Rabu, 20 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 176

“Apa saja yang kau percakapkan dengan adikmu di kelenteng Yo-tayhu? Coba ceritakan seluruhnya, satu patah kata pun tak boleh melompat,” desak Oey Yong.

“Juga tidak ada apa-apa yang kami bicarakan. Memang sudah biasa adik suka adu mulut denganku,” sahut Kwe Hu.

Lalu ia pun menuturkan tentang adik perempuannya itu menyatakan tak akan menghadiri Eng-hiong-tay-hwe, tak akan menyaksikan pemilihan pangcu serta bilang pada Shejit-nya nanti bakal ada seorang ksatria muda yang gagah perkasa akan datang menyambanginya. Sesudah menuturkan semuanya, akhirnya ditambahkan dengan tertawa:

“Dan betul juga tidak sedikit sobatnya datang, cuma kalau bukan sebangsa Hwesio atau Nikoh, ternyata adalah kakek dan nenek, sedangkan ksatria muda gagah perkasa? Entahlah.”

Mendengar sampai di sini, Oey Yong tidak ragu lagi, dia yakin orang yang dimaksudkan Kwe Siang itu tentulah Yo Ko. Ia menaksir tentunya Kwe Siang dan Yo Ko sudah berjanji bertemu di kelenteng Yo-tayhu, tetapi dikacau oleh datangnya Kwe Hu. Untuk membela kehormatan Kwe Siang, Yo Ko lantas mengundang tokoh-tokoh Kangouw yang banyak itu untuk memberi kado serta memberi selamat hari ulang tahunnya.

“Tapi untuk apa ia korbankan begitu banyak tenaga dan pikiran untuk Siang-ji?” demikian pikirnya. Kalau teringat olehnya selama beberapa hari ini puteri kecil itu selalu lesu, pikiran tidak tenteram, kadang-kadang pipinya merah jengah, mendadak tanpa terasa Oey Yong menarik napas dingin: “Celaka, jangan-jangan selama menghilang sehari semalam di tambangan Hong-leng itu Siang-ji telah berbuat hal tidak senonoh dengan dia.”

Menyusul itu lalu terpikir pula olehnya: “Yo Ko sakit hati karena aku sudah membinasakan ayahnya. Ia benci pula Hu-ji yang mengutungi lengannya dan melukai Siao-liong-li dengan jarum berbisa. Ahh, janji Siao-liong-li yang akan bertemu lagi sesudah 16 tahun, dan tahun inilah tahun ke-16 itu. Ha, kalau begitu agaknya Yo Ko datang untuk membalas dendam.”

Teringat akan kata-kata ‘Yo Ko datang untuk membalas dendam’, tanpa terasa Oey Yong menjadi ngeri. Ia cukup kenal kepintaran Yo Ko. Meski belum melebihi dirinya, tapi orang ini sejak kecil tindak tanduknya sangat lihay, cintanya terhadap Siao-liong-li sangat mendalam dan murni, setelah menunggu selama 16 tahun, tetapi tidak bersua kembali, tentu penasaran itu akan dicari pangkal pokok yang menyebabkannya dan tentu akan benci luar biasa pada keluarga Kwe.

Dan kalau menuruti sifat Yo Ko yang luar biasa itu, dendam selama 16 tahun ini tak akan puas hanya sekali hantam membinasakan Kwe Hu saja, tetapi pasti akan menggunakan tipu akal yang paling keji untuk membalas sakit hati itu secara besar-besaran.

“Apakah dia sengaja hendak memancing Siang-ji masuk perangkapnya, membikin anak ini jatuh hati dan menyerah padanya, lalu menyiksanya lahir batin, mati tidak, hidup tidak? Ah, ya, ya, benar, kalau turuti watak Yo Ko memang benar akan dilakukannya,” demikian pikir Oey Yong pula.

Biia teringat semua ini, perasaan tertekan selama beberapa hari segera menjadi buyar. Ia menduga sebabnya Yo Ko mau membunuh Nimo Singh untuk menolong Kwe Siang dan mengundang begitu banyak tokoh-tokoh silat untuk datang memberi selamat kepadanya, semua ini bertujuan untuk menarik hati anak dara itu. Diam-diam Oey Yong menghitung lagi dan berpikir.

“Tetapi ada yang tidak benar! Hari ini tepat ulang tahun Siang-ji. Enam belas tahun yang lalu ketika Siang-ji lahir, lewat beberapa bulan kemudian barulah dia berpisah dengan Siao-liong-li di lembah Coat-ceng-kok, layaknya kalau dia mau balas dendam juga harus menunggu sampai genap 16 tahun, yaitu sesudah lewat janjinya bertemu dengan Siao-liong-li. Meski janji bertemu 16 tahun kemudian itu sukar dipercaya, tapi tulisan yang ditinggalkan itu jelas tulisan Siao-liong-li, siapa tahu kalau mereka suami isteri benar akan berkumpul? Apakah mungkin ayahku... atau mungkin bualan tentang Lam-hay Sin-ni?”

Begitulah makin dipikir perasaannya mulai terasa tidak enak, “Ah, biarlah apa pun jadinya, jika Siang-ji bertemu lagi dengan dia pastilah terlalu banyak risikonya. Sifat Siang-ji masih polos kekanak-kanakan, mana bisa memahami hati manusia yang kejam dan keji?”

Pada saat itulah mendadak terdengar suara jeritan, kiranya Bu Siu-bun telah merobohkan lagi lawannya yang tinggal satu tadi. Lalu Oey Yong mendekati suaminya dan membisiki:

“Kau mengawasi di sini, biar aku pergi menjenguk Siang-ji.”

“Siang-ji tidak datang?” tanya Kwe Ceng.

“Ya, biar aku sendiri memanggilnya, budak cilik ini memang aneh,” sahut sang isteri.

Ketika sampai di kamar puteri kecil itu, kiranya Kwe Siang tidak ada di kamar. Ia bertanya kepada pelayan, katanya puteri kecil itu berada di taman bunga dan melarang orang lain mengganggunya. Oey Yong terkejut, pikirnya: “Ah, Siang-ji tak mau menonton pertandingan ramai di alun-alun, tentu karena dia sudah ada janji dengan Yo Ko.”

Segera ia kembali ke kamar sendiri, ia bawa senjata rahasia seperlunya dan menyelipkan sebilah pedang pendek, lalu membawa lagi pentung pendek terus menuju ke taman bunga di belakang rumah. Ia tahu ilmu silat Yo Ko sekarang tentu lain dari pada dahulu, sesungguhnya lawan yang menakutkan, sebab itu dia tak berani asal. Dia tidak melalui jalanan taman yang berbatu-batu kecil itu, tetapi memutar dari belakang gunung-gunungan. Ketika hampir dekat gardu bunga, tiba-tiba terdengar Kwe Siang menghela napas. Oey Yong sembunyi di belakang gunung-gunungan itu. Terdengarlah puterinya itu sedang menggumam sendiri perlahan:

“Kenapa sampai sekarang masih belum datang? Ai, benar-benar bikin orang tidak sabar!”

Hati Oey Yong menjadi terhibur. “Ah, kiranya dia belum tiba, kebetulan bisa mencegatnya di tengah jalan,” demikian pikirnya.



Sementara itu terdengar Kwe Siang berkata pula: “Setiap hari ulang tahunku, ibu selalu menyuruh aku menyebut tiga angan-angan. Sekarang di sini tiada orang lain, biarlah aku katakan kepada Tuhan.”

Sebenarnya Oey Yong hendak unjuk diri, tapi ketika mendengar gumaman puterinya, tiba-tiba ia tarik kembali kakinya. Ia ingin mendengarkan dulu apakah ketiga angan-angan yang akan dikatakan puteri kecil itu. Selang sejenak, terdengar Kwe Siang berkata:

“Oh, Thian (Tuhan) yang maha pengasih, berkatilah permohonanku ini. Angan-anganku yang pertama semoga ayah-ibu dapat memimpin pasukan membunuh habis atau mengusir semua pasukan Mongol yang datang menyerbu, agar rakyat Siang-yang dapat melewatkan hari-hari yang aman sentosa.”

Diam-diam Oey Yong menarik napas lega dan bersyukur akan hati sang puteri yang luhur itu. Sementara terdengar anak dara itu berkata lagi:

“Dan harapanku yang kedua, semoga ayah ibu berbadan sehat, berumur panjang, segala sesuatu yang dikerjakannya berjalan baik tak kurang suatu apa pun.”

Waktu Kwe Siang dilahirkan, Kwe Ceng dan Oey Yong berdua banyak mengalami peristiwa-peristiwa berbahaya sehingga kemudian bila teringat selalu merasa ngeri, sebab itulah tanpa terasa mereka tidak begitu sayang kepada Kwe Siang seperti sang enci, tapi kini setelah mendengar beberapa kata hati-nurani anak dara itu, tanpa tertahan matanya menjadi basah, rasa kasih sayangnya bertambah.

Dan harapan ketiga Kwe Siang seketika ternyata sukar diucapkannya, sesudah agak lama barulah terdengar ia buka suara:

“Dan harapanku yang ketiga ini adalah semoga Sin-tiau-tayhiap Yo Ko...”

Memang Oey Yong sudah menduga bahwa harapan puteri kecil yang ketiga ini tentu ada hubungannya dengan Yo Ko. Namun demikian, hatinya terkesiap juga ketika mendengar nama Yo Ko disebut,. Sementara terdengar anak dara itu sedang meneruskan:

“...dapat lekas-lekas berkumpul kembali dengan isterinya, Siao-liong-li, dan selanjutnya hidup aman dan bahagia.”

Sungguh kata-kata yang terakhir ini sama sekali di luar dugaan Oey Yong. Mula-mula dia menyangka Yo Ko akan memancing puterinya dengan menggunakan kata-kata manis dan putar lidah dengan segala macam omongan palsu, tetapi di luar dugaan ternyata puterinya malahan sudah mengetahui persoalan Yo Ko dan Siao-liong-Ii, juga tahu bahwa Yo Ko senantiasa menanti saat berjumpa lagi dengan Siao-liong-li, maka diam-diam anak dara itu berdoa untuknya. Namun segera terpikir lagi olehnya:

“Ai, celaka, cara Yo Ko ini ternyata sangat licin, justru semakin ia menyatakan tak pernah melupakan kekasihnya, semakin Siang-ji merasa dia benar-benar seorang berbudi dan akan lebih jatuh hati padanya.”

Nyata saking pintarnya Oey Yong, sehingga segala sesuatu selalu dipikirnya secara jauh. Lagi pula selama ini dia suka berperasangka terhadap Yo Ko, ditambah perhatiannya atas diri sang puteri, maka pikirannya menjadi kacau dan diam-diam berkuatir. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara keresekan sekali, tahu-tahu dari pagar tembok melompat turun satu orang. Terlihatlah orang ini berkepala besar, namun tubuhnya pendek, bentuknya sangat Iucu. Demi tampak si cebol ini, seketika Kwe Siang melonjak girang.

“Hai, Toa-thau-kui, apakah dia... dia sudah datang?”

Memang si cebol berkepala besar ini adalah Toa-thau-kui atau setan kepala besar, satu di antara Se-san It-khut-kui (gerombolan setan Se-san). Sesudah masuk kedalam gardu taman bunga, segera Toa-thau-kui memberi hormat kepada Kwe Siang, sikapnya sangat merendah sekali.

“Aih, paman Toa-thau-kui, mengapa kau menjadi begini sungkan-sungkan padaku?” tegur Kwe Siang tertawa.

“Jangan nona panggil aku paman segala, panggil saja ‘Toa-thau-kui’ sudah cukup,” sahut Toa-thau-kui. “Aku mendapat perintah Sin-tiau-tayhiap agar memberi-tahukan nona...”

Mendengar sampai di sini, Kwe Siang tampak kecewa, matanya menjadi basah. “Toakoko bilang ada urusan sehingga tak dapat datang, bukan?” demikian menyela, “tapi dia sudah berjanji...”

“Tidak... tidak!” berulang kali Toa-thau-kui menggelengkan kepalanya yang besar laksana gantang itu.

“Kenapa tidak? Apa yang kau ketahui?” omel Kwe Siang cepat. “Justru dia sudah berjanji padaku.” Dan karena cemasnya hampir-hampir anak dara ini mengucurkan air mata.

“Aku tidak bilang dia tak berjanji padamu, tapi ingin kukatakan dia tidak bermaksud takkan mengunjungi kau.”

Mendengar ini barulah Kwe Siang tertawa. “Lihatlah, bicara saja tidak genah, bukan ini, tidak itu, tak keruan,” omelnya.

“Ya, Sin-tiau-tayhiap bilang bahwa karena beliau sendiri sedang menyiapkan tiga macam kado untuk hari ulang tahunmu, maka kedatangannya sedikit terlambat,” tutur Toa-thau-kui kemudian.

Maka senanglah hati si gadis, katanya: “Sudah begini banyak orang yang membawa kado untukku, segala apa aku pun sudah punya. Haraplah sampaikan pada Toakoko bahwa tak perlu lagi ia membawa kado segala.”

“Tetapi,” ujar Toa-thau-kui sambil goyang-goyang kepala, “ketiga macam hadiah itu, yang pertama sudah disediakannya, hadiah yang kedua Sin-tiau-tayhiap bersama para saudara juga sedang menyiapkannya, besar kemungkinan kini sudah selesai.”

“Aih, aku lebih suka dia lekas datang dari pada buang waktu mengadakan kado segala,” sahut Kwe Siang.

“Ada pun mengenai hadiah yang ketiga, Sin-tiau-tayhiap bilang akan diserahkan sendiri kepada nona di tengah rapat besar Kay-pang di alun-alun sana,” kata Toa-thau-kui lagi. “Sebab itulah nona Kwe silakan ke sana, agaknya sekarang waktunya sudah dekat.”

“Sebenarnya aku dongkoI pada Cici dan sudah bilang tidak mau hadir ke sana, tapi kalau Toakoko ingin begitu, baiklah, biar kita pergi bersama sekarang juga,” sahut Kwe Siang.

Toa-thau-kui mengangguk, lalu ia bersuit. Dari luar pagar tembok sana tiba-tiba melompat masuk sesuatu makhluk besar, sesudah ditegasi ternyata adalah Sin-tiau atau si rajawali sakti. Melihat Sin-tiau, segera Kwe Siang merangkul lehernya seperti sedang berjumpa dengan sahabat lama saja. Sebaliknya rajawali itu malah melangkah mundur dua tindak kemudian berdiri dengan angkuh dan melirik seperti sama sekali tidak pandang sebelah mata pada Kwe Siang.

“Ha, Tiau-toako ini angkuh bukan main. Dia tak gubris padaku, tetapi aku justru ingin kau menggubris.” kata Kwe Siang tertawa.

Habis itu kembali dia melompat terus merangkul leher Sin-tiau lagi. Sekali ini binatang itu tidak menghindar, tapi kepalanya tetap berpaling ke arah lain, seolah seorang ayah yang kereng menghadapi anak yang nakal dan aleman.

“Marilah Tiau-toako, kau pun ikut, nanti aku memberi makanan enak padamu, kau minum arak tidak?” kata Kwe Siang.

“Ha, jika kau menyuguh Sin-tiau minum arak, itu yang paling disukanya,” ujar Toa-thau-kui tertawa.

“Bagus, kau tunggu sebentar,” seru si gadis terus berlari ke dapur, sebentar saja ia sudah kembali dengan seguci arak pilihan.

Segera Toa-thau-kui membuka tutup guci sehingga harum arak seketika menusuk hidung. Cepat saja setan kepala besar itu angkat guci itu terus ditenggak dulu. Ketika ia sodorkan arak itu pada Sin-tiau, sekali binatang ini mencocok dengan paruhnya, maka berlubanglah guci itu. Segera Sin-tiau memasukkan paruhnya ke dalam guci dan sekejap saja seluruh isinya terhirup habis.

“Anak dara ini benar-benar harus dihajar, sembarangan memberikan ‘Kiu-hoa-giok-loh-ciu’ buatanku kepada seekor binatang,” demikian diam-diam Oey Yong mendamperat.

Ternyata cara pembuatan arak itu tidaklah mudah. Oey Yong membikinnya berdasarkan resep cara ayahnya meracik obat ‘Kiu-hoa-giok-loh-wan’, yakni mengumpulkan sari bunga mawar dicampur berbagai racikan obat lain ke dalam arak simpanan, kalau bukan sobat kental biasanya Oey Yong tidak sembarangan mengeluarkan arak itu.

“Wah! Kekuatan minum Tiau-toako sungguh hebat, marilah berangkat,” kata Kwe Siang kemudian dengan tertawa. Lalu dua orang dan satu rajawali lantas menuju ke alun-alun.

Ketika memasuki Iapangan, melihat badan Sin-tiau itu begitu kekar, tapi rupanya jelek dan aneh, para pahlawan merasa heran. Kwe Siang lantas membawa Toa-thau-kui dan Sin-tiau itu duduk di tempat yang sepi. Anak murid Kay-pang yang bertugas menyambut tamu merasa belum mengenal Toa-thau-kui, segera mereka datang menyapa sambil menanyakan namanya. Namun Toa-thau-kui menjawab:

“Aku tidak punya nama, segala apa pun tidak tahu. Nona Kwe yang mengajak aku kemari, maka aku lantas ikut kemari.”

Sementara itu pertandingan di atas panggung sudah silih berganti. Bu Tun-si dan Bu Siu-bun berdua sudah dijatuhkan orang, begitu pula keponakan Cu Cu-liu dan tiga anak murid Su-sut-hiun serta beberapa anak murid Kay-pang berturut-turut sudah kalah. Yang tinggal di atas panggung tatkala itu ialah Yalu Ce dengan 72 jurus ‘Khong-beng-kun’ (ilmu pukulan ‘terang-kosong’) ajaran Ciu Pek-thong. Ia sedang menempur seorang lelaki kekar setengah umur.

Orang ini bernama Na Thian-ho, seorang suku Miau dari propinsi Kuiciu. Waktu kecilnya ketika ia mencari bahan obat di pegunungan telah bertemu seorang kosen dan mendapat ajaran semacam ilmu pukulan yang Iihay. Gerak serangan Yalu Ce mengutamakan kelemasan, enteng tanpa suara sehingga sukar diduga lawan. BegituIah satu keras dan yang lain lemas saling gebrak dengan sama kuatnya. Meski tenaga pukulan Na Thian-ho amat keras, tapi angin tidak selamanya meniup, hujan tidak selamanya turun, betapa pun tidak bisa tahan lama. Walau pun setiap pukulan yang dilontarkannya masih membawa sambaran angin yang santer, tetapi tenaga dalamnya kini sudah mulai berkurang.

Sebaliknya tipu gerakan Yalu Ce tidak lebih cepat juga tidak menjadi lambat dibandingkan tadi. Ia bergerak enteng saja, setiap serangan lawan selalu dipatahkannya dengan baik. Ia tahu pertandingan ini bukanlah pertandingan satu-dua orang saja, tetapi lawan yang akan naik panggung lagi dan lebih kuat tentu masih banyak, maka perlu menyimpan tenaga.

Akhirnya Na Thian-ho mulai tak sabar. Selama berpuluh tahun di daerah barat daya belum pernah ada lawan yang sanggup menahan sampai 30 jurus serangannya, tetapi hari ini ia tidak bisa apa-apa menghadapi seorang muda di depan pahlawan-pahlawan yang begini banyak, bukankah ini amat memalukan? Sebab itulah ia kerahkan tenaga dalamnya terus menambahi tenaga pukulannya. Setelah beberapa puluh jurus berlangsung, tiba-tiba Na Thian-ho melihat kesempatan baik.

“Kena!” bentaknya cepat, berbareng itu dia hantam dada Yalu Ce dengan tipu ‘Kiu-kui-it-seng-lu’ (sembilan setan mencapai bintang).

Ia sangat girang karena dilihatnya dada lawan terbuka tak terjaga, serangan ini yakin akan mengenai sasarannya. Dan betul saja, pukulannya tepat mengenai tempat yang diarah.

“Blukk!”

Melihat itu, sebagian besar penonton di bawah panggung berseru kaget sehingga mereka semua berdiri. Mendengar suara terpukulnya itu, dapat diduga kalau pun tidak mati Yalu Ce pasti terluka parah. Padahal tadi Nio-tianglo sudah memperingatkan agar berhenti apa bila tubuh masing-masing sudah ketutul, sekarang jika sekali pukul Na Thian-ho menewaskan Yalu Ce, sedangkan orang adalah mantu kesayangan Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin, dapat diduga segera urusan akan bertambah meluas. Siapa tahu, begitu berhasil memukul, air muka Na Thian-ho malah pucat lesi, lalu terhuyung-huyung mundur beberapa tindak.

“Kagum, kagum!” katanya tiba-tiba sambil kiong-ciu kepada Yalu Ce, lalu balik berjalan ke depan panggung dan berteriak dengan suara lantang: “Yalu-toaya sengaja berlaku murah hati mengampuni jiwaku, benar-benar seorang ksatria berbudi luhur, sungguh aku merasa kagum dan terima menyerah.” Habis berkata, segera ia pun melompat turun panggung.

Keruan penonton saling pandang dengan bingung karena tak mengerti apa sebabnya.

HADIAH ULANG TAHUN

Waktu mereka pandang Yalu Ce, pemuda itu bersenyum saja seperti biasa. Sudah terang terlihat Yalu Ce kena dihantam Na Thian-ho, tetapi kenapa malah Yalu Ce yang dikatakan mengampuni jiwa Na Thian-ho? Sekali pun Iwekang-nya memang tinggi, tetapi juga sukar untuk menang dengan kepandaian itu. Demikian semua orang tidak habis mengerti.

Kiranya tadi ketika tangannya mengenai dada Yalu Ce, mendadak Na Thian-ho merasa tangannya seakan-akan mengenai tempat kosong, tapi toh bukannya hampa sama sekali, hanya seperti tangan masuk ke dalam air saja, seperti kosong dan seperti ada barangnya, seolah-olah ada semacam kekuatan yang melengket dan menahan tangannya. Tak kepalang kejut Na Thian-ho. Ia kumpulkan tenaga menarik sekuatnya, tapi tangannya terasa melengket, dapat ditarik tetapi tak bisa terlepas. Ia jadi teringat waktu belajar dulu sang guru pernah memperingatkan bahwa ilmu silatnya itu, ‘Hong-lui-cio-hoat’ (ilmu pukulan angin dan guntur), kalau bertemu dengan ahli Iwekang harus hati-hati sebab bila terserang tenaga dalam lawan hingga masuk ke perut, maka biar pun tidak mati seketika, sedikitnya akan cacat untuk selamanya.

Namun selama tiga puluh tahun belum pernah dia ketemukan lawan tangguh, maka kata-kata sang guru sudah lama terlupa. Siapa tahu kini benar-benar bertemu dengan seorang lihay yang berkepandaian seperti dikatakan gurunya, maka sekilas peringatan itu segera terbayang olehnya sehingga ia pejamkan mata dan menanti ajal. Sama sekali tak tersangka tiba-tiba daya lengket itu terasa lenyap, menyusul hawa mendidih di dalam perutnya perlahan-lahan buyar, pada waktu Na Thian-ho menggerakkan tangannya, terasa kepandaiannya sedikit pun tidak terhalang. Terang Yalu Ce sengaja mengampuni jiwanya, sebab itulah dalam keadaan malu dan berterima kasih tak lupa ia mengucapkan beberapa patah kata di hadapan orang banyak.

Pertarungan sengit di antara kedua orang itu telah disaksikan semua orang. Betapa hebat ilmu pukulan Na Thian-ho tetapi akhirnya dikalahkan Yalu Ce secara menakjubkan, maka bagi orang yang punya sedikit pengalaman tidak ada yang berani lagi coba-coba naik ke atas panggung. Di samping itu Yalu Ce adalah anak menantu Kwe Ceng dan Oey Yong yang amat rapat hubungannya dengan Kay-pang, dengan sendirinya anak murid Kay-pang lebih suka kalau pemuda ini jadi pangcu mereka. Lagi pula ia adalah murid Ciu Pek-thong yang tergolong tokoh tertua Coan-cin-pay, dengan sendirinya anak murid Coan-cin-pay dan anak murid Tang-sia atau Lam-te juga sungkan bertanding dengan dia. Hanya ada dua tiga orang yang sembrono masih coba-coba naik panggung, tapi hanya beberapa gebrak saja sudah dikalahkan.

Melihat sang suami menjagoi panggung, rasa senang Kwe Hu tak terkatakan. Namun ketika sekilas dapat dilihatnya ada seekor rajawali raksasa yang aneh dan jelek beserta si cebol berkepala besar yang dilihatnya di tambangan Hong-leng sedang duduk di sisi adik perempuannya, tanpa tertahan ia pun tercengang. Tadi waktu Kwe Siang bersama Toa-thao-kui dan Sin-tiau masuk lapangan, saat itu Yalu Ce lagi seru menempur Na Thian-ho, maka seluruh perhatian Kwe Hu sedang dicurahkan pada diri sang suami sehingga ia sama sekali tak melihatnya. Sekarang setelah keadaan mereda barulah ia melihat datangnya sang adik yang katanya tidak mau datang. Mengapa sekarang hadir?

Tapi lantas terpikir lagi sesuatu olehnya, diam-diam ia berkata: “Celaka, Yo Ko menyebut dirinya sebagai ‘Sin-tiau-tayhiap’, jadi rajawali besar jelek ini tentunya adalah Sin-tiau yang dimaksudkan itu. Dan kalau Sin-tiau sudah datang ke sini, pasti Yo Ko juga sudah berada di sekitar sini, Kalau dia datang untuk berebut kedudukan Pangcu... ya, kalau dia datang untuk perebutan Pangcu...”

Begitulah sesaat itu dari rasa girangnya lantas berubah menjadi kuatir sebab betapa tinggi ilmu kepandaian Yo Ko yang pernah dirasakannya, dapatlah dia mengetahui apa artinya jika orang benar-benar telah datang untuk maksud berebut Pangcu. Tetapi waktu dia memandang sekitarnya, jejak Yo Ko sama sekali tak terlihat. Sementara itu hari sudah petang, beruntun Yalu Ce mengalahkan tujuh orang dan tiada yang berani naik panggung lagi. Maka majulah Nio-tianglo ke depan dan berkata dengan suara lantang:

“Yalu Ce-toaya berkepandaian serba lengkap Bu dan Bun (silat dan surat ), kita sudah lama mengaguminya, kini kalau beliau bisa menjadi Pangcu kita, sudah tentu kami mendukungnya.”

Berkata sampai di sini, para anggota Kay-pang yang berada di bawah panggung serentak berdiri dan bersorak-sorai. Kemudian Nio-tianglo menyambung pula:

“Dan entah ada tidak ksatria lain yang masih ingin naik panggung buat bertanding lagi?”

Berulang kali dia bertanya, namun di bawah panggung sepi saja tiada jawaban. Kwe Hu girang sekali, pikirnya: “Yo Ko tidak datang pada saat ini, maka hilanglah kesempatannya! Asalkan Ce-koko sudah menerima jabatan Pangcu, sekali pun ia hendak mempersulit tiada gunanya.”

Pada saat itu pula terdengar suara derap kuda yang cepat, dua orang penunggangnya secepat terbang menghampiri. Mendengar suara derap kuda yang riuh terang penunggangnya sangat tergesa-gesa.

“Akhirnya datanglah dia!” pikir Kwe Hu.

Dalam pada itu, kedua penunggang kuda itu sudah masuk lapangan, semuanya memakai baju abu-abu, kiranya dua pengintai yang disuruh Kwe Ceng untuk mencari berita tentang pasukan musuh. Meski Kwe Ceng terus mengikuti pertandingan di atas panggung, tapi setiap saat selalu ia pikirkan situasi militer. Kini melihat kedua pengintainya kembali dengan begitu cepat, dia pun berkata dalam hati: “Ha, akhirnya datanglah!”

Dalam hati Kwe Ceng dan Kwe Hu berdua sama-sama berkata: ‘Akhirnya datanglah’, tapi yang dimaksudkan oleh sang puteri ialah Yo Ko, sedang sang ayah maksudkan pasukan musuh, yaitu orang Mongol. Sesudah dekat, segera kedua pengintai itu menghadap Kwe Ceng dan memberi hormat. Pada umumnya, baik atau buruk situasi militer yang akan dilaporkan biasanya sudah bisa kelihatan dari air muka pengintai. Kini terlihat wajah kedua pengintai itu menunjukkan rasa bingung tapi penuh girang, seperti ketemu sesuatu kejadian di luar dugaan.

“Lapor Kwe-tayhiap, pasukan perintis Mongol dari jurusan kanan yang berjumlah seribu jiwa sudah sampai di Sin-ya,” demikian salah seorang pengintai itu melapor.

Diam-diam Kwe Ceng terkejut. “Cepat benar majunya,” katanya dalam hati.

Kemudian terdengar pengintai yang lain juga buka suara: “Lapor, pasukan perintis Mongol barisan kiri yang berjumlah seribu orang sudah tiba sampai di Tengciu.”

Harus diketahui bahwa jarak antara Tengciu dan Sin-ya dengan Siang-yang hanya kira-kira seratus li lebih, jalan kedua tempat itu seluruhnya jalan datar, kalau pasukan gerak cepat Mongol itu maju pesat maka tidak sampai satu hari pasti akan sampai Siang-yang. Namun pengintai yang kedua tadi dengan ber-seri lantas berkata lagi:

“Cuma ada kejadian aneh. Seribu pasukan Mongol di luar kota Tengciu itu seluruhnya menggeletak mati, tiada satu pun yang hidup.”

“Bisa terjadi begitu?” tanya Kwe Ceng heran.

“Ya, apa yang hamba lihat di Sin-ya juga begitu,” sela pengintai satunya. “Seribu tentara perintis Mongol yang lain juga seluruhnya sudah menjadi mayat, yang paling aneh adalah setiap mayat prajurit Mongol itu daun telinga kirinya diiris orang.”

“Benar, prajurit Mongol yang di Tengciu juga demikian, daun telinga kanan mereka sudah Ienyap,” sambung pengintai kedua tadi.

Mendengar itu Kwe Ceng dan Oey Yong hanya dapat saling pandang dengan rasa heran dan girang bercampur-aduk. Mereka amat heran, siapakah yang mengirim pasukan penggempur lihay sehingga kedua pasukan musuh itu kena dihancurkan semua, walau pun hanya 2000 orang musuh dari beratus ribu lainnya, tapi bila berita ini disiarkan tentu akan bisa membangkitkan semangat tentara sendiri.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar