Rabu, 20 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 175

Keadaan demikian telah berlangsung beberapa hari. Dalam pertemuan para ksatria itu telah selesai dirundingkan dan ditetapkan siasat bagaimana cara menggalang seluruh kekuatan kaum patriot dan cara mengacaukan bala bantuan Mongol serta pertahanan di dalam kota. Para pahlawan menggosok-gosok kepalan penuh semangat menunggu datangnya musuh untuk bertempur.

Akhirnya tibalah tanggal 24. Kini pertemuan besar telah selesai, acara selanjutnya adalah pemilihan pangcu atau ketua Kay-pang, persatuan kaum jembel. Sehabis makan siang, beramai-ramai para ksatria menuju alun-alun di selatan kota. Di tengah alun-alun itu terlihat sudah dipasang panggung tinggi yang megah, di atas panggung itu kosong bersih tanpa sebuah bangku pun. Hal ini memang sudah menjadi peraturan Kay-pang turun temurun. Tak peduli pertemuan besar atau rapat kecil, selamanya mereka selalu duduk di atas tanah sebagai tanda tidak meninggalkan adat asli kaum jembel atau pengemis. Hanya pada sebelah timur panggung teratur beberapa ratus kursi, semuanya hanya disediakan untuk para tamu undangan yang tidak termasuk anggota Kay-pang.

Belum lagi lohor, di sekitar panggung sudah berjubel lebih dua ribu anggota Kay-pang, semuanya adalah anggota lama dan tergolong tokoh, paling rendah tingkatannya adalah anak murid berkantong empat. Kedua ribu anggota Kay-pang itu tadinya berada di bawah pimpinan empat orang Tianglo atau tertua, yakni yang mula-mula terdiri dari Loh-tianglo, yaitu Loh Yu-ka, lalu Kan-tianglo, Kho-tianglo dan Peng-tianglo. Kemudian Loh-tianglo naik pangkat menjadi Pangcu, namun sekarang sudah mati karena dibokong musuh. Peng-tianglo telah berkhianat lalu terbunuh oleh Cu-in, Kan-tianglo mati tua sehingga kini tinggal seorang Nio-tianglo saja yang merupakan satu-satunya tertua, sementara lowongan ketiga Tianglo yang lain itu telah diisi oleh murid berkantong delapan yang pangkatnya dinaikkan.

DemikianIah anggota Kay-pang itu semua duduk di tanah mengitari panggung menurut daerah masing-masing, sedangkan beribu ksatria duduk di kursi tempat peninjau. Yalu Ce suami-isteri, Bu Tun-si dan Yalu Yen, Bu Siu-bun dan Wanyen Peng, karena termasuk angkatan muda, mereka duduk di barisan kursi yang paling belakang. Sesudah berlatih giat selama belasan tahun ini, mereka merasa sudah mendapat banyak kemajuan, maka diam-diam sama memikirkan cara bagaimana nanti akan unjuk kepandaian di hadapan orang banyak.

Saat itu Kwe Boh-lo duduk di samping sang Cici, Kwe Hu. Pemuda ini menjadi girang melihat suasana yang begitu ramai, katanya:

“Ji-ci benar-benar aneh, suasana seramai ini tak mau menonton.”

“Ahh, hati si kecil aneh itu memang sukar menerkanya,” sahut Kwe Hu menjengek.

Dalam pada itu terlihatlah di sebelah timur sana seorang anak murid Kay-pang berkantong delapan berdiri dan menempelkan sebuah kulit keong besar ke mulutnya kemudian ditiupnya sehingga mengeluarkan suara “hauk-hauk”. Kiranya sudah tiba waktunya antara pukul satu lewat Iohor. Segera Oey Yong melompat ke atas panggung. Dia memberi hormat kepada hadirin, lalu dengan suara lantang berkata:

“Pada hari ini perkumpulan kami mengadakan rapat besar. Berkat para pahlawan dan ksatria angkatan tua sudi mengunjungi, juga banyak kawan dari angkatan muda yang sudi hadir sebagai peninjau, sungguh segenap anggota perkumpulan kami merasa bangga dan berterima kasih.” dia memberi hormat lagi sehingga para ksatria di bawah panggung semua berdiri membalas hormatnya.

“Mendiang Loh-pangcu kami,” demikian Oey Yong melanjutkan kata pembukaannya, “selama hidupnya selalu berbudi dan berjuang demi kepentingan rakyat dan negara secara tak kenal lelah. Sayang dicelakai bangsat Hotu di kelenteng Yo-tayhu di bukit Hian-san. Kalau dendam ini tidak terbalas, sungguh merupakan suatu noda yang memalukan bagi perkumpulan kita...”

Sampai di sini para anggota Kay-pang yang ingat pada kejujuran dan kebaikan budi Loh Yu-ka banyak yang terguguk-guguk menangis dan ada pula yang mengertak gigi mengumpat si bangsat Hotu.

“Tetapi pasukan Mongol yang mengarah ke kota Siang-yang dalam waktu singkat akan datang.” Demikian Oey Yong melanjutkan. “Maka persoalan pribadi jangan dipikir, urusan perkumpulan untuk sementara ditangguhkan, kelak dibicarakan lagi setelah musuh mundur.”

Seketika bersoraklah para hadirin memuji kebijaksanaan Oey Yong yang mengutamakan kepentingan umum dari pada urusan pribadi.

“Cuma saja anggota perkumpulan kami yang beratus ribu banyaknya tersebar luas di segenap pelosok...” demikian Oey Yong menyambung. “ibarat naga tanpa kepala, maka perlu diangkat seorang pangcu baru. Dan pada kesempatan inilah kita memilih yang memenuhi syarat, seorang patriot komplit sebagai Pangcu perkumpulan kita. Ada pun caranya memilih silakan Nio-tianglo untuk menerangkannya.”

Segera Nio-tianglo melompat ke atas panggung. Meski Nio-tianglo sudah tua, rambutnya beruban, tapi dadanya membusung, semangatnya menyala-nyala, gaya lompatnya juga gesit dan cekatan, suatu tanda betapa tinggi ilmu silatnya. Maka semua orang bersorak memuji. Menunggu setelah suara sorak sorai itu mereda barulah kemudian Nio-tianglo buka suara keras-keras:

“Kepintaran Oey-pangcu tiada bandingannya, semua yang dia katakan barusan pasti tidak salah. Tapi beliau sendiri merasa sungkan sehingga kami yang terdiri dari empat Tianglo serta delapan murid berkantong delapan disuruh berunding untuk memutuskan. Sesudah kami berunding selama setengah harian, akhirnya sekarang dapat juga dikemukakan suatu usuI.”

Suasana di bawah panggung menjadi sunyi senyap, semua orang ingin mendengarkan apa yang akan diumumkan tertua Kay-pang itu.



“Menurut pendapat kami yang bodoh,” demikian Ni-tianglo melanjutkan, “anak-anak murid Kay-pang tersebar di seluruh jagat, sungguh pun bukan orang pandai dan tiada berguna, tapi jumlahnya tidak sedikit, jika hendak memimpin sejumlah orang ini, tepat seperti apa yang dikatakan Oey-pangcu tadi bahwa harus dipilih seorang ‘patriot-komplit’. Yang hadir disini adalah orang gagah dan terkenal di Kangouw, siapa yang sudi menjadi pemimpin perkumpulan kami pasti akan kami sambut dengan gembira. Cuma para ksatria terlalu banyak, untuk memilih juga susah, karena itulah kami 12 orang menentukan suatu cara yang bodoh, yakni silakan para ksatria unjuk kepandaian di atas panggung, siapa lebih kuat dan mana yang lemah biar kita saksikan bersama.

Cuma harus dijelaskan lebih dulu bahwa pertandingan nanti hendaklah berakhir asal salah satu pihak sudah tertotok saja, sebab kalau sampai ada orang terluka atau jiwa melayang sungguh perkumpulan kami yang akan berdosa dan bikin perasaan tak enak. Oleh sebab itulah, bila di antara saudara ada yang dendam, tak boleh diselesaikan di atas panggung ini. Kalau ketentuan ini tidak diturut, berarti sengaja hendak mengacau perkumpulan kami, tatkala itu hendaklah jangan menyalahkan kami jika terpaksa diambil tindakan.”

Ketika berkata sampai yang terakhir ini, sinar mata Nio-tianglo menyorot tajam ke sekitar hadirin sekalian. Nio-tianglo maklum bahwa dalam keadaan bertanding dan saling unjuk kemahiran masing-masing tentu tak mau saling mengalah hingga bakal ada yang terluka atau mati. Namun kini saatnya sedang genting menghadapi musuh dari luar, bukankah jadi berbalik apa bila terjadi saling bunuh dulu di antara bangsa sendiri? Sebab itulah Nio-tianglo memperingatkan sungguh-sungguh dengan maksud agar orang jangan ambil kesempatan itu untuk dendam pribadi. Bila terjadi, tentu beramai-ramai akan mengeroyok.

Mendengar uraian Nio-tianglo, keadaan di bawah panggung menjadi sunyi. Umumnya jago tua tentu sudah lama punya kedudukan ketua atau pemimpin aliran masing-masing dan tak mungkin tampil ke muka untuk berebut jabatan Pangcu dari Kay-pang, hanya orang-orang muda berusia di bawah umur 40 yang berdebar-debar ingin sekali coba-coba mengadu tenaga di atas panggung. Namun mengingat harus bertanding di hadapan beribu orang dan harus menundukkan anggota Kay-pang yang beribu banyaknya, bukanlah suatu hal yang mudah. Sebab itu sehabis Nio-tianglo bicara tiada seorang pun tampak melompat ke atas panggung.

“Kecuali beberapa tokoh Locianpwe, ksatria dan orang kosen di seluruh jagat semuanya berada di sini, asal ada yang berminat terhadap perkumpulan kami, boleh silakan naik panggung,” demikian Nio-tianglo berseru lagi dengan suara lantang. “Dan di antara enam murid perkumpulan kita sendiri bila ada yang merasa yakin kepandaiannya tahan diuji, beleh juga naik panggung, sekali pun seorang murid berkantong empat, boleh jadi selama ini dia sengaja menyembunyikan diri sehingga tiada yang mengetahui kegagahannya.”

Setelah Nio-tianglo mengulangi beberapa kali undangan, kemudian barulah terdengar suara bentakan yang keras bagai guntur.

“Akulah yang datang!” cepat sekali seseorang melompat ke atas panggung.

Setelah melihat jelas orang itu, para hadirin terkejut. Orang ini bertubuh kekar tegap luar biasa, berat badannya sedikitnya ada 300 kati. Saking beratnya ketika naik ke atas panggung, papan panggung yang dipasang sangat kuat itu pun tergetar. Orang itu berjalan ke depan panggung. Tanpa pakai menghormat segala, sebaliknya dua tangannya bertolak pinggang dia langsung berkata:

“Aku Tong Tay-hai, berjuluk Jian-kio-tong (wajan seribu kati), jabatan pangcu aku tidak kepingin, tapi siapa yang ingin bergebrak denganku boleh silakan naik.”

Mendengar itu, semua orang menjadi senang. Dari lagak-lagunya teranglah seorang tolol atau dogol.

“Tong-toako,” Nio-tianglo menyapa, “Panggung yang kita buka hari ini bukanlah panggung Lui-tay (panggung bertanding silat). Jika sekiranya Tong-toako tidak suka menjadi pangcu perkumpulan kami, harap turun.”

“Tidak! Sudah terang ini adalah Lui-tay, kenapa bilang bukan?” sahut Tong Tay-hai sambil menggeleng kepala, “Jika kau melarang berkelahi mengapa kau tadi ber-kaok menyuruh orang naik panggung?”

Selagi Nio-tianglo hendak menjelaskannya, tiba-tiba Tong Tay-hai berkata lagi: “Baiklah, jika kau yang hendak berkelahi dengan aku juga boleh.”

Habis ini kepalannya segera menjotos ke muka Nio-tianglo. Lekas Nio-tiangto melompat mundur menghindarkan serangan itu. Dengan tertawa katanya:

“Ahh, beberapa tulangku yang tua ini mana sanggup menahan sekali hantaman Tong-toako?”

“Memang aku sudah menduga kau tidak berguna, maka lebih baik lekas menyingkir,” ujar Tong Tay-hai tertawa.

Namun belum habis suaranya, tiba-tiba ada bayangan berkelebat ke atas panggung dan tahu-tahu sudah berdiri seorang pengemis yang berbaju compang-camping. Pengemis ini berusia 30-an, di belakang punggungnya menggemblok enam buah kantong kain, ialah cucu murid Nio-tianglo. Biasanya si jembel ini sangat menghormat pada kakek-gurunya, melihat Jian-kin-teng Tong Tay-hai berani kurang ajar, tak tahan lagi rasa marahnya dan segera melompat ke atas panggung. Ia berkata dengan dingin:

“Kakek-guruku tak sudi bergebrak dengan seorang angkatan muda, Tong-toako, lebih baik aku menjajal kau tiga kali jotosan saja!”

“Bagus!” sambut Tong Tay-hai. Dan tanpa bertanya nama orang lagi, kepalannya sebesar mangkok itu menghantam ke dada sambil membentak: “Awas, pukulan!”

Tak terduga mendadak pengemis itu memutar tubuh kemudian melangkah satu tindak ke depan, pukulan Tong Tay-hai tepat mengenai kantong kain yang berada di punggungnya sehingga mengeluarkan suara.

“Blukk!”

Ketika pukulannya mengenai isi kantong hingga rasa kepalannya mengenai barang licin dan lunak, Tong Tay-hai menjadi heran.

“Barang apakah yang kau simpan di dalam kantongmu itu?” membentaknya.

“Biasanya kaum pengemis suka menangkap apa?” sahut si jembel itu dingin.

Seketika Tong Tay-hai terkejut dan berseru: “Hah! Ular...! Ular...!”

“Ya, memang benar ular!” sahut pengemis itu.

Membayangkan kepalannya tadi mengenai kantong berisi ular, tanpa terasa Tong Tay-hai menjadi ngeri, maka waktu pukulan kedua dilontarkan mengarah muka orang. Siapa tahu pengemis itu melompat ke atas dan memutar tubuh sedikit, turunnya ke bawah kembali ia sodorkan punggung ke depan orang. Karena kuatir kepalannya kena digigit ular yang berada dalam kantong lawan atau tangannya mengenai taring ular yang berbisa, Tong Tay-hai cepat menarik kembali pukulannya. Kini ia berganti tipu dan mendadak menendang ke selangkangan lawan.

Melihat orang jeri, si jembel itu diam-diam merasa geli. Sengaja ia menjatuhkan diri sambil sedikit membalik sehingga kembali kantongnya yang disodorkan pada kaki orang. Keruan Tong Tay-hai ketakutan, dia berseru kaget sambil berjingkrak. Padahal ular yang berada dalam kantong itu sangat jinak, taringnya sudah dicabut. Dan pada saat itulah mendadak pengemis itu melompat maju dan secepat kilat dada Tong Tay-hai dicengkeram kemudian diangkat tinggi-tinggi ke atas sambil berteriak:

“Nah, ini namanya Coh-pa-ong (nama seorang raja yang kuat) mengangkat Jian-kie-teng!”

Dalam keadaan gugup ‘ci-kiong-hiat’ di dada Tong Tay-hai kena dicengkeram, maka seketika tubuhnya menjadi lemas tidak dapat berkutik, sungguh pun rasa marahnya tidak kepalang, tapi tak mampu berbuat apa-apa. Tong Tay-hai berjuluk Jian-kin-teng (wajan seribu kati), tapi ‘wajan’ itu kini diangkat tinggi, maka seketika pecahlah gelak-tawa penonton.

“Lekas lepaskan, jangan kurang sopan!” cepat Nio-tianglo membentak cucu-muridnya.

Cepat si jembel meletakkan Tong Tay-hai ke atas panggung, lalu melompat turun ke bawah dan menghilang di antara orang banyak. Dasar Tong Tay-hai ini memang dogoI, dengan muka merah padam ia lalu menuding ke bawah panggung sambil mencaci-maki:

“Pengemis bangsat, jika berani hayolah maju lagi! Main sembunyi-sembunyi, termasuk orang gagah macam apa? Hayolah maju, pengemis busuk! Pengemis sialan!”

Terus menerus ia memaki pengemis, padahal di bawah panggung beribu-ribu anggota Kay-pang, tapi karena merasa lucu, tiada orang menggubrisnya. Pada saat itulah tiba-tiba bayangan melayang ke atas panggung dengan enteng sekali. Ketika kaki kirinya mendarat di tepi panggung, tiba-tiba tubuh orang itu terhuyung-huyung seakan-akan merosot jatuh. Sungguh pun orangnya dogol tetapi hati Tong Tay-hai ternyata baik. Dia segera berseru:

”Eh, hati-hati...!”

Dia berlari maju hendak menarik orang, tapi ternyata melesetlah dugaannya. Ia tidak tahu bahwa orang itu sengaja hendak memamerkan ilmu silatnya yang tinggi di hadapan orang banyak. Ketika tangan Tong Tay-hay memegang lengan kiri orang itu, mendadak orang itu membalikkan tangan terus diayun dengan gerakan Kim-na-jiu-hoat (ilmu mencekal dan menawan) hingga tanpa kuasa lagi tubuh Tong Tay-hai yang segede kerbau itu melayang keluar panggung lalu jatuh terbanting di tanah.

Pada waktu semua orang mengamati orang itu, ternyata pakaiannya rajin bersih, alisnya panjang dan matanya jeli. Kiranya dia adalah murid Kwe Ceng, Bu Siu-bun adanya. Menyaksikan muridnya mengunjukkan tipu gerakan yang meski pun gayanya amat indah, tetapi terlalu sombong, sekali-kali bukan perbuatan seorang jujur, maka dalam hati Kwe Ceng menjadi kurang senang. Betul saja, di bawah panggung segera banyak suara gerondelan orang yang tidak setuju, berbareng dari kanan-kiri bergema tiga suara orang:

“Kepandaian bagus! Mari kita belajar kenal beberapa jurus!”

“Macam apakah cara itu?”

“Orang bermaksud baik menarik kau tapi kau malah membantingnya, benar-benar kurang pantas!”

Dan berbareng tiga orang melompat ke atas panggung. Ilmu silat Bu Siu-bun adalah ajaran Kwe Ceng dan Oey Yong, lagi pula dia memiliki dasar kepandaian, yaitu mendapat pelajaran dari sang ayah, Bu Samthong serta ‘It-yangci’ yang diperolehnya dari sang Susiok, Cu Cu-liu, sekarang kepandaiannya dalam angkatan muda boleh dikatakan kelas terkemuka. Melihat tiga lawan datang sekaligus, diam-diam ia girang, pikirnya: “Ha, kebetulan aku kalahkan tiga orang ini barulah dapat menunjukkan betapa lihay ilmu silatku.”

Kuatir kalau ketiga orang itu akan menempurnya bergiliran, maka tanpa berkata lagi segera dia mendahului bergerak, dalam sekejap saja dia telah melontarkan serangan masing-masing satu kali ke arah tiga lawan itu.

IBU ANAK SAMA GELISAH

Kuatir kalau ketiga orang itu menempurnya bergiliran, maka tanpa berkata lagi dia mendahului bergerak, dalam sekejap saja dia telah melontarkan serangan masing-masing satu kali ke arah tiga lawan itu. Ketiganya belum lagi berdiri tegap di atas panggung, dating-datang lantas diserang, dalam gugupnya lekas-lekas mereka menangkis, namun kerepotan juga.

Bu Siu-bun tidak menunggu lawan mendapat kesempatan berpikir, cepat kedua tangannya susul-menyusul menyerang hingga satu mengurung tiga di tengah-tengah. Dia sendiri berada di lingkaran luar mengitar kian kemari secepat terbang, sebaliknya tiga orang yang tergencet di tengah menjadi saling desak sehingga gerak-gerik mereka kurang leluasa. Menyaksikan itu, para pahlawan di bawah panggung terkejut, semuanya berpikir: “Nyata nama Kwe-tayhiap yang menggetarkan kolong langit ini memang bukanlah omong kosong belaka, muridnya saja sudah sedemikian lihay.”

Tiga orang yang terkurung di tengah ini saling tidak kenal satu sama lain, lebih-lebih tidak paham aliran mana ilmu silat masing-masing. Kini kena dikurung Siu-bun, mereka susah bergerak dan tidak dapat saling membantu, sebaliknya malah terasa saling merintangi. Berapa kali ketiga orang itu hendak menerjang keluar, selalu tertahan oleh pukulan-pukulan Siu-bun yang bertubi bagai hujan. Melihat sang suami sudah berada di atas angin, hati Wanyen Peng amat girang, sebaliknya Kwe Hu berkata:

“Ahh, tiga orang goblok ini bukan tandingan engkoh Bu. Buat apa dia pamer kegagahan membuang tenaga saja. Kalau ada jago kuat naik panggung, bukankah akan susah menandinginya?”

Wanyen Peng berperangai halus, ia hanya tersenyum tanpa menjawab. Tetapi sebaliknya Yalu Yen seorang berhati lugu dan tidak pantang omong, biar pun Kwe Hu enso (isteri kakaknya) tapi kedua orang sering adu mulut. Kini mendengar kata-kata sang enso, dia menduga maksud hati orang, maka katanya:

“Kalau adik ipar sudah membereskan sebagaian lawan dan nanti Tun-si juga maju membereskan sebagian lawan Iagi, paling akhir barulah Koko sendiri naik panggung mengalahkan semua pahlawan, maka kau akan menjadi nyonya Pangcu secara aman. Bukankah lebih baik begitu?”

Wajah Kwe Hu menjadi merah, jawabnya: “Ahh, begini banyak orang gagah yang hadir di sini. Siapa yang tidak ingin menjadi Pangcu? Mana bisa dikatakan ‘aman’ segala?”

“Ya, sebenarnya Koko-ku juga tak perlu naik panggung,” kata Yalu Yen lagi.

“Maksudmu?” tanya Kwe Hu heran.

“Bukankah tadi Nio-tianglo bercerita bahwa dulu dalam usia belasan tahun Subo (ibu guru) sudah menjadi Pangcu dengan mengandalkan sebatang pentung bambu. Kata pribahasa, ada sang ibu pasti ada sang puteri, Maka menurutku, Enso, paling baik kalau kau yang naik panggung dari pada Koko-ku.”

“Bagus, kau sengaja meng-olok diriku, ya?” omel Kwe Hu sembari mengulurkan tangan hendak mengitik-itik ketiak orang.

Tetapi cepat Yalu Yen ngumpet di belakang Yalu Ce sambil berseru tertawa: “Tolong Pangcu, nyonya Pangcu akan membunuh orang!”

Begitulah, meski pun waktu itu usia Kwe Hu dan Bu-si-hengte sudah lebih tiga puluh, tapi sejak kecil sudah biasa bergurau, sungguh pun Yalu Yen dan Wanyen Peng juga sudah punya putra-putri, namun bila bertemu masih suka berkelakar seperti waktu muda.

Tatkala itu Oey Yong duduk di samping Kwe Ceng sambil kadang-kadang memandang jauh ke sekelilingnya, ia ingin mengamat-amati kalau-kalau ada orang asing menyelundup masuk. Di sekitar alun-alun itu sudah diatur penjagaan oleh anak murid Kay-pang agar bila ada sesuatu yang mencurigakan segera melapor. Betapa pun juga ia kuatir kalau-kalau Seng-in Suthay, Han Bu-hou, Thio It-bin dan lainnya datang mengacau. Namun tampaknya kini sudah mendekati sore, keadaan masih tenang-tenang saja seperti biasa, diam-diam ia pikir: “Ada apakah kedatangan mereka ke Siang-yang? Kalau dibilang ada sesuatu tujuan, kenapa belum kelihatan sesuatu tanda? Jika hanya memberi selamat pada Siang-ji, rasanya tidak masuk akal.”

Ketika ia memandang ke atas panggung, ternyata dengan sekali pukul Bu Siu-bun menjatuhkan dua lawannya ke bawah. Kini tinggal seorang lagi yang masih bertahan mati-matian, tapi dapat diduga dalam lima jurus pasti akan dikalahkan.

“Hari ini para pahlawan dari segenap pelosok berada di sini untuk berebut jabatan Pangcu dari Kay-pang, pada akhirnya nanti entah siapa yang unggul dan menduduki jabatan?” demikian diam-diam Oey Yong membatin.

Demikian pula hati beratus pahlawan di bawah panggung saat itu pun mempunyai pikiran seperti itu. Tapi di taman bunga di belakang rumah keluarga Kwe itu ternyata ada seseorang yang sama sekali tidak memikirkan kejadian luar biasa ini. Yang sedang dipikirkan adalah: “Hari itu telah kuserahkan sebuah jarum emas padanya dan kukatakan agar hari ini ia datang menemuiku karena hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke 16. Tatkala itu ia sendiri sudah menyanggupi akan datang, tapi kenapa sampai saat ini masih belum datang?”

Demikianlah anak dara itu sedang duduk di tengah gardu di dalam taman yang dilingkungi bunga beraneka warna. Anak dara itu bersandar pada hek gardu dan termenung-menung sambil menyaksikan sang betara surya lambat-laun menggeser ke barat. Dalam hatinya dia berpikir pula: “Hari telah larut, sekali pun sekarang juga ia datang, hanya tinggal waktu tiada setengah hari saja untuk berkumpul.”

Sambil memandangi bayang tetumbuhan di tanah, tangannya memegangi sebuah jarum emas satu-satunya itu sambil bergumam perlahan lagi: “Ya, aku masih dapat mengharap sesuatu darinya, tapi boleh jadi sama sekali ia telah melupakan diriku hingga lupa datang menjengukku, lalu harapan ketiga ini apa bisa kuutarakan lagi?” Kemudian gumamnya pula: “Ah, tidak mungkin, pasti tidak mungkin. Dia adalah pendekar besar, tentu pegang janji, mana bisa menjilat kembali apa yang sudah pernah dikatakannya? Lewat sebentar lagi, ya, sebentar lagi tentu dia akan datang menyambangiku.”

Teringat segera akan bertemu, tanpa terasa pipinya lantas bersemu merah, jarinya yang memegangi jarum emas rada gemetar. Begitulah kalau di taman bunga, si cilik Kwe Siang lagi dirundung rindu, di tengah alun-alun Oey Yong justru sedang mencoba menyelami perasaan puteri kecilnya itu. Dia pikir,

“Menurut apa yang dialami kedua puteriku di kelenteng Yo-tayhu, di mana ada orang kosen diam-diam menolongnya. Kata Ceng-koko, selamanya hanya ada dua orang yang memiliki tenaga dalam sekuat itu, yaitu kalau bukan Ang Chit-kong almarhum, tentunya Ceng-koko sendiri. Tapi guru berbudi luhur itu telah wafat, Ceng-koko lebih-lebih tidak mungkin. Kalau begitu apakah orang yang mengundang manusia-manusia aneh dari segala tempat untuk memberi selamat kepada Siang-ji itu adalah seorang kosen lain lagi? Kalau Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, si tua nakal itu tabiatnya memang suka main gila, tindak-tanduknya tidak begitu rapi. It-teng Taysu orangnya prihatin, tidak suka buang waktu percuma, sedangkan Se-tok Auyang Hong dan Cu-in Hwesio alias Kiu-Jian-yim telah mati semua, lalu apakah mungkin dia adalah Ayah?”

Memang tindak tanduk Oey Yok-su yang aneh-aneh dan sukar diraba itu rada-rada mirip dengan apa yang dilihatnya sekarang ini. Lagi pula Oey Yok-su memang terkenal dengan julukan ‘Tang-sia’ atau manusia aneh dari timur yang namanya menggetarkan Kangouw beberapa puluh tahun yang lalu. Kalau dia yang tampil ke muka mengundang tokoh-tokoh silat itu, rasanya orang pasti akan memenuhinya. Walau pun tidaklah patut orang tua itu main-main dengan puteri dan cucunya, tetapi siapa bisa menduga akan kelakuannya yang terkenal aneh, atau bukan mustahil di dalamnya ada pula maksud tujuan lain? Berpikir sampai di sini, segera Oey Yong menggapai Kwe Hu supaya mendekatinya, lalu dengan berbisik ia bertanya:

“Adikmu menghilang sehari semalam di kota tambangan Hong-leng, ketika kembali pernah tidak dia bicara tentang Gwakong?”

Kwe Hu tercengang oleh pertanyaan tiada ujung pangkalnya ini. “Gwakong?” ia menegas, “Oh tidak. Bahkan muka Gwakong saja adik belum pernah kenal.”

“Coba kau mengingat-ingatnya, ketika dia ikut pergi si setan Se-san di tambangan Hong-leng itu, dia pernah menyebut siapa lagi?” desak Oey Yong.

“Tidak, tak pernah dia sebut-sebut,” sahut Kwe Hu.

Dia tahu kepergian adiknya tempo hari ingin melihat Yo Ko, tetapi di hadapan ayah-bundanya paling ditakutinya bila bicara menyangkut nama Yo Ko, sebab bila mendengar nama itu, sang ibu masih mendingan, tapi sang ayah akan menarik muka hingga beberapa hari tidak bicara padanya. Sebab itulah, kalau adiknya tidak sebut, dia pun lebih suka tutup mulut. Apa lagi urusan sudah lalu, untuk apa nama orang itu diungkat-ungkat buat cari penyakit sendiri?

Tapi Oey Yong adalah wanita cerdik dan pandai, sedikit melihat air muka puteri sulung itu berubah, segera ia menduga pasti tersembunyi sesuatu. Maka dengan sungguh-sungguh segera ia mendesak lagi.

“Apa yang bakal terjadi di depan mata ini bukanlah main-main, coba katakan, apa yang pernah kau dengar, lekas kau katakan terus terang padaku.”

Melihat wajah sang ibu bersungguh-sungguh, Kwe Hu tak berani lagi membohongi, maka katanya:

“Ketika dalam perjalanan mendengar orang mengobrol tentang apa yang disebut Sin-tiau-tayhiap, ialah... ialah Yo... Yo Ko, adik lantas bilang ingin pergi melihatnya.”

Terkesiap hati Oey Yong, “Lalu dapat dilihatnya tidak?” tanyanya.

“Pasti tidak,” kata Kwe Hu. “Kalau sudah, menurut watak adik masa tidak terus dibuat bahan cerita?”

“Ah, Ko ji, benar-benar Ko-ji, benar-benar dia!” demikian diam-diam Oey Yong berkata dalam hati. Segera ia tanya lagi.

“Dan menurut pendapatmu, orang yang diam-diam membantu kalian membunuh Nimo Singh di kelenteng Yo-tayhu itu, dia atau bukan?”

“Mana mungkin?” sahut Kwe Hu. “Yo... Yo-toako mana bisa mempunyai ilmu silat begitu bagus?”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar