa menolongmu, kelak kami pasti akan membunuh paderi jahat ini untuk membalas sakit hatimu. Mengertikah kau?”

Dengan mengembeng air mata Kwe Siang mengangguk. Teriaknya dari jauh: “Ya, ayah dan ibu, anak tidak gentar!”

“ltulah puteriku sejati!” seru Kwe Ceng.

Sesudah itu dia tanggalkan gendewa dari pinggangnya, panah dipasang terus dijebretkan beruntun2 tiga kali, kontan tiga serdadu musuh yang memegang obor di bawah panggung itu terjungkal, tiga panah itu ternyata menembus dada mereka.

Harus diketahui bahwa ilmu memanah dan menunggang kuda Kwe Ceng didapat dari ahli panah Jebe yang tersohor di MongoI waktu Kwe Ceng tinggal di sana dulu, ditambah lagi tenaga dalamnya yang sekarang luar biasa, serdadu Mongol lantas berteriak-teriak sambil angkat perisai untuk melindungi tubuh.

“Marilah kita kembali,” kata Kwe Ceng kemudian kepada rombongannya terus putar kuda dan kembali ke kota.

Setiba di atas benteng lagi, Oey Yong termangu-mangu memandangi panggung di mana puterinya terikat, pikirannya kacau tak terlukiskan.

“Yong-ji, mari kita gunakan barisan 28 bintang untuk menempur musuh,” kata Oey Yok-su tiba-tiba.

Oey Yong terkesiap, sahutnya: “Tetapi meski pun menang kalau musuh lantas membakar panggung itu, lalu apa daya kita?”

“Asal kita bunuh musuh sekuat tenaga, mati-hidup Siang-ji kita serahkan kepada takdir,” sela Kwe Ceng tiba-tiba dengan bersemangat. “Gakhu, mohon tanya, barisan 28 bintang itu cara bagaimanakah mengaturnya?”

“Perubahan barisan bintang2 ini sungguh ruwet,” sahut Yok-su tertawa. “Aku menciptakan barisan 28 bintang-bintang ini, karena dahulu menyaksikan ‘Thian-keng-pak-tau-tin’ kaum Coan-cin-kau, tujuanku hendak menandingi imam-imam Coan-cin itu.”

“Bagus, dalam hal ilmu pasti dan segala ilmu mujijat lainnya, Oey-Iosia memang menjagoi seluruh kolong langit, sekali pun Ong Tiong-yang hidup kembali juga tak lebih unggul dari padamu, barisan bintang-bintang ciptaanmu ini pasti sangat hebat,” demikian It-teng ikut bersuara.

Oey Yok-su tidak lantas menjawab. Dia berpikir sejenak, kemudian berkata: “Barisanku ini tujuannya melulu untuk bertempur dengan sejumlah beberapa puluh orang jagoan Bu-lim saja, sebenarnya tidak pernah terpikir akan dipakai dalam pertempuran melawan beratus ribu tentara ini. Tapi kalau diubah sedikit rasanya masih dapat dilakukan juga. Sayangnya sekarang kekurangan satu orang dan sepasang rajawali kita.”

“Cobalah memberi penjelasan lebih lanjut,” pinta It-teng.

“Kalau kedua rajawali itu tidak dibinasakan paderi keparat itu, bila barisan kita dikerahkan segera kedua binatang itu bisa disuruh terbang ke atas panggung untuk menolong Siang-ji, tetapi sekarang hal itu tak mungkin lagi,” demikian kata Oey Yok-su.

“Barisan 28 bintang ini hanya menurut perubahan ‘panca-buta’ (lima macam unsur, yaitu api, air, bumi hawa dan eter) saja, tetapi harus dipimpin lima jagoan tinggi. Kini kita sudah punya empat orang untuk empat jurusan: timur, selatan, utara dan tengah, tapi barat, Se-tok Auyang Hong sudah mati dan tiada penggantinya, apa lagi Lo-wan-tong terluka. Kalau ada Yo Ko di sini, orang ini cerdik pandai, ilmu silatnya tidak di bawah mendiang Auyang Hong, tetapi kini ke mana harus mencarinya? Pemimpin untuk jurusan barat ini sungguh membikin aku rada ragu-ragu.”

Mendengar nama Yo Ko disebut, Kwe Ceng lantas memandang jauh ke utara melampaui panggung tinggi musuh itu dan bergumam:

“Ya, mati atau hidupkah Ko-ji sekarang benar-benar bikin orang sangat berkuatir.”

**** 191 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar