Kamis, 28 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 182

Bercerita tentang Oey Yok-su dan Yo Ko, keduanya bergandengan tangan dengan cepat menuju ke selatan, sekejap saja beberapa puluh li telah mereka tempuh. Mendekati lohor, sampailah di kota Swan-sia. Mereka masuk ke sebuah restoran besar, memesan daharan dan saling menceritakan pengalaman masing-masing selama ini. Ketika Oey Yok-su menyinggung diri Thia Eng dan Liok Bu-siang berdua, selama belasan tahun ini mereka hidup menyepi di kediaman leluhur, yaitu Leng-oh, daerah Siang-ciu, dan Sah-koh, cucu murid Oey Yok-su yang gendeng, tinggal bersama dengan mereka.

Mendengar itu Yo Ko menghela napas panjang. Setelah minum beberapa cawan arak, segera Yo Ko bertanya:

“Oey-tocu, selama belasan tahun ini Wanpwe selalu mencari engkau orang tua, sebab ingin sekali bertanya sesuatu padamu, baru hari ini harapanku terkabul.”

“Watakku makin tua makin aneh, entah adik hendak tanya apa padaku?” sahut Oey Yok-su tertawa.

Selagi Yo Ko hendak buka suara, mendadak terdengar suara tangga berdetak, ada orang naik ke atas loteng restoran itu, seluruhnya tiga orang. Ketika mendengar suara tindakan orang, segera Oey Yok-su dan Yo Ko menduga orang-orang yang datang ini berilmu silat sangat tinggi. Kemudian, sesudah melihat orangnya, segera Yo Ko kenal satu di antaranya ialah Siau-siang-cu. Orang kedua bermuka hitam, ia tidak kenal, sedang orang ketiga In Kik-si, saudagar bangsa Persi yang memiliki berkepandaian lihay.

Dalam pada itu Siau-siang-cu dan In Kik-si juga sudah melihat Yo Ko. Keduanya menjadi terkesiap dan berhenti, mereka saling mengedip mata kemudian hendak turun kembali ke bawah.

“Eh-eh, sobat lama bertemu lagi, kenapa buru-buru hendak pergi?” sengaja Yo Ko menegur dengan tertawa mengejek.

“Baik-baikkah Yo-tayhiap selama ini?” segera In Kik-si menyapa sambil bersoja.

Sebaliknya Siau-siang-cu masih merasa dendam karena dulu di Cong-lam-san lengannya dipatahkan oleh Yo Ko. Selama belasan tahun ini kepandaiannya juga sudah banyak maju, tetapi dia tahu masih bukan tandingan Yo Ko, maka teguran Yo Ko tidak dia gubris, juga tidak menoleh,.lalu hendak melangkah turun. Orang bermuka hitam yang datang bersama mereka seorang jago terkemuka di bawah Kubilai, selamanya sangat tinggi hati. Bersama In Kik-si dan Siau-siang-cu mereka keluar mencari berita, siapa pun tidak dipandang sebelah mata olehnya. Kini melihat kedua kawannya begitu jeri pada Yo Ko, dia melirik hina ke arah Yo Ko, lalu berteriak:

“Nanti dulu, Siau-heng, jika ada orang jahat berani merintangi kesenangan kita, biar Siaute mengusirnya pergi.”

Habis bicara sebelah tangannya yang terpentang lebar mencengkeram ke pundak Yo Ko dengan maksud mencekalnya untuk dilemparkan ke jalan umum. Melihat telapak tangan orang bersemu hitam biru, Yo Ko tahu orang tentu berlatih ‘Tok-joa-cio’ atau ilmu pukulan pasir beracun. Tiba-tiba pikirannya tergerak. “Ya, mengapa aku tidak menggunakan tenaga orang ini untuk tanya Oey-Iocianpwe mengenai Lam-hay Sin-ni?” demikian pikirnya.

Tatkala itu tangan orang bermuka hitam itu sudah hampir menyentuh pundaknya. Yo Ko membalkan tangannya menyampuk.

“Plak! Plak!” tahu-tahu orang itu malah kena ditempeleng dua kali olehnya.

Terperanjat Oey Yok-su menyaksikan itu. “Cepat benar pukulannya ini!” ia memuji.

Dan hanya sekali serangan ini saja sudah terlihatlah ilmu silat ciptaan Yo Ko sendiri telah menjadi suatu aliran terkemuka. Sementara terdengar lagi dua kali suara.

“Plak! Plak!”

Kedua pipi Siau-siang-cu dipersen tamparan pula. Hanya In Kik-si yang bebas dari tempelengan itu karena Yo Ko melihat orang tadi berlaku sopan.

“Yo-laute, ilmu pukulan ciptaanmu ini benar-benar hebat sekali, lohu (aku yang tua) ingin sekali melihat keseluruhannya, entah dapat tidak?” kata Oey Yok-su dengan tertawa.

“Justru aku ingin minta petunjuk Locianpwe,” sahut Yo Ko.

Segera tubuhnya bergerak cepat, ia pun mainkan ilmu pukulan “lm-jiau-siau-hun-cio-hoat” yang hebat itu. Maka tampaklah lengan bajunya me-lambai-lambai, telapak tangannya naik turun, tiba-tiba memainkan gerak serangan ‘Bu-tiong-seng-yu’, pada lain saat gerakan ‘Ki-jin-yu-Thian’, dia mengurung Siau-siang-cu, In Kik-si dan orang bermuka hitam itu di tengah-tengah angin pukulannya.

Ketiga orang itu serasa terombang ambing di tengah gelombang badai, ter-huyung dan sempoyongan terbawa oleh angin pukulan Yo Ko, jangankan hendak melawan, untuk berdiri tegak saja susah.

“Sungguh hebat,” puji Oey Yok-su. “Hari ini lohu dapat menyaksikan ilmu pukulan Iaute ini sambil minum arak, sungguh hidupku tidak kecewa.”

“Locianpwe, sukalah memberi petunjuk barang sejurus!” teriak Yo Ko mendadak.

Ketika telapak tangannya mendorong, tahu-tahu Siau-siang-cu sudah ‘dikirim’ ke hadapan Oey Yok-su. Oey Yok-su tidak berani ayal, cepat telapak tangan kirinya menyorong ke depan, tubuh Siau-siang-cu dikembalikan ke sana. Namun segera tampak lelaki muka hitam itu menubruk datang lagi. Cepat Oey Yok-su mengangkat cawannya menenggak arak sambil mengayun tangan mendorongnya pergi pula. Melihat gerak pukulan orang memang sangat kuat dan hebat, tapi juga tidak terlalu luar biasa. dalam hati Yo Ko berpikir: “Agaknya kalau aku tidak menggunakan seluruh tenaga takkan dapat memancing ilmu pukulan yang dia pelajari dan Lam-hay Sin-ni.”

Maka ia pusatkan napasnya dan himpun tenaga, secara cepat Siau-siang-cu, In Kik-si dan lelaki muka hitam itu silih berganti didorongnya ke depan Oey Yok-su.

KUBURAN AYAH

Terpaksa Oey Yok-su mengembalikan lagi, namun terasa daya tekanan serudukan ketiga orang itu semakin berat dan susul menyusul laksana datangnya gelombang ombak, yang satu lebih kuat dan lebih tinggi dan yang lain.

“Tenaga pukulan bocah ini semakin lama semakin kuat, sungguh bakat yang susah dicari dalam dunia persilatan!” demikian diam-diam Oey Yok-su membatin.



Dan pada saat itu juga orang bermuka hitam itu kembali melayang datang, bahkan kedua kakinya terus menjejak ke mukanya. Cepat Oey Yok-su menyampuknya, tetapi karena sedikit tergoncang itulah tanpa terasa arak dalam cawannya terciprat keluar beberapa tetes, menyusul In Kik-si dan Siau-siang-cu sudah menubruk datang lagi, yang satu dari depan dan yang lain dari samping.

“Bagus!” seru Oey Yok-su, dia letakkan cawan araknya, lalu dengan kedua tangannya dia mendorong ke depan.

Demikianlah, kedua orang, Yo Ko dan Oey Yok-su, saling oper-mengoper dari jarak beberapa tombak bagai orang bermain bola basket. Siau-siang-cu bertiga bagai bola saja terombang-ambing di antara tenaga pukulan kedua orang itu se-olah terbang kian kemari di udara. Tapi baru saja ‘lm-jian-soh-hun-ciang’ Yo Ko itu dimainkan sampai tengah jalan, ‘Loh-eng-cio-hoat’ Oey Yok-su sudah tampak di bawah angin. Saat itu secepat panah tubuh In Kik-si menubruk ke arahnya, Yok-su menaksir tenaganya tidak cukup untuk melawan tenaga dorongan Yo Ko sekali ini, maka segera dia gunakan jarinya untuk menyelentik.

“Crittt!” terdengar suara lirih tajam, satu kekuatan halus tapi kuat meluncur ke depan dan seketika tenaga pukulan Yo Ko terpatahkan.

Be-runtun Oey Yok-su menyelentik tiga kali, maka terdengar tiga kali gedebukan, tubuh Siau-sing-cu: It Kik-si dan lelaki muka hitam itu terbanting semua di atas papan loteng dan semaput.

Apa bila ‘Loh-eng-cio-hoat’ sedikit kalah kuat dari pada tenaga Yo Ko, namun tenaga sakti jarinya ‘Sian-ci-sin-thong’ ternyata sama kuatnya, siapa pun tiada yang lebih unggul. Maka bergelak ketawalah kedua orang itu, mereka kembali ke tempat duduk masing-masing, menuang arak dan pasang omong pula.

“llmu pukulan adik ini, kalau soal tenaga, hanya ‘Hang-liong-sip-pat-ciang’ menantuku Kwe Ceng yang dapat menandingi, sedangkan Loh-eng-cio Lohu masih kalah setingkat,” begitu kata Oey Yok-su kemudian.

Berulang-ulang Yo Ko menyatakan terima kasih dengan rendah hati. Lalu tanyanya: “Konon kabarnya Locianpwe pernah mendapat petunjuk dari Lam-hay Sin-ni hingga dapat mempelajari sejurus Cio-hoat (ilmu pukulan), entah dapatkah Wanpwe melihatnya untuk menambah pengalaman?”

“Lam-hay Sin-ni? Siapakah dia? Selamanya belum pernah aku mendengar namanya,” ujar Oey Yok-su heran.

Seketika berubah air muka Yo Ko. Ia berdiri, dengan suara gemetar ia menegas: “Apakah di dunia ini hakikatnya tiada seorang Lam-hay Sin-ni?”

Melihat perubahan wajah orang yang amat aneh itu, Oey Yok-su rada terkejut juga, maka jawabnya dengan ragu-ragu:

“Apakah mungkin seorang kosen yang belum lama ini baru terkenal? Lohu suka hidup menyendiri, maka belum kenal akan namanya.”

Terpaku Yo Ko berdiri, begitu cemas perasaannya, serasa hatinya akan melompat keluar dari rongga dadanya, katanya dalam hati: “Dengan jelas Kwe-pekbo menyatakan bahwa Liong-ji telah ditolong pergi oleh Lam-hay Sin-ni, siapa tahu semua itu bohong belaka dan sengaja mendustai aku!” Berpikir sampai di sini, mendadak dia berteriak sambil menengadah, suaranya menggetar sukma, air mata pun meleleh.

“Ada kesulitan apakah, Laute? Dapatkah kau jelaskan? Boleh jadi Lohu dapat membantu sebisanya,” tanya Yoksu.

Akan tetapi Yo Ko lantas memberi hormat sambil berkata dengan suara parau: “Perasaan Wanpwe kacau luar biasa sehingga tindak tanduk kurang wajar, harap dimaafkan.”

Setelah itu lengan bajunya mengebas, dia putar tubuh terus turun ke bawah. “Krak! Krak!” terdengarlah suara beberapa kali, beberapa undak tangga hancur kena diinjaknya.

Oey Yok-su menjadi bingung, dia menggumam sendiri: “Lam-hay Sin-ni, Lam-hay Sin-ni? Siapakah gerangan?”

Sementara itu Yo Ko sudah berlari pergi seperti kerasukan setan. Dia lari dan lari terus, dalam beberapa hari tanpa makan tanpa tidur, dia pikir hanya mati letih barulah tak akan ingat Siao-liong-li. Sebenarnya kelak masih dapat bertemu tidak, saat itu sama sekali tak berani dibayangkannya. Tidak berapa lama kemudian tibalah dia di tepi sungai besar. Yo Ko tidak tahan lagi oleh hancurnya perasaan, ketika dilihatnya ada sebuah perahu menepi segera ia melompat naik, ia berikan sepotong perak kepada si tukang perahu dan tanpa bertanya lagi ke mana perahu itu bakal berlayar, segera ia rebah di situ terus tidur.

Air sungai mengalir dengan derasnya. Perahu layar yang ditumpangi Yo Ko terus laju, di setiap kota dagang pasti perahu itu berlabuh beberapa hari buat bongkar-muat barang, agaknya itu adalah sebuah perahu barang yang hilir-mudik di sungai Tiang-kang. Hati Yo Ko saat itu seolah-olah kosong blong, ke mana pun serupa baginya, maka ia pun tidak peduli kapal itu akan berlayar atau berlabuh. Ia lewatkan hari-hari itu dengan minum arak, di malam hari ia suka bersiul panjang dan termenung-menung tanpa kenal waktu.

Si tukang perahu dan saudagar yang mencarter kapal itu tampak akan uang Yo Ko yang membayar tanpa menawar itu, mereka mengira dia adalah pengelana sinting, maka siapa pun tiada yang mengurusnya. Suatu hari tibalah kapal itu di Kang-im. Seorang saudagar sekapal sudah mohon diri pada Yo Ko dan bilang akan pergi ke Ka-hin dan Lim-an untuk membeli sutera. Mendengar kata-kata Ka-hin, mendadak Yo Ko terkejut dan berpikir

“Dulu ayahku tewas secara mengenaskan oleh Oey Yong di kelenteng Ong-tiat-jiang di kota Ka-hin, entah di manakah kuburannya? Aku tidak bisa mengubur jenazah ayah secara baik-baik, benar-benar aku seorang anak yang tak berbakti.” Berpikir akan itu, segera dia tinggalkan perahu dan mendarat terus menuju ke Ka-hin.

Tatkala itu sudah masuk musim dingin, meski pun di daerah Kanglam tak sedingin daerah utara, namun di mana-mana salju bertebaran. Yo Ko memakai mantel ijuk dan bertopikan caping, menujulah dia ke Ka-hin. Sampai di kota itu, cuaca telah gelap. Yo Ko mencari sebuah rumah makan dan bertanya jalan ke kelenteng Ong-tiat-jiang, di bawah hujan salju yang lebat ia lalu pergi ke sana. Ketika tiba di kelenteng itu, waktu sudah dekat tengah malam, salju masih terus turun, keadaannya gelap gulita. Tapi Yo Ko sanggup melihat di malam gelap, dia lihat Tiat-jiang-bio atau ‘keIenteng tombak besi’ itu sudah bobrok, pintunya sudah lapuk, sedikit didorong lantas roboh.

Yo Ko masuk ke dalam. Di mana-mana terlihat penuh debu dan galagasi bersinggasana, suatu tanda tiada penghuninya. Dia berdiri termangu-mangu di tengah ruangan kelenteng, terbayang olehnya ketika ayahnya tewas di situ dahulu hingga sejak lahirnya tiada pernah melihat muka ayahnya sendiri. Sungguh nasib malang itu jarang terdapat di dunia ini, dia menjadi berduka sehingga makin menambah pilu hatinya. Ia periksa sekitar kelenteng itu. Ia pikir sudah lebih 30 tahun ayahnya meninggal, dengan sendirinya tiada meninggalkan sesuatu tanda apa-apa. Ia pergi ke belakang kelenteng, ia lihat di bawah apitan dua pohon ada dua kuburan, di depan kuburan itu masing-masing berdiri sebuah batu nisan yang penuh tertutup oleh salju.

Ketika Yo Ko kebaskan lengan bajunya hingga salju berhamburan oleh angin kebasannya itu, maka tampaklah pada batu nisan sebelah kiri tertulis ‘Kuburan Bok-si dari keluarga Yo’. Diam-diam Yo Ko pikir siapakah gerangan wanita she Bok ini? Waktu batu nisan sebelah lain dipandangnya, seketika tak tahan lagi rasa gusarnya. Kiranya batu nisan itu tertulis: ‘Kuburan murid durhaka Yo Khong’, dan pada pinggirnya tertulis sebaris huruf kecil yang berbunyi ‘Guru tak berilmu Khu Ju-ki’.

Pikir Yo Ko dengan gusar: “lmam tua ini tak berbudi. Ayahku telah meninggal, tapi kenapa harus mendirikan batu nisan untuk mencela kelakuannya? Dalam hal apa ayahku durhaka? Hmm, kalau aku tidak pergi ke Coan-cin-kau dan mengobrak-abriknya, rasanya hatiku tidak puas.”

Habis itu tangannya diangkat terus hendak menghantam batu nisan itu. Akan tetapi, selagi tangan hendak digablokkan, mendadak dari arah barat terdengar berkumandang datang suara tindakan kaki yang cepat. Suaranya demikian aneh, seperti beberapa tokoh dunia persilatan yang hebat, tetapi juga mirip jalannya dua ekor binatang, sewaktu kaki menginjak tanah, sebelah kiri antap dan sebelah kanan enteng, benar-benar aneh luar biasa.

Yo Ko mendengar suara itu justru menuju ke kelenteng ini, maka cepat ia masuk kembali ke ruangan tengah kelenteng dan bersembunyi di belakang patung malaikat yang sudah doyong. Hendak dilihatnya makhluk aneh apakah yang datang itu? Dalam waktu sebentar saja suara tindakan kaki itu sudah sampai di depan kelenteng, tapi lantas berhenti tidak bergerak lagi, agaknya seperti kuatir kalau di dalam kelenteng ada musuh yang bersembunyi. Selang sejenak, barulah dia masuk.

Ketika Yo Ko mengintip keluar, hampir saja dia tertawa geli. Ternyata yang masuk kelenteng ini seluruhnya empat orang. Kaki kiri keempat orang ini sudah putus semua, setiap orang memakai sebatang tongkat dan di pundak kiri masing-masing dirangkai seutas rantai besi yang saling terkunci, oleh sebab itulah waktu berjalan empat tongkat menutul tanah berbareng, lalu empat kaki keempat orang juga melangkah maju bersama. Orang yang paling depan berkepala gundul pelontos, tangan kiri sudah buntung, kaki kiri putus separoh, sudah cacat bertambah cacat. Orang kedua jidatnya jendul, terdapat tiga uci-uci yang besar. Orang ketiga bertubuh kecil pendek dan orang keempat adalah Hwesio berbadan tegap.

Yo Ko terheran-heran, orang-orang macam apakah ini? Dan kenapa saling dirantai tanpa terpisahkan? Lalu terdengarlah suara gemerantang yang nyaring, si gundul tadi mengeluarkan geretan api dan menyalakan sepotong sisa lilin. Maka sekarang jelaslah Yo Ko melihatnya. Ternyata kecuali orang pertama yang gundul ini, tiga orang lainnya berlubang mata, tapi tiada biji matanya. Karena itu ia baru mengerti persoalannya, kiranya ketiga orang buta itu menggunakan si gundul ini sebagai penunjuk jalan mereka.

Si gundul mengangkat lilin kemudian memeriksa sekitar kelenteng, maka keempat orang itu menjadi seperti berbaris beriring-iringan, jarak mereka masing-masing tidak lebih dari tiga kaki. Namun Yo Ko yang sembunyi di belakang patung tidak diketahui mereka. Setelah memeriksa, keempat orang itu masuk lagi ke ruangan dalam, kemudian si gundul berkata:

“Kwa-lothau tidak membocorkan jejak kita. Jika ia mengundang bala bantuan, tentu sudah disembunyikannya di sini.”

“Ya, benar, ia telah berjanji sekata pun takkan dibocorkan pada orang lain. Orang macam dia ini selamanya berambekan tinggi, jadi dalam hal ‘kepercayaan’ sangatlah diberatkan,“ demikian ujar orang ketiga.

Tapi orang yang ber-uci-uci itu lantas berkata: “Soa-toako, kau kira si tua she Kwa itu akan datang atau tidak?”

“ltulah sukar kukatakan. Kurasa dia tidak akan datang, masa dia begitu bodoh sengaja mengantarkan kematian?” ujar orang pertama tadi.

“Tetapi Kwa-lothau ini adalah orang pertama dari Kanglam-chit-koay. Dahulu mereka bertaruh dengan imam keparat Khu Ju-ki dan jauh-jauh tanpa kenal lelah pergi ke Mongol memberi pelajaran silat kepada Kwe Ceng. Ketika hal ini tersiar di Kangouw, semua orang memuji akan janji emas Kanglam-chit-koay, sekali berkata pasti pegang janji. Kita justru mengingat hal ini barulah melepaskan dia pergi.”

Percakapan mereka itu terdengar jelas oleh Yo Ko, diam-diam ia berpikir: “Ehh, ternyata mereka sedang menantikan Kwa-kongkong di sini.”

Dalam pada itu orang kedua yang berjendul lantas berkata: “Tapi aku bilang dia pasti tak akan datang, Peng-toako, beranikah kau bertaruh? Coba lihat...”

Tapi belum habis ucapannya, mendadak terdengar suara tindakan orang datang dari arah timur, juga langkah yang sebelah antap sedangkan sebelah lagi enteng. Ada orang datang lagi menggunakan tongkat, cuma sekarang seorang diri saja. Semenjak kecil Yo Ko sudah lama tinggal bersama Kwa Tin-ok di Tho-hoa-to, maka begitu mendengar segera ia tahu orang tua itulah yang datang. Terdengarlah si orang ketiga yang kecil kurus tadi tertawa bergelak, katanya:

“Nah, Kau-laute, Kwa-lothau benar-benar datang, kau masih berani bertaruh tidak?”

“Keparat, dia benar-benar tidak takut mati, sungguh aneh,” orang kedua tadi mengomel.

Kemudian terdengarlah suara ketokan nyaring beberapa kali, suara ketokan tongkat besi. Hui-thian-pian-hok Kwa Tin-ok tampak masuk ke dalam kelenteng, lantas berdiri tegak di tengah ruangan.

“Kwa Tin-ok telah datang memenuhi janji, inilah Kiu-hoa-giok-loh-wan buatan Tho-hoa-to, seluruhnya berjumlah 12 butir, setiap orang makan tiga butir,” demikian katanya.

Berbareng tangannya mengayun, sebuah botol kecil ditimpukkan ke arah si kakek gundul tadi.

“Terima kasih!” sahut si gundul girang. Ia sambut botol kecil yang dilemparkan kepadanya itu.

“Urusan pribadi Lohu sudah selesai, sekarang sengaja datang buat terima kematian,” tiba-tiba Kwa Tin-ok berkata. Ia tegak leher berdiri di tengah ruangan, jenggotnya yang sudah putih ter-gerak, sikapnya sewajarnya saja.

“Soa-toako, karena dia sudah memberikan Kiu-hoa-giok-loh-wan pada kita sehingga luka dalam kita bakal sembuh, dan tua bangka ini pun tiada permusuhan apa-apa dengan kita, biarlah kita ampuni dia saja,” kata si orang kedua yang kepalanya berjendul itu.

“Kau-laute,” jengek si orang ketiga, “kata peribahasa ‘piara harimau cari penyakit’, karena hatimu yang lemah ini mungkin kita berempat nanti harus jadi korban semua. Kini meski ia belum membocorkan rahasia kita, tetapi siapa yang berani menjamin dia akan tutup mulut selamanya?”

Habis itu mendadak ia membentak: “HayoIah, turun tangan!”

Dan keempat orang pun melompat bangun cepat lalu berdiri di empat sudut, dengan tepat Kwa Tin-ok terkurung di tengah-tengah.

“Kwa-Iothau,” kata si kakek gundul dengan suara serak, “lebih 30 tahun yang lampau kita sudah menyaksikan bersama kematian Yo Khong di sini, sungguh tidak nyana hari ini kau pun akan menyusulnya, ini namanya sudah suratan nasib.”

Tapi tiba-tiba Kwa Tin-ok mengetok keras-keras tongkatnya ke lantai, dengan marah katanya,

“Yo Kong itu mengaku musuh sebagai ayah, menjual tanah air untuk kenikmatan sendiri, dia seorang rendah yang tidak tahu malu, sedangkan aku Kwa Tin-ok adalah lelaki sejati yang dapat mempertanggung jawabkan segala tindak-tandukku kepada negara mau pun bangsa, kenapa kau bandingkan aku Hui-thian-pian-hok dengan manusia rendah itu?”

“Hmm, kematianmu sudah di depan mata tapi masih berlagak pahlawan gagah?” jengek si pendek, orang ketiga tadi.

Habis itu mereka sama-sama menghantamkan sebelah tangan ke atas kepala Kwa Tin-ok. Merasa dirinya bukanlah tandingan keempat lawan ini, Tin-ok hanya berdiri tegak dengan tongkatnya tanpa menangkis. Maka terdengarlah suara menyambarnya angin yang keras.

“Blungg...!”

Terdengarlah suara keras dibarengi berhamburnya debu pasir. Keempat orang itu merasa tempat yang terkena pukulan mereka itu rasanya tidak betul, bukannya mengenai tubuh manusia. Segera si kakek gundul dapat melihat jelas, Kwa Tin-ok sudah menghilang dari dalam lingkaran yang mereka kepung, sedangkan tempat di mana orang berdiri tadi kini telah tertukar patung bobrok dari kelenteng itu. Karena pukulan keempat orang itu kena kepala patung, maka seketika hancur menjadi bubuk.

Dari keempat orang itu tiga di antaranya adalah buta, meski si kakek gundul itu bermata tajam. Tapi hanya sekejap saja tahu-tahu Kwa Tin-ok bisa berubah menjadi patung, hal ini sungguh bikin terkejut tidak kepalang, empat orang itu sekaligus membalik ke beIakang. Maka terlihatnya seorang laki-laki berumur 30-an berlengan tunggal sudah berdiri di sana dengan wajah marah, Kwa Tin-ok tercengkeram tengkuknya dan terangkat tinggi.

“Berdasar apa kau berani mencaci-maki ayahku?!” demikian lelaki buntung itu membentak Tin-ok.

“Siapakah saudara?” tanya Tin-ok tak gentar.

“Aku adalah Yo Ko, puteranya Yo Khong,” sahut Yo Ko. “Ketika dahulu tinggal di Tho-hoa-to, tidaklah jelek kau terhadapku. Tapi mengapa di belakang kau memaki dan memfitnah mendiang ayahku?”

“Hmm,” jengek Tin-ok dingin, “sejak dahulu kala, manusia yang mati meninggalkan nama, tapi ada juga orang yang menurunkan nama busuk, baik atau busuk semuanya perbuatan manusia, mana bisa menyumbat mulut orang agar tidak menyebutkannya?”

Melihat orang sedikit pun tidak merasa gentar, Yo Ko tambah marah, ia angkat tubuh Tin-ok dan dibanting ke lantai sambil membentak:

“Cobalah katakan, kenapa ayahku rendah dan kotor?”

Melihat begini hebat dan tangkasnya Yo Ko, si kakek gundul tadi diam-diam menarik tiga kawannya hendak mengeluyur pergi. Namun sedikit Yo Ko melesat tahu-tahu sudah menghadang di ambang pintu.

“Hmm, kalau tidak bicara yang jelas, siapa pun tidak akan hidup keluar dari kelenteng ini!” demikian bentaknya.

Mendadak keempat orang itu menggertak sekaligus dan memukul ke depan.

“Bagus!” sambut Yo Ko, dia pun mendorong sebelah tangannya.

Belum lagi tangan beradu tangan, keempat orang itu sudah merasa sebuah tenaga pukulan yang maha besar menindih ke arah mereka. Tanpa ampun lagi mereka langsung terjengkang ke belakang dan menerbitkan suara gedubrakan yang keras, tubuh keempat orang menindih di atas patung tadi hingga patung itu remuk ber-keping-keping. Di antara empat orang itu, si orang kedua yang punya tiga uci-uci di batok kepalanya itu berkepandaian paling lemah, justru kepalanya tepat menumbuk dada patung itu, keruan seketika dia semaput.

“Kalian berempat ini siapa? Kenapa terantai menjadi satu begini dan kenapa bisa berjanji untuk bertemu dengan Kwa Tin-ok di sini?” tanya Yo Ko.

Kiranya kakek gundul ini adalah Soa Thong-thian. Orang kedua yang ber-uci itu adalah Sute-nya, Kau Hay-thong, ada pun yang pendek kecil adalah Peng Lian-hou dan Hwesio yang tinggi besar itu adalah Lian-ti Siangjin. Lebih 30 tahun yang silam mereka tertangkap oleh Lo wan-tong Ciu Pek-thong, kemudian diserahkan kepada Khu Ju-ki dan Ong Ju-it untuk mengurung mereka dalam Tiong-yang-kiong di Cong-Iam-san, kalau mereka sudah insaf baru akan dibebaskan. Akan tetapi keempat orang ini sukar mengubah watak jahat mereka, dengan segala jalan mereka berusaha melarikan diri, tapi setiap kali kena dibekuk kembali.

Pada saat untuk ketiga kalinya mereka hendak merat, Peng-Lian-hou, Kau Hay-thong dan Ling-ti Siangjin bertiga telah membunuh beberapa anak murid Coan-cin-kau yang menjaga mereka. Setelah tertangkap kembali, sebagai hukuman yang setimpal maka sebelah kaki dikutungi dan mata mereka dibutakan, hanya Soa Thong-thian yang selamat kedua matanya karena tidak mencelakai jiwa manusia,.

Pada saat Yo Ko belajar silat di Tiong-yang-kiong, karena waktunya tidak lama, lagi pula selalu menderita, maka empat orang hukuman itu tak dikenalnya. Sampai 16 tahun yang lalu, ketika jago-jago Mongol membakar Tiong-yang-kiong, dalam keadaan kacau-balau dapatlah Soa Thong-thian berempat meloloskan diri. Dan karena ketiganya buta, terpaksa bergantung pada Soa Thong-thian sebagai penuntun jalan. Peng Lian-hou kuatir kalau orang tinggal pergi sendiri, maka dia berkeras tidak mau menanggalkan rantai yang masih mengikat tubuh mereka berempat.

Sesudah lari dari Tiong-yang-kiong, Soa Thong-thian berempat masih kuatir kalau-kalau dapat dibekuk kembali oleh orang-orang Coan-cin-pay, maka dengan diam-diam mereka lari ke daerah Kanglam dan selalu sembunyi menyepi di pedusunan. Hari itu kebetulan mereka kepergok Kwa Tin-ok. Ilmu silat Tin-ok jauh bukan tandingan keempat orang itu, maka sekali gebrak sudah kalah. Ketika ditanya barulah diketahui Kwa Tin-ok ada keperluan dan tiada maksud mencari mereka. Meski pun mereka tiada permusuhan atau dendam tapi pendirian berbeda, lagi pula kuatir orang membocorkan tentang jejak mereka, maka Soa Thong-thian berempat bermaksud membunuh Tin-ok.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar