Senin, 18 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 172

Melihat kedua kakak beradik sudah pergi, Su-si-hengte dan Gerombolan Setan lantas berlari keluar untuk memeriksa keadaan Su Beng-ciat dan Toa-thau-kui. Mereka mencela tindakan Kwe Hu yang tidak pantas itu, cuma ucapan mereka pun tidak berani kasar kerena belum mengetahui ada hubungan apa antara Kwe Hu dan Yo Ko. Dengan gemas Su Ki-kiang berkata:

“Nona cilik itu amat baik hati, tapi kakaknya ternyata begitu galak. Sudah jelas adik Ciat mengalah, tapi dia malah melukainya secara keji. Coba kalau tusukannya masuk sedikit lagi, jiwa adik Ciat sudah melayang.”

“Mari kita tanya kepada Sin-tiau-hiap tentang asal usul perempuan itu,” kata Toa-thau-kui. “Di tempat penyeberangan sana dia juga ber-ulang mengeluarkan kata yang tidak baik terhadap Sin-tiau-hiap.”

Pada saat itulah dari balik pohon muncul seseorang dan berkata, “Syukurlah luka Su-goko tidak terlalu parah. Tindak-tanduk perempuan itu memang semberono dan ceroboh. Ketahuilah bahwa lenganku ini ditebas kutung olehnya.”

Melihat yang bicara adalah Yo Ko, semua orang melengak dan tak dapat bicara lagi, mereka sangsi dan ingin tahu, tetapi tidak berani bertanya.

****

Demikianlah Kwe Hu telah membawa Kwe Siang kembali lagi ke tempat penyeberangan. Sementara itu air sungai Kuning yang membeku itu sudah mencair, kakak beradik bertiga bisa menyeberang dan pulang ke Siang-yang. Sepanjang jalan Kwe Hu terus mengomeli Kwe Siang yang dianggap suka berkeluyuran dengan orang-orang yang tidak keruan. Tetapi Kwe Siang berlagak tuli saja dan tidak menggubris omelan sang Toaci, mengenai pertemuannya dengan Yo Ko juga sama sekali tak disinggungnya.

Setiba di Sian-yang, pertama-tama Kwe Hu melapor kepada ayah-bundanya bahwa selama dalam perjalanan Kwe Siang tidak mau tunduk padanya dan banyak menimbulkan keonaran, lalu dia pun menceritakan apa yang terjadi selama Kwe Siang menghilang dua hari dua malam, tentu saja ia bumbui-bumbui pula, ditambahi kecap dan diimbuhi sambel. Kwe Ceng sendiri sedang pusing kepala dengan situasi militer beberapa hari terakhir ini, maka ia tambah marah demi mendengar laporan Kwe Hu, segera ia bertanya:

“Siang-ji, benar tidak laporan cici ini?”

Kwe Siang mengikik tawa, katanya: “Ah, cici memang suka geger, aku cuma ikut seorang teman pergi melihat keramaian, kenapa mesti diributkan?”

“Teman apa? Siapa namanya?” tanya Kwe Ceng.

Kwe Siang melelet lidah, lalu menjawab: “Ahh, lupa kutanyakan namanya, cuma kudengar orang memanggil dia Toa-thau-kui begitu.”

“Seperti orang dari Gerombolan Setan Se-san,” tukas Kwe Hu.

Kwe Ceng juga pernah mendengar nama ‘Gerombolan Setan Se-san’ itu. Meski tak dapat dikatakan gerombolan penjahat, tapi juga bukan kaum ksatria yang baik, maka dia tambah marah demi mendengar anak perempuannya bergaul dengan orang-orang macam begitu. Cuma perangainya memang sabar dan pendiam, walau pun marah dia hanya mendengus geram saja dan tidak berkata lagi, sedangkan Oey Yong lantas mengomeli Kwe Siang.

Malam harinya Kwe Ceng suami-isteri mengadakan perjamuan keluarga untuk menghibur pulangnya Kwe Hu dan Kwe Boh-Io, tetapi sengaja tidak menyediakan tempat duduk bagi Kwe Siang. Yalu Ce berusaha membujuk kedua mertuanya, tapi malah diomeli Kwe Ceng agar sebagai kakak ipar seharusnya ikut mendidik adiknya. Terpaksa Yalu Ce tak berani mengusik lagi. Kiranya Kwe Ceng dan Oey Yong merasa pernah terlalu memanjakan Kwe Hu sehingga banyak menimbulkan petaka, maka sekarang caranya mendidik Kwe Siang dan Kwe Boh-lo berubah sama sekali. Sejak kecil diawasi dengan keras.

Sifat Kwe Boh-lo pendiam seperti sang ayah sehingga tidak menjadi soal. Tapi Kwe Siang semenjak kecil sudah suka berbuat hal-hal yang aneh dan sukar dijajaki jalan pikirannya, lahirnya ia menurut, tetapi dalam hati ia memberontak. Pada waktu ia diberi-tahu oleh pelayan bahwa Tuan dan Nyonya mengadakan perjamuan keluarga dan Ji siocia (puteri kedua) sengaja tidak diundang, keruan Kwe Siang menjadi marah, bahkan ia lantas mogok makan sekalian selama dua hari.

Sampai hari ketiga, Oey Yong jadi kasihan sendiri. Di luar tahu sang suami, dia membuat beberapa macam daharan lezat, disertai kata-kata menghibur dan membujuk barulah anak perempuan bungsu itu mau makan dan gembira lagi. Namun dengan demikian, maksud orang tua mendidik anaknya dengan keras kembali luntur dan sia-sia.

****

Sementara itu pasukan Mongol telah berhasil menyerbu ke negeri Tayli di daerah Hunlam (Yu-nan). Sesudah menduduki kerajaan kecil di selatan itu, pasukan induk beralih ke utara, ada pun pasukan Mongol yang lain dari utara menerobos ke selatan sehingga kedua induk pasukan bergabung hendak menggempur Siang-yang untuk akhirnya melalap kerajaan Song sekaligus.

Pada waktu pasukan Mongol mulai menyerbu Tayli, Kwe Ceng menyeba Eng-hiong-tiap (kartu undangan para ksatria) supaya para pahlawan berkumpul di Siang-yang untuk merundingkan siasat menghadapi musuh. Keberangkatan Kwe Hu dan kedua adiknya ke utara itu adalah mengemban tugas yang diberikan sang ayah itu. Tak terduga gerak cepat pasukan Mongol ternyata sangat luar biasa, dalam waktu singkat Tayli sudah ditumpas. Karena itulah ketika para pahlawan mulai berkumpul di Siang-yang, sementara itu kekuatan pasukan Mongol juga mulai mendekati kota.

Eng-hiong-tay-hwe atau musyawarah besar para pahlawan sudah ditetapkan pada tanggal 15 bulan sepuluh dan direncanakan berlangsung selama 10 hari. Hari ini baru tanggal 13, jadi masih dua hari lagi sebelum hari rapat, sementara itu para pahlawan dan ksatria dari segenap penjuru berbondong-bondong tiba di Siang-yang. Kwe Ceng dan Oey Yong sibuk mengurusi tugas pertahanan, maka urusan menyambut tamu diserahkan kepada Loh Yu-ka dan Yalu Ce. Di antara tamu-tamu yang sudah tiba itu ada Cu Cu-liu, Su-sui Hi-un dan Bu Sam-thong, kedua Bu cilik bersama Yalu Yen dan Wanyen Peng juga sudah datang, begitu pula Hui-thian-pian-hok Kwa Tin-ok.

Pejabat ketua Coan-cin-kau waktu itu, Li Ci-siang, bersama 16 murid utama Coan-cin-pay juga sudah tiba, demikian pula para tertua Kay-pang beserta tokoh-tokoh pengemis yang berkantong tujuh dan delapan. Seketika itu kota Siang-yang penuh dengan jago-jago silat terkemuka. Banyak di antara tokoh-tokoh persilatan yang jarang muncul di dunia Kangouw kini juga datang mengingat pertemuan Siang-yang sekali ini menyangkut nasib negara dan bangsa, lagi pula mereka sangat kagum pada budi pekerti Kwe Ceng suami isteri, maka hampir semua orang yang menerima kartu undangan pasti hadir.

Pada malam tanggal 13 bulan sepuluh, Kwe Ceng suami-isteri mengadakan perjamuan kecil pribadi di kediamannya dan mengundang Cu Cu-liu, Bu Sam-thong dan beberapa kenalan lama untuk beramah tamah. Sebetulnya Loh Yu-ka juga diundang, tapi sampai malam ketua Pangcu itu belum tampak hadir. Semua mengira dia sibuk oleh pekerjaan sehingga tidak menyangka sesuatu. Tengah mereka bersuka ria sambil berbincang mengenai macam-macam kejadian Bu-lim selama belasan tahun terakhir ini, sementara Yalu Ce, Kwe Hu dan anak-anak muda yang bersatu meja tersendiri juga asyik bercengkerama, tiba-tiba datang seorang murid Kay-pang berkantong delapan dan berbisik-bisik kepada Oey Yong. Seketika air muka Oey Yong nampak berubah dan berkata dengan suara gemetar:

“Bisa terjadi demikian?”

Semua orang berpaling memandang nyonya rumah. Terdengar Oey Yong berkata pula kepada anggota Kay-pang itu:

“Semua yang hadir di sini adalah orang kita sendiri, boleh kau bicara saja, bagaimana awal mula kejadian ini?”

Anggota Kay-pang itu lalu menutur. “Lewat lohor tadi, Loh-pangcu membawa tujuh murid kantong tujuh patroli ke utara kota, siapa tahu sampai malam beliau belum pulang. Tecu menjadi kuatir dan bersama teman lain terbagi dalam beberapa kelompok keluar kota untuk mencarinya. Akhirnya di kelenteng Yo-tay-hu di kaki gunung Hian dapat diketemukan jenazah Loh-pangcu.”

Mendengar kata-kata ‘jenazah’, tanpa terasa semua orang menjerit kaget.



SANG PELINDUNG

Sampai di sini suara anggota Kay-pang itu pun ter-sendat. Maklumlah, meski ilmu silat Loh Yu-ka tidak terlampau tinggi, tapi orangnya berbudi dan bijaksana sehingga mendapat dukungan luas di kalangan anggota. Murid Kay-pang tadi lantas melanjutkan penuturannya:

“Kedua murid tujuh kantong yang mengiringi pangcu itu pun menggeletak di samping beliau, seorang sudah tewas tapi yang lain belum putus napasnya sehingga masih sempat memberi keterangan bahwa mereka kepergok pangeran MongoI yang bernama Hotu. Pangcu yang kena sergap lebih dahulu, lalu kedua murid kantong tujuh bertempur mati-matian dan akhirnya dicelakainya juga.”

“He-he, jadi Hotu, Hotu!” demikian gumam Kwe Ceng saking menahan marahnya. ia menyesal dahulu telah memberi ampun kepada pangeran Mongol itu di Cong-lam-san. Tahu begini tentu waktu itu sudah dibinasakan.

“Apakah Hotu itu meninggalkan sesuatu ucapan?” tanya Oey Yong.

“Tecu tidak berani omong,” kata anggota Kay-pang itu.

“Mengapa tidak berani omong?” tukas Oey Yong. “Tentu dia bilang supaya Kwe Ceng menyerah kepada pihak mongol, kalau tidak, maka contohnya Loh Yu-ka itu, begitu bukan?”

“Hujin sungguh hebat, memang begitulah ucapan keparat Hotu itu,” jawab si anggota Kay-pang.

Semua orang lantas pergi memeriksa jenazah Loh Yu-ka, terlihat punggungnya terkena sebatang tulang kipas yang terbuat dari baja, tulang iganya juga patah, jelas lebih dulu Hotu menyergapnya dengan senjata rahasia, habis itu menghantamnya dengan tenaga dahsyat hingga binasa. Menyaksikan itu, semua orang menjadi marah dan berduka. Ketika itu di Siang-yang berkumpul beribu-ribu anggota Kay-pang, maka suasana menjadi sedih ketika kabar tewasnya Loh Yu-ka disiarkan.

Kwe Siang amat akrab dengan Loh Yu-ka. Sering dia menyeret orang tua itu diajak ke tempat sepi seperti kelenteng Yo-tayhu itu untuk minum arak sambil merecoki orang itu menceritakan kejadian-kejadian menarik di dunia Kangouw. Kalau sudah begitu maka acap kali berlangsung hingga hampir sehari suntuk dan kedua orang tua dan muda itu sama-sama bergembira.

Kelenteng Yo-tayhu itu tidak jauh di luar kota. Ketika mendengar kawan tua itu meninggal di kelenteng itu, Kwe Siang ikut berduka. Segera dia membawa satu Holo (buli-buli) berisi arak penuh serta menjinjing sebuah keranjang sayur, seperti biasanya dia terus menuju ke kelenteng itu. Ketika itu sudah hampir tengah malam. Kwe Siang mengeluarkan dua pasang sumpit dari keranjangnya yang diatur berhadapan, dituangnya dua cawan arak, kemudian berkata:

“Paman Loh, setengah bulan yang lalu kita baru saja makan-minum dan ngobrol di sini, siapa sangka sekarang engkau sudah mengalami mala petaka. Apa bila arwahmu mengetahui, silakan kemari minum arak lagi bersamaku.”

Dia siramkan secawan arak di lantai, dia sendiri menenggak habis secawan. Teringat kepada teman karib yang sekarang telah tiada, ia menjadi berduka, katanya sambil mencucurkan air mata:

“Paman Loh, marilah kita habiskan pula secawan!” Ia menyiram lagi secawan arak di lantai dan ia sendiri kembali menghabiskan secawan.

Sebetulnya kemampuan minum arak Kwe Siang amat sedikit, cuma karena sifatnya yang terbuka dan suka bergaul dengan orang-orang Kangouw, maka dia pun ikut-ikutan minum arak dan bicara seperti orang dewasa. Kini setelah menghabiskan dua cawan, mau tidak mau mukanya menjadi merah, kepala rada pening. Dalam kegelapan tiba-tiba seperti ada bayangan orang berkelebat di luar pintu kelenteng sana. Dia terkejut dan girang, disangkanya arwah Loh Yu-ka benar-benar telah datang, segera dia berseru:

“Apakah paman Loh? Mari kita minum dan mengobrol.”

Hatinya berdebar-debar, tapi juga sangat ingin melihat arwah halus Loh Yu-ka. Tapi segera didengarnya seseorang menegur:

“Tengah malam buta kau main gila apa di sini? Ibu mencari kau, lekas pulang!” secepat itu pula seseorang nyelinap masuk, kiranya Kwe Hu adanya.

Kwe Siang kecewa bukan kepalang, katanya: “Aku sedang memanggil arwah paman Loh untuk bertemu di sini, dengan gangguanmu ini mana mungkin dia mau datang lagi? Cici, silakan kau pulang dahulu, segera aku menyusul.”

“Kembali kau mengaco belo lagi, dalam benakmu yang kecil itu selalu berpikir hal-hal yang tidak keruan. Mana bisa arwah Loh Yu-ka mau menemui kau?”

“Biasanya dia sangat akrab denganku, apa lagi sudah kusanggupi akan memberi-tahukan sesuatu padanya, sudah kujanjikan akan kuberi-tahu pada hari ulang tahunku. Siapa tahu dia tidak dapat menunggu lagi,” sampai di sini, anak dara itu menjadi berduka lagi.

“Baru sekejap saja kau menghilang, segera ibu menduga kau datang ke sini dan ternyata tepat dugaan ibu,” kata Kwe Hu. “Hm, se-nakal-nakalnya monyet kecil macammu ini masa dapat mengelabui perhitungan ibu? Kau ini benar-benar teramat bandel, ibu marah sekali. Coba jika Hotu itu bersembunyi di sekitar sini, sedangkan tengah malam buta kau berada di sini sendirian, kan sangat berbahaya?”

Kwe Siang menghela napas, katanya “Aku terkenang kepada paman Loh sehingga tidak memikirkan bahaya lagi, Oh, Cici yang baik, temanilah duduk sebentar di sini, boleh jadi arwah paman Loh benar-benar akan datang menemui aku. Cuma engkau jangan bersuara agar tidak mengejutkannya.”

Kwe Hu kurang menghormati Loh Yu-ka. Menurut anggapannya, Loh Yu-ka bisa diangkat menjadi Pangcu adalah karena dukungan ibunya, maka ia pikir kalau betul arwah Loh Yu-ka akan datang juga tak perlu ditakuti. Dan ia pun tahu watak kepala batu adiknya itu, sekali sudah menyatakan hendak menunggu di situ, maka sukarlah disuruhnya pulang begitu saja kecuali kalau ayah-ibu datang sendiri dan mengomelinya. Maka ia lantas duduk, katanya dengan gegetun:

“Ji-moay, usiamu semakin menanjak, tapi tampaknya kau semakin ke-kanakan. Tahun ini kau sudah 16 tahun, dua-tiga tahun lagi akan punya mertua, memangnya sesudah di rumah mertua kau juga akan angin-anginan seperti ini?”

“Memang apa bedanya?” ujar Kwe Siang. “Sesudah kau menikah dengan Cihu (kakak ipar, suami kakak), bukankah kau pun tetap bebas merdeka seperti waktu masih gadis?”

“He, mana boleh kau membandingkan Cihu-mu dengan orang Iain?” jawab Kwe Hu dengan bangga, “Dia adalah ksatria sejati jaman kini, tentu saja pengetahuan dan pandangannya jauh lebih dari pada orang lain, dia tak akan mengekang kebebasanku. Bakat seperti Cihu-mu itu rasanya jarang ada bandingannya di antara jago-jago angkatan muda sekarang. Kelak kalau bakal suamimu punya setengah kepandaian saja, kukira ayah-ibu sudah cukup merasa puas.”

Mendengar kata-kata sang Toaci yang terdengar sombong itu, Kwe Siang balas mencibir, katanya:

“Sudah tentu Cihu adalah tokoh yang hebat, cuma aku tidak percaya bahwa di dunia ini tiada orang lain yang melebihi dia.”

“BoIeh lihat saja nanti kalau kau tidak percaya,” ujar Kwe Hu.

“Aku justru mempunyai seorang kenalan yang berpuluh kali lebih hebat dari pada Cihu,” kata Kwe Siang.

Keruan Kwe Hu menjadi marah, teriaknya: “Siapa dia? Hayo lekas katakan!”

“Untuk apa aku katakan? Asalkan aku sendiri tahu, di dalam hati saja, kan cukup?” jawab Kwe Siang.

“Huh, apakah kau maksudkan Li-samte? Atau Ong Kiam-bu? Atau Thio Si-kong?” jengek Kwe Hu. Yang disebutnya itu adalah beberapa ksatria muda ganteng kenalan mereka.

Tetapi Kwe Siang menggeleng, katanya: “Bukan, bukan! Memadai Cihu saja mereka tidak dapat, mana bisa dikatakan lebih hebat berpuluh kali dari padanya?”

“Habis siapa?” Kwe Hu menegas, “Ya, kecuali Gwakong kita, atau ayah dan ibu atau paman Cu Cu-liu dan beberapa ksatria angkatan tua.”

“Tidak, orang yang kumaksudkan ini justru lebih muda dari pada Cihu, wajahnya pun lebih cakap, sedangkan ilmu silatnya jauh lebih tinggi dari pada Cihu, bedanya seperti langit dan bumi, sama sekali tak dapat dibandingkan...”

Setiap kalimat diucapkan Kwe Siang, setiap kali pula langsung disambut Kwe Hu dengan mencemoohkan:

“Cis, cis, cis!”

Akan tetapi Kwe Siang tak peduli, ia menyambung pula: “Jika kau tidak mau percaya, ya terserah. Pokoknya orang itu sangat baik budi, siapa pun yang ada kesukaran, tak peduli kenal atau tidak dia suka memberi pertolongan.” Wajahnya yang cantik itu tampak menerawang ke depan mengenangkan sesuatu yang sukar dilupakan.

Dengan gusar Kwe Hu berkata: “Dalam benakmu yang kecil ini berkhayal saja. Baiklah, sesudah kematian Loh Yu-ka, kini jabatan Pangcu menjadi lowong. Tadi ibu mengatakan, mumpung para pahlawan berkumpul di sini, maka kesempatan ini sebaiknya digunakan untuk mengadakan pemilihan Pangcu. Biarlah orang banyak ikut bertanding, siapa yang berkepandaian paling tinggi, dia yang diangkat menjadi Pangcu, dengan begitu persengketaan antara Ut-ih-pay (aliran baju kotor) dengan Ceng-ih-pay (aliran baju bersih) dalam Kay-pang dapat dihindarkan. Kalau orang yang kau anggap hebat itu benar-benar lihay, bolehlah kau suruh dia maju dan bertanding dengan Cihu-mu untuk memperebutkan kedudukan Pangcu.”

“Hi-hi-hi, belum tentu dia kepingin menjadi Pangcu kaum jembel begitu,” ujar Kwe Siang tertawa.

“Hmm, kau berani meremehkan kedudukan Kay-pang Pangcu?” semprot Kwe Hu dengan marah. “Dahulu kedudukan itu pernah dijabat Ang Chit-kong, bahkan ibu kita juga pernah menjabatnya, masa kau berani menghina Ang-lokongkong dan ibu?”

“Kapan aku menghina beliau-beliau? Kau sendiri yang bilang? Kau sendiri pun tahu aku sangat akrab dengan paman Loh dan bergaul baik dengan kaum jembel lain.”

“Baiklah, boleh kau suruh pahlawanmu itu bertanding dengan Cihu-mu,” kata Kwe Hu. “Sementara ini para ksatria sudah berkumpul di Siang-yang, lihat saja nanti, siapa pahlawan dan siapa kerbau, sekali gebrak akan ketahuan.”

“Cici, bicaramu memang suka melantur tak genah. Kapan kubilang Cihu kerbau? Kalau dia kerbau, bukankah engkau pun menjadi hewan? Padahal kita dilahirkan dari satu ibu, aku ikut kurang terhormat?”

Kwe Hu menjadi serba runyam, ya dongkol ya geli. Dia segera bangkit dan berkata: “Aku tidak ada waktu buat ribut dengan kau. Hayolah pulang, jangan-jangan nanti aku ikut didamprat.”

Kwe Siang lincah dan pintar bicara, biasanya dia memang suka adu mulut dengan sang Toaci, ia ber-olok lagi:

“Ai, engkau kan nyonya muda yang sudah menikah. Biasanya ayah dan ibu paling sayang padamu, engkau juga isteri calon pangcu, siapakah gerangan yang sudah makan ‘hati harimau’ sehingga berani mendamperat kau?”

Mendengar sang adik menyebutnya ‘isteri calon Pangcu’, Kwe Hu menjadi senang sekali, katanya:

“Sekian banyak kaum ksatria berkumpul di sini, siapa orangnya yang tidak ingin menjadi Pangcu? Cihu-mu juga belum tentu akan terpilih, sebaiknya kau jangan bicara muluk-muluk dahulu agar tidak ditertawakan orang.”

Kwe Siang termangu-mangu sejenak, dilihatnya bulan setengah bulat itu menghiasi angkasa yang kelam, suasana sunyi sepi, katanya kemudian dengan gegetun:

“Agaknya arwah paman Loh takkan datang. Cici, mengapa harus begini cepat mengangkat Pangcu pengganti paman Loh? Kan dapat ditunda sementara waktu agar kita dapat lebih lama lagi mengenangkan jasa beliau.”

“Kembali kau bicara seperti anak kecil,” ujar Kwe Hu. “Kay-pang adalah organisasi terbesar di dunia Kangouw, naga tanpa kepala, mana boleh jadi?”

“Ibu bilang kapan akan diadakan pemilihan Pangcu?” tanya Kwe Siang.

“Tanggal 15 adalah hari pembukaan Eng-hiong-tay-hwe dengan acara utama bagaimana menghimpun para pahlawan dari segenap penjuru untuk bersama-sama melawan Mongol. Musyawarah itu bisa berlangsung hingga lima-enam hari atau bisa juga delapan-sembilan hari. Jadi pemilihan ketua Kay-pang kukira baru bisa diselenggarakan pada tanggal 23 atau 24 nanti.”

“Ahhh...!” Kwe Siang bersuara tertahan.

“Ada apa?” tanya Kwe Hu.

“Tidak apa-apa,” jawab Kwe Siang, “Soalnya tanggal 24 adalah bertepatan dengan hari ulang tahunku. Karena kesibukan kalian dalam pemilihan pangcu, tentunya ibu tidak sempat merayakan hari ulang tahunku nanti.”

“Ha-ha-ha!” Kwe Hu tertawa bergelak, “Cuma hari ulang tahun anak dara seperti kau ini memangnya begitu penting? Mana boleh kau anggap urusan penting pemilihan pangcu justru mengganggu hari ulang tahunmu? Ha-ha-ha…., kalau didengar orang bisa jadi gigi orang akan rontok menertawakanmu. Aih, mungkin di dunia ini hanya kau saja yang selalu ingat kepada urusan tetek bengek begitu.”

Dengan muka merah padam Kwe Siang menjawab: “Umpama ayah tidak ingat, ibu pasti ingat. Kau bilang urusan tetek bengek, aku justru bilang ini urusan penting. Sekali ini ulang tahunku genap berusia 16, kau tahu tidak?”

Kwe Hu semakin geli dan beroIok-olok: “Ya, ya! Pada hari itu nanti, berpuluh ksatria dan pahlawan yang berada di Siang-yang akan hadir memberi selamat kepada Kwe-jisiocia, setiap orang akan menyumbangkan kado padamu, sebab tahun ini Kwe-jisiocia genap berusia 16 dan bukan lagi anak dara melainkan sudah nona besar. Ha-ha-ha-ha……!”

“Orang lain mungkin takkan ambil pusing, tapi paling sedikit ada seorang pahlawan besar ingat kepada hari ulang tahunku, dia sudah berjanji akan datang menemuiku,” kata Kwe Siang dengan bangga.

“Pahlawan besar apa? Oh ya, tahulah aku, tentu pahlawan yang jauh lebih hebat dari pada Cihu-mu itu,” ujar Kwe Hu. “Sekarang ingin kukatakan padamu. Pertama, di dunia ini hakikatnya tidak ada tokoh nomor satu begituan, hanya benakmu sendiri yang berkhayal seperti itu. Kedua, seumpama ada orang begitu, betapa banyaknya urusan penting yang harus dilakukannya, mana ia mau datang memberi selamat kepada anak dara seperti kau ini? Kecuali dia juga menghadiri Eng-hiong-tay-hwe, kalau tidak, masa dia datang ke Siang-yang?”

Hampir-hampir Kwe Siang menangis oleh olok-olok sang Toaci. Sambil banting kaki dia berseru:

“Dia sudah berjanji padaku, dia sudah berjanji. Dia takkan menghadiri Eng-hiong-tay-hwe dan juga tidak ikut berebut pangcu segala.”

“Dia bukan Enghiong, ayah takkan mengirim Eng-hiong-hiap padanya,” kata Kwe Hu. “Sekali pun dia ingin menghadiri pertemuan besar ini kukira belum bisa memenuhi syarat.”

Kwe Siang mengusap air matanya dengan sapu tangan kecil, katanya. “Kalau begitu aku juga tidak akan hadir pada pertemuan kalian. Masa bodoh kalian hendak mengangkat Pangcu segala, betapa pun ramainya juga aku takkan meiihatnya.”

“Aduhh... kalau Kwe-jisiocia kita tidak hadir, lalu bagaimana jadinya Eng-hiong-tay-hwe itu nanti?” demikian Kwe Hu ber-olok pula. “Yang terpilih menjadi Pangcu nanti juga kurang gemilang, mana boleh kau tidak hadir.”

Sambil menutupi kedua telinganya Kwe Siang berlari keluar kelenteng. Tapi tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu di ambang pintu kelenteng sudah berdiri seseorang menghalangi jalan keluarnya. Keruan Kwe Siang kaget, cepat dia melompat mundur sehingga tidak bertubrukan dengan penghadangnya.

Di bawah cahaya bulan tampak perawakan orang sangat jangkung, mukanya hitam, anehnya tubuh bagian atas ternyata sangat cekak, hanya bagian pinggang ke bawah yang teramat panjang. Setelah diawasi lebih teliti baru jelas, rupanya kedua kaki orang itu buntung, kedua ketiaknya disanggah sepasang tongkat yang panjangnya hampir dua meter, karena itulah lengan celananya menjadi bergoyang-gontai pada bagian bawah. Orang pendek memakai egrang sehingga menjadi orang jangkung.

“He, kau, Nimo Singh!” seru Kwe Hu terkejut.

Orang ini memang Nimo Singh adanya. Sekali ini raja Mongol memimpin sendiri pasukannya ke selatan, maka seluruh jago silat dari benua barat dan Mongol dikerahkan. Setiap orang berharap dapat memamerkan kemahirannya dalam pertempuran nanti agar mendapatkan pahala dan kedudukan. Meski pun kedua kaki Nimo Singh telah buntung, tapi ilmu silatnya belum punah. Selama menggembleng diri belasan tahun, sepasang tongkat penyanggah tubuhnya dapat dimainkan lebih lihay dari pada sebelum kakinya buntung.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar