Selasa, 19 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 174

Ketika Oey Yong sampai di simpang jalan dekat pintu barat kota, tiba-tiba dilihatnya ada dua penunggang kuda secepat terbang menyerempet lewat. Cepat Oey Yong menyingkir ke pinggir jalan. Waktu diawasinya, ternyata kedua penunggang itu adalah laki-laki kekar semua. Setiba di samping jalan, seorang memutar kuda ke barat-laut dan yang lain membalik ke barat-daya. Ketika mereka hendak berpisah, terdengar seorang di antaranya berseru:

“lnsat, jangan lupa bilang kepada Thio-toagocu bahwa dalang, pesinden dan penabuhnya harus dia sendiri yang membawanya dan jangan lupa membawa tukang pembuat bunga api!”

“Ah, tak perlu kau mengingatkan aku terus menerus, kau sendiri disuruh pergi memanggil tukang masak yang kesohor itu, jika terlambat satu hari, kau akan diomeli orang banyak,” sahut kawannya. Habis itu, cepat sekali kedua orang itu lantas berpisah.

Perlahan Oey Yong masuk kota, dalam hati dia tambah heran. Nama Thio-toagocu (si selendang besar she Thio) sudah dikenalnya sebagai seorang berpengaruh di Hang-gau. Masa ada seorang secara begitu mudah bisa memanggilnya datang? Apakah ini juga suruhan ‘lnkong’ yang disebut itu? Mereka bermain besar-besaran, sebetulnya apakah maksudnya? BegituIah dalam hati Oey Yong penuh tanda tanya. Tiba-tiba hatinya terkesiap, pikirnya: “Ya... ya, sekarang tahulah aku, pasti ini sebabnya.”

Cepat dia kembali ke rumah serta menanyai sang suami: “Ceng-koko, apakah ada tamu undangan kita yang ketinggalan dikirimi kartu?”

“Ketinggalan mengirimkan undangan?” tanya Kwe Ceng heran. “Tapi kita telah memeriksa beruIang kali, rasanya tiada yang ketinggalan.”

“Memang aku pun berpikir begitu,” ujar Oey Yong, “Karena kuatir ada yang ketinggalan tidak diundang, maka orang gagah mana saja, walau pun tidak terlampau dikenal juga kita kirimkan kartunya. Tetapi apa yang kulihat tadi jelas sekali ada seorang tokoh besar yang merasa sakit hati sehingga mengadakan perjamuan besar kaum ksatria untuk menyaingi kita.”

Tetapi Kwe Ceng yang berjiwa luhur dan berhati terbuka, bukannya iri sebaliknya ia malah girang, katanya:

“Aha, kebetulan! Kalau ada seorang Enghiong yang bercita-cita sama, itu paling baik. Kita akan mendukung dia sebagai Bengcu (ketua perserikatan) dan biar dia memimpin para ksatria untuk melawan MongoI, kita sendiri tunduk pada perintahnya saja.”

Namun Oey Yong berkerut kening, katanya: “Tapi kalau melihat tindak-tanduknya tidak mirip hendak melawan musuh. Dia telah mengirim undangan kepada Tio-lokunsu di Sin-yang, Liong-ah Thauto di Oh-ah-san, Thio-toagocu dan lain-lain lagi.”

Tapi Kwe Ceng malahan bertambah girang, dia tepuk meja serta berseru: “Ha, jika orang ini sanggup mengundang Tio-lokunsu, Liong-ah Thauto dan Thio-toagocu ke Siang-yang, pasti kekuatan kita akan bertambah besar. Yong-ji, terhadap tokoh-tokoh seperti itu, kita harus bersahabat baik-baik.”

Tetapi Oey Yong tidak menyahut lagi. Sementara petugas memberitahu bahwa tamu-tamu telah datang sehingga terpaksa Kwe Ceng dan Oey Yong sibuk menyambut. Saking sibuknya harus menyambut tetamu yang datang ber-bondong-bondong dari segala pelosok, terhadap pengalamannya semalam sementara tak sempat dipikirkan lagi oleh Oey Yong. Esok harinya adalah Eng-hiong-tay-hwe, pertemuan besar kaum ksatria. Tidak kurang disediakan 400 meja perjamuan, komandan militer kota pemerintah Song, Lu Bun-hwan, telah menyuguhkan sendiri arak kehormatan kepada para ksatria atau pahlawan itu.

Dalam perjamuan, ketika semua orang sedang berbicara mengenai keganasan serdadu Mongol yang membunuh rakyat dan merebut tanah airnya, semua orang merasa murka sekali, beramai-ramai mereka akan bertempur mati-matian melawan musuh. Dan pada malam itu juga dengan suara bulat Kwe Ceng dipilih sebagai Bengcu atau ketua perserikatan, semua orang bersumpah dengan darah dan berjanji melawan musuh hingga titik darah penghabisan.

Di lain pihak, sesudah hari itu Kwe Siang bertengkar dengan sang Toaci di kelenteng Yo-taybu serta menyatakan tidak akan ikut menghadiri perjamuan besar ksatria itu, betul juga ia tidak menampakkan diri melainkan makan-minum sendirian di kamarnya. Katanya pada dayang yang melayaninya:

“Toaci pergi menghadiri perjamuan ksatria itu, sedangkan aku sendirian enak-enak makan-minum, masa kalah gembiranya dari pada dia?”

Kwe Ceng dan Oey Yong sendiri sedang memusatkan pikiran menghadapi musuh, mereka tidak sempat melihat kelakuan anak dara yang lagi ngambek itu, Kwe Ceng boleh dikatakan sama sekali tak tahu menahu. Oey Yong pernah juga menanyakan, tapi dia pun tahu adat puteri kecil itu memang aneh, maka dia hanya ganda tersenyum saja.

Dalam perjamuan besar itu kebanyakan para pahlawan adalah jago-jago minum. Sesudah banyak minum pengaruh alkhohol bekerja, lantas saja banyak yang lupa daratan, ada juga yang lantas memamerkan ilmu silat sebagai selingan. Betapa pun juga akhirnya Oey Yong terkenang kepada puteri kecilnya, maka katanya pada Kwe Hu:

“Coba kau pergi memanggil adikmu keluar untuk melihat keramaian ini. Perjamuan seperti ini, selama hidup orang belum tentu dapat menyaksikannya satu kali.”

“Ahh, aku justru tidak mau mengundangnya,” sahut Kwe Hu. “Adik lagi ngambek dan ingin mencari gara-gara padaku, bukankah aku cari penyakit bila pergi ke sana?”

“Biar aku saja yang menyeret Ji-ci kemari,” ujar Kwe Boh-lo.

Lalu ia pun bangkit dan menuju ke belakang, tapi tak lama Boh-lo telah kembali sendirian. Belum lagi ia buka suara, Kwe Hu sudah mendahului berkata:

“Bagaimana? Aku kan sudah bilang dia takkan datang. Sekarang betul tidak?”

Melihat wajah puteranya penuh rasa keheranan segera Oey Yong bertanya: “Apa yang dikatakan Ji-ci?”

“Sungguh aneh, ibu!” sahut Boh-lo.

“Sebab apa?” tanya sang ibu.



“Kata Ji-ci, di kamarnya sedang diadakan perjamuan kecil kaum ksatria, maka tidak akan menghadiri perjamuan besar ksatria ini!” demikian Boh-lo menerangkan.

Tapi Oey Yong hanya tersenyum, katanya: “Ji-cimu itu memang suka berpikir yang tidak-tidak, biarkan sajalah.”

“Ibu, tapi di kamar Ji-ci benar-benar ada tetamunya,” kata Kwe Boh-lo lagi. “Di antaranya lima laki-laki dan dua wanita, semuanya lagi minum arak bersama Ji-ci.”

Mendengar itu, mau tidak mau Oey Yong mengkerut kening. Dia pikir anak dara ini makin lama semakin berani saja. Masa kamar seorang perawan boleh dimasuki laki-laki untuk makan-minum sesukanya? Sungguh nama julukan Siau-tong-sia yang diberikan orang benar-benar tidak salah. Tapi hari ini semua orang sedang bergembira, tidak pantas untuk soal sekecil ini puteri itu harus didamperat hingga menghilangkan kegembiraan semua orang.

“Cobalah kau pergi mengundang teman-teman adikmu itu agar minum arak di ruangan besar ini, biar bergembira bersama,” demikian katanya kepada Kwe Hu. Nyata dia mengira Boh-lo tak pandai menghadapi tamu, maka sekarang dia menyuruh puteri sulung ini.

Kwe Hu sendiri memang heran dan ingin mengetahui kamar adiknya kedatangan tamu siapakah. Dia cukup kenal watak sang adik yang tak pedulikan adat perbedaan laki-laki perempuan segala macam dan suka bergaul dengan semua lapisan masyarakat. Dia pikir teman yang lagi minum arak bersamanya itu tentu sebangsa orang-orang tak keruan. Kini mendengar perintah sang ibu segera dia bangkit menuju kamar Kwe Siang. Ketika hampir dekat kamar adiknya itu, terdengarlah suara anak dara itu sedang berseru:

“Hai, Gin-koh, suruhlah koki membawakan lagi dua guci arak!”

Pelayan yang disebut itu menyahut sekali, lalu terdengar Kwe Siang menambahkan: “Dan pesan pula kepada koki supaya lekas masak dua paha kambing serta memotong 20 kati daging rebus yang hangat.”

Maka pergilah pelayan menerima perintah itu. Kemudian terdengar suara seseorang seperti bunyi gembreng pecah berkata pula:

“Kwe-jikohnio (nona Kwe kedua) benar-benar bertangan terbuka, sayang aku Jin-tu-cu tidak kenal sejak dulu, kalau tahu, sudah lama aku berkawan dengan kau.”

“Berkawan sekarang juga belum terlambat,” sahut Kwe Siang tertawa.

Mendengar percakapan itu, Kwe Hu mengkerut kening. Waktu dia mengintip melalui sela-sela jendela, terlihatlah dalam kamar adiknya tergeletak sebuah meja pendek, delapan orang duduk di lantai, di atas meja sendok-piring simpang siur tidak teratur, perjamuan sedang berlangsung dengan meriahnya. Yang duduk menghadap kemari terlihat adalah seorang gemuk gede, simbar dada hingga bulu dadanya yang hitam lebat kelihatan. Di sebelah kirinya seorang sastrawan berjenggot cabang tiga, pakaiannya rajin bersih. Di sebelahnya lagi adalah seorang wanita setengah umur, cuma mukanya penuh codet bekas luka, sedikitnya berpuluh tempat.

Dan yang duduk di sebelahnya lagi adalah seorang thauto berambut memakai sebuah ikat rambut emas yang berkilau. Dia sedang menggerogoti sepotong ayam panggang dengan lahapnya: Sedangkan tiga orang lainnya duduk mungkur, maka muka mereka tidak jelas, agaknya yang dua adalah kakek rambutnya beruban dan seorang lagi adalah Nikoh (paderi wanita) berbaju hitam. Kwe Siang sendiri duduk di antara orang-orang itu, wajahnya yang cantik itu sudah mulai bersemu merah, tanda pengaruh alkohol, namun anak dara ini asyik omong tak pernah diam, nyata sekali hatinya sangat gembira.

Tidak lama kemudian koki mengantarkan masakan yang diminta tadi, maka semua orang makan sepuas-puasnya, malah yang minum dan makan paling banyak adalah si Nikoh berbaju hitam itu. Diam-diam Kwe Hu berpikir. Melihat betapa gembiranya mereka, seumpama diundang ke ruangan besar di depan sana mereka tak mau pergi. Dalam pada itu terlihat seorang kakek beruban di antaranya telah berdiri, lalu berkata:

“Perjamuan ini rasanya sudah mencukupi delapan bagian, jadi biarlah hari ini kita sampai di sini saja, kelak kalau hari ulang tahun nona, pasti kami akan makan minum lebih besar lagi. Kini orang tua ada sedikit hadiah. harap saja nona Kwe jangan mencela!” dikeluarkannya sebuah kotak terbungkus sutera lalu diletakkan di meja.

“Pek-cau-sian, hadiah apakah yang kau berikan, hayo perlihatkan.” Kakek yang lain berteriak. Sambil berkata dia pun ulurkan tangan membuka kotak itu sendiri, tapi segera dia berseru tertahan: “Aihh, ini adalah ‘Jian-lian-swat-som’ (Kolesom salju berumur ribuan tahun). Dari mana kau memperolehnya?” Lalu benda mestika itu pun dijemputnya dan di-amati.

Dari sela-sela jendela Kwe Hu melihat jelas kakek itu memegangi sebatang Jin-som seputih salju yang panjangnya kira-kira satu kaki, bentuknya menyerupai anak orok, kepala, tubuh dan anggota badan semuanya lengkap, bahkan kulitnya pun bersemu merah, sungguh semacam benda mestika yang sukar diperoleh. Saking kagumnya semua orang ber-keplok memuji.

Tampaknya kakek yang dipanggil Pek-cau-sian atau Dewa Seratus Rumput itu menjadi senang, katanya:

“Jian-lian-swat-som ini manjur untuk menyembuhkan penyakit yang paling berat dan untuk memunahkan segala racun, boleh dibilang khasiatnya dapat menghidupkan yang mati dan menyambung umur yang hidup. Meski nona hidup bahagia hingga berumur satu abad, memang tidak memerlukannya? Tunggu saja sampai hari ulang tahun seabad, ambil Jim-som ini dan meminumnya supaya nona panjang umur lagi seratus tahun, bukankah sangat bagus?”

Semua orang bertepuk tangan sambil tertawa, mereka memuji sang kakek yang pandai sekali mengucapkan kata-kata pujian. Dalam pada itu orang gemuk gede yang bernama Jin-tu-cu (si jagal orang) mengeluarkan sebuah kotak besi juga. Katanya dengan tertawa:

“Nah, aku menghadiahi nona semacam mainan, hanya untuk bikin tertawa nona saja, tapi tak bisa dibandingkan dengan benda mestika hadiah Pek Cau-sian-ong tadi.”

Dan ketika kotak besi itu dijeplakkan, tiba-tiba saja dari dalam kotak meloncat keluar dua Hwesio gemuk terbuat dari besi, panjangnya masing-masing kira-kira tujuh dim, lalu yang satu memukul dan yang lain menendang terus saling serang-menyerang. Betapa lucunya boneka besi itu sehingga semua orang tertawa geli. Ternyata gerak gerik pukulan-pukulan kedua boneka besi itu adalah ilmu pukulan ‘Siau-lim-lo-han-kun’ yang sangat terkenal. Tak lama kemudian, sesudah alat putaran (pegas) dalam boneka besi itu habis barulah mendadak kedua boneka itu berhenti dengan berdiri tegak, gayanya mirip jago silat kelas satu. Melihat ini semua orang tidak sanggup tertawa lagi, sebaliknya mereka berwajah kuatir.

“Jin-tu-cu,” tiba-tiba wanita yang bermuka codet itu berkata, “jangan karena kau menjaga mukamu tetapi malah mendatangkan penyakit bagi nona Kwe. ‘Thi-lo-han’ (orang-orangan besi) ini adalah milik Siau-lim-si, dari mana kau dapat mencurinya?”

“He-he...” sahut Jin-tu-cu tertawa, “sungguh pun aku Jin-tu-cu bernyali sebesar langit juga tak berani coba-coba gerayangi Siau-lim-si. Tapi ini justru adalah Bu-sik Siansu, paderi utama ruangan Lo-han-tong dari Siau-lim-si yang menyuruh aku membawanya kemari, ia bilang tepat pada hari ulang tahun nona pasti akan sampai di Siang-yang untuk memberi selamat. Nah, yang inilah baru benar-benar hadiahku sendiri yang tak berarti!” ia buka lapisan bawah kotak besi itu tampaklah sepasang gelang kemala hitam. Gelang hitam itu ber-kilat, bentuknya tidak menarik. Mendadak Jin-tu-cu melolos sebilah golok terus membacok gelang kemala itu.

“Trangg...!”

Terdengarlah suara nyaring dan golok itulah yang membal ke atas, sebaliknya gelang kemala tak kurang apa pun. Maka bersoraklah memuji semua orang. Menyusul si sastrawan, Nikoh, Thauto dan si wanita muka codet, semua memberikan kado kepada Kwe Siang, semuanya barang aneh dan mestika yang jarang dilihat. Tentu saja Kwe Siang kegirangan, dengan senyum simpul semua kado itu diterimanya.

Menyaksikan itu Kwe Hu semakin terperangah. Sekali putar tubuh, ia lari kembali ke ruangan depan dan menceritakan semua apa yang dilihatnya kepada sang ibu.

MENCARI PANGCU BARU

Mendengar itu kejut Oey Yong melebihi Kwe Hu. Segera ia mengajak Cu Cu-liu dan bertiga mereka masuk ke ruangan dalam. Lalu Oey Yong tuturkan apa yang dilihat Kwe Hu tadi kepada Cu-liu, murid tertua dari It-teng Taysu. Cu Cu-liu heran, katanya:

“Jin-tu-cu dan Pek-cau-sian? Mengapa mereka bisa datang ke Siang-yang? si Nikoh berbaju hitam itu mungkin sekali adalah Coat-hou-jiu Seng-in Suthay yang membunuh orang tak berkesip, sedang kipas lempit si sastrawan itu terlukis satu setan Bu-siang (setan gentayangan), ehm, apakah mungkin Coan-lun-ong Thio It-bin?”

Sembari berkata Oey Yong berulang-ulang mengangguk, sebaliknya Cu-liu sendiri geleng-geleng kepala, katanya:

“Tapi hal ini teranglah tidak mungkin. Berapakah usia nona Kwe? Kecuali akhir-akhir ini pernah keluar sekali, selain itu belum pernah kakinya menginjak tempat lebih jauh 10 li di luar Siang-yang, mana bisa dia mengenal orang-orang kosen dari segala pelosok? Pula, Bu-sik Siansu dari Siau-lim-si itu telah berpuluh tahun tak pernah turun gunung, orang lain sengaja mohon bertemu saja ditolaknya, mana mungkin sekarang dia malah datang ke Siang-yang hanya untuk memberi selamat ulang tahun kepada seorang nona? Menurut pendapatku, tentu nona cilik ini sengaja bersekongkol dengan kawannya dan membesarkan segalanya untuk menggoda enci-nya.”

“Tapi nama-nama seperti Seng-in Suthay, Thio It-bin dan lain-lain jarang kita sebut-sebut, dari mana Siang-ji bisa kenal mereka? Kalau hendak main-main juga tidak selengkap itu,” ujar Oey Yong termangu-mangu.

“Mari kita coba menemui mereka menurut aturan. Kalau mereka adalah teman-teman Kwe-jikohnio, kedatangan mereka ke Siang-yang ini pasti tiada maksud jahat,” kata Cu-liu kemudian.

“Aku pun berpikir begitu,” sahut Oey Yong. “Cuma Seng-in Suthay, Coan-lun-ong Thio It-bin dan lain-lain biasanya lurus serong tak tertentu, walau pun kita tak jeri, tapi kalau terlibat permusuhan, rasanya cukup akan bikin kepala pusing. Kini pasukan musuh sudah dekat di depan mata, betapa pun tidak boleh lagi memencarkan perhatian untuk melayani manusia-manusia aneh ini...”

Sampai di sini mendadak terdengar suara seseorang bergelak ketawa di luar jendela dan berkata.

“Kwe-hujin, kami datang ke Siang-yang ini hanya untuk memberi selamat ulang tahun dan tiada maksud jahat lain, kenapa harus menjadi pusing kepala?”

Ketika mengucapkan ‘tiada maksud jahat, kenapa harus pusing kepala’, ternyata suara itu sudah menjauh. Cepat Oey Yong, Cu Cu-liu dan Kwe Hu memburu ke pinggir jendeia. Tampaklah satu bayangan berkelebat di atas pagar sana, gerak tubuh itu cepat luar biasa, sekejap saja sudah menghilang. Sedianya Kwe Hu hendak mengejar, tetapi Oey Yong cepat menariknya.

“Jangan sembrono, tak mungkin kau bisa menyandaknya!”

Ketika dia mendongak, tiba-tiba terlihat di atas dahan pohon di luar itu tertancap sebuah kipas putih yang terpentang. Kipas itu tingginya empat tombak lebih, Kwe Hu menduga dirinya tak akan mampu sekali loncat meraihnya, maka serunya:

“Ibu!”

Oey Yong mengangguk, dengan enteng saja ia meloncat, tangan kirinya menahan perlahan pada dahan terus mencelat naik lagi ke atas sehingga kipas itu pun dapat dicabut dan dibawanya turun. Ketika mereka memeriksa kipas itu di bawah cahaya lampu di dalam rumah, terlihatlah di salah satu sisi kipas terlukis setan Bu-siang putih yang lidahnya melelet panjang dengan muka berseri-seri, kedua tangannya terangkap mengunjuk hormat, di sampingnya tertulis 14 huruf besar yang berbunyi:

‘Selamat hari ulang tahun nona Kwe kedua, semoga hidup seabad dan berumur panjang’.

Waktu Oey Yong membalik kipas itu, di sebelahnya juga tertulis kata-kata. ‘Hek-ih-ni Seng-in, Pek-cau-sian, Jin-tu-cu Kiu-su-sing, Kau-bak Thauto, Han Bu-hou dan Thio It-bin, menyampaikan salam hormat kepada Kwe-thayhiap serta Kwe-hujin, selamat hari ulang tahun puteri kesayangan kalian, kedatangan kami yang lancang ini tak berani lagi tinggal lebih lama, haraplah maaf, maaf’.

Beberapa baris tulisan itu belum kering tintanya, tulisannya kuat dan bergaya. Cu Cu-liu adalah ahli seni-tulis, maka segera ia memuji:

“Tulisan bagus, tulisan bagus!”

“Nah, teranglah sekarang, mari kita pergi melihat Siang-ji,” kata Oey Yong kemudian.

Waktu mereka sampai di kamar anak dara itu, pelayan sedang membersihkan sisa-sisa daharan dan mangkok piring kotor.

“Ibu, Cu-pepek, Cici, lihatlah ini kado yang kuterima dari tetamu,” demikian kata Kwe Siang segera.

Menyaksikan benda-benda seperti Jin-lian-swat-som, Tiat-lo-han kembar, gelang kemala hitam serta kado lain hadiah Coat-hou-jiu Seng-in Suthay dan Coan-lun-ong Thio It-bin dan kawan-kawan, tentu saja Oey Yong dan Cu-liu merasa heran sekali. Ketika Kwe Siang menjeplak alat penggerak sehingga sepasang boneka besi itu bersilat saling pukul, tampaklah anak dara itu amat girangnya. Oey Yong menunggu kedua boneka itu selesai memainkan ‘Lo-han-kun’ dari Siau-lim-si, lalu tanyanya:

“Siang-ji, sebenarnya apa yang terjadi, ceritakanlah pada ibu.”

“Ahh, biasa saja. Beberapa kawan baru mengetahui aku She-jit (hari ulang tahun), maka mereka memberikan kado padaku,” sahut Kwe Siang tertawa.

“Dari mana kau kenal orang-orang ini?” tanya sang ibu.

“Baru hari ini kukenal,” sahut Kwe Siang. “Tadi pada waktu aku seorang diri sedang minum arak dalam kamar, tiba-tiba terdengar Han-cici, itu enci yang bernama Han Bu-hou, menyapa di luar jendela, katanya: ‘Adik cilik, jika kami be-ramai mengiringi kau minum, mau tidak?’ Aku menyahut: ‘Baik sekali! Marilah masuk, marilah masuk!’ Dan mereka pun melompat masuk, malahan mereka menyatakan pada tanggal 24, tepat pada hari ulang tahunku nanti, mereka akan datang lagi memberi selamat. Ya, entah dari mana mereka tahu saat hari ulang tahunku. Ibu, apakah mereka kenalanmu dan ayah? Bila tidak, kenapa mereka memberi kado begini banyak padaku?”

“Ayahmu dan aku tidak kenal mereka,” sahut Oey Yong. “Tentunya mereka datang atas undangan seorang sobatmu yang aneh, bukan?”

“Aku tidak punya sobat yang aneh, kecuali Cihu,” sahut Kwe Siang tertawa.

“Ngaco, Cihu-mu kenapa kau katakan aneh?” semprot Kwe Hu.

Kwe Siang me-Ielet lidah, sahutnya tertawa. “Setelah menikahi kau, tidak aneh pun Cihu berubah aneh.”

Segera Kwe Hu mengangkat tangannya hendak memukul, tapi sambil terkikik Kwe Siang bersembunyi di belakang sang ibu.

“Sudahlah, jangan bergurau Iagi,” ujar Oey Yong,

“Siang-ji, jawablah, tadi Coan-lun-ong dan Pek-cau-sian me-nyebut tentang Eng-hiong-tay-hwe yang akan kita adakan itu tidak?”

“Tidak,” sahut Kwe Siang. “Hanya kedua kakek yang bernama Pek-cau-sian dan Kiu-su-sing itu bilang sangat mengagumi ayah.”

Sesudah Oey Yong bertanya lagi dan melihat Kwe Siang benar-benar tidak membohongi apa-apa, lalu katanya:

“Baiklah, lekas tidur!” Bersama Cu Cu-liu dan Kwe Hu mereka pun keluar dari kamar anak dara itu.

“Ibu,” tiba-tiba Kwe Siang menyusul keluar kamar. “lni Jian-lian-swat-som agaknya sangat berfaedah, harap ibu memakannya separoh dan ayah separoh.”

“Bukankah itu kado Pek-cau-sian untuk ulang tahunmu?” sahut Oey Yong.

“Aku sudah dilahirkan dan juga sudah besar, tapi tiada sedikit jasa pun. Ibulah yang selama ini benar-benar terlalu capek,” ujar Kwe Siang.

Oey Yong pikir janganlah mengecewakan maksud baik puteri kecil ini, maka Jin-som itu diterimanya. Bila mana terkenang olehnya pada hari Kwe Siang dilahirkan lantas banyak mengalami hal-hal yang berbahaya, tanpa terasa dia pun menghela napas.

Ketika Kwe Ceng kembali ke kamar dan bercerita kepada sang isteri tentang semangat para ksatria yang bersatu padu dan siap berjuang dengan sepenuh tenaga untuk melawan musuh, tampaknya ia menjadi luar biasa girangnya. Oey Yong menceritakan juga tentang kehadiran Seng-in Suthay serta Pek-cau-sian dan lain-lain dalam perjamuan Kwe Siang. Seketika Kwe Ceng melengak.

“Bisa terjadi hal begitu?” demikian ia menegas.

Ketika dia periksa Jian-lian-swat-som itu, ternyata memang sebuah benda mustika yang sukar diperoleh.

“Ha, nona cilik kita agaknya memiliki pengaruh yang jauh melebihi orang tuanya,” ujar Oey Yong tertawa.

Akan tetapi Kwe Ceng tak bersuara, dia menunduk memikirkan tindak-tanduk orang-orang sebangsa Seng-in Suthay, Coan-lun-ong dan Han Bu-hou itu.

“Ceng-koko,” kata Oey Yong lagi, “apakah urusan pemilihan Pangcu lebih baik dimajukan beberapa hari? Bila tidak, sampai hari ulang tahun Siang-ji lalu Bu-sik Siansu dan kawan-kawannya benar-benar datang, maka rasanya terlalu banyak campur aduk orang-orang luar sehingga mungkin akan terjadi hal-hal di luar dugaan.”

“Tapi aku malah ada suatu pikiran,” ujar Kwe Ceng, “Kita justru tunggu sampai tanggal 24 baru mulai memilih pangcu supaya suasana bertambah semarak. Apa bila Bu-sik Siansu dan Liong-ah Thauto benar-benar hadir, kita lantas minta mereka agar suka bersatu padu melawan musuh penjajah, bukankah demikian ini menjadi lebih baik?”

“Tetapi aku kuatir kalau-kalau mereka hanya pura-pura datang memberi selamat saja, tapi tujuannya hendak mengacau,” sahut sang isteri, “Coba kau pikir, ada hubungan apakah antara mereka dengan Siang-ji yang masih kecil? Masa mereka datang hanya untuk memberi selamat She-jit? Sejak dahulu kala yang lurus dan yang serong tidak pernah berdiri sejajar, mungkin masih ada sebagian besar ahli silat di dunia ini yang tidak suka engkau diangkat menjadi Bu-lim Bengcu (ketua himpunan persilatan).”

Mendadak Kwe Ceng berdiri dan terbahak-bahak. “Yong-ji,” katanya. “Asal perbuatan kita tidak merugikan negara dan bangsa, tentang Bu-lim Bengcu ini siapa pun yang menjabat bagiku sama saja. Apa lagi yang serong tidak akan menangkan yang lurus, jika mereka benar-benar bermaksud jahat, biar kita melayani mereka. Kau punya ‘Pak-kau-pang-hoat’ (ilmu permainan pentung penggebuk anjing) dan aku punya “Hang-liong-sip-pat-ciang” (18 jurus ilmu pukulan penakluk naga) sudah ada belasan tahun tidak pernah dipertunjukkan dan agaknya tidaklah perlu jeri pada orang.”

Melihat semangat sang suami masih menyala-nyala tidak kurang dari pada masa dahulu, maka Oey Yong lalu berkata dengan tertawa:

“Baiklah aku menurut saja pada keputusan pimpinan. Sekarang minumlah Jin-som salju dari Siang-ji ini, agaknya khasiatnya cukup membandingi latihan selama lima-enam tahun.”

“Ahh, tidak,” sahut Kwe Ceng. “Engkau telah melahirkan tiga anak, kekuatanmu banyak berkurang, kaulah yang perlu tambah jamu kuat.”

Nyata cinta kasih antara suami isteri itu benar-benar kekal abadi. Sesudah tolak menolak akhirnya Kwe Ceng berkata:

“Sudanlah, biar Jin-som ini kita simpan saja. Beberapa hari lagi dalam pertarungan ksatria tentu ada kawan kita yang terluka, sebaiknya benda ini kita simpan untuk menolong jiwa mereka.”

Besok paginya perjamuan besar kaum ksatria itu masih terus dilangsungkan dan di kamar Kwe Siang perjamuan kecil kaum ksatria juga tetap diadakan. Sudah sejak siang-siang Oey Yong pesan koki agar memasak sebaik-baiknya untuk tetamu puteri kecilnya itu. Kwe Hu sendiri sedang mencurahkan seluruh perhatiannya untuk persiapan kemungkinan sang suami, Yalu Ce yang bakal ikut merebut kedudukan Pangcu Kay-pang. Maka terhadap urusan tamu-tamu aneh sang adik sama sekali tak dihiraukannya.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar