Kamis, 21 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 179

Tapi Kwe Siang segera ingat lagi kata sang ibu tadi, maka dia menyambung pula: “Ahh, kiranya dekak dekuk bekas koreng di mukanya itu adalah palsu semua. Mukanya benar-benar menakutkan. Sekali aku melihatnya, tak sudi melihatnya untuk kedua kalinya.”

“Ya, semakin jelek dan semakin seram ia menyamar, semakin jejaknya takkan diketahui sebab semua orang merasa jenuh pada mukanya yang jelek hingga sungkan memandang padanya, dengan begitu meski muka palsu itu ada sedikit keganjilan juga tak akan mudah diketahui orang,” kata Oey Yong. “Aih, menyamar selama 16 tahun, sesungguhnya bukan suatu pekerjaan mudah.”

“Bentuk muka bisa dipalsu, tetapi ilmu silat dan gerak-geriknya tidak mungkin dipalsukan. Ilmu kepandaian yang sudah terlatih berpuluh tahun, mana bisa berubah begitu saja,” ujar Ciu-liu.

“Kalian maksudkan Ho Su-ngo itu palsu? Jika begitu siapakah gerangan?” tanya Kwe Hu. “Adik, kau yang pintar, coba terangkan.”

“Aku sedikit pun tidak pintar, maka sedikit pun tidak tahu,” ujar Kwe Siang sambil geleng-geleng kepala.

“Toasiocia (puteri pertama) sendiri sudah pernah melihat dia, tatkala itu Jisiocia malahan belum lahir,” kata Cu-liu tersenyum, ”17 tahun yang lalu, di tengah perjamuan besar kaum ksatria di Heng-ci-koan, ada seseorang menempur aku sampai beratus jurus, siapakah dia?”

“He, dia Hotu?” seru Kwe Hu. “Ah, tidak, bukan dia. Hm, ia memakai senjata kipas lempit, senjata inilah yang agaknya rada mirip. Ya, ya, kipasnya tinggal tulang kipas saja tanpa muka kipas, maka seketika susah dikenali.”

“Pertarunganku dengan dia dahulu adalah kejadian berbahaya selama hidupku, maka tipu serangan serta gerak tubuhnya tidak akan kuIupakan,” ujar Cu-liu pula, “Kalau orang ini bukan Hotu, ha, aku she Cu inilah yang bermata lamur!”

Ketika Kwe Hu memandang ke atas panggung, ia lihat gerak langkah Ho Su-ngo kini ternyata gesit sekali, serangannya sangat keji, lapat-lapat memang benarlah si Hotu yang pernah dilihatnya dahulu, cuma dalam hati dia masih banyak yang tidak paham, maka tanyanya pula:

“Tapi jika benar dia adalah Hotu, padahal paderi Tibet ini adalah Suheng-nya, masa mereka tidak kenal, sebaliknya saling gebrak begitu hebat?”

“Justru karena Darba mengenali orang itu adalah Sute-nya, maka ia melabraknya dengan mati-matian,” sahut Oey Yong. “Tahun itu waktu pertarungan sengit di Tiong-yang-kiong, Cong-lam-san, dengan sebilah ‘Hian-tiat-kiam’ (pedang besi murni) Yo Ko telah menindih Darba dan Hotu ke bawah. Melihat jiwa terancam, mendadak Hotu gunakan akal licik, dia mengkhianati buat selamatkan jiwa sendiri, kejadian ini disaksikan orang banyak, tentu kau pun mendengar cerita orang.”

“Oh, kiranya begitulah sehingga Darba benci padanya,” ujar Kwe Hu.

Mendengar betapa ibunya bercerita tentang Yo Ko dengan sebilah pedang menindih Hotu dan Darba ke bawah, Kwe Siang jadi terbayang betapa gagah perwiranya Yo Ko di masa dahulu, tanpa terasa dia kesemsem.

KISAH TIGA TURUNAN

“Dan kenapa dia berubah menjadi pengemis? Sebab apa pula Pak-kau-pang bisa berada di tangannya?” Kwe Hu menegas.

“Bukankah itu sangat sederhana?” jawab Oey Yong. “Hotu sudah mendurhakai Suhu-nya dan mengkhianati Suheng-nya, tentu dia takut dicari mereka, sebab itu dia sengaja menyamar dan berganti corak menyelundup ke Kay-pang, sedikit pun tidak menimbulkan curiga dan lambat laun meningkat sehingga menjadi anak murid berkantong lima, dengan begitu orang-orang Kay-pang tiada yang curiga. Kim-lun Hoat-ong lebih-lebih tidak dapat menemukannya.

Tapi manusia jahat yang berhati dengki tak mungkin mau hidupnya terpendam begitu saja, apa bila ada kesempatan, segera ia jalankan muslihatnya lagi. Hari itu ketika Loh-pangcu meronda keluar kota, diam-diam ia sembunyi di sana dan tiba-tiba membokongnya, tetapi cara turun tangannya sudah membongkar rahasianya, dia tinggalkan murid Kay-pang yang masih bernyawa agar menyampaikan bahwa yang membunuh Loh Yu-ka adalah Hotu.

Sesudah Pak-kau-pang dapat direbutnya, kemudian disembunyikan dalam pentungnya, ia menanti saatnya pemilihan pangcu lantas muncul dan ikut memperebutkannya. Dengan ilmu silatnya yang memang tinggi, tentu tidak terlalu susah baginya untuk merobohkan para ksatria, malahan dia sengaja mengemukakan syarat mengenai ‘menemukan pentung pemukul anjing’, suatu syarat yang memang menjadi peraturan Kay-pang turun-temurun, dengan sendirinya tiada yang bisa mendebatnya. Aih, keparat Hotu ini benar-benar pintar berpikir panjang.”

“Tapi ada Kwe-hujin di sini, meski pun dapat mengelabui orang untuk sementara, akhirnya juga tak bisa mendustai kau,” ujar Cu Cu-liu tertawa.

Oey Yong tersenyum tak menjawabnya, dalam hati ia berkata: “Kalau dia menyelundup ke Kay-pang dan tidak unjuk sesuatu tanda mungkin masih bisa mengelabui aku, tetapi kalau ingin menjadi Pangcu terlalu meremehkan aku si Oey Yong ini.”



“Dan si Yo Ko ini juga hebat benar, ternyata muslihat Hotu dapat diketahuinya, pentung pemukul anjing dapat direbutnya kembali, kedok Hotu juga kena dibongkar kemudian dihadiahkan pada Kwe-jisoacia sebagai kado ulang tahun. Sungguh hadiah ini tidak kecil,” ujar Cu-liu.

“Hm, kukira itu pun kebetulan saja dapat diketahuinya,” jengek Kwe Hu.

Namun Kwe Siang teringat sesuatu, katanya: “Hotu ini sengaja menyamar sebagai pengemis muka jelek di Kay-pang dan sengaja mengacau. Sebenarnya Su-samsiok dari kelima saudara Su itu pun pernah dilukainya, jadi mungkin juga Su-samsiok sengaja mencarinya untuk membalas sakit hati dan akhirnya menemukan jejaknya.”

“Benar,” sahut Oey Yong mengangguk, “di kalangan Kangouw jejak Hotu ini akan mudah sekali diketahui, tapi orang lain sekali-kali tidak pernah menyangka bahwa Ho Su-ngo dari Kay-pang adalah orang yang sama dengan dia. Tapi seorang yang terlalu tinggi hati, suatu hari pasti terjungkal dan terbuka kedoknya.”

“Tapi,” sela Kwe Hu, “sebab apa dia sendiri bilang akan membunuh Hotu? Bukankah itu sangat bodoh?”

“ltu hanya kata-kata untuk menutupi kedoknya saja supaya orang iain tak mencurigainya,” kata Oey Yong.

Di lain pihak Kwe Siang sedang komat-kamit perlahan: “Tentu hari itu ia telah mendengar semua perkataanku ketika aku menyembahyangi arwah Loh-pepek di kelenteng Yo-tayhu. Karena tahu hatiku berduka sebab Loh-pepek terbunuh musuh, maka dia lantas mencari pembunuhnya ini. Tapi kenapa dia sendiri masih belum datang?”

Tengah bicara, pertarungan Darba dan Hotu di atas panggung kini semakin sengit. Kedua orang berasal dari satu guru, masing-masing cukup mengenal kepandaian lawan, Darba menang dalam hal tenaga yang lebih besar, tetapi Hotu lebih unggul akan kecepatan dan kegesitan, maka sesudah ratusan jurus keduanya masih seimbang. Mendadak sontak Darba menggertak, lalu secepat kilat gada emasnya ditimpukkan ke arah Hotu. Gada emas ini beratnya lebih dari 30 kati, ditimpukkan lagi, gaya luncurnya menjadi lihay sekali.

Terkejut Hotu, selamanya belum pernah melihat gerak serangan sang Suheng ini. Lekas-lekas ia mengegos, tapi Darba sudah memburu maju, telapak tangannya mendorong dan mendadak gada emas itu memutar arah terus memburu Hotu. Sungguh tidak kepalang terperanjat Hotu. Sekarang barulah ia tahu selama belasan tahun ini sang Suheng sudah banyak memperoleh tambahan ilmu Iwekang lagi dari sang Suhu. Kepandaian menimpuk gada ini persis gayanya seperti Kim-lun Hoat-ong menyambitkan kelima rodanya yang terbikin dari ‘panca logam’ itu. Melihat tenaga timpukan gada yang sangat keras, sekali-kali tak sanggup ditangkis dengan kipas, terpaksa Hotu berkelit, Gada itu menyambar lewat dua tiga senti di atas kepalanya.

Namun semakin ditimpuk dan didorong, gada emas Darba itu semakin cepat, obor yang menyala di sekitar panggung bergoyang-goyang oleh angin sambaran sehingga sebentar terang sebentar gelap. Hotu tak berani ayal, dia cepat melompat ke sana kemari di bawah ancaman gada yang me-nyambar. Melihat keadaan yang menggetarkan itu, semua orang yang menyaksikan ikut terperanjat. Sampai timpukan yang ke-18 mendadak Darba membentak keras, gada emasnya bagai anak panah meluncur ke depan. Hotu tak sanggup berkelit lagi, maka segera terdengarlah suara benturan yang keras, dada dan badannya lemas terkulai di atas panggung tak berkutik lagi.

Sesudah mengambil kembali gada emasnya, Darba menggerung menangis tiga kali, lalu dia duduk bersila di depan mayat Sutenya membacakan doa, kemudian dia melompat turun mendekati Jing-ling-cu, gada emas itu diangkat tinggi hendak dikembalikan kepada orang. Namun Jing ling-cu tidak menerimanya, katanya:

“Selamat, kau berhasil mencuci bersih sampah perguruanmu. Sin-tiau-hiap telah mengampuni kau, supaya kau segera pulang ke Tibet dan selanjutnya tak boleh menginjak daerah Tionggoan lagi.”

“Banyak terima kasih kepada Sin-tiau-tayhiap, hamba menurut perintahnya,” sahut Darba. Lalu ia memberi hormat dan pergi.

Melihat Hotu menggeletak mati di atas panggung, mukanya bengkak seram, tapi Kwe Hu masih tak mau percaya muka demikian ini adalah palsu. Tiba-tiba ia mencabut pedangnya lalu melompat ke atas panggung, dengan ujung pedang ia hendak iris batang hidung Hotu, serunya:

“Biarlah kita melihat muka asli bangsat ini bagaimana macamnya?”

Tak terduga, mendadak terdengar Hotu membentak satu kali, tahu-tahu melompat tinggi, kedua telapak tangannya menghantam dengan ganasnya. Kiranya oleh sodokan gada tadi, meski terluka parah sekali, tetapi jiwanya masih belum melayang. Dasar Hotu memang licik, maka dia sengaja tak berkutik, dia menunggu kalau-kalau Darba mendekatinya dan hendak membalasnya dengan sekali hantam pada saat sebelum ajalnya agar dapat gugur bersama. Siapa tahu Darba hanya membacakan doa agar arwahnya menuju alam baka, lalu turun panggung, sebaliknya malah Kwe Hu yang datang untuk mengiris hidungnya.

Hantaman Hotu ini boleh dikatakan seluruh sisa tenaga yang masih ada telah dikeluarkan seluruhnya. Keruan Kwe Hu terkejut sekali, sesaat ia menjadi lupa mengayunkan pedang buat menahan serangan musuh, pula kutang berduri landak sudah dipinjamkan suaminya, tampaknya jiwanya sekejap saja pasti akan melayang oleh hantaman kedua tangan Hotu.

Dalam kagetnya Kwe Ceng, Oey Yong dan Yalu Ce berbareng hendak melompat ke atas panggung untuk menolongnya, tapi terang tak keburu lagi. Pada detik berbahaya itulah, tiba-tiba terdengar suara mencicit dua kali, tahu-tahu dari udara menyambar datang dua senjata rahasia dengan pesat sekali dari kanan-kiri dan sekaligus mengenai dada Hotu. Kedua senjata rahasia itu bentuknya sangat lembut, tetapi tenaga lontarannya luar biasa besar. Tanpa ampun lagi tubuh Hotu terjengkang merosot ke bawah panggung, mulutnya muntahkan darah dan benar-benar binasalah sekarang.

Dengan ternganga kaget semua orang segera memandang ke arah dari mana datangnya senjata rahasia itu, tapi tertampak bintang suram, bulan guram, langit gelap, lebih dari itu suasana sunyi senyap saja. Di depan panggung tegak berdiri dua tiang bendera yang besar dan tingginya beberapa tombak. Agaknya senjata rahasia itu disambitkan masing-masing dari kedua talang tiang bendera yang tinggi itu.

Mendengar suara menyambarnya senjata rahasia tadi, Oey Yong menduga bahwa selain kepandaian ‘Sian-ci sin-thong’ atau ilmu jari maha sakti milik ayahnya, Oey Yok-su, rasanya tiada orang lain lagi yang mempunyai kepandaian setinggi itu. Cuma kedua tiang bendera jaraknya ada belasan tombak, mengapa dari kedua tiang bendera itu berbareng ditimpukkan senjata rahasia? Masa ada dua orang? Akan tetapi saking girangnya ia pun tidak banyak pikir lagi, segera ia berseru memanggil:

“Apakah ayah yang datang?”

Maka terdengarlah dari talang tiang bendera di sebelah kiri ada suara seorang tua tertawa terbahak-bahak sambil berkata:

“Kawan cilik Yo Ko, mari kita turun berbareng!”

“Baik,” sahut seorang dari talang sebelah kanan.

Menyusul itu dari dalam talang tiang bendera masing-masing melompat turun satu orang. Di bawah cahaya bintang dan bulan yang guram, baju kedua orang itu melambai, seorang berjubah hijau berambut putih, yang lain berbaju biru berlengan tunggal, nyatalah mereka memang Oey Yok-su dan Yo Ko. Kedua orang itu melompat turun ke arah panggung. Selagi masih terapung di udara, Oey Yok-su menarik tangan kiri Yo Ko, kemudian keduanya turun berbareng di atas panggung, Betapa mengagumkan cara melayang turunnya. Bila semua orang tidak mendengar suaranya lebih dulu, boleh jadi akan menyangka mereka adalah malaikat yang turun dari khayangan.

Lekas Kwe Ceng dan Oey Yong melompat ke atas panggung dan memberi hormat pada Oey Yok-su. Begitu pula Yo Ko segera menyembah di hadapan Kwe Ceng dan Oey Yong suami-isteri sambil menyapa:

“Tit-ji (keponakan) Yo Ko memberi hormat kepada Kwe-pepek dan Kwe-pekbo.”

Cepat Kwe Ceng membangunkannya dan katanya dengan tertawa: “Ko-ji, ketiga macam hadiahmu ini sungguh... sungguh...” tapi saking terharunya, lagi pula memang tak pandai bicara muluk-muluk, maka “sungguh” apa, tak bisa dikatakannya.

Sebaliknya Kwe Hu yang dengki, karena kuatir kalau dirinya disuruh menghaturkan terima kasih atas pertolongan Yo Ko tadi, lekas-lekas mendekati Oey Yok-su sambil memanggil:

“Engkong!”

Yo Ko tersenyum, ia kenal watak orang, ia melompat ke hadapan Kwe Siang dan sapanya dengan tertawa:

“Adik cilik, aku datang terlambat.”

Berdebar hati Kwe Siang ketika itu, wajahnya jengah. Jawabnya dengan suara lirih: “Ah, kau telah membawakan tiga macam hadiah besar ini, sungguh... sungguh bikin capek kau saja.”

”Hanya sekedar meramaikan hari ulang tahun adik cilik saja, tidak ada yang perlu dipuji,” sahut Yo Ko tertawa.

Habis itu, ketika ia memberi tanda, segera terdengar Toa-thau-kui berteriak: “Bawa semua ke sini!”

Segera ula di pintu masuk lapangan sana ada orang meneruskan perintah itu. “Bawa semua ke mari!” dan begitu pula seterusnya suara itu dilanjutkan hingga jauh.

Selang tidak lama kemudian dari Iuar lapangan membanjir serombongan orang, ada yang membawa leng-long dan obor, ada yang memikul dan menjinjing tenggok, terus tersebar di sekitar lapangan dan mematok cagak mendirikan panggung. Sementara itu orang yang datang semakin banyak tak terputus-putus, namun secara beraturan, tiada seorang pun yang bicara, hanya bekerja keras. Semua orang sudah menyaksikan tiga hadiah besar yang dibawa Yo Ko tadi, maka siapa pun merasa kagum padanya. Mereka pikir orang-orang yang dibawanya kemari ini tentu ada gunanya.

Tidak lama kemudian, di sebelah barat daya lapangan itu sudah berdiri sebuah panggung, gembreng berbunyi dan genderang ditabuh, nyata itulah sebuah panggung wayang ‘po-te-hi’ yang melakonkan ‘Pat-sian-cok-siu’ atau delapan dewa memberi selamat ulang tahun. Menyusul satu panggung yang di sudut lain mempertunjukkan opera dengan lakon cerita Kwe Cu-gi berulang tahun, dewa-dewi datang memberi selamat kepadanya. Dalam sekejap saja di ujung lain pun ada wayang orang yang telah memulai pertunjukan hingga seketika suasana meriah sekali.

Sungguh hebat usaha Yo Ko, sekali pun keluarga bangsawan yang paling mampu juga tidak selengkap dan seramai sekarang ini. Betapa girang Kwe Siang atas kebaikan Yo Ko, saking terharu matanya mengembeng air mata dan tak sanggup bersuara. Kwe Hu jadi teringat apa yang dikatakan adiknya tempo hari bahwa ada seorang ksatria besar yang akan datang memberi selamat ulang tahun padanya. Kini ternyata betul-betul terjadi, dia menjadi gusar dan dongkol. Dalam keadaan serba kikuk dia pura-pura menarik tangan Oey Yok-su menanyakan ini dan itu, terhadap keramaian di sekitarnya ia berlagak tidak tahu.

“Ayah, apakah sebelumnya kau telah berjanji dengan Ko-ji akan sembunyi di dalam talang tiang bendera itu?” tanya Oey Yong kemudian pada ayahnya.

“Bukan, bukan,” sahut Oey Yok-su tertawa. “Suatu hari, ketika aku pesiar di Tong-teng-oh pada malam bulan purnama, tiba-tiba saja aku mendengar suara orang berseru mencari Yan-po Tio-so (si kakek tukang memancing), katanya ada seorang bernama Sin-tiau-hiap mengundangnya ke Siang-yang. Kepandaian Yan-po Tio-so itu tidaklah rendah, cuma tabiatnya aneh luar biasa, maka aku menjadi kuatir kalau mereka akan melakukan sesuatu yang tidak menguntungkan puteri dan menantuku sayang. Diam-diam aku lantas datang kemari, siapa tahu kalau Sin-tiau-hiap ini ternyata adalah kawan cilik Yo Ko, bila sebelumnya sudah tahu, tak perlu lagi aku ikut-ikut capekkan diri.”

Dari lagu perkataan orang, Oey Yong tahu meski sang ayah mengembara ke mana-mana, tetapi dalam hati senantiasa masih merindukannya. maka dengan tertawa ia berkata:

“Tia (ayah), sekali ini janganlah kau pergi lagi, mari kita hidup berkumpul dengan bahagia.”

Namun Oey Yok-su tidak menjawabnya, malah tiba-tiba Kwe Siang dipanggil ke dekatnya.

“Marilah, nak, biar Gwakong melihat kau,” demikian katanya.

Kwe Siang selama ini belum kenal sang Gwakong atau kakek luar (ayah dari ibu), maka lekas-lekas ia mendekatinya dan memberi hormat. Segera Oey Yok-su memegangi tangan anak dara itu sambil meng-amati raut mukanya. Tiba-tiba dengan muram ia berkata:

“Sungguh persis, sungguh persis!”

Oey Yong tahu ayahnya menjadi terkenang kepada mendiang ibunya, maksudnya muka Kwe Siang amat mirip dengan nenek sewaktu mudanya. Karena kuatir membuat ayahnya tambah berduka, maka ia tidak buka suara.

“Sudah tentu persis,” sela Kwe Hu tiba-tiba sambil tertawa. “Engkau berjuIuk ‘Lo-tang-sia’ dan dia dipanggil orang ‘Siau-tang-sia’.”

“Hu-ji!” cepat Kwe Ceng membentak. “Di hadapan Gwakong berani tak beraturan?”

Sebaliknya Oey Yok-su menjadi girang. Dia tanya Kwe Siang: “ Apakah benar kau berjuluk ‘Siau-tang-sia’, Siang-ji?”

Kwe Siang menjadi jengah, jawabnya: ”Mula-mula Cici yang menyebut aku demikian, tapi lama-lama orang menyebut aku begitu.”

Dalam pada itu empat tertua dari Kay-pang sedang merubung Yo Ko sambil tiada hentinya mengaturkan terima kasih, dalam hati mereka berpikir. “Ia telah menemukan kembali Pak-kau-pang dan membongkar kedok muslihat Hotu, kalau ia sudi menjadi pangcu kita, itulah paling baik.”

Sebab ituIah, segera Nio-tianglo berkata: “Yo-toaya, sungguh tidak beruntung Loh-pangcu kami telah wafat…”

Yo Ko tahu akan maksud hati orang. Tanpa menunggu ucapan orang lebih lanjut, segera ia memotong:

“Kepandaian Yalu-toaya serba pintar, bijaksana dan berbudi. Ia juga adalah kawanku sejak duIu, jika dia yang menjadi Pangcu perkumpulan kalian, pasti akan dapat meneruskan usaha Ang, Oey dan Loh bertiga Pangcu dahulu.”

Sesudah Oey Yok-su menanya sekedar ilmu silat Kwe Siang, ia lalu berpaling dan hendak memanggil Yo Ko, tetapi begitu menoleh, Yo Ko sudah berjalan keluar lapangan. Ia tahu sekali Yo Ko pergi susah bertemu pula, maka cepat serunya:

“Kawan cilik Yo Ko, nanti dulu, aku pun hendak pergi!”

Ketika lengan bajunya mengebas, sekejap saja ia sudah menyusul sampai di samping Yo Ko, seorang tua dan yang lain muda bergandengan tangan menghilang di malam gelap. Sesungguhnya ada sesuatu yang hendak dibicarakan Oey Yong kepada ayahnya, cuma di hadapan orang banyak tidak IeIuasa diutarakan. Kini orang tua itu ternyata pergi begitu saja, ia menjadi gelisah dan lekas mengejar. Namun betapa cepat jalannya Oey Yok-su dan Yo Ko, waktu Oey Yong mengejar keluar, jarak mereka sudah beberapa puluh tombak jauhnya.

“Ayah, Ko-ji, mari tinggal dulu dan berkumpul beberapa hari saja!” teriak Oey Yong.

“Ahh, watak kami berdua suka bebas tak mau dikekang, maka biarkan kami pergi dengan merdeka!” demikian Oey Yok-su menyahut sambil tertawa. Nyata suaranya itu sudah jauh sekali.

Oey Yong mengeluh, tapi apa daya, terang tak dapat menyusul. Terpaksa ia kembali pulang, sementara di lapangan itu suasana masih ramai sekali. Se-san It-khut-kui, Su-si-hengte, Jing-ling-cu dan kawannya juga sudah pergi. Sesudah dirundingkan antara tertua Kay-pang, bila tidak dikacau Hotu tentu semenjak tadi Yalu Ce sudah diangkat menjadi Pungcu. Yo Ko ada budi kepada Kay-pang, ia juga mengusulkan Yalu Ce, maka sesuai benar dengan pilihan suara orang banyak. Oleh karena itu keempat tertua Kay-pang melaporkan kepada Oey Yong, lalu naik panggung mengumumkan tentang pengangkatan Yalu Ce sebagai Pangcu baru.

Menurut aturan, para anggota ber-turut harus meludahi tubuh Yalu Ce, sedangkan para pahlawan di luar Kay-pang bergilirian naik ke panggung memberi selamat, maka suasana menjadi tambah riang gembira. Oey Yong menyuruh orang memberi hadiah seperlunya kepada anak wayang dan seniman seniwati. Pementasan itu terus berlangsung hingga terang tanah barulah bubar.

Melihat kedatangan Yo Ko sekali ini hanya bicara sejenak dan tersenyum sebentar lantas berpisah, dalam hati Kwe Siang merasa kesal tak terkatakan, semakin dipikir semakin masgul. Ia lihat enci-nya suka ria berdiri di samping sang suami menerima ucapan selamat dari semua orang, ia sendiri menjadi sunyi rasanya, maka ia putar tubuh hendak meninggalkan lapangan itu. Tapi belum beberapa langkah dia bertindak, Oey Yong menyusulnya, tangan si anak dara dipegangnya dan dengan suara lembut Oey Yong bertanya:

“Siang-ji, ada apakah? Apakah merasa kurang gembira?”

“Ah, tidak, aku justru sangat gembira,” sahut Kwe Siang. Habis berkata, segera ia pun menunduk, air matanya ber-linang hampir menetes.

Oey Yong mengerti perasaan puterinya, maka dia sengaja bicara tentang cerita lucu yang dilihatnya di panggung sandiwara dengan tujuan memancing Kwe Siang agar tertawa. Perlahan-lahan ibu dan anak itu pulang ke rumah. Oey Yong mengantar puteri kecilnya kembali ke kamar.

“Siang-ji, apa kau lelah?” tanyanya penuh rasa kasih sayang.

“Tidak, Ibu. Kau sendiri semalam suntuk tidak tidur, haraplah pergi mengaso,” sahut Kwe Siang.

Namun Oey Yong menarik tangan anak dara itu lantas duduk sejajar di tepi ranjang, rambut puterinya dibelai-belai, katanya dengan suara lembut:

“Siang-ji, urusan Yo-toako selamanya tak pernah kuceritakan padamu, ceritanya memang terlalu panjang, apa bila kau tidak letih, biarlah ku ceritakan padamu sekarang.”

Seketika semangat Kwe Siang bangkit, “Ceritakanlah, Ibu,” pintanya cepat.

“Kisah ini dimulai dari engkong-nya,” tutur Oey Yong.

Laiu dia menceritakan bagaimana dahulu Kwe Siau-thian (ayah Kwe Ceng) dan Yo Tiat-sim (engkong-nya Yo Ko) mengangkat saudara dan saling mengikat janji berbesan selagi isteri kedua orang masih mengandung. Kemudian Yo Khong (ayah Yo Ko) mengaku musuh (Wanyen Lieh) sebagai ayah hingga akhirnya mati secara mengenaskan, Tentang waktu keciInya Yo Ko pernah tinggal di Tho-hoa-to sampai Kwe Hu menebas buntung lengannya, bagaimana berpisah dengan Siao-liong-li di Coat-ceng-kok, semua dituturkannya.

Sungguh sama sekali Kwe Siang tidak menduga bahwa ‘Toakoko’ yang siang dan malam dirindukannya itu ternyata mempunyai hubungan begitu rapat dengan keluarganya sendiri, lebih-lebih tidak menduga bahwa lengannya yang buntung itu justru enci-nya sendiri yang mengutunginya, sedang menghilangnya Siao-liong-li juga disebabkan akibat terkena jarum berbisa yang disambitkan cici-nya. Awalnya dia menyangka bahwa Yo Ko hanya seorang ksatria muda yang dikenalnya secara kebetulan, karena orangnya cakap ganteng hingga hati kecilnya kesemsem, siapa tahu di dalamnya terdapat suka duka yang demikian panjang meliputi tiga turunan. Maka ketika ibunya mengakhiri ceritanya, rasa anak dara ini se-olah mabuk, pikirannya kacau.

“Semula aku telah salah duga,” demikian kata Oey Yong sesudah menghela napas, “kusangka perkenalannya dengan kau mengandung maksud jahat. Aih, tapi melihat ketiga hal yang dilakukan Yo-toakomu semalam, jangankan dia sebenarnya tiada pikiran serong, sekali pun memang tiada maksud baik, sesudah kita terima budi yang tak sedikit, kita pun sesungguhnya harus berterima kasih tak habis-habis padanya.”

“Ibu, kau bilang Yo-toako tidak bermaksud baik apa, mengapa berpikiran serong?” tanya Kwe Siang heran.

“Ya, aku salah duga,” sahut Oey Yong, “Aku kira saking bencinya kepada keluarga Kwe, maka ia hendak membalas dendam melalui dirimu.”

“Mana bisa?” ujar Kwe Siang sambil menggeleng kepala. “Jika dia mau bunuh aku untuk membalas dendam, hal itu mudah sekali seperti membalikkan tangan. Ketika di daerah Soasay, asal sekali jarinya menotok saja aku bisa dibinasakannya.”

“Kau masih kanak-kanak, tidak paham,” kata Oey Yong, “Jika dia sengaja bikin kau menderita dan membuat kita selalu berduka dan masgul, sudah tentu dia mempunyai caranya yang lebih keji dari pada membunuh orang. Aih, biarlah jangan dibicarakan lagi, saat ini aku pun sudah tahu tak akan hal itu diperbuatnya. Cuma dalam hatiku masih tetap menguatirkan sesuatu sehingga merasa tidak enak.”

“Kau kuatirkan apa, Ibu?” tanya si gadis, “Tampaknya kejadian-kejadian dulu yang harus disesalkan itu, Yo-toako sudah tidak mengingatnya lagi dalam hati, tidak lama ia pun akan bersua kembali dengan Toaso (kakak ipar), tatkala itu saking senangnya segala kejadian dahulu pasti akan lenyap dari ingatannya.”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar