Kamis, 21 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 178

Sementara terdengar Yalu Ce menjawab: “Loh-pangcu tewas dibokong musuh, Pak-kau-pang hilang dirampas penjahat itu. Memang ini adalah noda perkumpulan kita yang harus dicuci bersih, siapa saja asal anak murid kita berkewajiban mencari kembali pentung pemukul anjing itu.”

“Dan,” kata Ho Su-ngo lagi, ”soal kedua yang hamba tidak jelas dan ingin tanya ialah sakit hati Loh-pangcu sebenarnya harus dibalas atau tidak?”

“Loh-pangcu dicelakai Hotu, hal ini semua orang tahu, orang-orang gagah pada jaman ini semuanya ikut berduka dan penasaran. Kita sudah mencari dan menyelidiki tetapi jejak si bangsat Hotu ini belum kelihatan,” demikian sahut Yalu Ce. “Tetapi ini adalah tugas penting perkumpulan kita, sekali pun ke ujung langit akan kita bekuk keparat Hotu itu untuk membalaskan sakit hati Loh-pangcu.”

“Hmm,” tiba-tiba Ho Su-ngo tertawa dingin. “Pertama, pentung pemukul anjing belum diketemukan. Dan kedua, pembunuh Loh-pangcu belum didapatkan. Bila urusan ini belum selesai sudah ingin menjadi Pangcu, rasanya agak terlalu terburu-buru.”

Pertanyaan yang tepat dan tegas ini membikin wajah Yalu Ce menjadi merah padam dan tak sanggup menjawab. Maka cepat-cepat Nio-tianglo menyela:

“Apa yang dikatakan Ho-laute ada benarnya juga. Tetapi anak murid perkumpulan kita yang meliputi beratus ribu jumlahnya dan tersebar di seluruh pelosok tidak dapat tanpa pemimpin, sedangkan urusan mencari pentung dan menuntut balas dendam memerlukan pimpinan. Justru inilah alasannya kenapa kita buru-buru ingin mengangkat seorang Pangcu baru.”

“Kata-kata Nio-tianglo ini salah besar, boleh dikatakan memutar-balikkan persoalan,” tiba-tiba Ho Su-ngo menjawab sambil menggeleng-geleng kepala.

Keruan Nio-tianglo menjadi gusar. Ia adalah tertua dalam kalangan Kay-pang, tapi seorang anak murid berkantong lima saja berani mencelanya di depan umum, sungguh besar amat nyalinya.

“Di mana letak kata-kataku yang salah?” segera Nio-tianglo bertanya dengan gusar.

“Kalau menurut pendapat Tecu,” demikian Ho Su-ngo menjawab, “barang siapa yang bisa menemukan Pak-kau-pang dan siapa mampu membunuh Hotu untuk balas sakit hati Loh-pangcu, orang itu lantas kita angkat menjadi Pangcu. Tapi kalau cara seperti sekarang ini, ilmu silat siapa yang paling kuat lantas dia menjadi Pangcu, jika umpama mendadak Hotu datang kemari dan ilmu silatnya sanggup menangkan Yalu-toaya, apakah kita pun lantas mengangkatnya menjadi Pangcu?”

Debatan ini membuat orang saling pandang dan merasa apa yang dikatakan ada benarnya juga. Namun Kwe Hu sudah berkaok-kaok dari bawah panggung, teriaknya:

“Ngaco-belo, ilmu silatnya Hotu mana bisa menangkan dia?”

“Hmm, meski ilmu silat Yalu-toaya sangat tinggi, belum berarti di seluruh jagat tiada tandingan. Memang hamba hanya seorang murid kantong lima, tapi belum pasti kalah darinya,” sahut Ho Su-ngo tertawa dingin.

Kwe Hu amat mendongkol dengan kata-kata orang kurang ajar itu. Kini mendengar orang bersedia saling gebrak, malah kebetulan sekali, maka cepat dia menggembor lagi:

“Ce-koko, hajarlah manusia congkak yang kurang ajar ini!”

“Nio-tianglo,” kata Ho Su-ngo pula, “jika Tecu bisa menangkan Yalu-toaya, maka jabatan Pangcu ini menjadi bagian Tecu, bukan? Atau mesti menunggu ada orang lain yang menemukan pentung dan membalas dendam baru akan diangkat menjadi pemimpin kita?”

Melihat sikap orang makin lama semakin kurang ajar, Nio-tianglo menjadi marah sungguh-sungguh.

“Tidak peduli siapa,” demikian sahutnya, “jika tak mampu menangkan para ksatria, tak mungkin bisa diangkat Pangcu, kelak kalau dia tidak mampu ketemukan pentung dan membalas dendam, pasti dia akan malu menduduki jabatan ini. Kalau Yalu-toaya menjadi pangcu kita, kedua tugas itu mau tidak mau harus dilaksanakan, dan kalau dia tidak mampu menangkan Ho-laute, tak mungkin juga dia bisa menjadi Pangcu!”

“Tepat perkataan Nio-tianglo,” seru Ho Su-ngo, “biarlah hamba segera belajar kenal dulu dengan kepandaian Yalu-toaya, kemudian barulah pergi mencari pentung dan membunuh musuh.” Di balik kata-kata ini nyata benar seolah-olah pertandingan ini 9/10 bagian sudah pasti Yalu Ce akan kalah.

Biasanya Yalu Ce sangat sabar dan berjiwa besar, tapi demi mendengar kata-kata Ho Su-ngo ini, tanpa terasa ia pun mendongkoI, maka jawabnya:

“Siaute berkepandaian rendah, tak berani menjadi Pangcu, tapi jika Ho-heng suka memberi pelunjuk, itu sangat beruntung.”

“Tak perlu merendah,” kata Ho Su-ngo, pentung besi yang dibawanya lantas ditancapkan di atas panggung, lalu sekali pukul, segera dia merangsek maju.

Tenaga pukulan itu tidak terlalu keras, tapi sasarannya meliputi tempat yang sangat luas. Tatkala itu Nio-tianglo belum lagi mundur sehingga angin pukulan Ho Su-ngo yang hebat membikin pipinya terasa pedas. Yalu Ce tidak berani ayal, tangan kiri menangkis, segera tangan kanan memukul dengan tipu ‘jin-cong-yok-bi (tersembunyi seperti kosong), sebuah tipu pukulan hebat dari 72 jurus ‘Khong-bin-kun” ajaran Ciu Pek-thong. Segera pertarungan kedua orang berlangsung dengan seru di atas panggung.



Tatkala itu sudah lewat tengah malam, di sekitar panggung terdapat beberapa puluh obor besar, maka pertarungan kedua orang itu dapat disaksikan semua orang dengan jelas. Setelah bergebrak belasan jurus, Oey Yong melihat anak menantunya sedikit pun belum di atas angin. Dia coba meneliti gerak ilmu silat Ho Su-ngo, tapi tidak bisa mengenali dari aliran manakah, hanya terlihat orang sangat ulet, sedikitnya sudah mempunyai latihan selama 40 tahun, maka diam-diam ia berpikir.

“Belasan tahun terakhir ini hanya secara kebetulan kubaca nama Ho Su-ngo yang karena bekerja giat telah dinaikkan tingkatannya, tetapi selamanya tiada orang menyebut tentang ilmu silatnya. Kini melihat gerak-geriknya terang bukan baru saja mendapat guru pandai atau penemuan aneh sehingga ilmu silatnya maju mendadak, padahal dalam Kay-pang selama ini ia merendah diri dan tidak terkenal. Apakah tujuannya memang untuk hari ini?”

Setelah berlangsung lebih 50 jurus, lambat-laun Yalu Ce terkejut. Tidak peduli bagaimana dia ganti gerak tipu serangan selalu kena dipatahkan lawan secara mudah, sungguh Ho Su-ngo merupakan lawan tangguh yang jarang ditemukannya selama ini. Tapi anehnya justru orang juga tidak ambil kesempatan untuk balas menyerang, seakan-akan sengaja piara tenaga biar lawan roboh sendiri. Yalu Ce sendiri sudah bertempur melawan beberapa orang. Kecuali melawan Nu Thian-ho tadi, selebihnya biasa saja tidak banyak membuang tenaga. Sekarang melihat Ho Su-ngo bergerak secara enteng dan tak menentu se-akan orang tua menggoda anak kecil, Yalu Ce menjadi tak sabar. Mendadak dari kepalan ia ganti menjadi telapak tangan, kemudian menyerang cepat dengan kedua tangan.

Kiranya meski pun Yalu Ce murid Ciu Pek-thong, namun kepandaian khas Ciu Pek-thong, yaitu dua tangan memainkan dua macam ilmu silat berbareng tidaklah mudah dipelajarinya, maka Yalu Ce juga tidak memperoleh ajaran ilmu silat hebat itu. Sebaliknya Yalu Ce cukup matang memahami ajaran ilmu silat Coan-cin kau, maka kini setelah dimainkan, seketika sumbu belasan obor di atas panggung itu terdorong memanjang. Dari ini saja cukup terbukti betapa kuat tenaga pukulannya. Maka tampaklah di atas panggung itu dua bayangan orang berkelebat kian kemari di bawah cahaya obor yang bergoncang.

“Ceng-koko,” tanya Oey Yong kepada suaminya, “Jika menurut pandanganmu, dari aliran manakah kepandaian Ho Su-ngo ini?”

“Sampai saat ini belum sejurus ilmu silat perguruannya diunjukkan, terang dia sengaja menyembunyikan asal usul dirinya,” sahut Kwe Ceng. “Tapi bila 80 jurus lagi lambat laun Ce-ji bakal di atas angin, tatkala mana kalau dia tak mau mengaku kalah maka terpaksa harus membongkar muka aslinya.”

Dalam pada itu pertarungan kedua orang semakin cepat. Tak lama kemudian 70-80 jurus sudah berlangsung. Betul juga seperti apa dikatakan Kwe Ceng, tenaga pukulan Yalu Ce sudah mengurung rapat seluruh tubuh lawannya. Kwe Ceng dan Oey Yong memandangi Ho Su-ngo penuh perhatian. Mereka tahu dalam keadaan kepepet, bila tidak keluarkan kepandaian aslinya dan masih menggunakan ilmu silat dari aliran lain, pasti orang she Ho itu akan celaka. Rupanya Yalu Ce juga sudah tahu akan kelemahan lawannya, maka tenaga pukulannya semakin gencar, tetapi tidak sembarangan maju, melainkan tetap tenang.

Pada suatu saat, tampaknya tidak mungkin bagi Ho Su-ngo tidak mengganti tipu silatnya. Sekonyong-konyong terlihatlah lengan bajunya mengebas, angin menyambar santer mulur dan mengkerut. Karena itu belasan titik obor yang menyala di atas panggung itu juga memanjang, lalu menyurut kembali dan terus sirap. Seketika keadaan menjadi gelap gulita, menyusul terdengarlah Ho Su-ngo dan Yalu Ce menjerit bersama, terdengar pula suara gedebukan. Ternyata Yalu Ce sudah berguling ke bawah panggung, sebaliknya Ho Su-ngo bergelak tertawa di atas panggung. Dalam keadaan terkejut, semua orang tiada yang berani bersuara, dalam keadaan sunyi itu suara tertawa Ho Su-ngo kedengaran sangat gembira sekali.

“Nyalakan obor lagi!” teriak Nio-tianglo segera.

Maka segera beberapa anak murid Kay-pang naik ke panggung dan menyulut obor yang padam. Di bawah sinar obor tampaklah pipi kiri Yalu Ce berlumuran darah terluka sebesar cangkir, sebaliknya Ho Su-ngo sedang mengulurkan telapak tangan kirinya sambil tertawa dingin dan berkata:

“Ha, baju kutang hebat, baju kutang hebat!”

Ternyata telapak tangannya juga penuh darah. Kwe Ceng dan Oey Yong saling pandang sekejap. Mereka tahu Kwe Hu telah pinjamkan ‘kutang lemas berduri landak’ kepada sang suami, sebab itu sewaktu Ho Su-ngo berhasil menghantam Yalu Ce, sebaliknya tangannya terluka oleh duri baju pusaka yang tajam itu. Cuma, sebab apa Yalu Ce terluka hingga terguling ke bawah panggung, karena keadaan mendadak menjadi gelap, maka mereka tidak tahu.

Kiranya tadi waktu pertarungan antara Ho Su-ngo dan Yalu Ce sampai titik menentukan, mendadak Ho Su-ngo mengeluarkan tenaga kebasan lengan bajunya yang hebat hingga obor itu seluruhnya padam. Dalam keadaan terkesiap, cepat Yalu Ce menghantam ke depan untuk membela diri, tetapi mendadak terasa ujung jarinya seperti menyentuh benda keras sebangsa logam. Seketika ia sadar tentu Ho Su-ngo yang telah bertempur lama dan belum bisa unggul itu kini tiba-tiba menggunakan muslihat dan dalam kegelapan telah lolos senjatanya untuk membokong.

Namun Yalu Ce bukan murid Lo-wan-tong Ciu Pek-thong jika begitu gampang kecundang, sekali pun bertangan kosong dia tidak gentar terhadap musuh yang bersenjata. Maka tipu pukulannya tadi segera dirubahnya menjadi gerak ‘Kim-na-jiu-hoat’ untuk merampas senjata lawan. Dengan gerak tangkapan itu, tubuhnya berbareng mendekati lawan, sekali tangannya membalik, gagang senjata musuh kena dipegangnya, bahkan menyusul telapak tangannya yang lain segera memukul muka orang.

Dengan begitu mau tidak mau Ho Su-ngo terpaksa melepaskan senjatanya. Dalam keadaan gelap, benarlah Ho Su-ngo telah miringkan kepalanya mengegos dan kendorkan tangannya, maka berpindah tanganlah senjatanya ke tangan Yalu Ce. Tapi pada saat yang sama itulah Yalu Ce merasa pipinya kesakitan sekali, terang sudah terluka, menyusul dadanya kena dihantam pula sehingga tidak sanggup berdiri tegak dan tergentak jatuh ke bawah panggung.

Sungguh tak terduga bahwa senjata lawan itu ternyata aneh luar biasa, yaitu di dalamnya terdapat alat rahasia dan terbagi dalam dua potong, setengah potong kena direbutnya dan setengah potong lainnya mendadak menyambar lalu kena pipinya. Cuma saja lukanya ini meski berat tetapi bukan di tempat berbahaya. Sebenarnya pukulan mematikan Ho Su-ngo itu terletak pada pukulannya yang mengenai dada Yalu Ce. Syukur sebelum itu Kwe Hu berkeras agar suaminya memakai kaos kutang berduri landak di dalam bajunya, sebab itu pukulan hebat itu tidak melukainya, sebaliknya telapak tangan Ho Su-ngo sendiri yang tertusuk duri kaos kutang itu sehingga berlumuran darah.

Melihat suaminya terjungkal ke bawah panggung, Kwe Hu menjadi kuatir dan marah, maka cepat ia memeriksanya. Sementara Nio-tianglo juga tahu Ho Su-ngo telah menggunakan muslihat licik. Tetapi karena tiada bukti nyata, lagi pula keduanya sama-sama terluka dan berdarah, maka tak mungkin menyalahkan salah satu pihak melanggar peraturan melukai lawan. Meski pun tampaknya luka kedua orang tidak berat tetapi Yalu Ce sudah terpukul jatuh ke bawah panggung, terang dia sudah kalah dalam pertandingan ini. Namun Kwe Hu masih penasaran, katanya:

“Orang ini berlaku licik. Kakak Ce, naiklah ke atas lagi untuk menentukan unggul dan asor denganya.”

“Tidak,” sahut Yalu Ce menggeleng, “biar pun dia menggunakan tipuan, terang sudah menang. Lagi pula aku juga belum pasti menang walau pun benar-benar mengeluarkan kepandaian sejati.”

Karena pada saat menentukan tadi panggung menjadi gelap, maka Oey Yong dan Kwe Ceng tidak mengetahui Ho Su-ngo menang dengan memakai tipu serangan apa. Segera Oey Yong memanggil Yalu Ce ke dekatnya dan memeriksa sepotong senjata musuh yang kena dirampasnya itu. Ternyata benda itu adalah satu lonjor baja yang panjangnya lima-enam dim saja, seperti sebatang ruji kipas. Siapakah gerangan orang Bu-lim yang suka memakai senjata macam ini.

Pada saat itulah Ho Su-ngo berkata sambil menegakkan mukanya yang jelek dan bengkak itu:

“Meski aku telah menangkan Yalu-toaya, tetapi aku belum berani menduduki jabatan Pangcu. Sesudah dapat menemukan Pak-kau-pang dan membunuh Hotu, tatkala itu barulah terserah keputusan musyawarah umum untuk menentukannya.”

Mendengar kata-kata orang yang ternyata sangat adil dan berjiwa besar, walau pun cara menangnya itu masih meragukan tapi ilmu silatnya memanglah amat tinggi, maka segera ada beberapa anggota Kay-pang bersorak memuji ucapannya itu.

“Dan ksatria manakah yang kiranya masih ingin naik panggung buat memberi petunjuk?” kemudian Ho Su-ngo berseru sambil memberi hormat di depan panggung.

Baru selesai dia bicara, mendadak terdengar Su Pek-wi bersuit sekali, lalu beratus ekor binatang buas yang mengelilingi sekitar lapangan itu meraung keras sembari berdiri. Hanya suara raungan seekor dua ekor harimau atau singa saja amat menggetarkan, apa lagi kini beratus ekor meraung berbareng, keruan suaranya seakan-akan gugur gunung dan memecah bumi. Seluruh mangkok piring di atas meja perjamuan para pahlawan ikut bergoncang hingga suaranya gemerincing. Di bawah suara raungan binatang-binatang buas yang keras itu, berbareng Se-san It-khut-kui dan keempat saudara Su meloncat ke samping panggung, mereka meloloskan senjata, dan segera panggung itu terkepung rapat.

Pada saat itulah dari jalan datang yang diterangi sinar obor tampak masuk delapan orang dengan obor terangkat di atas tangan. Terdengar mereka berseru lantang:

“Sin-tiau-hiap menghaturkan selamat ulang tahun kepada nona Kwe Siang dan inilah hadiah ketiga yang beliau bawa!”

Terlihat delapan orang itu dengan cepat sekali telah berada di hadapan Kwe Siang, nyata orang-orang itu sudah mengunjukkan betapa tinggi ilmu enteng tubuh mereka yang cepat dan gesit. Segera delapan orang itu membungkuk memberi hormat pada Kwe Siang dan masing-masing memberi-tahukan namanya sendiri-sendiri. Para pahlawan menjadi terkejut demi mendengar nama-nama mereka. Ternyata seorang Hwesio yang paling depan itu adalah Bu-sik Siansu, pengawas kuil Siau-lim-si. Yang lain-lain di antaranya ialah Tio-lokunsu, Jing-ling-cu dan kawan-kawan, semuanya adalah tokoh-tokoh terkemuka angkatan tua dari dunia persilatan yang sangat disegani.

Tapi Kwe Siang tidak peduIikan betapa tenar nama orang-orang itu, dia hanya bangkit membalas hormat dengan ber-seri, katanya:

“Banyak terima kasih para paman dan bibi telah sudi berkunjung kemari. Barang permainan apakah yang kalian bawa untukku?”

Segera empat orang yang mengangkat empat ujung sebuah kantong besar terus menarik perlahan, maka terdengarlah suara sobeknya kain dan kantong itu pecah menjadi empat potong. Dari dalam menggelinding keluar seorang Hwesio berkepala gundul. Begitu kaki Hwesio itu menyentuh tanah, cepat orangnya melompat bangun, gerak tubuhnya ternyata gesit bukan main. Segera tampak wajah si Hwesio ini merah padam saking marahnya, mulutnya mengomel tiada henti dalam bahasa yang tidak dikenal, entah apa yang dia katakan.

Tapi Kwe Ceng dan Oey Yong segera mengenal Hwesio ini adalah murid Kim-lun Hoat-ong, yaitu Darba. Sungguh aneh, entah cara bagaimana ia telah kena ditawan oleh Bu-sik Siansu dan Tio-lokunsu cs. Mula2 Kwe Siang menyangka dalam kantong itu tentu berisi kado yang menyenangkan, siapa tahu isinya adalah seorang paderi Tibet yang mukanya kasar jelek, maka ia menjadi rada kecewa. Katanya:

“Buat apa Toakoko mengirimkan hadiah seperti ini kepadaku? Aku tidak suka. Di manakah dia sekarang? Kenapa belum datang?”

Kedelapan orang itu tidak menjawab, di antaranya Jing-ling-cu sudah lama tinggal di daerah Tibet dan fasih bicara bahasa Tibet, maka ia mendekati Darba dan bisik-bisik di telinganya. Menyusul itu segera wajah Darba kelihatan terperanjat, matanya tanpa berkedip memandangi Ho Su-ngo yang berada di atas panggung. Kemudian Jing-ling-cu berkata lagi dua patah kata bahasa Tibet dengan lantang sembari mengangsurkan gada emas yang dipegangnya kepada Darba.

Gada emas itu adalah senjata Darba sendiri. Dia sudah dikeroyok oleh kedelapan tokoh terkemuka itu hingga tertawan, senjatanya pun terampas. Kini setelah mendengar kisikan Jing-ling-cu, mendadak ia melompat ke atas panggung.

“Nona Kwe,” kata Jing-ling-cu kemudian pada Kwe Siang, “Hwesio ini bisa bermain sulap, maka Sin-tiau-hiap menyuruh dia naik panggung memberi pertunjukan sulap, cobalah kau melihatnya.”

“Oh, kiranya begitu,” sahut Kwe Siang. “Memang aku heran, untuk apa Toakoko membuang tenaga begitu banyak hanya membawakan seorang Hwesio kepadaku?”

Sementara itu Darba sedang bicara keras-keras kepada Ho Su-ngo, tapi bahasanya ‘kili-kuIuk’ sehingga sukar dimengerti apa yang dia katakan.

“Hai, Hwesio, kau sedang berkata apa? Sedikit pun aku tak paham,” demikian Ho Su-ngo membentak.

Mendadak Darba menjinjing gada emasnya melangkah maju terus mengemplang kepala Ho Su-ngo. Ho Su-ngo berkelit, namun Darba mengayun gada emas yang gede itu terus merangsek. Dengan bertangan kosong harus melawan senjata yang begitu berat, terpaksa Ho Su-ngo main mundur. Melihat Hwesio Tibet ini demikian garang, seketika anggota Kay-pang yang lain menjadi ‘solider’ pada Ho Su-ngo. Beramai-ramai mereka berteriak, begitu pula Nio-tianglo segera membentak:

“Hai, Hwesio, jangan serampangan, kau harus tahu dia adalah bakal Pangcu perkumpulan kami!”

Akan tetapi Darba sama sekali tidak menggubris, gadanya berputar begitu cepat hingga berwujud lingkaran emas dengan sambaran angin yang semakin dahsyat. Sebab itu ada 6-7 anak murid Kay-pang yang tak tahan lagi, mereka melompat ke pinggir panggung hendak membantu sang kawan. Tapi Jing-ling-cu dan rombongannya, Se-san It-khut-kui dan lima saudara she Su yang seluruhnya berjumlah 23 orang telah mengepung rapat panggung dan menghalang-alangi orang lain naik ke atas panggung, maka biar pun anggota Kay-pang berjumlah banyak, tapi sesaat tidak bisa menerobos lewat.

Sedang keadaan agak kacau, tiba-tiba saja Jing-ling-cu melompat ke atas panggung lalu mencabut pentung besi Ho Su-ngo yang tadi ditancapkannya di pinggir panggung. Ho Su-ngo terkejut sekali, cepat dia hendak merebut kembali senjatanya, tetapi kena didesak oleh gada emas Darba sehingga dia tidak bisa bergeser selangkah pun.

Betapa pun Oey Yong yang biasanya sangat cerdik, dalam keadaan demikian ia menjadi bingung juga dan tidak tahu sebab apa Yo Ko mengirim tokoh-tokoh silat ini datang mengacau. Apakah maksud tujuan yang sebenarnya? Kalau mengingat hadiah ulang tahun yang diberikannya kepada Kwe Siang, yang pertama dan kedua semuanya sangat berfaedah bagi Siang-yang, rasanya hadiah ketiga ini tidak mungkin bersifat permusuhan. Karena itulah Kwe Ceng dan Oey Yong suami-isteri hanya berpeluk tangan saja menyaksikan perkembangan selanjutnya.

Yalu Ce sendiri meski sudah digulingkan Ho Su-ngo ke bawah panggung, tapi ia ber-cita-cita meneruskan usaha ibu mertua dan berniat mati-matian membela Kay-pang. Kini melihat Ho Su-ngo keripuhan didesak Darba, tanpa pikir lagi dia membentak:

“Jangan kuatir, Ho-heng, biar aku membantu kau!”

Tapi ketika dia melompat ke pinggir panggung itu, seseorang berseru padanya: “Siapa pun dilarang naik panggung!” Berbareng tangan orang itu pun segera dipalangkan buat merintangi.

Segera Yalu Ce menyampuk tangan orang. Tapi sekali membalik, orang itu malah hendak menangkap pergelangan tangan Yalu Ce, gerakannya ternyata bagus sekali, betapa besar tenaga dalamnya juga lain dari pada yang lain. Keruan Yalu Ce terkejut. Waktu dia pandang orangnya, kiranya dia adalah Su Siok-kang, tokoh ketiga dari kelima saudara Su. Beberapa kali Yalu Ce merubah gerak tipu lain, tetapi tidak mampu mendesak mundur Su Siok-kang, diam-diam ia terkejut dan heran: “Orang ini hanya anak buah Sin-tiau-hiap saja tapi sudah demikian lihay, lalu Sin-tiau-hiap yang memerintah dan menyuruh tokoh-tokoh silat yang begini banyaknya, dia sendiri entah tokoh macam apa?”

Sementara itu Jing-ling-cu sudah mengangkat tinggi pentung besi milik Ho Su-ngo yang dirampasnya tadi dan menggembor:

“Wahai para ksatria sekalian, lihatlah, barang apakah ini?”

Sesudah itu mendadak dia ayunkan sebelah tangannya dan membelah ke tengah-tengah pentung besi itu.

“Krakk!” pentung besi itu pecah oleh belahan telapak tangannya.

Ternyata pentung itu tengahnya bolong. Ketika Jing-ling-cu menarik pentung yang pecah itu, di dalamnya tampak sebatang pentung bambu yang hijau mengkilat. Melihat pentung bambu ini, sesaat anggota Kay-pang terdiam, tetapi menyusul beramai-ramai mereka lantas berteriak:

“He, itulah Pak-kau-pang milik Pangcu!”

Beberapa anak murid Kay-pang yang sedang bergebrak dengan Su-si-hengte dan Se-san It-khut-kui segera melompat mundur, mereka menjadi heran. Pak-kau-pang atau pentung pemukul anjing, pentung simbolis dari Pangcu mereka kenapa bisa tersembunyi di dalam pentung besinya Ho Su-ngo dan kenapa ia merahasiakannya? Sungguh mereka tak habis mengerti! Dalam hening itu semua orang menantikan penjelasan Jing-ling-cu. Siapa tahu Jing-ling-cu tidak lagi bicara, dia melompat ke bawah panggung dan menyerahkan pentung bambu itu kepada Kwe Siang.

Melihat barang itu, Kwe Siang teringat kepada orangnya, terkenang olehnya suara dan wajah tertawa Loh Yu-ka. Ia menjadi berduka, dengan khidmat ia angsurkan pentung bambu itu kepada ibunya. Tatkala itu tipu serangan gada emas Darba semakin gencar, Ho Su-ngo hanya sanggup berkelit dan mengegos kian kemari, berulang ia menghadapi berbagai bahaya. Tapi kini Ho Su-ngo tidak mendapat simpatik siapa pun lagi, sesudah orang-orang Kay-pang melihat ‘pentung pemukul anjing’ tadi, mereka menduga sebabnya Jing-ling-cu menawan Darba kemari untuk menempur Ho Su-ngo tentu ada maksud tujuannya.

Dalam pada itu belasan jurus sudah berlalu lagi, tampaknya Ho Su-ngo pasti akan binasa di bawah gada emas. Saat itulah mendadak Oey Yong ingat sesuatu.

“Ho Su-ngo telah melukai Ce-ji, sudah terang dalam lengan bajunya tersembunyi senjata, kenapa detik berbahaya ini masih belum dikeluarkannya buat melawan musuh?”

Dia lihat waktu itu gada emas Darba telah menyerang dan Ho Su-ngo terpaksa melompat berkelit. Tapi tiba-tiba Darba tegakkan gadanya terus menyodok ke atas. Saat itu Ho Su-ngo terapung diudara, sodokan ini betapa pun tiada jalan buat menghindar.

“Crengg...!” terdengarlah suara nyaring beradunya senjata, berbareng itu Ho Su-ngo telah melompat ke samping, di tangannya tahu-tahu sudah bertambah semacam senjata yang berbentuk pendek.

Tampak Darba semakin murka, ia mencaci-maki kalang-kabut dan gada emasnya diputar semakin cepat. Namun sesudah pegang senjata, keadaan terdesak Ho Su-ngo tadi lantas berubah, segera dia pun ‘unjuk gigi’. Dia menotok, menjojoh, menusuk dan menghantam, sungguh pun senjatanya pendek, tapi gerak serangannya ternyata sangat hebat. Sekarang keadaan menjadi sama kuat.

Setelah menyaksikan sebentar lagi, mendadak Cu Cu-liu menjadi paham, serunya: “Aha! Kwe-hujin, sekarang tahulah aku siapa dia. Cuma masih ada sesuatu yang aku belum mengerti.”

Oey Yong tersenyum. Rupanya ia pun sudah tahu lebih dulu, maka jawabnya: “ltu karena mukanya dipoles dengan campuran tepung, madu, hm dan lain-lain bahan pelekat.”

Waktu itu Yalu Ce, Kwe Hu dan Kwe Siang berdiri di samping sang ibu, namun mereka menjadi bingung mendengar percakapan itu.

“Cu-lopek, kau maksudkan siapakah?” tanya Kwe Hu.

“Aku maksudkan Ho Su-ngo yang melukai suamimu itu,” sahut Cu-liu.

“Kenapa? Apakah dia bukan Ho Su-ngo? Lalu siapa?” tanya Kwe Hu lagi.

“Coba kau perhatikan senjata apa yang dia pakai,” ujar Cu-liu.

Kwe Hu mencoba mengamat-amati, sejenak kemudian dia berkata: “Panjang senjatanya tidak ada satu kaki, memang bentuknya aneh, bukan Boan-koan-pit, bukan Oh-hut-ji, juga bukan Tiam-biat-kut.”

“Kau harus peras otak berpikir dulu,” sela Oey Yong. “Sebab apakah dia tidak mau pakai senjatanya sejak tadi tapi lebih suka menerima resiko dengan selalu berkelit saja, sampai akhirnya sesudah terdesak benar-benar oleh Hwesio itu barulah dia loloskan senjatanya? Dia melukai Ce-ji dengan senjata, sebab apa pula harus menyirapkan obor lebih dulu?”

“Ya, tahulah aku sekarang. Tentu dia kuatir di antara orang-orang yang hadir ini ada yang mengenal senjata dan gerak tipunya, maka tidak berani unjukkan corak aslinya,” kata Kwe Siang.

“Bagus, memang Kwe-jisiocia sangat pintar,” puji Cu-liu.

Mendengar adik perempuannya dipuji, dalam hati Kwe Hu menjadi iri, katanya: “Tak mau unjukkan corak asli apa katamu? Bukankah terang-terangan dia berdiri di atas panggung? Siapa pun dapat melihatnya?”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar