Rabu, 27 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 181

Sore harinya, kedua saudara Bu yang ditugaskan ke Lam-yang sudah mengirim berita bahwa gudang rangsum musuh memang benar sudah terbakar habis, malahan api masih belum padam, pasukan MongoI telah mundur ke utara sejauh ratusan li dan berkemah di sana. Mendengar kabar itu, seluruh penduduk kota Siang-yang menjadi girang. Nama ‘Sin-tiau-tayhiap’ sengaja di-bumbui dengan pujian setinggi langit. Malam harinya Kwe Ceng suami isteri diundang oleh Lu Bun-hwan untuk merundingkan soal pertahanan kota hingga sampai jauh malam baru pulang.

Besok paginya, seperti biasa Yalu Ce, Kwe Hu dan Kwe Boh-lo datang memberi selamat pada orang tua, tapi sampai lama Kwe Siang tak kelihatan muncul. Oey Yong menjadi kuatir. Segera disuruhnya pelayan melihat ke kamar puteri kedua itu apakah lantaran sakit. Tetapi tidak lama pelayan itu dan dayang pribadi Kwe Siang sudah kembali melapor, katanya:

“Semalam Jisiocia tidak kembali ke kamar.”

Keruan Oey Yong terkejut. “Kenapa semalam tidak melapor?” tanyanya segera.

“Semalam Hujin pulang larut malam, hamba tak berani mengganggu. pula kuatir sebentar Jisiocia akan kembali ke kamar, tidak tahunya menunggu sampai sekarang masih belum kelihatan,” tutur pelayan pribadi Kwe Siang itu.

Sesudah merenung sebentar segera Oey Yong memeriksa kamar anak dara itu. Dia lihat baju se-hari-hari, senjata dan uang semuanya tidak ada yang dibawa anak dara itu. Tengah dia heran, tiba-tiba dilihatnya di bawah bantal puterinya itu menongol ujung secarik kertas. Segera Oey Yong menduga jelek, diam-diam dia mengeluh, cepat kertas itu disambarnya dan dibaca, ternyata surat itu tertulis:

Ayah dan ibu tercinta,

Anak pergi mencegah Yo-toako agar jangan sekali-sekali berpikiran pendek. Bila sudah dapat mencegahnya, segera anak akan pulang.

Hormat puterimu, Siang

Sesaat Oey Yong mematung tak bersuara, dalam hati ia pikir: “Anak dara ini benar-benar kekanak-kanakan. Dia tidak tahu macam apakah orangnya Yo Ko itu, kecuali Siao-liong-li, siapa lagi yang bisa bikin dia menurut? Dia bukanlah Yo Ko kalau begitu gampang mau mendengar kata-kata orang Iain.”

Niat Oey Yong hendak mencari puteri kecil itu, namun mengingat situasi sangat genting, setiap saat pasukan MongoI bisa dikerahkan menyerang Siang-yang, mana boleh karena urusan anak-anak harus menjelajah Kangouw lagi? Maka sesudah berunding dengan Kwe Ceng, segera dia menulis empat pucuk surat dan menyuruh empat anak murid Kay-pang yang dapat dipercaya pergi mencari Kwe Siang agar anak dara itu bisa lekas pulang.

Kiranya hari itu, sesudah Kwe Siang mendengar cerita sang ibu, dia lantas tertidur. Akan tetapi mimpi buruk terbayang terus menerus, sebentar dilihatnya Yo Ko menebas buntung lengannya yang tinggal satu itu, di lain saat terbayang Yo Ko terjun ke jurang yang beribu tombak dalamnya hingga hancur lebur. Karena impian buruk itu, Kwe Siang terjaga bangun dengan keringat dingin. Dia terduduk di tepi ranjang dan termenung-menung

“Toakoko telah memberi tiga jarum emas padaku dan sanggup menerima tiga permohonanku yang pasti akan dilakukan untukku. Kini jarum emas tinggal satu, dapat kugunakan untuk mohon agar dia jangan cari jalan pendek (bunuh diri). Dia adalah seorang pendekar, seorang jantan, apa yang dia katakan tentu di pegang janjinya, biar sekarang juga aku pergi mencarinya.”

Lantas ia tinggalkan sepucuk surat singkat pada orang tuanya, lalu pergilah ia keluar kota. Tapi tatkala itu Yo Ko bersama Oey Yok-su entah sampai di mana, sesungguhnya sukar untuk dicari. Sesudah 30-40 li Kwe Siang menempuh perjalanan tanpa tujuan, dia mulai merasa lapar, dia pikir harus tangsal perut dulu pada sebuah rumah makan. Tapi di luar kota Siang-yang penduduknya yang takut datangnya pasukan musuh sudah lama mengungsi, jangankan rumah makan, bahkan rumah penduduk satu pun tiada isinya.

Selamanya Kwe Siang belum pernah keluar rumah sendirian, sama sekali tidak tersangka olehnya orang melawat jauh sesungguhnya sulit seorang diri. Ia duduk termenung di atas batu di tepi jalan sambil bertopang dagu. Ia duduk sebentar. Ia pikir tiada rumah makan, cari sedikit buah untuk sekedar tangsal perut juga lumayan. Namun ketika memandang sekelilingnya, beberapa li di sekelilingnya hanya tanah tandus tanpa pohon, apa lagi buah-buahan.

Selagi ia rada bingung, tiba-tiba terdengar derap kuda, seorang penunggang berlari cepat dari timur menuju barat. Ketika sudah dekat terlihatlah penunggangnya adalah seorang Hwesio tua yang berperawakan tinggi kekar, memakai jubah kuning, kasa bersemampir di pundaknya, di kepalanya memakai sebuah kopiah bundar yang bercahaya emas mengkilat. Kuda itu berlari dengan cepat sekali, sekejap saja sudah lewat. Tetapi tiba-tiba paderi itu memutar kuda kembali dan mendekati Kwe Siang dengan rasa heran.

“Nona cilik, siapakah kau?” demikian tanyanya. “Kenapa seorang diri kau berada di sini?”

Melihat sorot mata orang tajam bagaikan kilat, hati Kwe Siang terkesiap. Segera dia teringat pada It-teng Taysu yang pernah dilihatnya di tambak Hek-liong-tam, diam-diam ia pikir: “It-teng Taysu itu sangat welas asih, tentu paderi beralis putih ini pun orang baik.” Maka jawabnya:

“Aku bernama Kwe Siang. Aku baru datang dari Siang-yang dan sedang mencari seseorang.”

“Kau hendak mencari siapa?” tanya paderi tua itu.

Kwe Siang tersenyum sambil miringkan kepala dan katanya: “Hwesio tua suka campur urusan orang lain, aku tak mau beri-tahukan padamu.”

“Cobalah kau terangkan siapakah orang yang hendak kau cari, boleh jadi di tengah jalan tadi aku melihatnya, bukankah bisa kuberi petunjuk padamu,” ujar paderi tua.

Betul juga, pikir Kwe Siang. Maka jawabnya: “Orang yang kucari itu amat mudah dikenali. Ia adalah seorang laki-laki muda tanpa lengan kanan. ia mungkin berada bersama dengan seekor rajawali raksasa, boleh jadi berada sendirian pula.”

Kiranya paderi tua ini bukan lain Kim-lun Hoat-ong. Mendengar orang yang dimaksudkan Kwe Siang itu ternyata Yo Ko adanya, dia terkejut, tapi pada lahirnya dia tenang-tenang saja dan pura-pura girang.

“He, orang yang hendak kau cari itu she Yo bernama Ko, bukan?” katanya cepat.

Kwe Siang menjadi girang: “Ya, kau kenal dia?”



“Tentu saja aku kenal, kami adalah sobat lama,” demikian kata Kim-lun Hoat-ong dengan tertawa: “Sewaktu kami berkenalan, boleh jadi kau belum lahir.”

Muka Kwe Siang yang cantik sedikit merah, tetapi tanyanya pula: “Toa-hwesio, siapakah nama gelaranmu?”

“Aku bernama Cumulangmah,” sahut Kim-lun Hoat-ong.

“Apa cumi? Mamah? Ah, begitu panjang, sulit sekali diucapkan,” kata Kwe Siang tertawa.

“Cu-mu-Iang-mah,” Hoat-ong menegas sekata demi sekata,

“Oh, Cumulangmah, apakah kau tahu di mana Toakoko-ku berada?” tanya si anak dara lagi.

Kiranya Kim-lun Hoat-ong sengaja bilang namanya Cumulangmah, nama puncak tertinggi di pegunungan Himalaya, yaitu terkenal juga dengan nama Mount Everest. Dengan nama samaran ini Hoat-ong se-akan anggap ilmu silatnya di seluruh jagat tiada bandingannya. Maka jawabnya:

“Kau punya Toakoko? Siapa dia?”

“Dialah Yo Ko,” sahut Kwe Siang.

“Ha, kau panggil Yo Ko sebagai Toakoko, katanya kau she Kwe?” tanya Hoat-ong.

Kwe Siang rada jengah, namun jawabnya: “Ya, kami adalah famili turun temurun, waktu kecil dia pun tinggal di rumahku.”

Tergerak hati Hoat-ong, maka segera ia bertanya. “Aku mempunyai seorang kenalan baik, ia berilmu silat sangat tinggi, namanya terkenal di seluruh jagat, juga she Kwe, namanya Ceng. Entah nona kenal padanya tidak?”

Terkejut Kwe Siang, di dalam hati dia membatin: “Aku telah minggat dari rumah, kalau dia adalah sobat ayah, mungkin sekali aku akan diseret pulang, lebih baik tidak aku katakan saja.”

Maka jawabnya kemudian: “Apakah kau maksudkan Kwe Ceng, Kwe-tayhiap? Dia adalah angkatan tua dari keluarga Kwe kami. Apakah Toa-hwesio hendak berkunjung padanya?”

Kim-lun Hoat-ong adalah seorang yang sangat pintar dan cerdik, lagi pula sudah kenyang asam garam, sikap Kwe Siang yang aneh ini segera dapat dilihatnya. Maka katanya pula dengan menghela napas:

“Aku dan Kwe-tayhiap memang sobat kental dan sudah lebih 20 tahun tak berjumpa. Tempo hari di daerah utara aku mendengar berita buruk, katanya Kwe-tayhiap telah meninggal, aku menjadi sedih, maka aku cepat datang kemari. Aihh, seorang pahlawan besar tidak diberkahi umur panjang, sungguh Thian tidak adil.” Berkata sampai di sini air matanya bercucuran membasahi jubahnya.

Iwekang Kim-lun Hoat-ong sudah terlatih sedemikian tinggi sehingga seluruh otot daging tubuhnya dan pernapasan dapat diatur sesuka hati, maka untuk menghentikan denyut jantung sementara saja tidak sukar, apa lagi hanya mencucurkan air mata bikinan. MeIihat orang menangis sungguhan, biar pun Kwe Siang tahu jelas ayahnya tidak pernah mati, namun soalnya mengenai ayah dan anak, mau tak mau hatinya ikut pilu juga, maka cepat katanya:

“Toa-hwesio, kau tak perlu berduka, Kwe tayhiap tidak pernah meninggal.”

“Ahh, jangan ngaco, dia benar-benar sudah meninggal. Anak perempuan mana tahu akan urusan orang tua?” sahut Hoat-ong sambil menggeleng kepala.

“Aku baru saja keluar dari Siang-yang, masa aku tidak tahu, malah baru kemarin aku melihat muka Kwe-tayhiap,” kata Kwe Siang.

Sekarang Hoat-ong tidak ragu-ragu lagi. Saking girangnya ia menengadah dan bergeIak-tawa.

“Ah, kiranya kau adalah puteri Kwe tayhiap,” katanya kemudian. Namun mendadak ia geleng-geleng kepala Iagi: “Salah, salah! Puteri Kwe-tayhiap itu kukenal, namanya Kwe Hu, umurnya sekarang sedikitnya sudah lebih 30 tahun.”

Tak tahan akan pancingan kata-kata orang, segera Kwe Siang menegaskan “Dialah enci-ku, dia bernama Kwe Hu dan aku bernama Kwe Siang.”

Girang luar biasa hati Hoat-ong, ia membatin: “Hari ini benar-benar Thian memberkahiku, rejeki ini telah menubruk sendiri padaku.”

Segera ia pun berkata: “Jika begitu, jadi Kwe-tayhiap memang benar tidak meninggal.”

Melihat orang benar-benar girang, Kwe Siang menyangka paderi ini berhati bajik dan senang karena mendengar ayahnya masih segar-bugar. Dia menegaskan lebih jauh:

“Aku bilang tidak meninggal tentu tidak meninggal. Ia adalah ayahku, masa aku mendustai kau?”

“Baik, baik, baik! Aku percaya, nona Kwe, malahan aku pun tak perlu pergi ke Siang-yang lagi. Sudilah kau sampaikan kepada ayahmu bahwa kawan lama Cumulangmah mengirim salam untuknya,” kata Hoat-ong.

Dia tahu pasti Kwe Siang akan tanya tentang urusan Yo Ko, maka dia sengaja memberi hormat, lalu menarik kudanya terus hendak pergi. Benar saja, segera terdengar Kwe Siang berteriak:

“Hai, hai! Toa-hwesio, kenapa kau tak tahu aturan?”

“Tidak tahu aturan?” Hoat-ong menegas pula tak mengerti.

“Bukankah aku sudah beri-tahukan keadaan ayahku, tetapi kau belum juga menceritakan keadaan Yo Ko. Sebenarnya di manakah dia?” tanya Kwe Siang.

“Ahh, benar. Aku menjadi lupa!” ujar Hoat-ong. “Kemarin dulu baru saja aku ber-omong dengan dia di lembah pegunungan sebelah utara Sin-yang. Dia sedang berlatih pedang di sana, saat ini mungkin masih belum pergi, boleh kau mencarinya ke sana.”

Kwe Siang mengerutkan kening oleh penjelasan itu. “Lembah gunung begini banyak, bagaimana aku bisa menemukannya? Terangkanlah lebih jelas,” pintanya.

Hoat-ong pura-pura berpikir, lalu katanya: “Baiklah, sebab aku juga akan ke utara, biarlah kubawa kau ke sana.”

Keruan Kwe Siang girang. “Ah, sungguh terima kasih,” katanya.

Lalu Hoat-ong menuntun kudanya ke hadapan anak dara itu dan katanya: “Silakan nona cilik menunggang, paderi tua berjalan kaki.”

“Ah, mana boleh jadi,” sahut Kwe Siang.

“Tidak apa-apa,” kata Hoat-ong tertawa. “Empat kaki kuda ini belum tentu lebih cepat dari pada kedua kaki paderi tua.”

Selagi Kwe Siang hendak mencemplak ke atas kuda, tiba-tiba ia berseru: “Ai, sialan! Toa-hwesio, aku merasa lapar, kau memhawa makanan tidak?”

Dari buntalannya Hoat-ong mengeluarkan sebungkus rangsum kering. Sungguh pun Kwe Siang tidak biasa dengan makanan begitu, apa lagi panganan kaum paderi, tetapi karena sudah sangat lapar, terpaksa dimakannya sebagian sekedar menangsal perut, lalu dia mengeprak kuda berangkat diikuti Hoat-ong yang berjalan di sampingnya. Tiba-tiba anak dara itu ingat pada kata-kata orang tadi bahwa ‘Empat kaki kuda ini belum tentu lebih cepat dari pada kedua kaki paderi tua’. Maka tiba-tiba saja dia pecut kudanya sambil berseru: “Toa-hwesio, kutunggu kau di depan sana.” Habis itu, secepat terbang dia larikan kudanya.

Kuda itu amat bagus dan tangkas, sekali berlari Kwe Siang merasa tetumbuhan di pinggir jalan dalam sekejap sudah jauh tertinggal di belakang, sebentar saja belasan li sudah ditempuhnya. Tidak lama kemudian ia menoleh dan berkata dengan tertawa:

“Toa-hwesio, dapatkah kau menyusul aku?”

Namun dia menjadi heran dan terkejut, ternyata bayangan Kim-lun Hoat-ong tak kelihatan, sebaliknya mendadak ia lantas mendengar suara orang berseru di dalam hutan di depan sana:

“Nona Kwe, kudaku itu kurang cepat, kau harus memecutnya lebih lekas.”

Kwe Siang menjadi tambah heran. “Kenapa dia malah sudah berada di depan?”

Segera dia keprak kuda pula, maka terlihatlah Kim-lun Hoat-ong sedang berjalan dengan ‘Ienggang-kangkung’ seenaknya di depan. Ia pecut kudanya supaya berlari lebih kencang, tetapi jaraknya selalu belasan tombak di belakang Hoat-ong, Di tanah datar utara Siang-yang itu debu selalu bertebaran oleh larinya kuda, tapi Hoat-ong yang berjalan di depan itu se-akan kakinya tak menempel tanah, debu sedikit pun tidak mengepul. Diam-diam Kwe Siang sangat kagum, pikirnya: “Jika dia tidak memiliki ilmu silat setinggi ini memang tidak sesuai menjadi sobat kental ayah.” Dan dari rasa kagum itu dia menjadi hormat, maka serunya segera: “Hai Toa-hwesio, kau adalah orang tua, lebih baik kau yang menunggang kuda saja.”

“Buat apa kita mesti banyak buang tempo di tengah jalan? Tidakkah lebih cepat bertemu dengan Toakoko-mu akan lebih baik?” sahut Hoat-ong menoleh sambil tertawa.

Tatkala itu kuda tunggangan Kwe Siang sudah mulai payah, larinya tidak secepat mula-mula lagi sehingga jaraknya dengan Hoat-ong semakin jauh. Pada saat itulah tiba-tiba dari arah utara ada suara derap kuda pula, dua penunggang kuda secepat terbang mendatangi.

“Marilah kita tahan kuda mereka ini, dengan menukar kuda tentu kau bisa berlari lebih cepat,” demikian kata Hoat-ong.

Tak lama kemudian kedua penunggang kuda itu sudah datang mendekat. “Mari kalian turun dulu!” bentak Hoat-ong mendadak sambil dua tangannya terpentang menghadang di tengah jalan.

Kedua kuda itu terkejut hingga meringkik sambil berdiri menegak. Tetapi penunggangnya ternyata amat mahir, tubuhnya masih tetap menempel di atas pelana tak sampai terjatuh.

“Siapa kau?! Apa cari mampus?!” bentak seorang di antaranya dengan marah. Berbareng itu pecutnya diayun menyabet.

“Hai, Toa-thau-kui, Tiang-si-kui, semua kawan sendiri, jangan berkelahi!” seru Kwe Siang cepat.

Ternyata kedua orang itu memang benar adalah si setan berkepala besar bersama setan berjenggot panjang dari Se-san It-khut-kui. Tetapi saat itu tangan kiri Hoat-ong sudah meraih pecut Toa-thau-kui yang menyabet tadi terus ditarik kuat-kuat. Tak terduga, meski Toa-thau-kui orangnya ceboI tetapi bertenaga raksasa, lagi pula pecut itu adalah bikinan kulit sapi yang sangat ulet, tenaga tarikan Hoat-ong yang beratus kati itu ternyata tidak membikin pecut itu menjadi putus, juga tidak terlepas dari tangan Toa-thau-kui.

“Bagus!” seru Hoat-ong. Diam-diam ia menambahi tenaga, dan karena saling betot itulah, segera terdengar suara yang keras.

“Pletak!”

Yang kalah adalah kuda tunggangan Toa-thau-kui yang patah tulang punggungnya terus terkulai ke tanah. Toa-thau-kui menjadi murka, sekali melompat turun, segera hendak menubruk maju dan melabrak Hoat-ong.

“Nanti dulu,” teriak Tiang-si-kui tiba-tiba, lalu tanyanya pada Kwe Siang: “Jisiocia, kenapa kau berada bersama dengan Kim-lun Hoat-ong?”

Dahulu Kim-lun Hoat-ong bersama Yo Ko pernah datang ke Coat-ceng-kok, lembah tempat bersemayamnya Kongsun Ci, maka Tiang-si-kui Hoan It-ong kenal padanya.

“Ah, kau telah salah mengenal orang. Ia bernama Cumulangmah, sobat baik ayah,” sahut Kwe Siang tertawa. “Padahal Kim-lun Hoat-ong itu adalah musuh bebuyutan ayah, ucapanmu ini kan ‘kepala sapi tidak cocok dengan mulut kuda’ (artinya salah wesel)?”

“Di mana kau ketemu dengan Hwesio ini?” tanya Tiang-si-kui.

“Baru saja kami bertemu,” ujar Kwe Siang. “Hwesio besar ini bilang ayah telah meninggal, coba, lucu bukan? Dan sekarang dia hendak membawa aku pergi mencari Toakoko.”

“Jisiocia, lekas kembali, Hwesio ini bukan orang baik-baik, dia sudah mendustai kau,” seru Toa-thau-kui.

Tapi Kwe Siang masih ragu-ragu. “Dia mendustai aku?” tanyanya.

“Ya,” sahut Toa-thau-kui. “Sin-tiau-hiap berada di selatan sana, kenapa dia membawa kau ke utara?”

Kim-lun Hoat-ong hanya tersenyum saja walau pun kedoknya sudah terbongkar. Katanya tiba-tiba.

“Dua orang cebol ini suka mengaco-belo.” Setelah itu sedikit tubuhnya bergerak, cepat sekali mendekati kedua ‘setan’ itu terus menghantam batok kepala mereka dengan kedua tangan.

Selama belasan tahun ini Hoat-ong sudah giat berlatih ‘Liong-jio-pan-yok-kang’ (ilmu sakti tenaga naga dan gajah), semacam ilmu kebatinan tenaga gaib. ‘Liong-jio-pan-yok-kang’ ini seluruhnya bertingkat tiga belas, konon selama ini tiada pernah ada satu orang pun yang sanggup melatih diri hingga lebih dari tingkat sepuluh. Akan tetapi Kim-lun Hoat-ong adalah orang berbakat luar biasa. Dengan telaten dan giat akhirnya dia dapat menembus ke atas tingkat sepuluh dan kini sudah mencapai tingkatan ke sebelas.

Dahulu dia dikalahkan Yo Ko bersama Siao-liong-li, hal mana dirasakannya sebagai suatu noda besar dalam hidupnya. Kini ilmu kepandaiannya sudah maju berlipat ganda, pada kesempatan raja Mongol memimpin pasukan sendiri ke selatan, sekalian ia pun ikut serta dengan tujuan hendak balas dendam menewaskan Yo Ko dan Siao-liong-li berdua dengan ilmu pukulannya yang maha sakti ini. Kembali tadi, ketika kedua tangan lawan memukul, cepat Toa-thau-kui menangkis, namun segera terdengar suara.

“Krakk!”

Seketika tangannya patah, menyusul batok kepalanya pecah, tanpa menjengek sedikit pun terus binasa. Kepandaian Tiang-si-kui lebih ulet. Dia tahu pukulan musuh amat lihay, dengan sekuatnya dia angkat kedua tangan untuk menahan. Maka terasalah sebuah kekuatan yang maha besar menindih tubuh, seketika pandangannya menjadi gelap, orangnya pun terus roboh. Terkejut sekali Kwe Siang,

“Hai, kedua orang ini adalah kawanku, berani kau mencelakai mereka?” bentaknya gusar.

DaIam pada itu, meski pun roboh dan muntah darah, Tiang-si-kui melompat bangun terus merangkul kedua kaki Hoat-ong sambil berseru:

“Lekas lari nona Kwe, Iekas!”

Segera Hoat-ong mencengkeram punggung Tiang-si-kui. Ia hendak mengangkatnya untuk dibanting, tapi dengan mati-matian Tiang-si-kui ingin melindungi Kwe Siang, kedua tangannya bagai gelang besi saja memegang erat-erat kedua kaki orang, sekali pun tenaga Hoat-ong sangat besar, untuk sesaat juga sukar menariknya lepas. Terkejut dan gusar sekali Kwe Siang. Usianya kecil, tetapi pembawaannya berbudi luhur. Kini dia pun sudah tahu Hoat-ong tidak bermaksud baik padanya, tetapi dia toh tidak mau lari meninggalkan Tiang-si-kui. Segera ia bertolak pinggang, bentaknya dengan suara keras:

“Hai, Hwesio jahat, kenapa kau begini keji? Lekas lepaskan Tiang-si-kui, biar nona ikut kau pergi.”

“Lekas lari, nona, jangan...” demikian seru Tiang-si-kui. Tapi belum lagi habis ucapannya, jiwanya ternyata sudah melayang.

Mayat Tiang-si-kui kemudian diangkat Hoat-ong dan dibuang ke tepi jalan, lalu katanya dengan menyeringai bengis:

“Nah, kalau mau lari, kenapa tidak lekas naik kuda?”

Selama hidup Kwe Siang tak pernah benci pada siapa pun, meski diketahuinya Loh Yu-ka dibunuh Hotu, tapi ia tidak menyaksikan sendiri, ia hanya berduka dan tidak dendam, tapi kini melihat Hoat-ong begini kejam, tanpa terasa ia menjadi benci padanya, maka dengan melotot ia pandang orang tanpa gentar sedikit pun.

“Nona cilik, kau tidak takut padaku?” tanya Hoat-ong.

“Takut apa?!” sahut Kwe Siang sengit. “Mau bunuh, lekas kau bunuh aku.”

Tetapi Hoat-ong lantas unjuk jempolnya dan memuji: “Hebat, memang hebat, ayah ksatria tidak akan melahirkan puteri pengecut.”

Dengan benci Kwe Siang memandang Hoat-ong sekejap lagi. Pikirnya hendak mengubur jenazah kedua kawannya, tetapi di situ tidak ada alat penggali. Setelah berpikir, ia angkat mayat Tiang-si-kui dan Toa-thau-kui ke atas kuda, tali pelana dibaliknya untuk mengikat mayat itu, lalu dia depak pantat kuda sambil berkata:

“Kuda, kuda, lekas antar majikanmu pulang.”

Karena sakit didepak, kuda itu berlari pergi ke arah datangnya tadi.

**** 181 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar