Kamis, 21 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 177

“Dan bagaimana pasukan pertahanan kita di kota Sin-ya dan Tengciu?” tanya Kwe Ceng.

“Kedua kota itu tertutup rapat, mungkin hingga kini kematian pasukan Mongol di luar kota itu belum diketahui panglima penjaga kota-kota tersebut,” sahut kedua pengintai itu.

“Lekas kalian laporkan hal ini kepada Lu-tayswe, tentu kalian akan diberi hadiah,” ujar Oey Yong.

Maka pergilah kedua pengintai itu dengan cepat. Pada saat berita itu diumumkan di atas panggung, seketika bersorak sorailah seluruh hadirin.

“Kay-pang memilih pangcu adalah urusan besar, tapi lebih besar lagi adalah berita tentang hancurnya pasukan musuh ini!” kata Oey Yong pula. “Maka Nio-tianglo, lekas suruh orang menyiapkan perjamuan, kita harus merayakan kemenangan besar-besaran ini.”

Memang daharan sudah disiapkan, yakni untuk merayakan Pangcu pilihan baru. Kini berita kemenangan itu membuat semua orang tambah gembira. Hanya Bu Siu-bun dan Bu Tun-si yang kalah bertanding tampak kesal. Tapi yang gembira banyak dan yang kesal hanya satu-dua orang, tentu saja tidak mempengaruhi suasana gembira ria itu. Sebentar saja suara saling memberi selamat terdengar gemuruh diselingi suara beradunya cawan arak. Kemenangan mendadak itu disangka para pahlawan tentu perangkap yang sudah diatur Kwe Ceng dan Oey Yong, maka berbondong-bondong mereka datang memberi selamat, tetapi dengan tegas Kwe Ceng menyatakan bukanlah jasanya. Sudah tentu semua orang tak mau percaya, sebab memang sudah menjadi watak Kwe Ceng yang suka rendah hati.

“Memang kejadian ini rada aneh, Ceng-koko, biarlah kita tunggu kabar lebih lanjut hingga bisa mengetahui duduknya perkara,” ujar Oey Yong.

Pada waktu mendapat laporan itu, kiranya Oey Yong tahu di dalamnya tentu ada sesuatu yang mencurigakan. Maka cepat dia mengirim delapan anak murid Kay-pang yang pandai dan cerdik untuk menyelidik ke Sin-ya dan Tengciu. Dalam pada itu Kwe Siang, Toa-thau-kui beserta Sin-tiau sedang duduk bersama di suatu tempat. Melihat rupa Sin-tiau yang aneh dan hebat maka tiada seorang pun yang berani mendekatinya.

“Kenapa Toakoko masih belum datang?” demikian Kwe Siang terus menanyakan Yo Ko.

“Dia sudah bilang akan datang, pasti datang,” sahut Toa-thau-kui. Dan belum lenyap suaranya, mendadak ia sambung: “Tuh, dengarlah. Suara apakah itu?”

Ketika Kwe Siang mendengarkan dengan cermat, maka dari jauh terdengarlah kumandang suara meraungnya binatang-binatang buas. Ia girang.

“Ah, Su-si-hengte telah datang!” demikian katanya.

Tidak lama kemudian suara raungan binatang itu semakin mendekat. Para pahlawan menjadi terkejut, beramai-ramai mereka melolos senjata sambil berdiri, seketika suasana lapangan itu menjadi kacau dan ramai dengan suara orang.

“Dari manakah datangnya binatang buas begini banyak?”

“He, singa! Ahh, juga harimau!”

“Awas! Berjagalah diserang serigala, begitu juga awas terhadap macan tutul!”

Hanya sikap Kwe Ceng saja yang sangat tenang, ia pesan Bu Siu-bun: “Kau kembali ke kota dan sampaikan perintahku agar dikirim 2000 pemanah kemari.”

Bu Siu-bun mengiyakan. Selagi hendak pergi, mendadak dari jauh terdengar suara seruan orang yang panjang:

“Ban-siu-san-ceng Su-si-hengte diperintahkan oleh Sin-tiau-hiap datang memberi selamat Shejit kepada nona Kwe Siang serta menghantarkan hadiah ulang tahun.”

Suara itu bukan teriakan satu orang, tapi keluar dari mulut Su-si-hengte berlima. Iwekang mereka beraliran tersendiri, sungguh pun bukan jagoan kelas wahid namun suara teriakan mereka berbareng seakan paduan suara yang memekakkan telinga.

Oey Yong memberi tanda agar Bu Siu-bun tetap pergi melaksanakan perintah sang suami tadi, sebab biar pun Su-si-hengte berkata begitu, namun tiada jeleknya kalau bersiap-siap untuk segala kemungkinan. Maka pergilah Siu-bun dengan cepat mencemplak kudanya. Selang tak lama, pasukan pemanah pertama telah datang dan tersebar di samping alun-alun. Dan baru saja pasukan pemanah itu mengambil kedudukan ber-siap, terlihatlah seorang laki-laki berbaju kulit macan sudah sampai di luar lapangan itu dengan membawa seratus ekor harimau, siapa lagi dia jika bukan Pek-hia-san-kun Su Pek-wi. Seratus ekor harimau itu dengan rapih berbaris mendekam di atas tanah.

Menyusul Koan-kian-cu Su Tiong-beng membawa seratus ekor macan tutul, Kim-kah-say-ong menggiring seratus ekor singa, Tay-lik-sin Su Ki-kiang memimpin seratus ekor gajah, Pat-jiu-sian-kau Su Beng-ciat dengan seratus ekor monyet besar, semua berbaris dengan rapih di luar lapangan. Meski binatang-binatang itu buas dan tiada henti-hentinya mengeluarkan suara raungan, tapi barisannya rapih tanpa kacau sedikit pun.

Para pahlawan yang hadir itu semuanya sudah banyak berpengalaman, tetapi mendadak melihat datangnya binatang-binatang buas begini banyak, mau tidak mau berkuatir juga. Kemudian Su-si-hengte masing-masing membawa sebuah kantong kulit terus berjalan ke hadapan Kwe Siang, dengan membungkuk badan mereka berkata:

“Selamat hari ulang tahun, nona, semoga panjang umur dan tetap awet muda.”

“Banyak terima kasih atas doa restu kelima paman Su,” sahut Kwe Siang.

“Dan inilah hadiah ulang tahun pertama yang Sin-tiau-hiap kirim untuk nona,” kata Su Pek-wi sambil menunjuk kelima kantong kulit yang mereka bawa.

“Ahh, benar-benar aku tidak berani menerimanya. Barang apa?”, demikian sambut Kwe Siang, “Ehm, aku terka di dalam kantong kulitmu itu tentu berisi seekor anak harimau kecil, ya bukan?”

“Bukan,” sahut Pek-wi menggoyang kepala, “Tapi hadiah ini adalah berkat usaha Sin-tiau-hiap bersama beratus tokoh Kangouw, tenaga yang mereka keluarkan sungguh tidaklah sedikit.” Habis berkata dia lantas buka kantong kulit yang dipeganginya.

Ketika Kwe Siang memeriksa isinya, mendadak dia berteriak dan terkejut: “He, kuping!”

“Betul,” sahut Su Pek-wi. “Kedua kantong kulit ini isinya adalah 2000 pasang daun kuping prajurit Mongol.”

Kwe Siang belum paham akan maksud Su Pek-wi itu, maka dengan terkejut dia bertanya:



“Daun kuping prajurit Mongol sebanyak ini, untuk apa diberikan padaku?”

Kwe Ceng dan Oey Yong mendengar jelas percakapan itu, maka mereka pun bangkit dan mendekati Su Pek-wi serta melongok isi kantong kulit itu. Segera teringatlah apa yang dilaporkan kedua pengintai tadi, tak tertahan lagi mereka terkejut dan ter-heran.

“Su-toako, kiranya yang membunuh serdadu Mongol di kota Sin-ya dan Tengciu itu adalah Sin-tiau-hiap beserta kawannya?” tanya Oey Yong.

Kelima saudara Su memberi hormat pada Kwe Ceng dan Oey Yong yang segera pula membalas hormat itu. Kemudian barulah Su Pek-wi menjawab:

“Kata Sin-tiau-hiap, nona Kwe berada di Siang-yang, tapi pasukan Mongol berani datang dan harus dibunuh, cuma kekuatan musuh terlalu besar dan tidak dapat sekaligus dibunuh semua, maka bersama beberapa pahlawan hanya membunuh dulu dua ribu pasukan perintis musuh.”

“Di manakah Sin-tiau-tayhiap kini berada? Bisakah aku menemuinya untuk menghaturkan terima kasih atas nama segenap penduduk kota?” kata Kwe Ceng.

Hendaklah diketahui bahwa selama belasan tahun ini Kwe Ceng senantiasa mencurahkan tenaga dan pikirannya untuk pertahanan kota Siang-yang, maka terhadap urusan-urusan Kangouw sudah lama tak ikut campur, sedangkan Yo Ko mengasingkan diri dan berganti nama, pergaulannya juga dengan orang yang aneh-aneh sehingga Kwe Ceng tidak tahu bahwa ‘Sin-tiau-hiap’ itu adalah Yo Ko. Maka menjawablah Su Pek-wi:

“Beberapa hari ini Sin-tiau-hiap sibuk menyiapkan hadiah ulang tahun untuk nona Kwe, maka belum sempat datang menjumpai Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin, haraplah dimaafkan.”

Pada saat itulah tiba-tiba suara suitan bangkit pula dari kejauhan, suara seseorang telah berteriak:

“Se-san It-khut-kui mendapat perintah dari Sin-tiau-hiap untuk datang memberi selamat ulang tahun kepada nona Kwe dan membawakan hadiah Shejit.”

Suara ini lembut tajam, seperti terputus, tapi terdengar jelas oleh setiap orang. Melihat hadiah yang pertama tadi sebenarnya hebat sekali, maka lekas-lekas Kwe Ceng berseru menyahut:

“Kwe Ceng menantikan kedatangan kalian dengan hormat!” Lalu ia pun menuju ke pintu masuk alun-alun buat menyambut.

“Kau kira Sin-tiau-hiap ini siapa?“ tanya Oey Yong berbisik ketika berdiri menyanding ang suami.

“Entahlah, aku tak tahu,” sahut Kwe Ceng.

“Dialah Yo Ko!” kata Oey Yong.

“Apa?! Yo Ko?” Kwe Ceng menegas sambil tercengang, namun segera ia pun girang. “Aha, hebat, sungguh hebat! Dia berjasa begini besarnya, sungguh ditakdirkan membantu Song kita.”

“Kau terka hadiah Shejit-nya yang kedua itu apa?” tanya Oey Yong.

“Kepintaran Ko-ji luar biasa, hanya kau yang bisa melebihi dia dan hanya kau yang bisa menerka pikirannya,” sahut Kwe Ceng tertawa.

“Tapi sekali ini aku tak bisa menerkanya,” ujar Oey Yong menggeleng.

Tak lama kemudian, Tiang-si-kui Hoan It-ong beserta delapan setan lainnya telah sampai di lapangan lantas memberi hormat pada Kwe Ceng suami isteri, lalu mereka mendekati Kwe Siang dan berkata:

“Selamat hari ulang tahun, nona, semoga hidup tenang bahagia. Sin-tiau-hiap menyuruh kami mengantarkan hadiahnya yang kedua ini.”

“Terima kasih, banyak terima kasih,” segera Kwe Siang berseru.

Maka nampaklah setiap orang Se-san It-khut-kui membawa sebuah kotak. Karena kuatir mereka kembali memberi hadiah sebangsa daun kuping atau pun batang hidung manusia, cepat Kwe Siang berkata lagi:

“Jika barang yang tak baik dilihat, janganlah dibuka.”

“Ha, sekali ini justru sangat indah untuk dilihat,” sahut Toa-thau-kui tertawa.

Ketika Hoan It-ong membuka kotaknya, dikeluarkannya sebuah mercon roket yang sangat besar. Ketika sumbunya disulut, secepat kilat mercon roket itu meluncur tinggi ke langit. Kemudian waktu mercon itu meletus di tengah udara, maka terlihatlah gemerlapan bintik-bintik sinar di udara tiba-tiba terbentuk menjadi suatu tulisan, menyusul itu Tiau-si-kui juga melepaskan sebuah bunga api yang iain dan merupakan suatu huruf lagi. Setelah bergiliran Se-san It-khut-kui melepaskan bunga api masing-masing, huruf bunga api yang gemerlapan itu kalau diurut menjadi berbunyi:

‘Dengan hormat mendoakan semoga nona Kwe panjang umur dan banyak rejeki’.
Sepuluh huruf dalam sepuluh warna tergantung tinggi di angkasa, hingga lama barulah buyar. Bunga api ini adalah ciptaan ahli terkenal yang bernama Wi It-bau, betapa indah bunga api buatannya pada jaman itu dianggap sebagai semacam kepandaian khas yang tiada bandingannya.

Kwe Ceng tersenyum senang melihat suasana itu, pikirnya di dalam hati: “Memang anak perempuan paling suka dengan permainan yang aneh-aneh ini, sungguh pintar Ko-ji bisa mencari ahli pembuat bunga api terkenal ini.”

Tetapi baru saja sepuluh huruf bunga api ini buyar, tiba-tiba di udara sebelah utara meluncur sebuah mercon yang jaraknya beberapa li dari lapangan ini, menyusul mana di bagian utara lebih jauh lagi menjulang tinggi pula sebuah meteorit yang lain.

“Cara memberi tanda pakai meteor seperti ini dalam sekejap saja bisa tersambung hingga beratus li jauhnya. Entah apa yang telah diatur Yo Ko, tapi rasanya hadiahnya yang kedua ini sekali-sekali bukan hanya membakar bunga api untuk membikin senang Siang-ji saja,” demikian Oey Yong berpikir.

Lalu ia pun perintahkan menyediakan meja dan daharan untuk Su-si-hengte serta Se-san It-khut-kui. Tapi belum selesai perjamuan itu disiapkan, dari jauh di utara sana terdengar berkumandang suara gemuruh bagai guntur melempem, namun suara itu susul menyusul mengguruh terus tiada berhenti, cuma karena jaraknya terlalu jauh maka suara gemuruh itu kedengaran enteng saja. Sebaliknya demi mendengar suara gemuruh itu, tiba-tiba Su-si-hengte dan Se-san It-khut-kui berjingkrak girang sambil berteriak-teriak:

“Berhasil, berhasil sudah!”

Para pahlawan menjadi bingung, entah berhasil apa yang dimaksud itu. Toa-thau-kui menuding ke utara dan berteriak:

“Bagus, bagus!”

Tatkala itu udara gelap gulita, namun di ujung langit sebelah utara itu ternyata bercahaya merah. Terkejut Oey Yong, tapi segera ia pun girang,

“Ah, Lam-yang telah terbakar!” serunya kemudian.

“Ya, benar, itulah Lam-yang!” Kwe Ceng ikut berteriak sambil menepuk paha.

“Dapatkah kami mendapat sedikit keterangan?” tanya Oey Yong kepada Hoan It-ong.

“ltulah hadiah ulang tahun kedua yang Sin-tiau-hiap berikan bagi nona Kwe, yaitu rangsum pasukan Mongol yang berjumlah dua ratus ribu jiwa itu sudah dibakarnya,” kata Hoan It-ong.

Memang Oey Yong sudah menduga akan itu. Kini mendengar dugaannya ternyata tepat, ia saling pandang dengan sang suami dengan girang. Kiranya pasukan Mongol yang menggempur kota Siang-yang itu menggunakan Lam-yang sebagai kota perbekalan. Beberapa tahun yang lalu mereka sudah mendirikan gudang di kota itu secara besar-besaran, lalu dari mana-mana didatangkan rangsum dan disimpan di situ. Sudah beberapa kali Kwe Ceng mengirim pasukan menggempur kota rangsum musuh, tapi pertahanan pihak Mongol terlalu kuat sehingga tidak pernah berhasil. Siapa nyana kini Yo Ko hanya menggunakan waktu semalam saja dapat membakar ludes perbekalan musuh itu.

Menyaksikan sinar api yang ber-kobar di arah itu semakin lama semakin besar, akhirnya Kwe Ceng malah menjadi kuatir. Tanyanya kepada Hoan It-ong:

“Apakah para pahlawan yang berjuang di sana itu dapat kembali dengan selamat semua?”

Hoan It-ong harus mengakui bahwa memang benarlah Kwe Ceng seorang berbudi luhur. Dia tidak bertanya hasil pembakaran itu, tetapi lebih dulu menanyakan keselamatan orangnya. Maka jawabnya:

“Terima kasih atas perhatian Kwe-tayhiap, hal itu Sin-tiau-hiap sudah mengaturnya dengan baik. Yang ikut membakar kota Lam-yang adalah Seng-in Suthay, Liong-ah Thauto, Thio It-bin dan Pek-cau-sian cs. yang semuanya tergolong jago kelas wahid dan seluruhnya ada 81 orang. Rasanya prajurit mau pun perwira Mongol yang biasa saja tak akan bisa mencelakai mereka.”

Sekarang Kwe Ceng pun menjadi paham, katanya kepada Oey Yong: “Lihatlah, Ko-ji telah mengundang pahlawan-pahlawan begitu banyak, kiranya bertujuan mendirikan pahala luar biasa ini, kalau bukan jago-jago terkemuka ini sekaligus turun tangan berbareng, memang tidaklah mudah menghancurkan 2000 prajurit musuh.”

“Kami telah mendapat berita bahwa pasukan Mongol akan menggempur kota Siang-yang dengan meriam dan obat peledak lain, maka di gudang bawah tanah Lam-yang penuh tersimpan beratus-ribu kati obat pasang,” demikian tutur Hoan It-ong pula. “Sebab itulah ketika melihat bunga api selamat ulang tahun yang kami bakar tadi, segera 81 jago angkatan tua yang sudah siap di kota Lam-yang turun tangan berbareng, membakar obat peledak dan menghancurkan rangsum musuh, sekali ini pasukan musuh pasti akan kelaparan.”

Mendengar keterangan itu, Kwe Ceng saling pandang dengan Oey Yong dan diam-diam mereka terkesiap. Dahulu mereka pernah mengikuti Jengis Khan menjelajah ke barat dan menyaksikan sendiri tentara Mongol menggunakan meriam menggempur benteng musuh, betapa dahsyatnya meriam itu benar-benar seperti gugur gunung, cuma saja obat pasang dan peluru meriamnya sukar diperoleh, maka beberapa kali pasukan Mongol menyerang Siang-yang tetapi belum pernah menggunakan meriam.

Tetapi sekali ini rajanya sendiri, Mooko, yang memimpin pasukan, sudah tentu membawa alat penggempur benteng yang paling lihay pada jaman itu. Kalau Yo Ko tidak melakukan semua itu, dapat dipastikan penduduk Siang-yang bakal tertimpa mala petaka besar. Apa lagi bisa menghancurkan 2000 prajurit musuh dan membakar rangsum musuh yang sudah terhimpun selama beberapa tahun di Lam-yang, dalam keadaan serba kurang lengkap, pasti pasukan musuh terpaksa mundur. Dan jasa itu sungguh besar luar biasa, maka suami isteri itu lantas menghaturkan terima kasih kepada Su-si-hengte dan Se-san It-khut-kui.

Dalam pada itu suara ledakan obat pasang masih terus terdengar, cuma terlalu jauh maka kedengarannya seakan-akan kabur. Mendadak terdengar letusan beberapa kali yang lebih keras, menyusul tanah sedikit tergoncang. Maka berteriaklah Hoan It-ong:

“Aihh, gudang obat pasang yang terbesar itu pun sudah meledak.”

Segera juga Kwe Ceng memanggil Bu-si Hengte menghadap dan berkata pada mereka:

“Kalian lekas memimpin 2000 pemanah dan merunduk ke Lam-yang. Jika pasukan musuh dalam formasi yang teratur, maka tak usah turun tangan, tapi kalau musuh kacau gugup, segera hujani anak panah dan basmi mereka.”

Maka pergilah dua saudara Bu itu dengan cepat. Karena kejadian hebat yang datangnya susul-menyusul itu seketika ramailah orang membicarakan kegagahan dan memuji akan budi luhur Sin-tiau-hiap. Sebaliknya Kwe Hu melihat suaminya sudah menjagoi di atas panggung dan kedudukan Pangcu sudah terang tergenggam di tangan. Tetapi siapa tahu mendadak terjadi hal-hal yang menyimpang, dan belum lagi Yo Ko muncul orangnya atau suaranya, namun sudah merobohkan nama sang suami.

Meski pun kejadian-kejadian membakar rangsum musuh dan membasmi pasukan perintis Mongol adalah berita kemenangan yang menggirangkan, tetapi dasar Kwe Hu berjiwa sempit maka dia menjadi kurang senang. Apa lagi didengarnya bahwa apa yang terjadi itu menurut Su-si-hengte dan Se-san It-khut-kui adalah hadiah ulang tahun Yo Ko untuk adik perempuannya, kalau dibandingkan terang pamor dia sendiri semakin merosot. Berpikir sampai di sini, ia pun menjadi gusar, pikirnya. “Bagus, keparat Yo Ko ini dendam padaku karena kutebas buntung lengannya dan sekarang sengaja datang menghilangkan mukaku!”

Nio-tianglo dan Yalu Ce serta Kwe Hu bersama satu meja. Orang tua ini melihat semua orang sama riang gembira, hanya Kwe Hu saja tampak bersungut. Setelah ia pikir, segera ia tahu sebab-sebabnya, maka katanya tertawa:

“Ahh, aku benar-benar telah pikun, karena kegirangan oleh datangnya berita kemenangan ternyata urusan di depan mata menjadi terlupa.” Habis ini segera dia melompat ke atas panggung lagi dan serunya lantang: “Para hadirin, pasukan musuh berulang kali mengalami kehancuran tentu saja kita merasa girang sekali. Tapi masih ada pula sesuatu yang menambah kegirangan kita, yaitu tadi Yalu-toaya telah menunjukkan ilmu silatnya yang tinggi dan semua orang amat mengaguminya. Sekarang juga kita akan mengangkat Yalu-toaya sebagai Pangcu kami, apakah di antara pahlawan yang hadir ini ada yang menyanggah? Dan anak murid perkumpulan kita sendiri, apakah ada yang tidak setuju?”

Sesudah ditanya tiga kali dan di bawah panggung tetap tiada sahutan, maka Nio-tianglo melanjutkan:

”Jika begitu, silakan Yalu Ce naiklah kemari!”

Segera Yalu Ce melompat ke atas panggung. Dia merangkap kepalan memberi hormat ke sekeliling panggung, dan selagi dia hendak buka suara dengan kata-kata yang merendah diri, tiba-tiba di bawah panggung ada seseorang berteriak:

“Nanti dulu, hamba ada sesuatu pertanyaan perlu minta penjelasan Yalu-toaya!”

Yalu Ce tercengang. Didengarnya suara itu keluar dari gerombolan anak murid Kay-pang sendiri, maka cepat dia pun menjawab:

“Katakanlah, silakan!”

Lantas terlihat di antara anak murid Kay-pang sana telah berdiri satu orang dan berseru:

“Ayah YaIu-toaya amat agung menjabat perdana menteri di negeri Mongol, kakaknya juga pernah menjadi pembesar tinggi, walau pun sudah meninggal semua, tetapi Kay-pang kita adalah musuh Mongol. Dengan riwayat Yalu-toaya yang menimbulkan curiga itu, apakah dapat menjadi Pangcu perkumpulan kita?”

“Mendiang ayahku, Yalu Cucay meninggal akibat diracun ibu suri raja Mongol, sedangkan mendiang kakakku, Yalu Cin, dibunuh raja Mongol yang sekarang. Hamba sendiri dengan raja Mongol yang kejam itu mempunyai dendam yang tiada taranya,” demikian sahut Yalu Ce dengan sengit.

“Meski begitu, tapi kematian ayahmu sebenarnya kurang jelas, tentang diracun hanya berita angin belaka dan belum ada sesuatu bukti nyata,” kata pengemis tadi pula, “Dan kakakmu melanggar perintah, maka pantaslah dihukum mati. Apakah dendam ini tak perlu dibalas, sebaliknya sakit hati Kay-pang inilah yang belum terbalas?”

Mendengar orang berani menyindir suaminya, Kwe Hu menjadi murka. Ia tak tahan lagi, ia lantas membentak:

“Siapa kau?! Berani mengaco-belo di sini? Kalau berani, hayolah naik ke atas panggung!”

“Ha-ha-ha, bagus, bagus!” sahut pengemis itu terbahak. “Pangcu belum tentu jadi, tetapi calon nyonya Pangcu sudah unjuk lagak.” Habis itu, tanpa bergerak tahu-tahu orangnya sudah berada di atas panggung.

Menyaksikan ilmu entengi tubuh orang ini, semua orang terkesiap. “Hebat benar ilmu silatnya, siapakah dia?” demikian semua orang bertanya.

Seketika pandangan beribu pasang mata terpusat atas diri pengemis ini.

HADIAH YANG KETIGA

Pengemis ini memakai baju hitam yang longgar dan compang camping, tangan kanannya membawa sebatang tongkat yang bulat tengahnya sebesar cawan arak, rambutnya awut-awutan, mukanya kuning ke-gemukan seperti orang berpenyakit beri-beri, dekak-dekuk seperti bekas koreng, di punggungnya menggemblok lima kantong kain. Kiranya ia adalah anak murid Kay-pang berkantong lima. Sesungguhnya dalam kaum jembel tidaklah kurang orang yang bermuka jelek, namun kejelekan orang ini luar biasa. Para anggota Kay-pang mengenal dia bernama Ho Su-ngo, orangnya pendiam tetapi giat, sedikit bicara banyak bekerja.

Karena belasan tahun selalu giat berjuang untuk tugas perkumpulan dengan setia tanpa kenal capek, maka lambat-laun dia naik tingkat menjadi kantong lima, cuma silatnya dikenal rendah, kedudukan juga rendah, maka siapa pun tidak memperhatikannya. Orang menduga setelah naik sampai tingkatan kantong lima tidak mungkin naik lebih tinggi lagi, siapa tahu orang bodoh dan rendah demikian ini tiba-tiba naik panggung dan mendebat Yalu Ce, malahan ilmu silatnya juga di luar dugaan. Maka semua orang membatin: “Ho Su-ngo ini dari mana berhasil mencuri belajar ilmu silat yang demikian bagusnya?”

Sungguh pun Ho Su-ngo orangnya sepele, tapi karena mukanya yang begitu jelek hingga membikin siapa yang melihatnya sulit melupakannya, maka Yalu Ce juga kenal. Segera Yalu Ce merangkap tangan dan menegur:

“Entah Ho-heng ada pendapat apa lagi, silakan memberi petunjuk.”

“Bilang memberi petunjuk, aku tak berani,” sahut Ho Su-ngo tertawa dingin. “Cuma hamba ada dua soal yang belum jelas, maka naik ke sini dan ingin bertanya.”

“Dua soal apa?” tanya Yalu Ce..”

“Pertama,” kata Ho Su-ngo, “Kalau mengadakan timbang terima, Pangcu baru dan lama selalu menggunakan ‘Pak-kau-pang’ (pentung pemukul anjing) sebagai tanda penyerahan kekuasaan. Hari ini Yalu Ce-toaya hendak menjadi Pangcu, entah pusaka kita, Pak-kau-pang itu berada di mana? Hamba ingin sekali melihatnya.”

Mendengar pertanyaan ini, para anggota Kay-pang berkata dalam hati: “Sungguh hebat pertanyaan ini.”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar