Jumat, 15 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 170

Dari sinilah ia mulai merenung dan akhirnya menciptakan Im-jian-soh-hun-ciang-hoat yang meliputi 17 jurus dan mengutamakan tenaga dalam yang kuat. Bahwa Yo Ko dapat berpikir untuk menciptakan ilmu silat baru tidaklah perlu diherankan. SeIama hidupnya telah mendapat ajaran maha guru ilmu silat berbagai aliran, seperti ilmu silat Coan-cin-kau, Giok-li-sim-keng dari Ko-bong-pay serta Kiu-im-cin-keng yang sudah dihafalkannya di luar kepala. Dari Auyang Hong diperoleh ajaran Ha-mo-kang, ilmu weduk katak, Ang Chit-kong juga sudah mengajarkan Pak-kau-pang hoat, Oey Yok-su menurunkan Giok-siau-kiam-hoat dan Sian-ci-sin-thong. Kecuali It-yang-ci dari It-teng Taysu, hampir seluruh ilmu silat paling disegani di dunia ini telah dipelajari, maka tidaklah sulit baginya untuk meleburnya lalu menciptakan yang baru.

Hanya saja lengannya buntung sebelah, sebab itu dia tidak mengutamakan tipu serangan melainkan terletak pada tenaganya, bahkan sengaja dimainkan secara berlawanan dari pada teori ilmu silat umumnya. Ilmu pukulannya diberi nama ‘Im-jian-soh-hun-ciang’ dan selama ini belum pernah digunakan, baru sekarang dia keluarkan setelah bertemu dengan lawan maha tangguh seperti Ciu Pek-thong yang keranjingan ilmu silat ini.

Keruan Anak Tua Nakal ini sangat senang demi mendengar Yo Ko berhasil menciptakan ilmu pukulan sendiri. Segera dia berseru gembira:

“Aha, kebetulan, aku ingin belajar kenal dengan ilmu ciptaanmu ini.” Segera dia melangkah maju lantas menyerang, yang digunakan tetap tangan kiri saja.

Yo Ko masih tetap anggap tidak tahu saja.

“Brakk!”

Ia memukul ke atas, tapi tenaga pukulannya itu dapat menyebar ke bawah dalam lingkup yang cukup luas. Ciu Pek-thong merasa sulit untuk menghindar, segera ia angkat tangan menangkis.

“Plakk!”

Kedua tangan saling bentur, tanpa terasa Ciu Pek-thong tergeliat oleh getaran itu. Kalau orang lain pasti sudah sesak napas dan roboh binasa karena tenaga pukulan Yo Ko yang dahsyat, tetapi cepat Lo-wan-tong dapat mengatur pernapasannya, kemudian bersorak memuji:

“Bagus! Apakah namanya jurus ini?”

“Ki-jin-yu-thian (si tolol menguatirkan runtuhnya langit)!” jawab Yo Ko. “Dan awas, jurus berikutnya adalah ‘Bu-tiong-seng-yu’ (tidak ada tapi meng-ada-ada)!”

Ciu Pek-thong melengak sambil mengulang nama jurus itu, segera dia mengikik geli. “Bu-tiong-seng-yu, nama ini sungguh aneh dan jenaka, bisa saja bocah ini memberi nama jurus serangan ini,” demikian pikirnya.

Segera dia menggosok-gosok kepalan dan menubruk maju lagi. Dilihatnya tangan Yo Ko melambai ke bawah, sedikit pun tidak pasang kuda-kuda dan siap bertempur, tetapi begitu serangan Ciu Pek-thong dilontarkan mendadak kaki dan tangan Yo Ko bergerak serentak, telapak tangan kiri, lengan baju kanan, kedua kakinya dan juga gerak kepalanya, bahkan punggung dan perut, hampir semua tempat di sekujur badannya dapat digunakan untuk melukai musuh.

Meski pun sebelumnya Ciu Pek-thong sudah menduga lawannya pasti mempunyai jurus simpanan yang hebat, tapi dia tak menduga bahwa sekujur badan lawan dapat dikerahkan untuk menyerang, hanya sekejap saja belasan macam gaya serangan sudah dilontarkan sekaligus. Keruan Ciu Pek-thong kerepotan juga menghadapi serangan aneh itu, tangan kirinya yang tidak digunakan mau tidak mau terpaksa diangkat untuk menangkis dan dengan sepenuh tenaga barulah serangan Yo Ko dapat dipatahkan.

“He, Ciu-loyacu, tampaknya dua tangan tidak cukup bagimu, paling baik kalau kau punya satu tangan lagi!” seru Kwe Siang.

Sama sekali Ciu Pek-thong tidak marah, ia hanya mengomel: “Brengsek! Memangnya kau kira namaku si tangan tiga?”

Diam-diam Yo Ko kagum terhadap kelihayan Ciu Pek-thong yang dapat mematahkan setiap serangannya dengan baik, segera ia berseru:

“Awas, jurus selanjutnya bernama ‘Do-ni-tay-sui’ (basah kuyup dan berlumpur)!”

Ciu Pek-thong dan Kwe Siang tertawa dan bersorak: “Ha-ha-ha, nama bagus!”

“Jangan memuji dahulu, rasakan saja serangan ini!” seru Yo Ko, lengan baju kanan bergerak enteng, sedangkan telapak tangan kiri menyodok ke depan dengan kuat.

Tentu saja Ciu Pek-thong tak berani ayal, segera ia pun mengeluarkan Hok-mo-kun-hoat dengan tangan kanan sedangkan tangan kiri menggunakan Khong-beng-kun yang enteng, jadinya keras lawan keras dan enteng lawan enteng, keduanya membentak sekali, lalu sama-sama mundur beberapa tindak. Sesudah mengadu pukulan lagi, kedua orang sama-sama mengagumi pihak lawan. Diam-diam Yo Ko merasa tidak akan mudah mengalahkan si Tua Nakal ini. Kalau mesti mengadu tenaga dalam bukan mustahil akibatnya akan mati konyol bersama seperti yang dialami oleh Ang Chit-kong dan Auyang Hong dahulu, jadi kiranya tidak perlu juga sampai berakhir demikian. Maka ia lantas menghentikan serangannya, dengan sikap rendah hati ia memberi hormat dan berkata:

“Ciu-locianpwe, sungguh aku sangat kagum kepadamu dan terima mengaku kalah.” Lalu dia berpaling dan berkata kepada Kwe Siang: “Adik cilik, Ciu-locianpwe tidak terima undangan kita, mari kita pergi saja.”



“Nanti dulu!” tiba-tiba Ciu Pek-thong malah mencegah.

“Tadi kau bilang ilmu pukulanmu ini meliputi 17 jurus, sedangkan kau baru mengeluarkan empat jurus, itu berarti masih ada 13 jurus yang belum kau mainkan. Mengapa sekarang kau mau pergi begini saja?”

“Selamanya kita tidak bermusuhan dan tidak punya dendam apa pun, buat apa kita mengadu jiwa? Biarlah Wanpwe mengaku kalah saja,” kata Yo Ko.

“Tidak, tidak bisa,” seru Ciu Pek-thong sambil goyang-goyangkan kedua tangannya. “Kau belum kalah, aku pun tidak menang. Apa bila kau ingin keluar Pek-hoa-kok ini, kau harus memainkan ke-17 jurus ilmu pukulanmu secara lengkap.”

Rupa-rupanya Ciu Pek-thong menjadi sangat terpikat dengan nama-nama jurus serangan seperti ‘Sim-keng-bak-tiau’, ‘Ki-jin-yu-thian’, ‘Bu-tiong-seng-yu’ dan ‘Do-ni-tay-sui’, ia merasa namanya menarik dan permainannya juga aneh, biar pun orang biasa juga ingin tahu permainan selengkapnya, apa lagi pembawaan si Tua Nakal ini memang ‘gila silat’, tentu saja ia ingin tahu ilmu pukulan ciptaan Yo Ko itu.

Tapi Yo Ko sudah mempunyai perhitungan sendiri, ia sengaja jual mahal, jawabnya: “Hah, sungguh aneh. Engkau menolak undanganku, terpaksa aku pergi saja dan habis perkara. Orang mengundang tamu malah hendak ditahan di sini?”

Dengan sikap memelas Ciu Pek-thong berbalik memohon: “O, adik yang baik, betapa pun sukar kubayangkan ke-13 jurus ilmu pukulanmu itu. Mohon belas kasihanmu, sudilah kau menguraikan namanya padaku, sebagai imbalannya, kepandaian apa yang kau inginkan, tentu kuajarkan kepadamu.”

Hati Yo Ko tergerak, segera ia berkata: “Kukira tidak sulit jika kau ingin tahu lengkap ilmu pukulanku ini. Aku pun tidak ingin minta belajar kepandaianmu sebagai imbalan, cukup asalkan kau berjanji ikut pergi menemui Eng-koh.”

“Walau pun kau potong kepalaku aku tidak mau menemuinya,” jawab Ciu Pek-thong dengan serba susah.

“Kalau begitu aku mohon diri,” segera Yo Ko hendak melangkah pergi.

Ciu Pek-thong melompat maju mencegatnya, tangannya bergerak, segera dia menghadang sambil berkata:

“Adik yang baik, coba kau mainkan lagi jurus seranganmu selanjutnya!”

Yo Ko menangkis serangan Lo-wan-tong, namun yang digunakan adalah ilmu pukulan Coan-cin-pay. Beberapa kali Ciu Pek-thong menyerang dengan pukulan lain, Yo Ko tetap dengan ilmu silat Coan-cin-pay dan apa yang pernah dipelajari dari Kiu-im-cin-keng, dengan demikian serangan Ciu Pek-thong selalu gagal mencapai sasaran.

Untuk mengalahkan Ciu Pek-thong juga tidak mudah bagi Yo Ko, tapi jika cuma untuk mempertahankan diri saja, betapa pun Anak Tua itu tak dapat berbuat apa-apa. Yo Ko tidak ambil pusing orang menyerangnya dengan cara-cara memancing, dia justru tidak memperlihatkan lagi jurus serangan baru dari Im-jian-soh-hun-ciang, hanya terkadang dia mengulangi keempat jurus yang telah diperlihatkannya tadi dan hal ini tentu saja semakin mengitik-ngitik rasa ingin tahu si Anak Tua Nakal.

Sampai lama sekali Ciu Pek-thong tetap tidak berdaya memaksa Yo Ko memenuhi harapannya. Betapa pun usianya telah lanjut, tenaga terbatas, ia pun merasa lelah. Ia tahu sukar lagi memancing dan memaksanya, maka tiba-tiba ia melompat mundur dan berseru:

“Sudahlah, sudahlah! Biar aku menyembah delapan kali padamu dan memanggil guru padamu, dengan begitu sukalah kau mengajari aku.”

Yo Ko merasa geli bahwa di dunia ini ada orang yang ‘gila silat’ sampai sedemikian rupa. Cepat ia menjawab:

”Ah, mana berani kuterima. Biarlah kuberi-tahu saja nama ke-13 jurus sisanya dari Im jian-soh-hun ciang itu.”

Seketika Ciu Pek-thong berjingkrak kegirangan, serunya; “Aha, sungguh adik yang baik!”

Tetapi Kwe Siang menyela: “Nanti dulu, dia kan tidak mau ikut kita ke sana, jangan kau mengajarkan dia.”

Namun Yo Ko justru sengaja hendak membikin si Anak Tua itu kepingin tahu. Jika sudah tahu nama jurusnya, tentu akan semakin tertarik. Maka dengan tersenyum dia menjawab:

“Kukira kalau cuma mengetahui namanya saja tidaklah menjadi soal.”

“Ya, hanya nama jurusnya saja, kan tidak soal?” cepat Ciu Pek-thong menukas.

Yo Ko lantas duduk di bawah pohon, lalu berkata: “Dengarkan yang betul, Ciu-heng, sisa ke-13 jurus itu disebut: Bok-beng-ki-miau (bingung tidak paham), Yok-yu-soh-sit (seperti kehilangan sesuatu), To-heng-gik-si (bertindak terbalik dan berbuat berlawanan), Keh-hoa-soh-yang (menggaruk gatal dari balik sepatu), Lik-put-ciong-sim (keinginan besar tenaga kurang), Bin-bu-jin-sik (muka pucat tanpa perasaan).”

Begitulah Kwe Siang sampai terpingkal-pingkal geli mendengar nama-nama yang aneh itu, sebaliknya Ciu Pek-thong mengikuti dengan penuh perhatian sambil terus menggumam dan mengulang nama-nama jurus itu. Ciu Pek-thong menjadi seperti orang linglung saking kesemsemnya pada nama-nama ke-13 jurus itu, sampai lama sekali ia merenung, lalu berkata:

“Coba, jurus ‘Bin-bu-jin-sik’ itu cara bagaimana menggunakannya menghadapi musuh?”

“Jurus ini memang banyak perubahannya,” tutur Yo Ko, “tapi intinya terletak pada mimik muka yang ber-ubah-ubah, sebentar gembira, di lain saat gusar, mendadak sedih, tiba-tiba girang pula membuat perasaan musuh tidak tenteram dan terpengaruh, akibatnya kalau kita gembira musuh pun ikut gembira, kita sedih musuh juga sedih, dalam keadaan begitu musuh pun tunduk sama sekali di bawah perintah kita, inilah caranya mengalahkan musuh tanpa tenaga dan tanpa suara, lebih tinggi satu tingkat dari pada cara mengatasi musuh dengan suara suitan dan lain sebagainya.”

“Ahh, agaknya jurus itu perubahan dari ‘Liap-sim-tay-hoat’ (ilmu pengaruhi pikiran, sejenis ilmu hipnotis) yang terdapat dalam Kiu-im-cin-keng.”

“Benar,” jawab Yo Ko.

“Lantas bagaimana dengan jurus ‘To-heng-gik-si’?”

Tiba-tiba Yo Ko menjungkir dengan kepala di bawah dan kaki di atas, kemudian tubuhnya berputaran tangan menghantam, katanya:

“lnilah To-heng-gik-si yang juga banyak gerak perubahannya.”

Ciu Pek-thong mengangguk, “Tentu ilmu ini bersumber dari ilmu silat Se-tok Auyang Hong.”

“Betul!” kata Yo Ko setelah bangkit kembali. “Semua ilmu pukulan ini masih banyak corak perobahannya, sering kali saling bertentangan dan sukar dijelaskan.”

Ciu Pek-thong tetap tidak paham, tapi dia tidak berani tanya lagi. Ia tahu biar pun ditanyai juga Yo Ko takkan menerangkan. Melihat Anak Tua Nakal itu menggaruk-garuk kepalanya dan tampaknya kelabakan ingin tahu, diam-diam Kwe Siang merasa kasihan. Ia mendekatinya dan berbisik padanya:

“Ciu-loyacu, sebenarnya apa sebabnya engkau tidak mau menemui Eng-koh? Ehh, bagaimana kalau kita mencari akal baik untuk memohon Toakoko mengajarkan kepandaiannya ini padamu?”

Ciu Pek-thong menarik napas panjang, katanya: “Tentang Eng-koh, memang akulah yang bersalah karena perbuatanku waktu masih muda, kalau kuceritakan rasanya tidak enak.”

“Tidak apa-apa,” ujar Kwe Siang. “Kalau sudah kau ceritakan tentu terasa lebih enak dari pada selalu disimpan dalam hati. Umpamanya aku juga pernah berbuat salah, tapi bila ditanya oleh ayah dan ibu, tentu aku bicara terus terang dan selesailah persoalannya bila sudah diomeli ayah-ibu. Kalau tidak, misalnya kita berdusta atas perbuatan sendiri, tentu rasanya tidak tenteram.”

Melihat wajah si nona yang kekanak-anakan itu, Ciu Pek-thong memandang sekejap pada Yo Ko, lalu berkata:

“Baiklah, akan kuceritakan perbuatanku yang tidak senonoh di waktu muda itu, tapi jangan kau tertawakan diriku.”

“Tidak, tak ada yang akan menertawai kau, anggaplah kau sedang berkisah mengenai diri orang lain. Nanti aku pun akan bercerita kesalahan yang pernah kulakukan,” habis berkata Kwe Siang lantas bergeser lebih mendekati si Tua Nakal dengan sikap yang akrab sekali.

“Kau juga pernah berbuat salah?” Pek-thong memandangi wajah yang halus cantik itu.

“Tentu saja, kau kira aku tidak dapat berbuat salah?”

“Baiklah, coba kau ceritakan dulu perbuatanmu itu.”

“Hah, tidak cuma sekali saja, bahkan aku pernah beberapa kali berbuat salah,” tutur Kwe Siang. “Misalnya pernah satu kali ada seorang prajurit penjaga benteng tertidur di dalam tugasnya. Ayah memerintahkan meringkus prajurit itu dan akan kami penggal kepala, tapi aku merasa kasihan padanya dan tengah malam kubebaskan prajurit itu. Tentu saja ayah sangat marah, tapi aku mengaku terus terang dan dipukul ayah, tapi lantas habis perkara, dan masih banyak lagi kejadian lainnya.”

Ciu Pek-thong menghela napas, katanya. “Masalah itu belum apa-apa kalau dibandingkan dengan perbuatanku ini.” Lalu berceritalah dia hubungannya dengan Lau-kuihui alias Eng-koh sehingga mengakibatkan kemarahan Toan-hongya dan meninggalkan tahtanya untuk menjadi Hwesio, sebab itulah dia merasa malu untuk bertemu muka dengan kedua orang itu.

Kwe Siang terus mendengarkan cerita itu dengan asyiknya, sampai Ciu Pek-thong habis berkisah dan wajahnya tampak merasa malu, lalu Kwe Siang bertanya.

“Selain Lau-kuihui itu, Toan-hongya masih mempunyai beberapa orang selir lagi?”

“Kerajaan Tayli tidak besar, dengan sendirinya tidak mempunyai ratusan atau ribuan selir seperti raja Song kita, tapi puluhan selir kukira pasti ada,” jawab Ciu Pek-thong.

“Nah, kalau dia mempunyai berpuluh orang selir, sedangkan kau seorang isteri saja tidak punya, sebagai sahabat sepantasnya dia hadiahkan Lau-kuihui untukmu, kan?” ujar Kwe Siang.

Yo Ko mengangguk tanda setuju atas ucapan Kwe Siang itu, diam2 ia pikir jalan pikiran si nona yang tidak suka terikat dengan adat kebiasaan umum itu benar-benar cocok dengan seleranya.

Ciu Pek-thong lantas menjawab: “Waktu itu Toan-hongya juga berucap begitu, akan tetapi Lau-kuihui adalah selir kesayangannya, untuk ini dia sampai meninggalkan tahta dan rela menjadi Hwesio, suatu tanda perbuatanku itu sesungguhnya sangat berdosa padanya.”

“Keliru kau,” mendadak Yo Ko menyela, “sebabnya Toan-hongya menjadi Hwesio adalah karena dia merasa bersalah kepadamu dan bukan kau yang bersalah padanya, masa kau belum tahu persoalan ini?”

“Aneh, dia berbuat salah apa padaku?” tanya Ciu Pek-thong terheran-heran.

“Soalnya ada orang mencelakai anakmu dan dia sengaja tak mau menolongnya sehingga bocah itu akhirnya meninggal,” tutur Yo Ko.

Selama berpuluh tahun ini Ciu Pek-thong tidak tahu bahwa hubungan gelapnya dengan Eng-koh menghasilkan seorang anak laki-laki, maka dia tambah heran mendengar ucapan Yo Ko, cepat dia menegas:

“Anakku apa maksudmu?”

“Aku pun tidak tahu seluk-beluknya, hanya kudengar dari It-teng Taysu,” jawab Yo Ko. Lalu ia pun menguraikan kembali apa yang didengarkan dari It-teng di tepi Hek-liong-tam itu.

Mendadak mengetahui dirinya pernah mempunyai seorang anak laki-laki, seketika kepala Ciu Pek-thong terasa seperti disambar geledek. Ia melenggong kaget hingga lama sekali, hatinya sebentar sedih sebentar girang. Teringat kepada nasib Eng-koh yang malang dan menderita selama puluhan tahun ini, dia menjadi tambah menyesal dan merasa kasihan padanya.

Melihat keadaan Ciu Pek-thong itu, diam-diam Yo Ko merasa si Tua Nakal ini sebenarnya juga seorang yang berperasaan dan mengapa dirinya mesti sayang menjelaskan 17 jurus Im-jian-soh-hun-ciang itu. Segera dia berkata:

“Ciu-locianpwe, baiklah aku perlihatkan secara lengkap ilmu pukulan ini, kalau ada kekurangan diharapkan petunjukmu.” ia memainkan ilmu pukulan ciptaannya sambil mulut mengucapkan nama-nama jurus yang bersangkutan.

Ciu Pek-thong paham isi Kiu-im-cin-keng, maka uraian Yo Ko dengan mudah saja dapat diterima dan dimengerti dengan baik, hanya dua-tiga jurus yang tetap sulit dipahami letak intisarinya, meski pun sudah diulangi dan dijelaskan lagi oleh Yo Ko namun Ciu Pek-thong tetap tidak paham. Rupanya ilmu pukulan itu adalah hasil ciptaan Yo Ko setelah berpisah dengan Siao-liong-li sehingga setiap jurus seakan-akan menggambarkan kisah cintanya. Dengan menghela napas ia lantas berkata:

“Ciu-locianpwe, 15 tahun yang lalu isteriku berpisah dengan aku, karena rindu timbullah ilham dan terciptalah jurus ilmu pukulan ini. Locianpwe sendiri tidak kenal apa artinya sedih dan duka, engkau senantiasa riang gembira, dengan sendirinya engkau tidak dapat mengerti apa rasanya orang yang sedih dan duka.”

“Ahh, mengapa isterimu berpisah dengan kau?” tanya Ciu Pek-thong. “Dia sangat cantik, hatinya juga baik, jika kau cinta dan merindukan dia adalah pantas.”

Yo Ko tidak ingin mengungkat mengenai kecerobohan Kwe Hu yang melukai Siao-liong-li dengan jarum berbisa, dia cuma sekedarnya mengatakan isterinya keracunan dan dibawa pergi Lam-hay-sin-ni dan baru dapat sehat lagi 16 tahun kemudian. Habis itu ia lantas menceritakan rasa rindu sendiri dan berdoa siang dan malam agar Siao-liong-li dapat pulang dengan selamat. Akhirnya ia menambahkan:

“Kuharap dapat bertemu sekali lagi dengan dia, untuk itu biar pun tubuhku ini harus hancur lebur juga aku rela.”

Sebegitu jauh Kwe Siang tidak tahu rasa rindu Yo Ko kepada isterinya ternyata demikian mendalam. Dia menjadi terharu dan mencucurkan air mata, dia pegang tangan Yo Ko lalu berkata dengan suara lembut:

“Semoga Thian memberkahi hingga akhirnya kalian dapat berjumpa dan berkumpul kembali.”

Sejak berpisah dengan Siao-liong-li, untuk pertama kalinya Yo Ko mendengar ucapan orang yang simpatik dan tulus, ia merasa sangat berterima kasih dan selama hidup ini tak akan pernah melupakan. Ia lantas bangkit sambil menghela napas, ia memberi hormat kepada Ciu Pek-thong dan berkata:

“Sekarang kumohon diri, Ciu-locianpwe!” dia ajak Kwe Siang dan melangkah pergi.

Setelah berjalan belasan langkah, Kwe Siang menoleh dan berseru kepada si Tua Nakal: “Ciu-locianpwe, Toakoko-ku sedemikian rindunya kepada isterinya. Eng-koh juga sangat merindukan engkau, tapi engkau tetap tidak mau menemui Eng-koh. Tega benar kau ini!”

Ciu Pek-thong terkesiap, air mukanya berubah hebat. Yo Ko lantas membisiki Kwe Siang: “Adik cilik, jangan kau singgung lagi soal itu, setiap orang mempunyai cita-cita sendiri, tiada gunanya banyak bicara.”

Begitulah mereka lantas melangkah ke arah datangnya tadi.

“Toakoko,” tiba-tiba Kwe Siang berkata. “Kalau kutanya tentang isterimu, apakah kau akan berduka lagi?”

“Tidak,” jawab Yo Ko, “Toh beberapa bulan lagi dapatlah aku berjumpa dengannya.”

“Cara bagaimana engkau berkenalan dengan beliau?” tanya Kwe Siang.

Yo Ko pun bercerita kisah hidupnya sejak kecil sebatang kara, lalu diantar Kwe Ceng ke Coan-cin-pay untuk belajar sjlat, di sana dianiaya sesama saudara seperguruan sehingga minggat dan masuk ke kuburan kuno, di sanalah dia berkumpul dengan Siao-liong-li dan lama-lama timbul rasa cinta antara mereka. Setelah mengalami bermacam-macam suka duka akhirnya terikat menjadi suami isteri. Kwe Siang mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian, diam-diam ia sangat terharu terhadap cinta murni Yo Ko yang suci dan mendalam itu. Akhirnya ia berkata:

“Semoga Thian memberkahi pertemuan kembali kalian berdua dengan selamat!”

“Terima kasih, adik cilik, kebaikan hatimu akan selalu kuingat, jika aku sudah bertemu dengan isteriku kelak tentu akan kuberi-tahukan tentang dirimu,” ujar Yo Ko.

“Setiap hari ulang tahunku, ibu dan aku suka bersembahyang dan berdoa, ibu menyuruh aku menyebut tiga buah nazar, tetapi sesudah kupikirkan hingga lama, tak pernah kutahu nazar apa yang harus kusebutkan. Tetapi pada hari ulang tahun yang akan datang sudah kusiapkan nazarku, akan kukatakan harapanku semoga Toakoko dapat segera berjumpa dan hidup bahagia dengan isterinya yang cantik.”

“Lalu apa kedua nazarmu yang lain?” tanya Yo Ko.

Kwe Siang tersenyum, katanya: “Takkan kukatakan padamu.”

Pada saat itulah, tiba-tiba di belakang sana ada orang berteriak-teriak, “Hai, adik Yo, tunggu! Yo Ko, tunggu!” Dari suaranya dapat dikenali suara Ciu Pek-thong.

Yo Ko amat girang, cepat ia berpaling. Benar saja, dilihatnya Ciu Pek-thong berlari datang secepat terbang sambil berseru:

“Adik Yo, sudah kupikirkan dengan baik, kuharap engkau lekas mambawaku menemui Eng-koh!”

“Nah, memang seharusnya begitu,” ujar Kwe Siang, “Kau tahu betapa orang merindukan dirimu.”

“Ya, setelah kalian berangkat, kupikirkan ucapan adik Yo tadi dan makin kupikir semakin tidak enak rasa hatiku,” tutur Ciu Pek-thong. “Kurasa kalau aku tidak menemuinya, maka selama hidupku ini pasti aku tak dapat tidur nyenyak, aku ingin bertanya sesuatu padanya.”

Yo Ko dan Kwe Siang tidak bertanya soal apa yang hendak ditanyakan oleh si Tua Nakal itu kepada Eng-koh, yang jelas perjalanan mereka tidak sia-sia, maka mereka sangat gembira. Jika menuruti watak Ciu Pek-thong yang tidak sabar, seketika juga ingin bertemu dengan Eng-koh. Namun malam sudah tiba, Kwe Siang merasa lelah dan lapar serta kantuk pula, maka tiga orang dan satu rajawali lantas bermalam di bawah pohon. Besoknya pagi-pagi mereka sudah melanjutkan perjalanan dan sebelum lohor mereka sudah sampai di pinggir Hek-liong-tam.

Melihat Yo Ko ternyata benar-benar dapat mengundang datang Ciu Pek-thong, sungguh girang Eng-koh tak terlukiskan, hatinya berdebar-debar dan mulut melongo, seketika tidak dapat mengucapkan sekata pun.

Ciu Pek-thong mendekati Eng-koh, dengan suara keras dia bertanya: “Eng-koh, anak kita itu punya satu atau dua pusar kepala?”

Eng-koh melengak. Sama sekali tidak terduga olehnya bahwa kekasih yang terpisah sejak muda dan sekarang bisa berjumpa kembali setelah sama-sama tua, tapi pertanyaan yang diucapkan per-tama justru adalah urusan yang tidak penting. Tapi ia lantas menjawab:

“Pusar kepalanya ada dua.”

“Ha-ha-ha-ha, jadi sama seperti aku, benar-benar anak yang pintar,” seru Ciu Pek-thong kegirangan. Tapi ia lantas menghela napas dan menambahkan: “Tapi... tapi sayang sudah mati, sayang sudah mati!”

Rasa suka-duka Eng-koh tak tertahan Iagi, segera ia menangis keras-keras.

“Jangan menangis, jangan menangis...!” demikian Pek-thong menghiburnya sambil menggabloki punggungnya dengan keras. Lalu dia berkata kepada It-teng: “Toan-hongya, kupikat isterimu, tapi kau pun tak mau menolong jiwa anakku, jadi kita anggap saja seri, urusan di masa lampau tidak perlu diungkap lagi.”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar