Kamis, 14 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 168

Terlihat Eng-koh bangkit perlahan dengan sorot mata bengis. Meski pun Yo Ko tidak gentar, tapi tidak enak juga perasaannya melihat sikap orang ini. Segera ia pegang tangan Kwe Siang dan berkata:

“Mari pergi!”

Sekali melayang, segera kedua orang meluncur ke tengah tambak. Setelah berpuluh meter dibawa Yo Ko meluncur, akhirnya Kwe Siang bertanya:

“Toakoko, berada di manakah Taysu? Suaranya seperti berada di sebelah sini saja.”

Dua kali Yo Ko dipanggil ‘Toakoko’ dengan suara yang halus dan mesra, hatinya menjadi terkesiap juga. Pikirnya: “Cintaku kepada Liong-ji suci murni dan tidak mungkin bergoyah, betapa pun aku tak boleh terjerumus lagi ke jaringan asmara. Nona cilik ini usianya masih amat muda dan kekanak-kanakan, lebih baik selekasnya berpisah supaya tidak menimbulkan hal-hal yang tidak diharapkan.”

Akan tetapi berada di atas lumpur berselimutkan salju itu, sedetik pun tak boleh berhenti, lebih-lebih tidak mungkin mengendurkan pegangannya pada tangan si nona.

“Toakoko,” kembali Kwe Siang berkata, “Kutanya kau, apakah engkau tidak mendengar?”

“It-teng Taysu berada di timur laut, kira-kira dua-tiga li dari sini,” jawab Yo Ko. “Meski suaranya kedengaran dekat, tetapi sebenarnya berada cukup jauh. Dia menggunakan ilmu ‘jian-li-toan-im’ (mengirim gelombang suara dari jauh).”

“He, apakah engkau juga mahir ilmu itu?” tanya Kwe Siang. “Maukah engkau mengajarkan padaku? Agar aku pun dapat bicara denganmu dengan ilmu itu kalau kelak kita berpisah di tempat jauh, menyenangkan bukan?”

“Namanya saja mengirim gelombang suara dari jauh, sesungguhnya kalau bisa mencapai dua-tiga li saja sudah luar biasa,” ujar Yo Ko sambil tertawa. “Untuk mencapai kepandaian setingkat It-teng Taysu, biar pun secerdas kau harus berlatih hingga rambut ubanan.”

Kwe Siang sangat senang karena orang memujinya cerdas, lalu katanya pula: “Ah, aku ini cerdas apa? Kalau aku mempunyai dua bagian kecerdasan ibuku saja aku sudah merasa puas.”

Hati Yo Ko tergerak. Dari raut muka si nona ia melihat samar-samar ada beberapa bagian menyerupai Oey Yong. Pikirnya: “Tokoh-tokoh yang kukenal selama hidup baik lelaki mau pun perempuan, kalau bicara tentang kepintaran dan kecerdasan rasanya tiada orang lain yang bisa menandingi Kwe-pekbo. Apakah mungkin nona cilik ini puteri bibi Kwe?”

Tetapi segera dia tertawa geli sendiri dan anggap jalan pikirannya itu terlalu mengada-ada. Masa di dunia ini bisa terjadi sedemikian kebetulan? Kalau benar nona ini puteri Kwe-pekbo, mana mungkin paman dan bibi Kwe membiarkannya berkeliaran di Iuar? Maka ia coba bertanya kepada Kwe Siang:

“Siapakah ibumu?”

“lbu ya ibu, meski kukatakan juga kau tidak kenal,” jawab Kwe Siang dengan tertawa. “Eh, Toakoko, kepandaianmu lebih tinggi atau kepandaian It-teng Taysu lebih tinggi?”

Usia Yo Ko sekarang sudah mendekati setengah baya, kenyang mengalami gemblengan kehidupan dan merasakan betapa pahit getirnya sejak berpisah dengan Siao-liong-Ii. Meski pun semangat ksatrianya tak berkurang, tapi sifat dugalnya di masa muda hampir lenyap seluruhnya. Maka dia menjawab:

“It-teng Taysu sangat terhormat di dunia persilatan. Berpuluh tahun yang silam namanya sudah sama tinggi dengan Tho-hoa-tocu dan lain-lainnya. Beliau adalah Lam-te (raja di selatan), yaitu satu di antara lima tokoh terkemuka di jaman itu. Mana aku dapat dibandingkan beliau?”

“Wah, jika begitu, kalau engkau dilahirkan lebih dini beberapa puluh tahun yang lalu, tentu tokoh tertinggi waktu itu bukan lagi lima orang, tapi enam. Konon mereka disebut Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong, lalu engkau sendiri berjuluk apa? Ahh, pasti juga Sin-tiau-tayhiap. Oya, masih ada lagi Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin.”

Yo Ko bertanya pula: “Apakah kau pernah melihat Kwe-tayhiap dan Kwe-hujin?”

“Sudah tentu aku pernah melihat mereka, malahan mereka sangat sayang padaku,” sahut Kwe Siang. “Ehh, Toakoko, apakah engkau juga kenal beliau-beliau itu? Nanti kalau urusan di sini sudah beres, maukah kita pergi menyambangi mereka?”

Yo Ko benci pada Kwe Hu yang telah membuntungi lengannya, tapi setelah lewat sekian tahun, rasa benci itu menipis. Tapi Siao-liong-li mengidap racun sehingga terpaksa harus berpisah 16 tahun, persoalan ini tak dapat tidak membuatnya amat dendam kepada Kwe Hu. Maka dengan hambar saja dia menjawab:

“Pada tahun depan bisa jadi aku akan berkunjung kepada Kwe-tayhiap dan isterinya, tapi harus tunggu dulu setelah aku bertemu dengan isteriku dan kami berdua akan pergi ke sana bersama.” Begitu menyebut Siao-liong-li, tanpa terasa timbul hasratnya yang menyala.

Kwe Siang dapat merasakan telapak tangan Yo Ko yang tiba-tiba menjadi panas. Segera ia bertanya pula.

“lsterimu tentu sangat cantik dan ilmu silatnya pasti sangat tinggi pula.”

“Kukira di dunia ini tak ada orang lain yang lebih cantik dari pada dia,” kata Yo Ko. “Kalau bicara tentang ilmu silat, saat ini dia tentu juga melebihi diriku.”

Kwe Siang menjadi sangat hormat dan kagum sekali, katanya: “Toakoko, engkau harus membawa diriku menemui isterimu, maukah kau berjanji?”

“Kenapa tidak?” ujar Yo Ko sambil tertawa. “Aku yakin nyonyaku juga pasti suka padamu. Saat itu barulah kau benar-benar memanggil aku Toakoko.”

“Apakah sekarang aku tidak boleh memanggil begitu padamu?” tanya Kwe Siang dengan melengak.



Karena sedikit merandek, sebelah kakinya kejeblos ke dalam lumpur. Untung Yo Ko menariknya melompat jauh ke depan. Tampaklah di kejauhan sana berdiri seseorang dengan jenggot panjang dan memakai jubah paderi berwarna kelabu, siapa lagi kalau bukan It-teng Taysu.

Cepat Yo Ko berseru: “Tecu Yo Ko memberi hormat kepada Taysu!” Sambil menarik Kwe Siang sekaligus dia meluncur ke depan paderi sakti itu.

Tempat berada It-teng di tepi kolam lumpur Hek-liong-tam. Ia menjadi girang sekali ketika mendengar nama Yo Ko, maka dia membangunkannya ketika Yo Ko datang menyembah. Katanya dengan tertawa:

“Apakah selama ini baik-baik, saudara Yo? Pesat amat kemajuan ilmu saktimu, sungguh menggembirakan dan mengagumkan.”

Waktu Yo Ko bangkit dilihatnya di belakang It-teng sana menggeletak seseorang dengan muka pucat lesi mirip mayat. Ia melengak, ketika ia awasi, kiranya Cu-in Hwesio adanya.

“Kenapakah Cu-in Taysu?” tanya Yo Ko terkejut.

“Dia dilukai orang, meski pun sudah kutolong sepenuh tenaga tetap sukar menyembuhkannya,” tutur It-teng menyesal.

Yo Ko mendekati Cu-in lantas memeriksa nadinya. Terasa denyutnya sangat Iemah, sesudah lama sekali barulah kembali berdenyut perlahan. Kalau saja Iwekang Cu-in tidak kuat, mungkin sudah lama dia menghembuskan napas penghabisan.

“Kepandaian Cu-in Taysu sedemikian tinggi, entah siapakah yang sanggup melukainya?” tanya Yo Ko heran.

“Ketika itu kami bermaksud pulang ke Tayli karena ada kabar bahwa pasukan Mongol maksud menyerbu ke daerah selatan,” tutur It-teng. “Sebelum berangkat Cu-in telah keluar mencari keterangan mengenai keadaan, tapi di tengah jalan kepergok seseorang dan mereka bertempur selama tiga hari tiga malam. Akhirnya Cu-in terluka parah.”

“Ah, kiranya keparat Kim-lun Hoat-ong telah datang ke Tionggoan lagi,” ujar Yo Ko sambil membanting kaki ke tanah.

“He, Toakoko, dari mana engkau mengetahui orang itu Kim-lun Hoat-ong?” tanya Kwe Siang heran, “padahal It-teng Taysu tidak menyebutkannya.”

“It-teng Taysu bilang mereka bertempur selama tiga hari tiga malam, maka jelas luka Cu-in Taysu bukan disergap musuh yang licik,” jawab Yo Ko. “Di dunia ini orang yang mampu melukai Cu-in Taysu jumlahnya bisa dihitung dengan jari, dan di antara beberapa orang ini hanya Kim-lun Hoat-ong saja tergolong orang jahat.”

“Toakoko, lekaslah engkau mencari bangsat itu dan hantam dia untuk membalaskan sakit hati Toa-hwesio ini,” ujar Kwe Siang.

Tiba-tiba Cu-in yang menggeletak dengan kempas-kempis di tanah itu membuka matanya sedikit dan menggeleng perlahan kepada Kwe Siang.

“Kenapa? Memangnya kau tidak ingin membalas dendam?” tanya Kwe Siang heran, “Ahh, barang kali maksudmu Kim-lun Hoat-ong itu terlampau lihay dan kuatir Toakoko tak dapat menandinginya?”

“Kau salah duga, nona cilik,” sela It-teng. “Muridku ini telah banyak berbuat dosa. Selama belasan tahun berusaha menebus dosanya tetapi ternyata tidak pernah tercapai, hal ini yang selalu mengganjal hatinya dan membuatnya mati pun tak tenteram. Jadi bukan maksudnya ingin orang membalaskan sakit hatinya, tapi justru mengharapkan pengampunan dari seseorang agar dia dapat mangkat dengan hati tenteram.”

“Apakah nenek di kolam lumpur ini yang dia inginkan?” tanya Kwe Siang, “Hati nenek itu sangat keras, jika bersalah padanya, tidak akan dia mengampuni orang begitu saja.”

“Justru begitulah,” kata It-teng dengan menghela napas, “Kami sudah memohonnya di sini selama tujuh hari tujuh malam sama sekali dia tidak mau menemui kami.”

Tiba-tiba hati Yo Ko tergerak. Teringat olehnya kata-kata si nenek tentang anaknya yang terluka dan orang yang dimintai pertolongan tidak mau menyembuhkannya. Segera dia bertanya:

“Apakah berhubungan dengan anaknya yang terluka dan tak tertolong itu?”

Badan It-teng bergetar, sahutnya sambil mengangguk: “Ya, kiranya kau pun sudah tahu?”

“Sesungguhnya Tecu tidak tahu,” jawab Yo Ko. “Cuma tadi Locianpwe di tengah kolam itu menyinggungnya sedikit.” Lalu dia pun mengisahkan pengalamannya bertemu dengan si nenek tadi.

“Dia bernama Eng-koh,” tutur It-teng pula, “dahulu dia adalah isteriku. Wataknya memang keras. Aih, kalau tertunda lebih lama lagi mungkin Cu-in tidak tahan.”

Seketika timbul macam-macam tanda tanya dalam benak Kwe Siang, tetapi dia tak berani bertanya. Dengan gegetun Yo Ko lantas berkata:

“Setiap orang tentu pernah berbuat salah, apa bila menyadari salahnya, maka apa yang sudah lampau dapatlah dianggap selesai. Rasanya jiwa Eng-koh ini juga teramat sempit.” Dilihatnya ajal Cu-in sudah dekat, timbul jiwa ksatrianya yang ingin menolong, segera ia menambahkan: “Taysu, maafkan jika Tecu memberanikan diri memaksa Eng-koh ke sini.”

It-teng Taysu termenung sejenak. Dia pikir kedatangannya dengan Cu-in ini adalah untuk minta ampun kepada Eng-koh, rasanya tak pantas memakai kekerasan. Tapi permohonan dengan sopan sudah sekian lamanya dan Eng-koh tetap tidak mau menemuinya, agaknya kalau tetap memohon begitu saja juga percuma. Jika Yo Ko mempunyai caranya sendiri, rasanya boleh juga dicoba, umpama tidak berhasil, paling juga cuma gagal bertemu saja. Maka ia lantas menjawab:

“Kalau Yo-heng dapat membujuknya keluar, tentu segala persoalan menjadi beres. Cuma sedapatnya jangan sampai menimbulkan sengketa baru sehingga malah menambah dosa mereka.”

Yo Ko mengiyakan, kemudian ia merobek sapu tangan menjadi empat potong, dua potong digunakan menyumbat telinga Cu-in, dua potong lainnya diberikan kepada si nona. Setelah itu ia lantas menghimpun tenaga dalam dan minta maaf dulu kepada It-teng, lalu ia menengadah dan mengeluarkan suara nyaring panjang. Suara suitannya ini mula-mula nyaring bening dan berkumandang jauh, lama-lama suaranya berubah melengking tajam, lalu berubah keras bergemuruh laksana bunyi guntur.

Meski kupingnya sudah disumbat kain, tak urung muka Kwe Siang berubah pucat karena getaran suara yang membuat jantungnya berdebar-debar. Suara gemuruh itu terus berlangsung bergelombang hingga mirip deburan ombak samudera. Kwe Siang merasa dirinya seolah-olah berdiri di tanah lapang dan guntur terus berbunyi mengelilinginya. Ia menjadi takut dan gelisah.

“Toakoko, lekas berhenti, aku tidak tahan!” teriaknya.

Akan tetapi suaranya ternyata tenggelam di tengah suitan Yo Ko yang hebat itu, bahkan ia sendiri tidak mendengar apa-apa, terasa pikiran menjadi linglung dan pandangan kabur. Untung pada saat itu It-teng sudah mengulurkan tangannya memegangi telapak tangan Kwe Siang. Segera terasalah hawa hangat tersalur dari tangan paderi sakti itu. Tahulah dia paderi sakti itu sedang membantunya dengan tenaga dalamnya yang sangat kuat, Segera ia pun memejamkan mata dan mengerahkan tenaga dalam sendiri. Sejenak kemudian, meski pun suara gemuruh tadi masih tetap memekak telinga, tetapi pikirannya sudah tidak bergolak lagi.

Sesudah bersuit panjang sekian lamanya, ternyata Yo Ko tetap bersemangat dan kuat, sedikit pun tiada tanda-tanda lelah. Diam-diam It-teng merasa kagum. Ia merasa semasa mudanya dahulu juga tidak sekuat Yo Ko sekarang ini, apa lagi kini usianya sudah lanjut, jelas tak dapat dibandingkan anak muda ini.

Selang tak lama kemudian, tampaklah sesosok bayangan meluncur dari Hek-liong-tam. Sekali Yo Ko mengebaskan lengan bajunya, suara suitan berhenti. Baru saja Kwe Siang menghela napas lega dan belum lagi pulih air mukanya, terdengar bayangan orang tadi berseru melengking dan jauh:

“Toan-hongya, caramu malang melintang memaksa aku keluar, sebenarnya ada urusan apa?”

“Adik Yo inilah yang mengundang kau,” jawab It-teng.

Tengah bicara, tahu-tahu bayangan orang tadi sudah mendekat. Siapa lagi kalau bukan Eng-koh. Eng-koh menjadi ragu-ragu mendengar jawaban It-teng. Dia heran di dunia ini kecuali Toan-hongya ternyata masih ada lagi yang memiliki kekuatan sehebat ini. Padahal orang yang mukanya sukar diketahui dengan pasti ini berambut hitam, umurnya paling banyak juga belum ada 40 tahun, tetapi Iwekang-nya ternyata selihay ini, sungguh luar biasa dan mengagumkan!

Sebenarnya Eng-koh bertekad tidak mau menemui Toan-hongya alias It-teng Taysu, tapi suara Yo Ko tadi membuatnya gelisah. Ia tahu jika dirinya tidak keluar, sekali tenaga dalam orang dikerahkan, maka pikirannya akan terguncang dan mungkin sekali akan roboh dan terluka dalam. Karena itulah terpaksa ia keluar walau pun dengan sikap ogah-ogahan.

“lni, rase ini kuberikan kepadamu, anggaplah aku menyerah padamu dan lekas pergi dari sini,” kata Eng-koh kepada Yo Ko dengan rasa dongkol. Habis itu dia pegang leher seekor rasenya terus hendak dilemparkan ke arah Yo Ko.

“Nanti dulu,” seru Yo Ko, “urusan rase soal kecil, ada urusan penting yang hendak dibicarakan It-teng Taysu, harap engkau suka mendengarkannya.”

Eng-koh memandang It-teng dengan sikap dingin, lalu katanya: “Baiklah, silakan Hongya memberi-tahu.”

“Kejadian masa lampau laksana impian belaka, sebutan di waktu dahulu untuk apa digunakan lagi?” ujar It-teng Taysu dengan gegetun. “Eng-koh, apakah kau masih kenal dia?” Ia menuding Cu-in yang menggeletak di tanah.

Sekarang Cu-in memakai jubah Hwesio, bahkan mukanya telah banyak berbeda dari pada pertemuan di Hoa-san lebih 30 tahun yang lalu, Maka hakikatnya Eng-koh telah pangling. Katanya sesudah memandang sekejap ke arah Cu-in:

“Mana aku kenal Hwesio ini?”

“Dahulu siapakah yang menyerang anakmu dengan cara keji?” tanya It-teng.

Seketika tubuh Eng-koh gemetar, air mukanya berubah pucat kemudian berubah menjadi merah, katanya dengan suara terputus-putus:

“Jadi... jadi dia ini bangsat Kiu Jian-yim itu? Biar pun... biar pun tulang belulangnya menjadi abu tetap kukenali.”

“Kejadian itu sudah berpuluh tahun yang lalu dan kau masih tetap mendendam dan tidak melupakannya,” ujar It-teng dengan menghela napas. “Orang ini memang betul Kiu Jian-yim adanya. Sedangkan mukanya saja kau pangling, tapi dendam lama itu belum pernah kau lupakan.”

Tiba-tiba saja Eng-koh menubruk ke sana, kesepuluh jarinya laksana kaitan hendak ditancapkan ke dada Cu-in. Ia coba mengamat-amati wajahnya, samar-samar dia merasa rada mirip Kiu Jian-yim, tapi setelah diawasi lebih teliti, rasanya seperti bukan. Kedua pipi paderi ini cekung dan menggeletak tak bergerak, tampaknya sudah tiga perempat mati.

“Apakah orang ini benar-benar Kiu Jian-yim?!” teriak Eng-koh bengis, “Buat apa dia ke sini menemui aku?”

“Dia memang betul Kiu Jian-yim,” kata It-teng. “Dia merasa dosanya terlampau besar dan sudah memeluk agama Budha serta menjadi muridku, nama agamanya Cu-in.”

“Hm, sesudah berbuat dosa, dengan menjadi Hwesio lantas segala dosanya akan punah? Pantas di dunia ini tambah banyak orang yang menjadi Hwesio,” jengek Eng-koh.

“Dosa tetap dosa, mana mungkin ditebus dengan menjadi Hwesio?” ujar It-teng. “Kini Cu-in terluka parah, ajalnya tinggal beberapa saat saja. Teringat olehnya dosa mencelakai anakmu, maka dia merasa tidak tenteram dan sekuatnya dia bertahan, dan dari jauh datang ke sini untuk memohon ampun padamu atas dosanya.”

Dengan mata melotot Eng-koh memandangi It-teng Taysu hingga lama sekali, wajahnya mengunjuk penuh rasa dendam dan benci, seakan seluruh duka derita selama hidupnya ingin dilampiaskan dalam sekejap ini.

Melihat air muka Eng-koh yang benar-benar menyeramkan itu, Kwe Siang menjadi takut. Terlihat kedua tangan Eng-koh diangkat dan segera akan dijatuhkan atas tubuh Cu-in. Meski pun merasa takut tapi dasar pembawaan Kwe Siang memang berbudi luhur, segera ia membentak:

“Nanti dulu! Dia sudah tidak bisa berkutik, tapi kau hendak menyerangnya pula, sebab apa kau tega berbuat demikian?”

“Hm, dia membunuh anakku, selama berpuluh tahun aku menanti dengan menderita dan akhirnya aku dapat mencabut jiwanya dengan tanganku sendiri walau pun rasanya sudah agak terlambat, tapi kau masih bertanya sebab-sebabnya?” jengek Eng-koh.

“Kalau dia sudah menyadari kesalahannya dan mengaku berdosa, buat apa kejadian yang lampau diungkat-ungkat lagi?” ujar Kwe Siang.

“He-he-he-he!” Eng-koh terkekeh sambil menengadah. “Enak saja kau bicara, anak dara. Coba jawab. Andaikan yang dibunuh adalah anakmu, bagaimana?”

“Dari... dari mana aku mempunyai anak?” jawab Kwe Siang gelagapan.

“Atau yang dibunuh suamimu, kekasihmu, atau Toakoko-mu ini?” jengek Eng-koh pula.

Muka Kwe Siang menjadi merah, katanya: “Kau ngaco-be!o! Dari... dari mana datangnya suami atau kekasihku?”

Makin bicara makin meluap rasa marah Eng-koh, dia tidak mau banyak omong lagi, sambil menatap Cu-in segera tangannya hendak menghantam ke bawah.

SATU LAWAN DUA

Tapi mendadak terlihat Cu-in menghela napas dengan menyungging senyum dan berkata dengan perlahan:

“Terima kasih Eng-koh sudi menyempurnakan diriku.”

Eng-koh melengak dan pukulannya tidak jadi diteruskan, bentaknya: “Menyempurnakan apa katamu?!”

Tetapi segera dia paham maksud orang. Rupanya Cu-in yakin pasti dirinya mati, maka dia ingin diberi satu pukulan supaya dapat mati di tangannya, jadi pukulan yang dulu pernah menewaskan anaknya sudah dibalas dengan pukulan maut pula, dengan begitu dosanya tertebus. Dengan tertawa dingin Eng-koh lantas berkata.

“Masa begini enak bagimu? Aku tidak akan membunuh kau, tapi aku pun tak pernah mengampuni kau!” Kalimat ini diucapkan dengan tegas dan seram sehingga membuat orang mengkirik.

Yo Ko tahu watak It-teng Taysu welas asih dan tidak mungkin bersitegang dengan bekas selirnya itu, sedangkan Kwe Siang adalah seorang anak kecil, apa yang dikatakan tentu tidak mendapat perhatian Eng-koh, kalau dirinya tidak ikut campur tentu urusan ini takkan beres. Maka dengan ketus ia berkata:

“Eng-locianpwe, persoalan suka-duka di antara kalian sebetulnya tidak jelas bagiku, cuma saja ucapan dan tindak-tanduk cianpwe terasa agak keterlaluan bagiku, maka betapa pun juga aku menjadi ingin ikut campur tangan urusan ini.”

Eng-koh berpaling dengan hati terkesiap. Dia sudah pernah bergebrak dengan Yo Ko, dari suara suitan-nya tadi ia pun tahu kepandaian orang ini jauh di atasnya dan tidak mungkin ditandingi. Sungguh tak terduga dalam keadaan demikian ada orang tampil ke muka dan main kekerasan. Setelah dipikir dan pikir lagi, tanpa terasa ia menjadi sedih dan merasa nasibnya teramat tidak beruntung, ia duduk mendeprok dan menangis tergerung-gerung. Tangisnya Eng-koh ini tidak saja membuat bingung Yo Ko dan Kwe Siang, bahkan di luar dugaan juga It-teng Taysu. Terdengar Eng-koh menangis sambil mengomel:

“Kalian ini hendak bertemu dengan aku, cara halus tidak dapat lantas memakai kekerasan, tapi orang itu tidak mau menemui aku, kenapa kalian tidak ambil pusing?”

“He, Locianpwe, siapakah yang tidak mau bertemu dengan kau?” tanya Kwe Siang cepat “Bagaimana jika kami membantu kau?”

Tanpa menjawab Eng-koh melanjutkan keluhannya: “Kalian hanya bisa menganiaya kaum wanita macam diriku, kalau ketemu tokoh yang benar-benar lihay, masa kalian berani mengutiknya?”

Kwe Siang lantas menanggapi lagi: “Anak kecil seperti diriku tentu saja tak berguna, tapi sekarang di sini kan ada It-teng Taysu dan Toakoko-ku, memangnya kita takut kepada siapa?”

Eng-koh termenung sejenak, mendadak ia bangkit dan berseru: “Baik, asalkan kalian mencari dia dan membawanya ke sini menemui aku dan biarkan dia bicara sebentar dengan aku, maka apa pun kehendak kalian, ingin rase atau minta aku berdamai dengan Kiu Jian-yim, semuanya kuterima.”

“Eh, Toakoko, apakah transaksi ini dapat diterima?” tanya Kwe Siang kepada Yo Ko.

“Siapakah yang ingin cianpwe temui, masa begitu sulit?” tanya Yo Ko.

“Boleh kau tanya dia,” jawab Eng-koh sambil menuding It-teng Taysu.

Sekilas melihat air muka bersemu merah, Kwe Siang menjadi heran, masa sudah tua begitu masih bisa malu-malu seperti anak perawan? Melihat Yo Ko dan Kwe Siang menatap ke arahnya, dengan perlahan It-teng lantas menutur:

“Yang dia maksudkan adalah Ciu-suheng, Lo-wan-tong Ciu Pek-thong.”

“Ah, kiranya Lowantong yang dimaksudkan,” seru Yo Ko girang. “Dia sangat baik padaku, biarlah aku pergi mencari dan membawanya ke sini untuk menemuimu.”

“Namaku Eng-koh, kau harus katakan jelas-jelas kepadanya bahwa dia akan dibawa ke sini menemui aku,” kata Eng-koh. “Jika tidak, begitu melihat bayanganku segera dia kabur dan sukar lagi mencarinya. Asalkan ia mau datang ke sini maka setiap permintaan kalian pasti akan kupenuhi.”

Yo Ko melirik It-teng, nampak paderi itu menggeleng perlahan. Maka diduganya di antara Ciu Pek-thong dan Eng-koh pasti ada persengketaan berat hingga keduanya tidak mungkin dipertemukan. Tetapi lantas teringat olehnya bahwa Ciu Pek-thong itu berpikiran seperti anak kecil, bukan mustahil akan dapat memancingnya ke sini dengan akal aneh, Maka ia lantas berkata:

“Lo-wan-tong itu berada di mana sekarang? Pasti akan aku usahakan untuk mengajaknya ke sini.”

“Kira-kira lebih 200 li dari sini ke utara ada sebuah lembah Pek-hoa-kok (lembah seratus bunga), dia mengasingkan diri di sana dan mencari kesenangan dengan beternak lebah,” tutur Eng-koh.

Mendengar kata-kata ‘beternak lebah’, Yo Ko terkenang kepada Siao-liong-li. Teringat olehnya dahulu Ciu Pek-thong diajari oleh Siao-liong-li cara memiara tawon dan menguasainya, tanpa terasa hatinya menjadi sedih dan mata merah. Katanya kemudian:

“Baiklah, sekarang juga Wanpwe akan mencari Lo-wan-tong, harap kalian tunggu di sini.” Dia tanya letak Pek-hoa-kok lebih jelas, lalu melangkah pergi.

Tanpa bicara Kwe Siang ikut di belakangnya. Yo Ko lantas mengisiki anak dara itu: “Ilmu silat It-teng Taysu maha tinggi, orangnya juga welas asih, kau tinggal sementara di sini dan mohon belajar sedikit kepandaian padanya. Asal beliau mau memberi petunjuk, maka beruntunglah bagimu.”

“Tidak, aku ingin ikut kau pergi menemui Lo-wan-tong,” kata Kwe Siang.

Yo Ko mengernyitkan kening, katanya: “Sesungguhnya inilah kesempatan yang sukar dicari, mengapa malah kau sia-siakan?”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar