Senin, 18 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 171

It-teng menuding Cu-in yang menggeletak di tanah sambil berkata: “lni pembunuh anakmu, sekali hantam boleh kau binasakan dia!”

Pek-thong memandang sekejap ke arah Cu-in, lalu berkata: “Kau saja yang turun tangan, Eng-koh!”

Sekejap Eng-koh memandang Cu-in, lalu berkata dengan lirih: “Kalau bukan lantaran dia, selama hidup ini mungkin aku tidak dapat berjumpa dengan kau, apa lagi orang mati tidak dapat dihidupkan kembali, biarlah kita merayakan pertemuan kita ini dan melupakan dendam masa lalu.”

“Betul juga ucapanmu, baiklah kita mengampuni dia,” ujar Pek-thong.

Keadaan Cu-in sangat parah, dia bertahan dengan sisa tenaganya dengan harapan mendapat pengampunan dari Eng-koh. Sekarang mendengar sendiri Ciu Pek-thong dan Eng-koh bersedia mengampuni dosanya, hatinya amat terhibur, katanya dengan lemah kepada It-teng:

“Banyak terima kasih atas penyempurnaan Suhu!”

Lalu ia pun mengucapkan terima kasih pada Yo Ko, sesudah itu ia lantas menutup mata untuk selamanya. It-teng menunduk dan membacakan doa bagi kepergian Cu-in, sesudah itu bersama Yo Ko dan Kwe Siang mengubur Cu-in di situ. Ketika memandangi kuburan Cu-in, Yo Ko menjadi terharu, teringat olehnya ketika dia dan Siao-liong-li baru saja menikah dan memergoki Cu-in yang sedang kumat di puncak gunung bersalju itu. Tak tersangka tokoh yang termashur dengan telapak tangan besi itu kini sudah kembali ke asalnya.

TIGA JANJI

Eng-koh dan Ciu Pek-thong saling pandang dengan penuh rasa haru, banyak sekali yang ingin mereka bicarakan, tapi entah cara bagaimana harus memulainya. Eng-koh mengeluarkan kedua ekor rase kecil itu, kemudian dia berkata:

“Yo-kongcu, budi pertolonganmu sukar kubalas, kedua ekor binatang ini boleh kau ambil saja.”

Tapi Yo Ko hanya menerima seekor saja, katanya: “Cukup seekor saja dan terima kasih!”

Tiba-tiba It-teng berkata: “Yo-kongcu, boleh kau bawa kedua ekor rase itu, tidak perlu kau membunuhnya, cukup menyayat pahanya dan ambil darahnya secangkir kecil setiap hari, kukira luka kawanmu dengan cepat dapat disembuhkan.”

Yo Ko dan Eng-koh sangat girang, kata mereka: “Jika jiwa rase dapat diselamatkan itu paling baik.”

Segera Yo Ko terima kedua ekor rase itu lalu mohon diri kepada It-teng, Eng-koh dan Ciu Pek-thong.

“Sehabis ambil darahnya, lepaskan saja di sana, tentu kedua rase itu akan pulang sendiri ke sini,” pesan Eng-koh.

Mendadak Ciu Pek-thong menyela: “Eh, Toan-hongya dan Eng-koh, silakan kalian tinggal beberapa hari di Pek-hoa-kok sana. Adik Yo juga, setelah menyembuhkan luka kawanmu, silakan bersama adik kecil bermain ke tempatku.”

Yo Ko menerima undangan itu dengan baik, ia berjanji kalau urusannya sudah beres tentu akan berkunjung ke sana. Ia lantas melangkah pergi bersama Kwe Siang. Dia merasa sangat gembira karena sekaligus dapat membuat Ciu Pek-thong dan Eng-koh berkumpul kembali sehingga Cu-in juga dapat mati dengan tenteram, pula dengan mudah mendapatkan kedua ekor rase kecil ini. Setibanya kembali di Ban-siu-san-ceng, kelima saudara Su sangat girang melihat Yo Ko berhasil membawa pulang kedua ekor rase yang diharapkan itu, berulang-ulang mereka mengucapkan terima kasih kepada Yo Ko. Segera mereka mulai mengambil darah rase dan diminumkan kepada Su Siok-kang.

Malam harinya diadakan perjamuan besar dan Yo Ko diangkat sebagai tamu kehormatan utama. Macam-macam santapan lezat dihidangkan, terutama yang sukar diperoleh dan biasanya dianggap santapan yang mewah di restoran jaman kini, seperti bibir singa, paha harimau, telapak kaki beruang dan belalai gajah. Biasanya satu jenis makanan seperti itu saja sukar diperoleh, dan sekarang sekaligus ada belasan macam yang dihidangkan. Su-si-hengte dan Gerombolan Setan Se-san tidak mengutarakan terima kasih mereka lagi kepada Yo Ko, yang pasti di dalam hati sudah menganggap Yo Ko sebagai tuan penolong mereka, kelak bila ada urusan dan memerlukan tenaga mereka, biar pun disuruh terjun ke jurang mereka takkan menolak.

Di tengah perjamuan yang meriah itu, semua asyik bicara mengenai pengalaman masing-masing dan kejadian-kejadian menarik di dunia Kangouw, hanya Kwe Siang seorang saja yang duduk termenung tanpa bicara, padahal anak dara ini biasanya sangat gembira ria. Rupanya ia sedang bersedih mengingat dalam waktu tak lama lagi harus berpisah dengan Yo Ko.

Tidak lama kemudian, tiba-tiba di sebelah sana berkumandang suara melengking seekor kera, menyusul suara kera yang lain juga lantas membalas sehingga ributlah suasana. Air muka Su-si-hengte tampak berubah. Su Beng-ciat lantas minta maaf dan mohon diri sebentar untuk memeriksa keadaan di sana. Semua orang tahu tentu di luar hutan sana ada musuh yang datang. Segera Toa-thau-kui berkata:

“Paling baik jika yang datang itu adalah pangeran Hotu, biar kita labrak dia untuk membalas sakit hati Su-samko.”

Belum habis ucapannya, tiba-tiba terdengar Su Beng-ciat membentak di luar sana: “Siapa itu malam-malam berkunjung ke sini? Silakan berhenti!”

Lalu terdengar suara seorang perempuan menjawab: “Adakah seorang cebol berkepala besar di sini? Ingin kutanya dia ke mana dia membawa adik perempuanku?”

Kejut dan girang Kwe Siang mendengar suara Kwe Hu. Ia mencoba melirik Yo Ko dan melihat sorot matanya berkedip aneh, diam-diam dia merasa heran dan seketika dia tidak jadi berseru memanggil “Cici”.

“Hei, kau tahu aturan tidak, kenapa kau tidak menjawab pertanyaanku, sebaliknya malah terobosan sesukamu?” demikian terdengar Su Beng-ciat mendamperat.

Segera terdengar Kwe Hu membentak: “Menyingkir!”

Menyusul terdengar suara nyaring beradunya senjata. Tampaknya nona itu hendak menerjang masuk, tapi dirintangi Beng-ciat sehingga kedua orang itu lantas bergebrak. Sejak berpisah dengan Kwe Hu di Coat-ceng-kok dulu, sudah belasan tahun Yo Ko tidak pernah berjumpa dengan nona itu, kini mendadak mendengar suaranya, seketika macam-macam perasaan berkecamuk dalam benaknya. Didengarnya suara benturan senjata sudah mulai menjauh, agaknya Su Beng-ciat berhasil memancing Kwe Hu ke tempat lain.



“Yang dicarinya adalah diriku, biarlah kutemui dia,” seru Toa-thau-kui sambil berlari keluar, menyusul Su Ki-kiang dan Hoan It-ong juga ikut ke sana.

Tiba-tiba Kwe Siang bangkit dan berkata kepada Yo Ko: “Toakoko, cici-ku datang mencari diriku, kini aku harus pulang.”

Yo Ko terkejut: “Jadi dia... dia itu cici-mu?”

“Ya,” jawab Kwe Siang, “Aku ingin melihat Sin-tiau-tayhiap dan paman Toa-thau-kui lantas membawaku ke sini menemuimu. Aku... aku sangat senang...” belum habis kata-katanya, mendadak kepalanya menunduk terus berlari pergi.

Sekilas Yo Ko melihat dua tetes air mata meleleh di pipi anak dara itu, mendadak terpikir olehnya, “Dia ingin menemui aku, tentu ada urusan penting, kenapa sekarang pergi begitu saja tanpa bicara apa-apa?” Segera ia menyusul ke sana dan berseru: “Adik cilik, jika kau ada kesulitan, boleh katakan saja padaku.”

Kwe Siang tersenyum dan menjawab: “Ah, tidak, aku tiada kesulitan apa-apa.”

Di bawah sinar bulan muda yang remang-remang Yo Ko dapat melihat wajah si nona yang putih bersih itu masih basah air mata. Dengan suara lembut dia lantas berkata pula:

“Kiranya kau adalah anak dara Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin, apakah Toaci-mu suka nakal padamu?”

Menurut perkiraan Yo Ko, tak mungkin puteri Kwe-tayhiap yang termashur itu mengalami kesulitan. Besar kemungkinan Kwe Hu yang suka sewenang-wenang itu menghina atau memukuli adik perempuannya ini.

Ternyata Kwe Siang menjawab dengan tertawa: “Sekali pun Cici nakal padaku aku tidak takut padanya. Jika dia mengomel aku lantas adu muIut dengan dia, betapa pun dia juga tak berani memukuli aku.”

”Habis untuk apa kau mencari aku? Silakan bicara terus terang saja.”

“Di tempat penyeberangan sana kudengar orang bercerita tentang tindakanmu yang baik budi dan yang sangat terpuji, hatiku menjadi sangat kagum hingga ingin sekali melihat wajahmu, selain itu tidak ada sesuatu maksudku yang lain lagi. Dalam perjamuan tadi aku teringat pada pameo yang mengatakan: ‘Tiada pesta yang tidak bubar di dunia ini’. Hatiku menjadi sedih, siapa tahu pesta tadi belum lagi bubar dan aku... aku harus segera pergi,” sampai di sini suara Kwe Siang rada tersendat.

Tergetar hati Yo Ko. Teringat olehnya pada waktu anak dara ini dilahirkan, beberapa saat kemudian dirinya lantas memondong dan membawanya. Ketika dikejar oleh Kim-lun Hoat-ong, malahan kemudian terjadi beberapa kali perebutan antara dirinya dengan Kim-lun Hoat-ong dan Li Bok-chiu, juga pernah menangkap induk harimau tutul untuk dijadikan ibu inang yang menyusuinya, akhirnya dibawanya lagi ke kuburan kuno dan dipelihara sekian lamanya di sana. Tak tersangka sekarang dapat bertemu di sini dan jabang bayi dahulu itu kini sudah berubah menjadi gadis remaja yang molek.

Tanpa terasa Yo Ko berdiri termangu-mangu mengenangkan kejadian di masa lampau di bawah sinar bulan yang remang-remang itu. Selang sejenak Kwe Siang berkata puIa:

“Toakoko, sekarang aku harus pergi. Aku hanya ingin minta tolong sesuatu padamu.”

“Katakan saja,” ujar Yo Ko.

“Bilakah engkau akan bertemu dengan isterimu?”

“Antara musim dingin tahun ini.”

“Sesudah engkau berjumpa dengan isterimu, sukalah engkau mengirim kabar kepadaku di Siang-yang agar aku ikut bergirang bagimu.”

Yo Ko sangat berterima kasth. Ia pikir meski pun anak dara ini dilahirkan dari ibu kandung yang sama dengan Kwe Hu, namun tabiat keduanya ternyata sangat berbeda. Segera ia bertanya:

“Apakah ayah-ibumu sehat-sehat?”

“Ayah dan ibu semua baik-baik saja,” jawab Kwe Siang.

Tiba-tiba timbul suatu pikiran, cepat ia memyambung lagi: “Toakoko, setelah engkau berjumpa dengan isterimu, maukah kalian datang ke Siang-yang dan menjadi tamu kami? Ayah-ibu dan kalian suami-isteri sama-sama ksatria besar di jaman ini, tentu kalian akan cocok satu sama lain.”

“Hal ini biarlah kita lihat dahulu keadaannya nanti,” jawab Yo Ko. “Eh, adik cilik, mengenai pertemuan kita ini sebaiknya jangan kau ceritakan kepada Cici-mu, kukira tidak perlu diceritakan kepada ayah-ibumu.”

“Sebab apa?” Kwe Siang menjadi heran.

Tiba-tiba saja teringat olehnya ketika orang-orang mengobrol di kota tambangan itu, tampaknya Cici kurang senang dengan Sin-tiau-hiap yang disebut-sebut itu, boleh jadi di antara mereka pernah terjadi sengketa. Maka ia lantas menambahkan:

“Baiklah, takkan kuceritakan kepada mereka.”

Dengan mata tak berkedip Yo Ko memandangi anak dara itu, dalam benaknya terbayang wajah kecil si orok yang pernah dipondongnya 15 tahun yang lalu itu. Karena dipandangi sedemikian rupa, Kwe Siang menjadi rada malu dan menunduk. Timbul pikiran Yo Ko ingin membela dan melindungi anak dara di depannya sekarang ini sama halnya seperti perlindungannya kepada jabang bayi yang lemah pada masa belasan tahun yang lalu itu. Segera dia berkata pula:

“Siaumoaycu, (adik perempuan cilik), ayah-ibumu adalah pendekar besar masa kini dan dihormati oleh siapa pun juga, kalau kau ada kesulitan kiranya tidak perlu bantuanku. Tapi kejadian di dunia ini sering kali berubah-ubah, suka duka sukar diduga. Andai kata kau mempunyai sesuatu persoalan yang tidak ingin dikatakan kepada ayah-ibumu dan perlu bala bantuan, maka bolehlah kau mengirim berita padaku, aku berjanji akan membereskannya bagimu dengan sebaik-baiknya.”

Kwe Siang tertawa manis, katanya: “Engkau sungguh amat baik padaku. Cici suka pamer di depan umum bahwa dia adalah puteri Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin, kadang-kadang aku merasa risi dan kikuk karena ucapannya itu. Betapa pun termasyhurnya ayah dan ibu tidak pantas bila hal itu selalu ditonjolkan. Tapi nanti jika kukatakan kepada orang bahwa Sin-tiau-tayhiap adalah Toakoko-ku, maka Cici pasti tidak dapat menirukannya.”

Meski pun ucapan Kwe Siang ini setengah bergurau, namun jelas tampak rasa bangganya karena dapat berkenalan dengan Yo Ko.

“Ahh, cici-mu mana menghargai orang macam diriku ini?” ujar Yo Ko dengan tersenyum. Setelah merandek sejenak sambil menghitung-hitung dengan menekuk jari, lalu ia berkata pula: “Tahun ini kau sudah berusia 15. Ya, bulan sepuluh, tanggal 22, 23, 24. Ya, kau lahir pada tanggal 24 bulan sepuluh, betul tidak?”

Kwe Siang terheran-heran, serunya: “He! Memang benar, dari mana kau tahu?”

Yo Ko tersenyum dan tidak menjawab, katanya pula: “Kau dilahirkan di kota Siang-yang, makanya kau diberi nama Siang, betul tidak?”

“He, jadi kau sudah tahu semuanya, tadi pura-pura tidak kenal padaku,” seru Kwe Siang, “Engkau pasti sahabat baik ayahku.”

Seperti melamun Yo Ko tidak menjawabnya, tapi berkata pula sambil menengadah: “Pada hari itu pertarungan hebat melawan Kim-lun Hoat-ong, Liong-ji memondong anak itu...”

Kwe Siang tidak paham apa yang digumamkan oleh Yo Ko. Sayup-sayup ia dengar suara benturan senjata di sebelah sana, ia menjadi kuatir kalau cici-nya sampai dilukai Su Beng-ciat, maka segera ia berkata:

“Toakoko, sekarang aku benar-benar akan pergi.”

Yo Ko masih bergumam: “Tanggal 24 bulan sepuluh, sungguh cepat sekali, 16 tahun hampir lalu.” Mendadak ia tersadar karena teguran Kwe Siang tadi dan berkata: “Ahh, kau hendak pergi... Ehm, pada tanggal 24 bulan sepuluh nanti, katamu akan sembahyang dan berdoa untuk mengemukakan tiga buah nazar pada Thian.”

Rupanya dia jadi teringat pada ucapan Kwe Siang bahwa waktu sembayang dan berdoa, anak dara itu akan memohon Thian memberi berkah supaya dia lekas berjumpa kembali dengan Siao-liong-li.

Mendadak Kwe Siang berkata: “Ehh, Toakoko, kalau kelak aku pun mohon tiga soal padamu, apakah engkau dapat menyanggupi?”

“Asal dapat kukerjakan, tentu akan kulaksanakan sekuat tenaga,” jawab Yo Ko tegas, lalu dari sakunya ia mengeluarkan sebuah kotak kecil, dikeluarkannya tiga buah jarum lembut yang biasa digunakan Siao-liong-li sebagai senjata rahasia dan diberikannya kepada Kwe Siang, katanya:

“Jika kulihat jarum ini nanti, sama saja seperti kulihat wajahmu. Jika kau tidak dapat menemui aku, boleh kau suruh orang membawa jarum ini untuk menyampaikan keinginanmu kepadaku dan tentu akan kulaksanakan.”

“Terima kasih,” ujar Kwe Siang sambil menerima jarum-jarum itu, kemudian berkata puIa: “Sekarang akan kukemukakan keinginanku yang pertama.” Segera ia kembalikan sebuah jarum itu kepada Yo Ko sambil menambahkan: “Kuminta engkau menanggalkan kedokmu agar aku dapat melihat wajah aslimu.“

“Soal ini terlalu kecil dan mudah dilaksanakan. Karena aku tak ingin dikenali kawan lama, maka sengaja memakai kedok,” kata Yo Ko tertawa. “Tapi caramu sembarangan menggunakan sebuah jarum emas ini, apakah tidak sayang?”

“Jika muka aslimu saja tidak kuketahui, mana bisa dikatakan aku mengenal kau? Sekali-sekali ini bukan soal kecil,” ujar Kwe Siang.

Harus diketahui bahwa kaum pendekar jaman dahulu paling taat pada janji yang pernah diucapkan. Karena sudah menyanggupi, dengan menyerahkan jarum itu, sekali pun Kwe Siang minta Yo Ko berbuat sesuatu yang maha sulit akan dilakukannya tanpa pikir. Karena itu pula ia pun tak dapat menolak permintaan si nona yang pertama ini.

“Baiklah,” katanya sambil menanggalkan kedoknya.
Seketika pandangan Kwe Siang terbeliak, di depannya muncul seraut wajah yang cakap dengan alis panjang tebal dan mata besar bercahaya, cuma karena sudah lama memakai kedok, air mukanya agak pucat dan kekurus-kurusan.

“Ahhh...!” tak terasa Kwe Siang berteriak.

“Kenapa?” tanya Yo Ko.

Muka Kwe Siang menjadi merah, “Oh, tidak apa-apa,” jawabnya, namun di dalam hatinya berkata: “Sungguh tidak nyana engkau begini cakap.”

Sesudah tenangkan diri, kembali Kwe Siang menyerahkan pula jarum kedua dan berkata: “Sekarang ini kukatakan cita-citaku yang kedua.”

Yo Ko tersenyum dan berkata: “Katakan saja beberapa tahun lagi juga belum terlambat. Anak gadis belum tahu urusan, yang kau ucapkan hanya cita-cita kanak-kanak saja.”

Karena itulah ia tidak lantas menerima jarum kedua itu. Tetapi Kwe Siang menaruh jarum di genggaman tangan Yo Ko dan berkata:

“Cita-citaku yang kedua ini adalah pada tanggal 24 bulan sepuluh yang akan datang, yakni tepat pada hari ulang tahunku nanti, hendaklah kau datang ke Siang-yang dan menemui aku untuk bercakap-cakap sebentar.”

Meski pun permintaannya yang kedua ini lebih repot dari pada permintaan yang pertama, namun tetap bersifat kekanak-kanakan. Maka dengan tertawa Yo Ko menjawab:

“Baiklah, kusanggupi, apa susahnya? Tapi aku hanya akan menemui kau sendiri saja, ayah-ibu dan Cici-mu takkan kutemui.”

“Terserah padamu,” ujar Kwe Siang dengan tertawa, jari tangannya yang lentik dan putih halus itu memegangi jarum ketiga yang berkilauan di bawah cahaya bulan, katanya pula:

“Tentang permintaanku yang ketiga ini...”

Yo Ko menggeleng-geleng kepala, pikirnya: “Busyet! Memangnya si Yo Ko begini mudah memberikan janjinya kepada orang? Sungguh nona cilik yang tidak paham urusan, janjiku dianggapnya seperti permainan anak kecil saja.”

Mendadak wajah Kwe Siang tampak merah jengah, katanya dengan tertawa: “Cita-citaku yang ketiga ini sementara belum terpikir olehku, biarlah kelak akan kukatakan padamu.” dia membalik dan lari ke sana sambil berteriak-teriak: “Cici! Cici!”

Kwe Siang lari menuju ke arah datangnya pertempuran. Dilihatnya Kwe Hu sedang bertempur sengit melawan Su Beng-ciat dan Toa-thau-kui. Hoan It-ong dan Su Ki-kiang mengikuti pertarungan itu dari samping dengan siap siaga.

“Cici, ini aku,” seru Kwe Siang. “Mereka adalah teman sendiri.”

Selama ini Kwe Hu banyak mendapat petunjuk dari ayah-ibunya. Suaminya, yaitu Yalu Ce juga tokoh silat pilihan. Maka kepandaiannya sekarang sudah berbeda jauh dibandingkan dengan belasan tahun yang lalu. Cuma wataknya berangasan dan tidak telaten berlatih, karena itulah tingkat ilmu silatnya selalu berkisar antara kelas dua atau tiga saja meski ayah-bunda dan suaminya terhitung tokoh terkemuka. Kini meski pun ia sanggup menempur kerubutan Su Beng-ciat dan Toa-thau-kui dengan sama kuatnya, tapi lama-lama tentu dia akan kewalahan juga. Selagi gelisah karena tidak dapat mengalahkan lawan dengan cepat, tiba-tiba saja Kwe Hu mendengar seruan sang adik. Segera ia membentak

“Lekas kemari, Moaymoay!”

Su Beng-ciat mendengar sendiri Kwe Siang memanggil Yo Ko sebagai Toakoko, dan kini didengarnya pula Kwe Hu menyebut Kwe Siang sebagai Moaymoay atau adik perempuan, seketika ia pun terkesiap dan ragu-ragu. Apakah wanita ini isteri atau adik Sin-tiau-tayhiap? Karena itu serangannya yang sedang dilontarkan pada saat itu segera ditarik kembali, berbareng ia pun melompat mundur. Kwe Hu sendiri tahu lawan sengaja mengalah, namun hatinya sudah kadung mendongkol, tanpa pikir pedangnya menasuk.

“Srett...!” dengan tepat dada Su Beng-ciat tertusuk.

Keruan Toa-thau-kui terkejut dan berseru: “Hei, mengapa kau...”

Tapi sekali pedang Kwe Hu berkelebat, tahu-tahu lengan Toa-thau-kui juga terluka. Dengan pongahnya Kwe Hu lantas membentak:

“Nah, rasakan lihaynya nyonyamu ini!”

“Cici, kubilang orang-orang ini teman sendiri!” seru Kwe Siang.

Kwe Hu menjadi gusar dan membentak: “Lekas pulang bersamaku! Siapa kenal temanmu yang tidak keruan ini?”

Luka di dada Su Beng-ciat itu ternyata tidak ringan. Dia terhuyung-huyung kemudian jatuh tersungkur. Cepat Kwe Siang memburu ke sana dan membangunkannya sambil bertanya:

“Su-goko, bagaimana lukamu?”

Darah segera mengucur dari dada Su Beng-ciat hingga baju Kwe Siang berlepotan darah. Lekas anak dara itu merobek ujung bajunya untuk membalut luka orang. Sementara itu Kwe Hu mendesak lagi:

“Hayo lekas berangkat, lekas! Setibanya di rumah nanti kulaporkan kepada ayah dan ibu, mustahil kau takkan dipukuli hingga minta-minta ampun.”

Dengan marah Kwe Siang menjawab: “Kau sembarangan melukai orang, akan kulaporkan juga kepada ayah dan ibu.”

Melihat muka Kwe Siang merah padam dan mengembang air mata, Su Beng-ciat segera menghiburnya dengan tertawa yang dipaksakan:

“Jangan kuatir, nona cilik, lukaku ini tidak akan membuatku mati.”

Di samping Su Ki-kiang memegangi gadanya dengan napas terengah-engah, seketika dia menjadi ragu-ragu apa mesti melabrak Kwe Hu atau menolong adiknya dahulu. Tiba-tiba saja Kwe Hu menjerit kaget. Ternyata dari depan dua ekor harimau loreng mendekatinya diam-diam. Segera dia hendak menyingkir ke kiri, tetapi terlihat pula dua ekor singa jantan sudah mendekam di situ, dan ketika ia menoleh, di sebelah kanan bahkan berdiri empat ekor macan tutul. Rupanya dalam sekejap itu Su Tiong-beng sudah memimpin kawanan binatang buas itu dan mengepung rapat Kwe Hu. Keruan muka Kwe Hu menjadi pucat dan hampir-hampir jatuh kelengar. Syukur pada saat itu juga suara seseorang dari dalam hutan berseru:

“Gote, bagaimana lukamu?”

“Mendingan, tidak begitu parah!” sahut Su Beng-ciat.

“Oh, perintah Sin-tiau-hiap agar kedua nona ini dibiarkan pergi saja,” kata orang itu.

Segera Su Ki-kiang bersuit beberapa kali. Kawanan binatang buas itu langsung memutar tubuh dan menghilang ke dalam semak-semak.

“Su-goko, atas nama Cici-ku aku minta maaf padamu,” kata Kwe Siang.

Sesungguhnya luka Su Beng-ciat itu membuatnya sangat kesakitan. Dengan meringis dia menjawab:

“Mengingat Sin-tiau-tayhiap, sekali pun Cici-mu membunuh aku juga tidak jadi soal.”

Kwe Siang hendak bicara, tapi Kwe Hu lantas menariknya sambil membentak: “Hayo pulang!” anak dara itu diseret berlari keluar hutan.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar