Selasa, 19 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 173

Sementara ini pasukan Mongol masih ratusan li di utara Siang-yang, tetapi para pengintai yang terdiri dari jago-jago silat pilihan seperti Nimo Singh dan lain-lainnya sudah tiba lebih dulu di sekitar Siang-yang. Malam ini Nimo Singh bermaksud hendak menginap di kelenteng Yo-tayhu. Tak terduga didengarnya percakapan Kwe Hu berdua, keruan dia menjadi girangan bukan main. Dia tahu berhasilnya Siang-yang dipertahankan sekian lama oleh kerajaan Song adalah berkat perjuangan Kwe Ceng. Kalau sekarang kedua puteri kesayangannya ditawan, andaikan tak dapat memaksa Kwe Ceng menyerah, sedikitnya dapat mengacaukan semangat pendekar itu dan sungguh suatu jasa besar baginya bila dilaporkan kepada raja Mongol. Karena itulah ia lantas menjawab:

“Eh, nona Kwe, sungguh bagus daya ingatmu, ternyata kau tidak pangling padaku. Baiklah, supaya tidak bikin susah kedua pihak, silakan kalian ikut aku saja.”

Gusar dan kuatir pula Kwe Hu. Dia tahu ilmu silat orang Hindu ini sangat lihay, sekali pun dirinya kakak beradik maju sekaligus bukan tandingannya. Tanpa terasa dia melotot marah kepada Kwe Siang. Pikirnya: “Semua ini gara-garamu, coba cara bagaimana harus menghadapi bahaya di depan mata sekarang?”

Sebaliknya Kwe Siang sudah berkata kepada Nimo Singh: “Ehh, kenapa kedua kakimu begitu aneh? Sebelum buntung apakah dahulu juga sepanjang itu?”

Nimo Singh hanya mendengus tanpa menggubris, tetapi lantas berkata pula kepada Kwe Hu:

“Kalian berjalan di depan, jangan sekali-kali timbul pikiran hendak melarikan diri.” Nyata dia telah menganggap kakak beradik itu sebagai tawanan yang sudah berada dalam genggaman.

Kwe Siang lantas berkata: “He, cara bicaramu ini sungguh aneh, tengah malam buta kau suruh kami kakak beradik pergi ke mana?”

“Jangan banyak bicara, lekas ikut pergi!” bentak Nimo Singh. Ia kuatir kedatangan musuh yang kini banyak berkumpul di Siang-yang dan usahanya ini mungkin bisa gagal, maka ingin lekas-lekas pergi.

“Ji-moay, si cebol ini adalah jagoan pihak Mongol, kepandaiannya cukup lihay, mari kita mengeroyoknya dari kanan kiri,” bisik Kwe Hu kepada adiknya.

“Srett!...!” ia melolos pedang terus menusuk ke pinggang musuh.

Kwe Siang tidak membawa senjata. Ia melihat Nimo Singh tidak mempunyai kaki, bisanya berdiri adalah berkat tongkatnya. Sekarang sang Toaci telah menyerangnya, apakah dia bisa menangkisnya? Dasar hati Kwe Siang memang welas asih, maka dia berbalik berseru:

“Cici, orang ini harus dikasihani, jangan dilukai!”

Tak terduga, belum lenyap suaranya, tiba-tiba Nimo Singh menyangga tubuhnya dengan tongkat kiri, tongkat kanan terus menyabet.

“Trangg...!”

Tongkat Nimo Singh membentur pedang Kwe Hu sehingga memercikkan lelatu api dalam kegelapan, pedang Kwe Hu hampir saja terlepas dari cekalan. Kwe Hu merasa tangannya kesemutan dan dada sakit. Cepat dia menggeser ke samping dan menyerang lagi, dia mainkan ‘Wat-li-kiam-hoat’ dan menempur Nimo Singh dengan sengit. Wat-li-kiam-hoat atau ilmu pedang gadis cantik diajarkan Kwe Ceng kepada puterinya untuk mengenang salah seorang gurunya dari Kang-lam-jit-koay, yaitu Han Siao-eng yang tewas secara mengenaskan di Mongol. Ilmu pedang ini mengutamakan kelincahan serta kegesitan, akan tetapi karena terbatas tenaga, betapa pun Kwe Hu memang bukan tandingan Nimo Singh.

Melihat cara Nimo Singh menggunakan kedua tongkatnya dengan bergantian, yang satu digunakan menyangga tubuh dan yang lain digunakan menyerang, gerak geriknya cepat dan gesit tiada ubahnya seperti orang berkaki, apa lagi kedua tongkatnya sangat panjang, dari atas menggempur ke bawah, daya serangannya menjadi lebih hebat, jelas sang Toaci tidak sanggup melawannya, baru sekarang Kwe Siang merasa kuatir.

Sebenarnya kepandaian Nimo Singh memang jauh lebih tinggi dari pada Kwe Hu, hanya kepandaian nona itu adalah ajaran Kwe Ceng dan Oey Yong yang lihay, maka dapatlah Kwe Hu bertahan sekian lama. Tapi dirasakannya tekanan tongkat musuh semakin berat sehingga sukar ditangkis lagi. Melihat kakaknya terdesak, tanpa pikir lagi Kwe Siang menubruk maju dengan tangan kosong.

“Kena!” tiba-tiba saja Nimo Singh berteriak, tongkat kiri menutul lantai sehingga tubuhnya melayang, kedua tongkat digunakan sekaligus untuk menyerang, tongkat yang satu kena menotok bahu kiri Kwe Siang, tongkat lain tepat menotok Hiat-to di dada Kwe Hu. Kwe Siang tergeliat sempoyongan sambil melangkah mundur beberapa tindak, sedangkan Kwe Hu cukup berat ditotok oleh tongkat lawan sehingga tidak tahan.

“Blukk!” dia jatuh terduduk.

Gesit luar biasa Nimo Singh, cepat lagi keji. Begitu tongkatnya menutul perlahan, segera dia mendesak maju ke depan Kwe Hu sambil menjengek:

“Nah, sudah kukatakan ikut saja denganku...”

Di luar dugaan, mendadak Kwe Hu berseru: “Ji-moay, lekas lari ke belakang!”

Nimo Singh sangat terkejut. Sudah jelas Hiat-to di dada Kwe Hu kena ditotoknya dengan ujung tongkat, kenapa nona itu masih dapat bergerak dengan bebas? Ia tidak tahu bahwa Kwe Hu memakai baju wasiat berduri landak (Nui-wi-kah) pemberian sang ibu, dikiranya keluarga Kwe punya ilmu kekebalan yang tidak mampu ditotok dan tidak mempan dilukai. Padahal sesudah terkena totokan tongkat tadi, meski tidak berhalangan apa-apa, namun rasa sakitnya tidak kepalang, dan kurang leluasa lagi buat bergerak. Tetapi Kwe Siang lantas memainkan ilmu pukulan ‘Lok-eng-ciang-hoat’ dan melindungi di belakang sang Toaci sambil berseru:

“Cici, engkau saja lari lebih dulu!”

Tapi sebelum mereka angkat kaki, tahu-tahu Nimo Singh melayang lewat di atas mereka lalu menghadang di depan Kwe Hu sambil membentak:

“Jangan bergerak!”

Kwe Siang menjadi marah dan mendamperat: “Tadinya kau harus dikasihani, tak tahunya kau begini jahat!”

“Ha-ha-ha…..!” Nimo Singh bergelak tertawa. “Anak dara, rupanya kau belum kenal kelihayan kakek sebelum tahu rasa.”



Kedua tongkatnya bergantian melangkah maju sehingga menerbitkan suara ‘tok-tok-tok’ yang keras. Dengan muka menyeringai selangkah demi selangkah dia mendesak maju. Keruan Kwe Hu dan Kwe Siang melangkah mundur dengan ketakutan. Selama hidup Kwe Siang belum pernah melihat wajah orang sebengis ini, dilihatnya kedua mata Nimo Singh melotot, mukanya beringas, ada pun muIutnya menyeringai seperti iblis, tampak pula taringnya yang runcing putih seakan-akan drakula yang akan menerkam dan menggigit lehernya. Saking takutnya dia menjerit ngeri. Pada saat itulah tiba-tiba saja Kwe Siang mendengar suara halus berkata di belakangnya:

“Jangan takut, serang dia dengan Am-gi (senjata rahasia)!”

Dalam keadaan gawat begitu, tidak terpikirkan lagi oleh Kwe Siang siapa yang bicara itu. Segera dia meraba bajunya, tetapi disadarinya dia tidak membawa senjata apa pun juga, katanya dengan cemas:

“Aku tidak membawa Am-gi.”

Sementara itu Nimo Singh sudah mendesak maju Iagi. Dia menjadi bingung dan terpaksa kedua tangannya disodorkan ke depan dengan gaya membela diri. Tak terduga baru saja tangannya menjulur ke depan, sekonyong-konyong dari belakang seakan-akan ditiup serangkum angin sehingga lengannya terasa tergetar perlahan, sepasang gelang untiran emas yang dipakainya tahu-tahu terlepas dari pergelangan tangan lantas melayang ke depan.

“Tring-tringg...!” sepasang gelang emas itu membentur kedua tangan Nimo Singh.

Tampaknya benturan itu sangat perlahan, tapi entah mengapa Nimo Singh ternyata tidak mampu memegangi kedua tongkatnya dan mendadak ia terlempar keras ke belakang.

“Blangg...! Blangg...!”

Dua kali kedua tongkat membentur dinding dan membikin debu pasir pada rontok. Karena tongkat penyangganya terlepas dari cekalan, tubuh Nimo Singh lantas jatuh. Tapi si cebol ini memang lihay juga, baru punggungnya menempel lantai, sekali melejit, tahu-tahu dia telah meloncat lagi ke atas, sepuluh jarinya yang berkuku panjang tajam itu menubruk ke arah Kwe Siang.

Dalam kagetnya, tanpa pikir Kwe Siang mencabut tusuk konde kemala hijau yang dipakainya itu lantas disambitkan ke depan. Terasa angin meniup pula dari belakangnya, tusuk konde itu terdorong cepat ke depan. Melihat sambaran tusuk konde itu sangat aneh, cepat kedua telapak tangan Nimo Singh memapak ke depan. Tapi terdengarlah dia bersuara tertahan, lalu jatuh terduduk dan tidak bergerak lagi. Kuatir musuh main akal licik, cepat Kwe Siang melompat ke samping Kwe Hu dan berseru dengan-suara gemetar:

“Cici, le... lekas lari!”

Tapi mereka melihat Nimo Singh tetap diam saja tanpa bergerak sedikit pun, ditunggu lagi sejenak tetap begitu. Kwe Hu menjadi berani, katanya:

“Apakah dia terkena penyakit angin duduk dan mati mendadak?” Segera ia membentak: “Nimo Singh, kau sedang main gila apa?!”

Kwe Hu pikir musuh sudah kehilangan tongkat dan tidak leluasa bergerak, tentu tidak perlu ditakuti lagi, dengan pedang terhunus dia mendekati. Dilihatnya sepasang mata Ntmo Singh mendelik dengan penuh rasa ketakutan, mulut ternganga lebar, ternyata sudah mati sejak tadi. Kejut, heran dan girang pula Kwe Hu. Cepat dia menyulut lilin pada altar sembahyangan. Belum lagi dia sempat memeriksa lebih jauh, tiba-tiba terdengar suara orang berteriak dari luar kelenteng.

“Hu-moay! Ji-moay! Apakah kalian berada di dalam kelenteng?”

Nyata itulah suaranya Yalu Ce. Dengan girang Kwe Hu menjawab: “Lekas kemari, kakak Ce, benar-benar kejadian yang sangat aneh!”

Sejenak kemudian Yalu Ce telah berlari masuk dengan dua anggota Kay-pang berkantong enam. Dia pun terkejut melihat Nimo Singh tewas menggeletak di situ. Dia tahu ilmu silat Nimo Singh sangat tinggi, sekali pun dirinya bukan tandingannya, tetapi jagoan Hindu itu kini ternyata bisa dibunuh oleh isterinya, sungguh sangat di luar dugaan! Segera ia mengambil tempat lilin dari tangan Kwe Hu dan mendekati Nimo Singh. Setelah diperiksa, ia menjadi tambah heran. Ternyata kedua telapak tangan Nimo Singh berlubang, sebuah tusuk konde kemala hijau tepat menancap Sin-ting-hiat di batok kepalanya.

Padahal tusuk konde kemala itu mudah sekali patah, akan tetapi bisa menembus telapak tangan seorang jago silat kenamaan dan sekaligus membinasakannya, maka betapa lihay kepandaian pemakai tusuk konde ini sungguh sukar diukur dan dibayangkan. Yalu Ce lantas berpaling dan bertanya kepada Kwe Hu:

“Apakah Gwakong datang ke sini? Lekas pertemukan aku dengan beliau.”

Kwe Hu menjadi heran, jawabnya: “Siapa yang bilang Gwakong datang ke sini?”

“Bukan Gwakong?” Yalu Ce menegas. Mendadak dia menjadi girang dan menambahkan “Aha, jika begitu Guruku yang datang!”

Dia lalu memandang sekelilingnya, namun tidak dilihat jejak Ciu Pek-thong. Gurunya itu jenaka dan senang bergurau, bisa jadi sengaja sembunyi untuk membuatnya kaget. Cepat dia berlari keluar kelenteng lantas melompat ke wuwungan untuk memeriksa sekitar, akan tetapi tiada sesuatu pun yang ditemukannya. Maka terpaksa dia melompat turun kembali.

“He, apa-apaan kau bilang Gwakong dan Suhu segala?” tegur Kwe Hu dengan bingung.

Yalu Ce lantas bertanya cara bagaimana mereka bisa kepergok Nimo Singh dan mengapa orang itu bisa tewas begitu saja? Kwe Hu lantas menceritakan apa yang terjadi tadi, tetapi tentang tusuk konde adiknya itu dapat menancap mati Nimo Singh, ia sendiri pun tidak dapat menjelaskan.

“Di belakang Ji-moay pasti ada orang kosen yang membantu secara diam-diam,” ujar Yalu Ce. “Kukira orang yang memiliki kepandaian setinggi ini di jaman kini selain ayah mertua hanyalah Gwakong Oey-tocu, lalu guruku, It-teng Taysu serta Kim-lun Hoat-ong saja berlima. Kim-lun Hoat-ong adalah Koksu Mongol, tentunya dia tak akan membunuh kawan sendiri, sedangkan It-teng Taysu tak mau sembarangan melanggar pantangan membunuh, maka kukira kalau bukan Gwakong tentulah guruku, Ji-moay, coba kau jelaskan, siapakah gerangan orang yang membantumu?”

Kelika menyambitkan tusuk kondenya tadi dan membinasakan Nimo Singh, Kwe Siang segera menoleh dan tidak melihat bayangan seorang pun, maka diam-diam dia meresapi ucapan ‘jangan takut, serang dia dengan Am-gi’. Ia merasa suara itu sudah dikenalnya, ia menjadi sangsi apakah Yo Ko adanya? Maka waktu ditanya Yalu Ce, seketika ia tak dapat menjawab karena dia masih kesima merenungkan suara itu.

“He, kenapa kau, Ji-moay?” seru Kwe Hu sambil menarik lengan adiknya. Ia kuatir jangan-jangan adiknya menjadi linglung karena kejadian yang menakutkan tadi.

Tiba-tiba air muka Kwe Siang berubah menjadi merah dan menjawab: “O, tidak apa-apa.”

“Cihu bertanya padamu, siapakah yang membantu tadi, kau dengar tidak?” kata Kwe Hu mendongkol.

“Oh ya, siapakah yang membantuku membinasakan orang jahat ini? Ahh, sudah tentu dia! Kecuali dia siapa lagi yang memiliki kepandaian setinggi ini?” kata Kwe Siang.

“Dia? Dia siapa?” Kwe Hu menegas. “Apakah pahlawan besar yang kau katakan itu?”

“O, tidak, tidak! Kumaksudkan arwah halus paman Loh,” jawab Kwe Siang cepat.

“Cis!” semprot Kwe Hu sambil mengipatkan tangan adiknya.

“Memang apakah kau melihat sesuatu bayangan orang?” kata Kwe Siang pula. “Pasti paman Loh yang melindungi aku secara diam-diam. Kau tahu, semasa hidupnya paman Loh sangat karib denganku.”

Sudah tentu Kwe Hu menyangsikan cerita Kwe Siang itu, tapi memang nyata tadi dirinya tidak melihat sesuatu bayangan orang dan tahu-tahu Nimo Singh mati.

PESTA YANG MERIAH

Sementara itu Yalu Ce sedang memeriksa kedua tongkat Nimo Singh, katanya kemudian dengan gegetun:

“Kepandaian sehebat ini, sungguh sangat mengagumkan.”

Waktu Kwe Hu dan Kwe Siang ikut meneliti, tampak setiap tongkat itu terbingkai sebuah gelang emas untiran. Padahal gelang itu hanya terbuat dari untiran emas yang halus, akan tetapi orang dapat mendorongnya dengan tenaga dalam yang dahsyat dan membentur jatuh kedua tongkat Nimo Singh, maka pantasIah kalau Yalu Ce merasa gegetun dan kagum tidak kepalang.

“Marilah kita perlihatkan kepada ibu, siapakah sebenarnya orang yang membantu Ji-moay secara diam-diam, tentu ibu mengenalnya,” ujar Kwe Hu.

Nimo Singh berikut sepasang tongkatnya segera dibawa kedua anak murid Kay-pang dan ikut Yalu Ce pulang ke kota. Ketika Kwe Ceng dan Oey Yong mendengar cerita Kwe Hu dan membayangkan betapa berbahaya kejadian itu, mau tak mau Kwe Ceng terperanjat.

Semula Kwe Siang mengira keonaran yang diterbitkannya ini pasti akan mendapat persen damperatan. Namun Kwe Ceng justru gembira oleh keberanian dan tinggi budi puteri kecil yang menuruni gaya sang ayah itu. Dia tidak mendamperat, malah menghiburnya. Begitu pula demi nampak sang suami tidak gusar, maka Oey Yong segera merangkul puteri kecil itu dengan penuh sayangnya. Tetapi kemudian, sesudah dilihatnya mayat Nimo Singh serta keadaan kedua tongkatnya, Oey Yong lantas ter-menung, kemudian barulah dia bertanya kepada Kwe Ceng:

“Ceng-koko, siapakah orangnya menurut kau?”

“Tenaga dalam orang ini mengutamakan keras dan kuat, setahuku selama ini hanya ada dua orang,” sahut Kwe Ceng.

“Ya, tapi guru berbudi kita Ang Chit-kong sudah lama wafat, juga bukan kau sendiri,” ujar Oey Yong.

Ia mencoba bertanya lebih jelas tentang kejadian di kelenteng itu, namun tetap tidak bisa diterkanya. Sesudah Kwe Hu dan Kwe Siang kembali ke kamarnya masing-masing, segera Oey Yong berkata lagi pada sang suami:

“Ceng-koko, kau tahu tidak puteri ke dua kita ada apa-apa membohongi kita.”

“Membohong? Membohong apa?” tanya Kwe Ceng heran. Nyata wataknya amat jujur dan sederhana, maka tidak pernah dia mencurigai orang lain.

“Sejak kembali dari utara mengantar kartu undangan,” demikian tutur Oey Yong, “ia selalu termenung-menung seorang diri, cara bicaranya malam ini juga sangat aneh.”

“Ia terkejut, sudah tentu pikirannya tidak tenang,” ujar Kwe Ceng.

“Bukan, bukan,” sahut Oey Yong, “Dia sebentar malu-malu kucing, di lain saat tersenyum kecil, itu sekali-sekali bukan karena terkejut, tapi dalam hatinya justru merasa senang tak terkatakan.”

“Anak kecil mendadak mendapat bantuan dari orang kosen, sudah tentu akan terkejut dan kegirangan, betapa pun juga tak perlu dibuat heran,” kata Kwe Ceng Iagi.

Oey Yong tersenyum, ia tidak buka suara lagi, tapi dalam hati ia berkata: “Perasaan anak perempuan yang dirundung asmara, waktu mudamu saja kau tak paham, sampai tua juga kau tetap tak mengerti!”

Karena itu dia lantas membelokkan pokok percakapan tentang siasat yang harus digunakan untuk menghadapi musuh serta acara-acara penyambutan tamu dalam perjamuan ksatria besok. Habis itu semua pergi mengaso. Namun di atas ranjang Oey Yong sukar pulas, sebentar-sebentar dia terbayang sikap puteri kecil yang aneh itu, pikirnya: “Pada saat anak perempuan ini baru lahir mengalami kesulitan sehingga selama ini aku selalu berkuatir hidupnya akan banyak terjadi halangan. Tetapi syukurlah selama 16 tahun ini sudah dilewatinya dengan selamat. Apakah mungkin sekarang inilah bakal terjadi sesuatu atas dirinya?”

Kalau teringat olehnya bahwa musuh sudah dekat, mala petaka yang akan datang bakal dihadapi oleh setiap penduduk kota, jika sebelumnya bisa diketahui, sedikit apa-apa yang bakal terjadi juga ada gunanya untuk ber-jaga-jaga. Namun tabiat puteri kecil ini sangat aneh, apa yang tak ingin dikatakannya tetap tak akan dikatakan. Bagaimana pun orang tua membujuk dan mendamperatnya, ia tetap bungkam dalam seribut basa. Dalam keadaan begitu orang tua menjadi kewalahan. BegituIah makin dipikir perasaan Oey Yong semakin tidak enak. Diam-diam ia bangkit dan menuju ke pintu kota, ia suruh penjaga benteng membukakan pintu terus menuju ke kelenteng Yo-tayhu di barat kota.

Kala itu sudah jauh lewat tengah malam, bintang guram dan rembulan suram. Oey Yong keluarkan ilmu meringankan tubuh yang tinggi dan berlari ke sana. Ketika sudah dekat kelenteng Yo-tayhu, mendadak terdengar di belakang tugu ‘Tui-lui-pi’ ada suara percakapan orang. Lekas Oey Yong mendekam ke tanah dan merunduk maju perlahan, setelah beberapa tombak dari tugu, ia sembunyi di belakang pohon besar. Terdengar seseorang berkata:

“Sun-toako, Inkong (tuan penolong) menyuruh kita menunggu di belakang Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata) ini. Sebab apakah tugu ini diberi nama begini menyedihkan, bukankah ini alamat jelek?”

“lnkong agaknya selalu hidup kurang senang, sebab itu bila mendengar nama-nama tentang Tui-pi (mengucurkan air mata), ‘Yu-jiu’ (bersedih) dan lain-lain yang menyedihkan lantas mudah teringat akan nasibnya,” demikian sahut orang she Sun itu.

“Ah, orang berkepandaian tinggi seperti Inkong, seharusnya tak ada urusan sulit baginya,” ujar orang yang duluan. “Tetapi kulihat wajahnya senantiasa bermuram durja. ‘Tui-lui-pi’ ini mungkin sekali dia sendiri yang menamakannya.”

“ltu jelas bukan,” sahut orang she Sun, “Dahulu aku pernah mendengar cerita kuno bahwa kelenteng Yo-tayhu ini didirikan orang di kaki bukit Hian, ini untuk memperingati seorang menteri bernama Yo Koh yang sangat cinta pada rakyat di daerah sekitar sini, maka didirikan pilar (atau tugu) sebagai tanda jasanya. Rakyat yang melihat pilar ini lantas ingat pada kebaikannya dan saking terharu banyak yang menangis, karena itu pilar ini disebut Tui-lui-pi (tugu mencucurkan air mata). Tan-lakte, hidup manusia kalau dapat seperti Yo-tayhu barulah boleh dikata seorang laki-laki sejati.”

“lnkong selamanya membela keadilan di Kangouw sehingga banyak dipuji orang. Bila dia menjadi pembesar negeri di Siang-yang, boleh jadi namanya akan lebih cemerlang dari pada Yo-tayhu-nya orang she Tao.”

“Benar,” sahut si orang she Su. “Malahan Kwe-tayhiap yang namanya terkenal di seluruh jagat memiliki kebaikan yang meliputi apa yang dipunyai Yo-tayhu dan Inkong kita.”

Mendengar kedua orang itu memuji suaminya, diam-diam Oey Yong merasa senang, tapi dia lantas berpikir: “Siapakah gerangan Inkong (tuan penolong) yang mereka maksudkan itu? Apakah mungkin orang yang diam-diam menolong Siang-ji?”

Sementara itu terdengar si orang she Sun berkata pula. “Kita berdua dahulu bermusuhan dengan Inkong, tetapi kemudian jiwa kita malah dia yang menolong. Cara menghadapi musuh seperti kawan sendiri. sungguh boleh dikata melebihi Yo Koh, Yo-tayhu. Menurut cerita kuno, pada jaman Sam Kok, waktu itu Yo Koh menjaga Siang-yang dan bertempur melawan panglima Tang Go yang bernama Liok Gong. Waktu Yo Koh menyerbu daerah Tang Go, waktu perlu memotong tanaman rakyat untuk rangsum pasukannya, ia berkeras mengganti kerugian penduduk setempat. Waktu Liok Gong sakit dia malah mengirim obat untuknya dan Liok Gong pun sama sekali tidak curiga terus meminumnya, setelah minum obat ternyata sakitnya sembuh. Begitulah betapa tinggi martabat Yo Koh sebagai manusia, sampai musuh sekali pun sangat menghormati dan segan padanya. Sewaktu Yo Koh meninggal, perwira dan tentara Tang Go yang menjadi musuhnya ikut menangis sedih. Caranya menaklukkan hati manusia berdasarkan kebajikan itulah baru benar-benar disebut Enghiong (pahlawan sejati).”

“He, Sun-samko,” tiba-tiba si orang she Tan berseru, “kau sebut-sebut Yo Koh, bukankah nama ini sama suaranya dengan nama Inkong kita...”

“Sssst, diam, ada orang datang!” mendadak orang she Sun itu mendesis.

Oey Yong terkejut. Benar saja segera terdengar dari bawah bukit ada suara orang berlari mendatangi. Dalam hati ia pun berpikir: “Nama yang sama suaranya dengan ‘Yo Koh’, apakah mungkin Yo Ko? Ah, tidak, itu tidak mungkin. Sungguh pun ilmu silat Ko-ji banyak maju tak mungkin meningkat sampai taraf yang susah diukur.”

Selang tak lama orang yang datang itu tepuk-tepuk tangan tiga kali, orang she Sun itu membalas tepuk tangan. Orang yang datang itu mendekati tugu Tui-lui-pi, lalu katanya:

“Sun dan Tan dua bersaudara, Inkong menyuruh kalian tak usah menunggunya lagi. Tapi di sini ada dua kartu nama Inkong agar kalian berdua lekas mengirimkannya. Sun-samte mengirim kartu ini kepada Tio-lokunsu di Sin-yang, HoIam, ada pun Tan-lakte hendaklah mengirimkan kartu yang ini kepada Liong-ah Thauto di Oh-ah-san. Katakan pada mereka bahwa mereka berdua diminta berkumpul di sini dalam waktu sepuluh hari.”

Maka terdengarlah orang she Sun dan Tan itu menyahut dengan hormat dan menerima kartu undangan itu. Percakapan orang-orang itu membikin Oey Yong semakin heran dan terkejut. Kiranya Tio-lokunsu atau si guru silat tua she Tio yang disebut-sebut itu adalah keturunan lurus dari kerajaan Song, ilmu pukulan 32 jurus Tiang-kun dan 18 jurus permainan toyanya sangatlah terkenal. Sedang Liong-ah Thauto atau si paderi berambut bisu dan tuli dari Oh-ah-san adalah jago silat pendaman yang sangat tersohor di daerah Ohlam. Cuma sejak kecilnya bisu dan tuli, meski ilmu silatnya amat tinggi namun selamanya tiada hubungan dengan orang luar.

Karena adanya Eng-hiong-tay-hwe atau perjamuan besar kaum ksatria, meski Kwe Ceng dan Oey Yong tahu kedua orang itu suka menyepi dan pasti takkan suka tampil ke dunia ramai, tapi untuk menghormati nama mereka toh kartu undangan tetap dikirim. Dan betul juga, dua orang itu membalas dengan surat, dengan alasan halus mereka menolak untuk hadir. Tapi sekarang ‘lnkong’ yang disebut itu apakah benar-benar begitu hebat sehingga hanya berdasarkan secarik kartu namanya lantas kedua tokoh terpendam itu sudi datang dalam waktu 10 hari yang ditentukan? Demikian Oey Yong berpikir penuh tanda tanya.

Tapi bila ia pikir lagi, tiba-tiba saja ia menjadi kuatir. Besok perjamuan besar kaum ksatria akan dibuka, kini ada orang sedang mengumpulkan tokoh-tokoh Kangouw ternama ke Siang-yang, apakah tujuannya? Jangan-jangan hendak membantu pihak Mongol? Tapi bila mengingat watak Tio-lokunsu dan Liong-ah Thauto yang khas, agaknya mereka bukanlah sebangsa manusia khianat, pula ‘lnkong’ yang disebut itu bila benar orang yang membantu Siang-ji membunuh Nimo Singh, maka jelas orang itu adalah kawan di pihak sendiri.

Begitulah selagi Oey Yong mengasah otak sendiri, terdengar ketiga orang tadi berbisik-bisik sebentar, namun jaraknya sudah jauh, maka tak terdengar jelas, hanya sayup-sayup terdengar si orang she Tan itu bilang:

“Selamanya Inkong tidak pernah memberi tugas kepada kita, sekali ini kita harus melakukannya dengan baik... kita harus menaikkan pamornya... kado kita esok...” dan kata-kata lain tak jelas.

“Baiklah, sekarang juga kita berangkat. Kau jangan kuatir, rencana Inkong pasti tak akan kapiran,” demikian lantas terdengar si orang she Sun mengiyakan. Habis itu ketiga orang lantas turun bukit dengan cepat.

Sesudah orang pergi jauh, Oey Yong masuk kelenteng dan memeriksanya, tetapi tiada sesuatu tanda-tanda aneh yang dilihatnya. Bangunan kelenteng itu amat megah dan kuat, tetapi karena pasukan musuh telah mendekat, maka penghuninya sudah lama lari ke kota sehingga tiada seorangpun. Sungguh pun Oey Yong orang pintar, tapi seketika juga bingung oleh orang yang disebut ‘lnkong’ atau tuan penolong itu. Dia pun tidak ingin ‘menggeprak rumput mengejutkan ular’ dengan menangkap tiga orang itu untuk ditanyai, maka sampai fajar menyingsing barulah ia kembali ke kota.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar