Jumat, 15 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 169

“Aku tidak ingin belajar ilmu apa pun,” ujar Kwe Siang. “Setelah ketemu Lo-wan-tong tentu kau akan pergi, aku pun harus pulang, maka biarlah aku ikut pergi saja dengan kau.”

Arti kata-kata ini adalah merasa waktu berkumpul sudah tidak banyak lagi, apa bila dapat berdampingan dengan sang toakoko lebih lama lagi ini yang diharapkan. Melihat anak dara itu merasa berat untuk berpisah dengan dirinya, Yo Ko merasa sangat terharu. Dengan tersenyum ia lantas berkata:

“Semalaman kau tidak tidur, apakah kau tidak letih dan mengantuk?”

“Ngantuk sih memang ngantuk, tapi aku tetap ingin ikut kau,” kata Kwe Siang.

“Baiklah,” Yo Ko gandeng tangan anak dara itu dan melayang ke depan secepat terbang dengan Ginkang yang tinggi.

Karena tarikan Yo Ko ini, tubuh Kwe Siang terasa enteng, langkahnya tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun, dengan tertawa dia berkata:

“Apa bila tanpa digandeng olehmu aku sanggup berlari secepat ini, puaslah aku.”

“Ginkang-mu sudah mempunyai dasar yang baik, kalau berlatih terus akhirnya kau pasti mencapai tingkatan seperti ini,” ujar Yo Ko. Mendadak ia menengadah dan bersuit.

Kwe Siang kaget dan cepat mendekap kupingnya, tetapi Yo Ko sudah tidak bersuit lagi, maka tampaklah si rajawali raksasa itu muncul dari balik semak-semak pohon.

“Tiau-heng, ada sesuatu urusan kita harus ke utara, mari engkau pun ikut,” kata Yo Ko.

Rajawali itu lantas tegakkan leher dan berkaok beberapa kali, entah paham entah tidak, yang jelas dia lantas ikut berangkat bersama Yo Ko. Kira-kira dua tiga li jauhnya, lari rajawali itu semakin cepat, meski Kwe Siang mengganduI Yo Ko masih juga tidak mampu menyusul burung itu. Rupanya rajawali itu menjadi tidak sabar lagi, tiba-tiba ia berhenti dan mendakkan tubuh di depan Kwe Siang.

“Tiau-heng bersedia menggendong kau,” kata Yo Ko sambil tertawa, “Kau harus berterima kasih padanya.”

Kwe Siang tidak berani kasar lagi kepada rajawali itu, lebih dulu dia memberi hormat, lalu mencemplak ke atas punggungnya. Segera rajawali itu mengayunkan langkahnya yang lebar. Seketika Kwe Siang merasa seperti dibawa terbang, pepohonan di kedua samping melayang ke belakang, meski belum secepat terbang kedua ekor rajawali di rumahnya, tapi sudah lebih cepat dari pada kuda lari. Yo Ko kelihatan mengintil di sebelah burung itu tanpa ketinggalan sedikit pun, terkadang dia malah mengajak bicara dan bergurau. Hati si nona senang bukan main. Ia merasa pengalamannya sekali ini jauh lebih aneh dan menggembirakan dari pada pengalaman sebelumnya.

Menjelang lohor, sudah lebih dari 200 li mereka lalui. Yo Ko terus melintasi bukit menurut petunjuk Eng-koh hingga akhirnya pandangannya terbeliak, di depan sana sebuah lembah menghijau permai dengan aneka macam bunga mekar mewangi. Sepanjang jalan mereka menyelusuri tanah salju melulu, sampai di sini seakan-akan memasuki suatu dunia lain. Serentak Kwe Siang bersorak gembira dan melompat turun dan punggung rajawali sambil berteriak:

“Wah, pintar sekali Lo-wan-thong menikmati hidup, sungguh suatu tempat ajaib yang sukar dicari. Eh, Toakoko, coba katakan, kenapa tempat ini sedemikian indahnya?”

“Lembah ini menghadap ke selatan, gunung di belakangnya menghalangi angin dari utara, mungkin di bawah tanah sini banyak tambang batu bara dan belerang atau sebangsanya, makanya suhu tanah di sini cukup hangat, pula suasana selalu semarak seperti di musim semi dan bunga mekar serentak.”

BegituIah sambil bicara mereka terus memasuki lembah gunung itu. Sesudah membelok lagi beberapa kali, terlihatlah di depan sana sebuah selat diapit tebing gunung di kanan kiri, di tengahnya tumbuh tiga pohon Siong tua menjulang tinggi laksana malaikat penjaga pintu selat. Menyusul lantas terdengar suara mendengung yang riuh ramai, banyak sekali tawon putih beterbangan di sekitar pohon. Yo Ko tahu Ciu Pek-thong pasti berada di situ, maka segera ia berseru lantang:

“Hai, Lo-wan-tong, adik Yo Ko membawa kawan cilik ingin bermain dengan kau!”

Sebenarnya tingkatan Yo Ko selisih jauh dengan Ciu Pek-thong, menyebutnya kakek juga belum cukup, tetapi ia tahu Ciu Pek-thong itu tua nakal, kocak dan suka bermain seperti anak kecil, semakin blak-blakan dengan dia tanpa membedakan tua dan muda, semakin senanglah dia. Dan betul saja, baru lenyap suaranya, segera dari balik pohon sana nongol satu orang. Sekali pandang, Yo Ko berjingkat kaget.

Belasan tahun yang lalu ketika Yo Ko pertama kali kenal Ciu Pek-thong, rambut alis Anak Tua Nakal itu sudah putih seperti perak. Sekarang wajahnya memang tak berubah sedikit pun, tapi baik rambut, jenggot mau pun alisnya malahan berubah menjadi sebagian putih dan sebagian hitam sehingga tampaknya jauh lebih muda dari pada dulu.

“Ha-ha-ha... adik Yo, kenapa baru sekarang kau datang mencari aku?” demikian Ciu Pek-thong lantas menyambut sambil bergelak tawa. “Aha, kau memakai kedok segala! Untuk me-nakuti siapa sih?”

Berbareng itu sebelah tangannya terjulur hendak meraih kedok tipis yang dipakai Yo Ko. Cengkeraman Ciu Pek-thong itu mengarah ke sebelah kiri, tetapi sedikit menarik pundak kanan, kepala Yo Ko malahan berbalik miring ke kiri dan anehnya cengkeraman Ciu Pek-thong mengenai tempat kosong, kelima jarinya yang terpentang itu berhenti di sisi leher Yo Ko. Lo-wan-tong rada melengak, sesudah itu lantas terbahak dan memuji:

“Adik Yo, hebat benar kepandaianmu Mungkin sudah jauh melebihi waktu muda Lo-wan-tong dulu.”

Rupanya dalam satu kali cengkeram dan sekali mengegos, keduanya sama-sama memperlihatkan ilmu silat yang tinggi luar biasa. Sebenarnya cengkeraman Ciu Pek-thong mencakup sasaran cukup luas sehingga jangankan Yo Ko menghindar dengan miringkan kepala, sekali pun melompat juga sukar menghindari cengkeramannya itu, dalam keadaan terpaksa bisa jadi Yo Ko harus menangkis dengan keras lawan keras barulah dapat mematahkannya. Tapi sedikit angkat pundak kanan tadi Yo Ko lantas siap dengan lengan bajunya. Rupanya Ciu Pek-thong juga tahu kemungkinan itu, terpaksa ia bersiap menangkis dan karena itu raihan tangannya menjadi kendur sehingga Yo Ko dapat miringkan kepalanya dan bebas dari cengkeraman itu.

Sudah tentu Kwe Siang tidak tahu seluk-beluk gebrakan itu. Ia merasa senang mendengar Ciu Pek-thong memuji Yo Ko, segera ia berkata:

“Eh, Ciu-loyacu, kepandaianmu sekarang lebih tinggi atau lebih tinggi waktu masih muda?”

“Waktu muda rambutku putih, kini rambutku hitam, jadi dengan sendirinya sekarang lebih hebat dari pada dulu,” jawab Ciu Pek-thong.



“Tetapi sekarang engkau tak dapat mengalahkan Toakoko-ku, dengan sendirinya dahulu lebih-lebih bukan tandingannya,” ujar Kwe Siang.

Ciu Pek-thong tidak marah, dia hanya tertawa kemudian berkata: “Ha-ha-ha-ha, nona cilik sembarangan omong!”

Mendadak kedua tangannya bekerja sekaligus, satu memegang bagian kuduk dan lainnya mencengkeram punggung. Tubuh Kwe Siang diangkat tinggi-tinggi dan diputar tiga kali, dilemparkannya perlahan ke atas untuk kemudian ditangkap kembali, lalu diturunkan perlahan ke tanah. Kwe Siang datang bersama Yo Ko, rajawali sakti itu tahu si nona adalah teman Yo Ko. Ia menjadi marah melihat Lo-wan-tong mempermainkan Kwe Siang.

“Brettt...!” mendadak sebelah sayapnya menyabet ke arah Lo-wan-tong.

Seketika Ciu Pek-thong merasakan angin keras menyambar tiba. Dia pikir: “Akan kucoba betapa hebat kekuatan binatang ini.”

Segera dia mengerahkan tenaga, kedua tangannya menghantam ke depan. Rajawali sakti itu memang makhluk luar biasa, sayapnya yang terpentang itu ada dua-tiga meter lebarnya.

“Blangg...!”

Maka terdengarlah suara keras ketika kedua tenaga saling bentur. Ciu Pek-thong tetap berdiri bergeming, tenaga sabetan sayap rajawali yang dahsyat itu pun menyambar lewat ke samping. Segera rajawali itu hendak menyusuIkan serangan lain, Yo Ko cepat membentaknya:

“Jangan, Tiau-heng! Kawan kita ini adalah orang kosen angkatan tua!”

Rajawali itu mengurungkan serangannya, tapi tetap bersikap angkuh.

“Besar juga tenaga hewan ini, pantas berani berlagak,” ujar Ciu Pek-thong sambil tertawa.

“Usia Tiau-heng ini entah sudah berapa ratus tahun, jauh lebih tua dari padamu,” ujar Yo Ko. “He, Lo-wan tong, kenapa dari tua kau kembali muda, rambutmu yang dulu sudah ubanan semuanya kini malah berubah hitam?”

“Habis apa hendak dikata?” jawab Ciu Pek-thong dengan tertawa. “Rambut dan jenggot ini tidak mau dipimpin, dahulu dia lebih suka dari hitam menjadi putih, terpaksa aku biarkan, sekarang dia ingin dari putih menjadi hitam, ya, aku pun tak berdaya dan masa bodoh.”

“Tapi kelak kalau kau semakin lama semakin muda, setiap orang yang ketemu kau suka meraba-raba kepalamu dan memanggil kau adik kecil. Nah, jika begitu barulah menarik,” ujar Kwe Siang.

Ciu Pek-thong benar-benar merasa kuatir, ia berdiri menjublek tanpa bicara lagi. Padahal di dunia ini tidak mungkin terjadi orang tua kembali muda, soalnya sifat Ciu Pek-thong itu lugu, polos, selama hidup tidak kenal kuatir dan sedih. Iwekang-nya juga sangat tinggi, ditambah lagi dia suka makan tumbuh-tumbuhan pegunungan sebangsa Ho-siu-oh, Hok-leng (bahan obat, kuat) dan madu tawon, semua itu bermanfaat besar bagi kesehatan, sebab itulah rambut, alis dan jenggotnya yang tadinya putih malah kembali menjadi hitam.

Malahan juga sering terjadi orang tua yang sudah ompong tumbuh gigi lagi, tulang yang sudah lapuk berubah menjadi kuat. Apa lagi Ciu Pek-thong memang paham cara merawat diri sehingga meski umurnya sudah dekat satu abad masih tetap segar dan bersemangat. Mendengar ucapan Kwe Siang yang membuat kuatir Ciu Pek-thong itu, Yo Ko merasa geli. Segera dia berkata:

“Ciu-heng, asalkan kau mau menemui satu orang, kujamin kau takkan berubah menjadi kecil.”

“Menemui siapa?” tanya Ciu Pek-thong.

“Jika kusebut nama orang ini, jangan kau terus pergi begitu saja,” kata Yo Ko.

Watak Ciu Pek-thong hanya lugu saja, tapi sekali-sekali bukan orang bodoh. Kalau tidak masa dia mampu meyakinkan ilmu silat setinggi ini? Maka dia telah dapat menangkap maksud kedatangan Yo Ko, segera ia menjawab:

“Di dunia ini ada dua orang yang tak dapat kutemui, Toan-hongya dan bekas selirnya, Eng-koh. Kecuali mereka berdua, siapa pun aku mau menemuinya.”

Yo Ko pikir harus menggunakan akal pancingan, segera dia berkata lagi: “Ah, kutahu, tentu kau pernah dikalahkan mereka, ilmu silatmu lebih rendah dari pada mereka, makanya kau kapok dan takut bertemu dengan mereka.”

“Tidak, tidak,” ujar Lo-wan-tong sambil meng-geleng. “Soalnya perbuatanku terlalu kotor dan rendah, aku merasa bersalah kepada mereka, maka aku malu untuk bertemu dengan mereka.”

Yo Ko melengak, sama sekali tak terduga olehnya bahwa kiranya begitulah sebabnya Cui Pek-thong tidak berani bertemu dengan Eng-koh. Tapi dia dapat berpikir cepat, segera ia menambahkan:

“Kalau kedua orang itu terancam bahaya dan nyawa mereka sudah dekat ajalnya, apakah kau pun tidak sudi memberi pertolongan?”

Melenggong juga Ciu Pek-thong. Di dalam hati dia sangat menyesal dan merasa berdosa terhadap It-teng dan Eng-koh, bila kedua orang itu ada kesukaran, biar pun mengorbankan jiwanya dia akan menolong mereka tanpa ragu sedikit pun. Tapi sekilas dia melihat Kwe Siang tersenyum simpul, sama sekali tiada rasa cemas dan kuatir. Segera dia menjawab dengan tertawa:

“Aha, kau ingin menipuku ya? Kepandaian Toan-hongya maha sakti, mana mungkin dia terancam bahaya? Andaikan benar dia telah bertemu dengan lawan yang maha lihay, jika dia tidak sanggup menandinginya, maka aku pun tidak mampu.”

“Terus terang kukatakan, sesungguhnya Eng-koh sangat rindu padamu, kau diminta ke sana menemuinya.”

Seketika air muka Ciu Pek-thong berubah. Sambil menggoyang-goyang kedua tangannya, dia berkata:

“Adik Yo, jika kau mengungkit urusan ini sepatah kata lagi, segera kusilakan kau keluar dari Pek-hoa-kok ini dan jangan menyalahkan aku jika aku tidak kenal sahabat lagi.”

Sesudah mengalami gemblengan selama belasan tahun, sifat latah Yo Ko sudah lenyap, namun semangat jantannya tidak berkurang. Sekali bajunya mengebas, segera ia menjawab:

“Ciu-Ioheng seumpama kau ingin mengusirku pergi dari sini, kukira juga tidak begitu mudah.”

“He-he-he…, kau ingin berkelahi denganku?” kata Lo-wan-tong dengan tertawa.

“Boleh juga jika kau ingin berkelahi,” jawab Yo Ko. “Kalau aku kalah, segera aku pergi dari sini dan takkan menginjak tempatmu lagi, tetapi kalau kau kalah, kau harus ikut aku pergi menemui Eng-koh.”

“Tidak, tidak, salah!” seru Ciu Pek-thong. “Pertama, mana bisa aku kalah dari anak muda seperti kau ini. Kedua, seumpama aku kalah juga aku takkan menemui Lau-kuihui (Lau adalah she-nya Eng-koh).”

Yo Ko menjadi marah, katanya: “Kalau kau menang adalah hakmu untuk tidak menemui dia, tapi kalau kau kalah tetap tidak mau, lalu apa taruhan kita?”

“Sekali aku bilang tidak mau menemui dia, ya tetap tidak mau. Tidak perlu banyak omong lagi, hayolah mulai!” seru Ciu Pek-thong sambil menyingsing lengan baju dan menggosok-gosok kepalan.

Yo Ko pikir Lo-wan-tong ini agaknya sukar dipancing dan ditipu, terpaksa harus memakai kekerasan. Bila benar harus bergebrak rasanya juga tidak yakin pasti akan menang, tapi tiada jalan lain, terpaksa harus melihat gelagat saja nanti.

Watak Ciu Pek-thong memang keranjingan ilmu silat, meski tinggal terpencil di Pek-hoa-kok masih tetap berlatih setiap hari, kepandaiannya sudah maha tinggi, maka dengan sendirinya sukar mencari partner berlatih. Kini melihat Yo Ko mau bertanding dengan dirinya, tentu saja ia menjadi gatal tangan dan ingin coba-coba selekasnya. Dia pikir kalau tertunda, nanti Yo Ko mencari alasan dan membatalkan niatnya, kan hilanglah kesempatan bagus ini? Karena itu segera dia mendahului membentak sambil menjotos ke depan, yang dimainkan adalah 72 jurus ‘Khong-beng-kun-hoat’, ilmu pukulan sakti.

Cepat Yo Ko angkat tangan kiri dan balas menghantam satu kali. Mendadak dia merasa tenaga pukulan orang seperti ada tetapi juga seperti tidak ada, kalau dirinya menghantam betul-betul terasa percuma, sebaliknya jika tidak jadi diteruskan rasanya juga berbahaya. Diam-diam dia terkejut dan menyadari benar-benar ketemu tandingan berat yang belum pernah ditemukannya. Segera dia memainkan ilmu pukulan yang dilatihnya secara giat selama belasan tahun di bawah damparan ombak samudera itu, dia balas menyerang dengan dahsyat. Terdengar suara gemuruh, tiga kali dia melancarkan pukulan keras hingga pepohonan di sekitarnya tergetar, seketika terjadilah hujan kelopak bunga beraneka warna.

Semula Yo Ko rada kuatir kalau usia Ciu Pek-thong sudah lanjut dan tidak tahan tenaga pukulannya yang makin dahsyat ini, maka setiap pukulannya selalu ditahan sedikit. Tapi setelah beberapa kali bergebrak dan melihat tenaga serta ilmu pukulan lawan bahkan di atasnya, kalau dirinya meleng sedikit saja mungkin malah dapat dirobohkan oleh si Anak Tua Nakal, maka dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan melayaninya dengan sepenuh tenaga. Ciu Pek-thong menjadi semakin bersemangat, teriaknya:

“Kepandaian hebat, ilmu pukulan lihay! Wah, perkelahian ini benar-benar menarik dan memuaskan!”

Lingkaran yang dicapai tenaga pukulan mereka makin meluas, selangkah demi selangkah Kwe Siang terpaksa mundur terus, ada pun si rajawali tetap berdiri di tempatnya dengan sayap setengah terpentang dan siap membela Yo Ko bila perlu. Rupanya burung itu pun tahu lawan yang dihadapi Yo Ko teramat lihay.

Melihat ilmu pukulan yang dilatihnya selama berpuluh tahun itu tidak dapat mengalahkan Yo Ko, diam-diam Ciu Pek-thong memuji kehebatan Iawan, Mendadak ia ganti siasat, sekarang tangan kiri mengepal dan tangan kanan memakai telapak tangan, kedua tangan menyerang dengan cara yang berbeda. Inilah ilmu silat ciptaan Ciu Pek-thong-sendiri yang pernah diajarkan kepada Kwe Ceng dan Siao-liong-li, yakni kedua tangan menyerang dengan cara yang berbeda, dengan demikian seorang Lo-wan-tong seperti berubah menjadi dua orang, ia menggempur Yo Ko dari kiri dan kanan.

Dengan cuma sebelah tangannya melawan serangan Ciu Pek-thong yang amat hebat tadi Yo Ko merasa tidak dapat menang, apa lagi sekarang satu lawan dua serangan berlainan, tentu saja ia tambah kewalahan. Diam-diam ia terkejut dan terpaksa lengan baju yang kosong itu pun digunakan menyambut sebagian serangan orang tua itu.

Biar pun Kwe Siang tidak dapat memahami di mana letak kehebatan tipu serangan kedua orang itu, tapi dari sama kuat berubah menjadi Yo Ko yang terdesak, betapa pun ia dapat melihat keadaan itu. Tentu saja ia terkejut dan heran. Tiba-tiba saja teringat olehnya, waktu ayahnya mengajar pernah menggunakan kedua tangan untuk melayani dirinya dan adik lelakinya sekaligus dengan jurus yang berbeda, tampaknya apa yang dimainkan Ciu Pek-thong sekarang adalah kepandaian yang sama seperti ayahnya itu.

Tentu saja Kwe Siang tidak tahu bahwa ilmu silat yang aneh ini justru Ciu Pek-thong yang mengajarkan kepada Kwe Ceng, dia malah mengira bahwa mungkin si anak Tua ini telah mencuri belajar kepandaian khas sang ayah. Karena itulah dia lantas berteriak-teriak:

“He, berhenti, berhenti! Tidak adil, tidak adil, Lo-wan-tong! Toakoko, jangan mau lagi bertanding dengan dia!”

Ciu Pek-thong melengak sambil melompat mundur, bentaknya: “Tidak adil bagaimana?”

“Seranganmu yang aneh ini tentu kau curi dari ayahku, sekarang kau gunakan berkelahi dengan toakoko-ku, huh, apa kau tidak malu?” omel Kwe Siang.

Berulang-ulang mendengar Kwe Siang menyebut Yo Ko sebagai ‘toakoko’, Ciu Pek-thong menyangka anak dara itu benar-benar adik perempuan Yo Ko, ia tidak ingat siapakah ayah Yo Ko.

“Ahh, nona cilik sembarangan omong,” katanya kemudian dengan tertawa. “Ilmu aneh ini adalah hasil renunganku di dalam goa dulu, masa kau tuduh aku mencuri belajar dari ayahmu?”

“Baiklah, seumpama kau tidak mencuri belajar, tapi kau memiliki dua tangan, sedangkan Toakoko-ku hanya sebelah tangan, perkelahian sudah berlangsung sekian lama, apa lagi yang dipertandingkan? Coba kalau Toakoko juga punya dua tangan, tentu sejak tadi kau sudah kalah.”

Ciu Pek-thong melengak, katanya kemudian: “Ya, beralasan juga ucapanmu, tapi biar pun dia mempunyai dua tangan juga tidak dapat sekaligus memainkan dua macam ilmu silat.” Habis berkata ia lantas bergelak tertawa.

“Huh, jelas kau tahu lengan Toakokoku takkan tumbuh lagi, makanya kau dapat berbicara seenaknya, kalau kau benar-benar laki-laki sejati dan pahlawan tulen, cara bertanding ini harus dilakukan dengan adil, dengan demikian barulah bisa dibedakan benar-benar siapa yang lebih unggul atau asor.”

“Baik, kalau begitu kedua tanganku akan memainkan semacam ilmu pukulan saja,” kata Ciu Pek-thong.

“He-he-he…., masa ada cara begitu? Kau benar-benar tidak tahu malu,” ejek Kwe Siang.

Ciu Pek-thong menjadi kurang senang, omeInya: “Habis apakah aku harus meniru dia dan membiarkan sebelah lenganku dikutungi perempuan?”

Kwe Siang melengak dan memandang sekejap ke arah Yo Ko, pikimya: “Kiranya sungguh kejam dia!” Segera dia menjawab:

“Tidak pertu lenganmu dibikin buntung, cukup asalkan sebelah tangan diikat di pinggangmu, kemudian kalian bertanding lagi sama-sama menggunakan satu tangan, adil bukan?”

Karena merasa bertanding yang diusulkan Kwe Siang ini cukup menarik, pula yakin kepandaian sendiri cukup dikuasai dengan satu tangan, maka tanpa tawar menawar lagi segera ia menyelipkan lengan kanan ke ikat pinggang, lalu berkata pada Yo Ko:

“Baiklah, kita mulai lagi, supaya kau kalah tanpa menyesal.”

Yo Ko diam-diam saja selama Kwe Siang bicara dengan Ciu Pek-thong. Dia tidak pantang orang menyebut lengannya buntung, tapi ia percaya pada dirinya sendiri dan merasa tidak lebih lemah dari pada orang yang bertangan lengkap, maka demi nampak Ciu Pek-thong mengikat tangan sendiri untuk menghadapinya, jelas sikap ini terlalu meremehkannya, segera ia berkata dengan tegas:

“Lo-wan-tong, caramu ini bukankah memandang rendah diriku? Jika dengan lengan tunggal aku tidak mampu menandingi kau, biarlah nanti aku... aku...”

Menuruti wataknya ia hendak mengatakan ‘aku membunuh diri di Pek-hoa-kok ini’, tetapi mendadak ia teringat janjinya bertemu dengan Siao–liong-li sudah dekat waktunya, mana boleh dirinya berpikiran pendek begini. Maka ia tidak meneruskan ucapannya itu. Kwe Siang menyesal bukan main. Maksudnya ingin membela Yo Ko, tetapi tidak tahunya malah menimbulkan suasana yang tidak mengenakkan ini. Cepat ia mendekati Yo Ko dan berkata:

“Toakoko, akulah yang salah...”

Lalu dia mendekati Ciu Pek-thong dan menarik tangannya yang terselip di ikat pinggang itu, bahkan tali pinggangnya dibetot putus, kemudian katanya:

“Meski dengan satu tangan saja pasti toakoko-ku mampu menandingi dua tanganmu, kalau tak percaya boleh kau mencobanya.”

Tanpa menunggu Ciu Pek-thong bicara lagi, sedikit melangkah ke samping, Yo Ko mendahului menghantam. Cepat Ciu Pek-thong membalas dengan tangan kiri. Meski tangan kanannya tidak terikat lagi, tetapi dia pikir takkan melayani Yo Ko dengan dua tangan, maka tangan kanan tetap dijulurkan ke bawah tanpa digunakan. Walau pun begitu, karena tipu serangannya tetap lihay, Yo Ko masih juga kewalahan.

Diam-diam Yo Ko penasaran, masa dirinya yang lebih muda tidak dapat mengalahkan seorang kakek yang usianya sudah dekat seabad? Lalu kepandaian yang terlatih selama belasan tahun ini kemana perginya.?

ILMU PUKULAN PENGIKAT SUKMA

Ia merasakan daya pukulan Ciu Pek-thong semakin keras dan kuat, sama sekali tidak sama dengan ‘Khong-beng-kun-hoat’ yang mengutamakan lunak tadi. Tiba-tiba pikirannya tergerak. Teringat olehnya ‘Kiu-im-cin-keng’ yang pernah dibaca di dinding kuburan kuno dahulu itu, rasanya gerak serangan Ciu Pek-thong sekarang adalah bagian dari pada ilmu silat yang tercantum dalam kitab pusaka yang terukir itu, kalau dia tidak salah ingat namanya Hok-mo-kun-hoat (ilmu pukulan penakluk iblis). Mendadak Yo Ko membentak:

“Apa artinya Hok-mo-kun-hoatmu ini? Silakan kau gunakan kedua tanganmu dan sambut aku punya ‘Im-jian-soh-hun-kun’!”

Ciu Pek-thong melengak sebab nama ilmu pukulannya sendiri dengan tepat dapat disebut oleh Yo Ko. Ia tambah melongo demi mendengar lawan hendak memainkan ‘lm-jian-soh-hun-kun’ (ilmu pukulan pengikat sukma). Sejak kecil Ciu Pek-thong sudah ‘gila silat’. Ilmu silat dari golongan dan aliran mana pun sudah hampir seluruhnya diketahui, tapi nama ‘lm-jian-soh-hun-kun’ baru pertama kali ini didengarnya. Dilihatnya lengan tunggal Yo Ko terpanggul pada punggungnya, matanya memandang jauh, langkahnya mengambang dan bagian dada tidak terjaga, gayanya itu sangat berlawanan dengan teori ilmu silat mana pun juga. Segera Ciu Pek-thong melangkah maju satu tindak, tangan kiri berlagak siap menyergap, maksudnya ingin memancing reaksi lawan. Tetapi Yo Ko seperti tidak tahu saja dan tidak menggubrisnya.

“Awas!” seru Ciu Pek-thong terus menghantam ke perut Yo Ko. Dia kuatir melukai lawan, maka pukulan ini hanya memakai tiga bagian tenaga saja.

Tak terduga baru saja kepalan hampir mengenai tubuh Yo Ko, mendadak terasa perutnya bergetar, dada mendekuk terus mental keluar lagi. Keruan Ciu Pek-thong terkejut dan cepat melompat mundur. Jika orang mendekukkan perut untuk menghindari serangan adalah kejadian biasa saja, tapi menggunakan kulit daging dada untuk menyerang musuh, sungguh belum pernah terlihat dan terdengar. Tentu saja Ciu Pek-thong ingin tahu, segera ia membentak:

“Ilmu silat apa ini namanya?!”

“lnilah jurus ke-13 dari ‘Im-jian-soh-hun-ciang’, namanya ‘Sim-keng-bak-tiau’ (hati terkejut daging kedutan)!”

Ciu Pek-thong menggumam mengulang nama jurus itu: “Sim-keng-bak-tiau? Tak pernah dengar! Tak pernah dengar!”

“Sudah tentu kau tidak pernah dengar,” ujar Yo Ko, “Im-jian-soh-hun-ciang adalah 17 jurus ilmu pukulan ciptaanku sendiri.”

Kiranya sejak ditinggal menghilang oleh Siao-liong-li, kemudian Yo Ko bersama si rajawali sakti menggembleng diri di bawah damparan ombak samudera yang dahsyat, beberapa tahun kemudian, kecuali Iwekang-nya bertambah kuat rasanya tiada lagi yang dapat dilatihnya, akan tetapi rindunya kepada Siao-liong-Ii tidak pernah pudar, bahkan semakin hari semakin menjadi sehingga tambah kurus dan kehilangan gairah hidup. Suatu hari dia gerak badan bebas di tepi pantai, saking isengnya ia ayunkan tangan dan gerakkan kaki untuk melemaskan otot. Mungkin karena tenaga dalamnya telah mencapai tingkat yang sempurna sehingga sekali hantam saja dia telah menghancurkan tempurung punggung seekor penyu raksasa.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar