Kamis, 14 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 167

Tidak lama kemudian Yo Ko dan Kwe Siang sudah berada di pinggir tambak. Sejauh mata memandang, suasana sepi senyap dan menyeramkan. Hanya di tengah-tengah tambak sana kelihatan tertimbun seongokan kayu dan rumput kering. Bisa jadi tempat sembunyi Kiu-bwe-leng-hou adalah di bawah onggokan kayu dan rumput kering itu. Yo Ko ambil sepotong tangkai kayu dan dilemparkan ke tengah tambak. Tangkai kayu itu mula-mula melintang di atas salju, namun tidak lama kemudian kelihatan mulai ambles ke bawah, meski tenggelamnya sangat perlahan tetapi berjalan terus tanpa berhenti, sedikit demi sedikit dan akhirnya timbunan salju di kedua sisinya merapat sehingga tangkai kayu itu teruruk hilang tanpa bekas.

Tak kepalang kejut Kwe Siang. Tangkai kayu seenteng itu saja amblas ke dalam lumpur, lalu cara bagaimana manusia dapat berpijak di sana? Dengan melenggong ia pandang Yo Ko dan ingin tahu orang mempunyai tipu daya apa? Sejenak Yo Ko berpikir, lalu dia cari lagi dua potong tangkai kayu yang agak licin, masing-masing panjangnya sekitar satu meteran. Tangkai kayu itu lantas diikat di bawah telapak kaki, lalu katanya:

“Akan kucoba, entah bisa tidak?”

Selesai berkata segera tubuhnya melayang ke tengah tambak, secepat anak panah yang melesat dari busurnya ia meluncur di permukaan salju yang menutupi tambak itu. Dengan melenggak-lenggok ke sana dan ke sini, sama sekali dia tidak berhenti sedetik pun, ia terus meluncur sekeliling tambak, seperti orang main ski jaman kini, kemudian dia meluncur balik ke tempat semula.

“Kepandaian hebat, kecakapan yang luar biasa!” sorak Kwe Siang memuji.

Dari sorot mata Kwe Siang yang penuh rasa kagum itu, Yo Ko tahu bahwa nona itu amat berharap dapat ikut menangkap rase ke tengah tambak, namun nona itu menyadari tidak memiliki kepandaian Ginkang setinggi itu. Maka Yo Ko berkata dengan tertawa:

“Aku sudah berjanji padamu akan membawa kau ke Hek-liong-tam menangkap Kiu-bwe-leng-hou. Soalnya kau berani tidak?”

“Aku tidak memiliki kepandaian setinggi kau, walau pun berani juga percuma,” sahut Kwe Siang sambil menghela napas perlahan.

Yo Ko tersenyum dan tidak menanggapi. Ia mencari lagi dua potong kayu yang lebih pendek sedikit lalu disodorkan kepada si nona. Katanya:

“lkatlah di bawah telapak kakimu!”

Gugup dan girang pula Kwe Siang. Ia menurut dan mengikat kencang kedua potong kayu itu di bawah telapak kakinya.

“Tubuhmu mendoyong sedikit ke depan, kaki jangan memakai tenaga, biar mengimbangi saja,” pesan Yo Ko. Kemudian tangan kirinya memegangi tangan kanan Kwe Siang terus berseru tertahan: “Awas!”

Sekali angkat dan tarik, tanpa kuasa tubuh Kwe Siang melayang dan meluncur ke tengah tambak. Semula dia rada gugup dan takut-takut, tetapi setelah meluncur beberapa meter jauhnya, terasa badan enteng dan melayang seperti terbang, kaki meluncur tanpa mengeluarkan tenaga sedikit pun. Kwe Siang menjadi cekikikan senang, rasanya lebih enak dari pada terbang menumpang rajawali di rumah.

Sesudah main ski sekian lama mengelilingi tambak itu, mendadak Yo Ko berseru heran: “He?!”

“Ada apa?” tanya Kwe Siang, “Apakah kau melihat rase kecil itu?”

“Bukan,” jawab Yo Ko. “Kukira di tengah tambak sana ada penghuninya!”

Kwe Siang menjadi heran juga, katanya: “Di tempat begini mana mungkin dihuni orang?”

“Aku pun tidak mengerti,” kata Yo Ko. “Tampaknya susunan onggokan kayu dan rumput kering ini ada kelainan dan bukan barang yang tumbuh sendiri.”

Sementara itu mereka sudah dekat dengan onggokan kayu dan rumput itu. Kwe Siang mengamati dengan teliti, lalu berkata:

“Ya, memang benar. Sebelah timur diatur dalam hitungan Bok (kayu), sebelah selatan menurut Hwe (api), sebelah utara menurut Sui (air) dan bagian tengah adalah Tho (bumi).”

Rupanya sejak kecil Kwe Siang juga ikut belajar hitungan Im-yang-ngo-heng, yaitu falsafat Tiong-hoa kuno mengenai unsur-unsur laki-perempuan di jagat raya ini. Walau pun belum banyak yang dipahaminya, namun karena dasarnya dia memang pintar, maka apa yang dapat diketahuinya jauh lebih banyak dari pada kakaknya, yaitu Kwe Hu. Sifat Kwe Siang serba ingin tahu, maka jalan pikirannya dan tindak-tanduknya acap kali di luar dugaan orang. Kelakuannya rada-rada mirip dengan sang kakek luar, yaitu Oey Yok-su, sebab itulah di rumah dia diberi julukan ‘Siau Tang-sia’ atau si Tang-sia kecil.

Misalnya tindakannya ketika menukar tusuk konde untuk menjamu orang-orang yang baru dikenalnya, lalu ikut Toa-thau-kui yang menakutkan itu hanya karena dia ingin melihat Sin-tiau-hiap, kemudian ikut lagi dengan Sin-tiau-hiap yang baru dikenalnya pergi menangkap rase. Keberanian ini jeias sangat berbeda dari pada Oey Yong dan Kwe Hu dahulu. Begitulah Yo Ko menjadi heran mendengar nona cilik ini bisa menyebut bentuk bangunan onggokan kayu-rumput itu. Dia bertanya:

“Dari mana kau tahu bentuk Im-yang-ngo-heng itu? Siapa yang mengajarkan kau?”

“Kubaca dari buku, entah tepat atau tidak ucapanku,” jawab Kwe Siang dengan tertawa, “Kulihat pengaturan kayu-rumput itu pun tidak ada sesuatu yang luar biasa, agaknya juga bukan orang kosen yang hebat.”

“Ya, anehnya cara bagaimana orang itu dapat tinggal di atas lumpur dan tidak tenggelam ke bawah?” kata Yo Ko. Segera ia berseru lantang: “Sahabat di tengah Hek-liong-tam, ini ada tamu datang!”

Selang sekian lama, keadaan tetap sunyi. Yo Ko berseru sekali lagi dan tetap tiada jawaban orang.

“Tampaknya orang sengaja menumpuk onggokan kayu rumput di sini tapi tidak menghuninya. Mari kita melihat ke sana,” kata Yo Ko sambil meluncur ke tempat onggokan rumput itu.

Se-konyong-konyong kaki Kwe Siang merasa berpijak pada tempat yang keras, agaknya di bawah mereka adalah tanah datar. Rupanya Yo Ko sudah mengetahui lebih dulu, dengan tertawa ia berkata:

“Tidak mengherankan, kiranya di tengah tambak ini ada sebuah pulau kecil.”



Baru habis ucapannya, mendadak ada bayangan putih berkelebat. Dari bawah onggokan itu menerobos keluar dua ekor binatang kecil, ternyata sepasang ‘Kiu-bwe-leng-hou’ yang dicarinya. Yang seekor lari ke timur dan yang lain kabur ke selatan dengan cepat luar biasa.

“Kau tunggu di sini, nona cilik, dan jangan sembarangan bergerak,” pesan Yo Ko. Dia terus meluncur dan menguber rase sebelah timur.

Sekarang dia tidak perlu menjaga Kwe Siang lagi sehingga dapat mengeluarkan segenap Ginkang-nya untuk meluncur, sungguh cepatnya melebihi burung terbang. Akan tetapi lari rase itu pun cepat dan gesit luar biasa, bagai angin saja binatang kecil itu memutar balik dan menyambar lewat di samping Kwe Siang. Tetapi Yo Ko terus membayanginya, sekali lengan bajunya mengebas tampaknya rase kecil itu pasti akan tersampuk jatuh. Tak terduga binatang itu benar-benar sangat cerdik. Mendadak dia meloncat ke atas dan berjumpalitan di udara, dengan demikian sabetan lengan baju Yo Ko itu menjadi luput. Berulang-ulang Kwe Siang menyatakan:

“Sayang! Sayang!”

Begitulah satu orang dan satu hewan terus uber menguber di atas salju. Kwe Siang amat senang menyaksikan tontonan menarik itu, berulang-ulang dia berseru memberi semangat kepada Yo Ko agar mengudak lebih kencang. Dalam pada itu rase yang lain terus berlari kian kemari, terkadang sengaja mendekati Yo Ko. Tapi Yo Ko tahu bahwa binatang kecil itu sengaja mengacau untuk membelokkan perhatiannya, maka dia tak ambil pusing, yang terus diudak rase yang satu itu. Ia sengaja hendak berlomba lari dengan rase itu agar binatang kecil itu akhirnya kehabisan tenaga. Tak tahunya rase yang kecil itu ternyata memiliki tenaga yang besar, rupanya ia pun tahu sedang menghadapi bencana, maka larinya bagaikan kesurupan setan tanpa ada tanda-tanda lelah.

Semakin lari Yo Ko makin bersemangat. Ketika dilihatnya rase yang lain ingin menolong kawannya dan mendekat lagi untuk mengacau, diam-diam dia mengomel akan kenakalan binatang kecil itu. Sekenanya dia meraup segenggam salju lantas diremas hingga keras menyerupai batu, terus ditimpukkan dan tepat mengenai kepala rase pengacau itu. Kontan binatang itu roboh terjungkal, tetapi sesudah ber-guling beberapa kali rase itu berdiri lagi lalu lari masuk onggokan kayu rumput tadi dan tidak berani keluar lagi.

Rupanya Yo Ko tidak bermaksud membinasakan rase itu, maka timpukannya tidak keras. Sebenarnya dengan cara yang sama Yo Ko dapat merobohkan dan menawan rase yang diudaknya, tapi dia sengaja hendak balapan lari, katanya,

“Rase cilik, bila kurobohkan kau dengan batu salju, mati pun kau penasaran. Seorang laki-laki sejati harus bertindak ksatria, jika aku tidak mampu menyusul kau, maka jiwamu biar kuampuni.”

Segera ia ‘tancap gas’ dan meluncur lebih kencang, tahu-tahu dia telah berada di depan si rase dan mendadak tangannya meraih untuk menangkapnya. Keruan rase itu terkejut dan melompat ke kanan. Namun Yo Ko sudah siap, lengan bajunya mengebas sehingga rase itu tergulung, tangan kiri lantas pegang kuduk rase itu dan diangkat ke atas, saking gembiranya ia bergelak tertawa. Tetapi belum lenyap suara tawanya, tiba-tiba rase itu menjadi kaku, ternyata sudah mati.

“Wah, celaka!” keluh Yo Ko. “Mungkin tenaga kebasanku terlalu keras, rupanya binatang ini sedemikian lemah dan tidak tahan. Entah rase mati dapat digunakan menyembuhkan luka si Su-losam atau tidak?”

Dengan menjinjing rase mati ia meluncur kembali ke samping Kwe Siang dan berkata: “Rase ini sudah mati, mungkin tidak berguna lagi. Kita harus menangkap rase yang satunya lagi.”

Ia pun melemparkan rase mati itu ke tanah. Tapi ia pun tahu sifat rase sangat licik, bisa jadi pura-pura mati, maka diam-diam ia telah bersiap, bila rase itu bergerak segera akan digulungnya kembali dengan lengan baju. Tapi rase itu ternyata tak bergerak sedikit pun, tampaknya memang betul-betul sudah mati.

“Menyenangkan juga bentuk rase kecil ini, matinya mungkin akibat terlampau lelah diuber-uber,” ujar Kwe Siang. Lalu ia jemput sepotong kayu dan berkata pula: “Biar kuhalau rase lain itu supaya ke luar, engkau jaga saja di sini.”

Kwe Siang lantas mendekati onggokan kayu rumput itu. Kemudian kayunya dihantamkan, tapi sekali pukul, untuk menghantam kedua kalinya ternyata tidak mampu lagi. Sungguh aneh, kayu yang dipegang Kwe Siang itu seperti melekat dan tidak dapat ditarik kembali. Keruan Kwe Siang berseru kaget dan berusaha membetot sekuatnya, tetapi tangkai kayu itu malah terlepas kemudian jatuh ke dalam onggokan kayu dan rumput kering itu. Tiba-tiba onggokan kayu-rumput itu tersiak dan tahu-tahu menerobos keluar seorang nenek beruban dengan muka penuh keriput dan pakaiannya compang-camping. Dengan bengis nenek itu memandang Kwe Siang dan tangkai kayu yang dirampasnya diangkat dengan lagak hendak memukul si nona.

Kwe Siang terkejut dan cepat melompat mundur ke samping Yo Ko. Pada saat itulah rase yang menggeletak di tanah mendadak melompat ke atas dan masuk pelukan si nenek, sepasang matanya yang bundar kecil ber-kilat memandangi Yo Ko.

Ternyata binatang kecil itu memang benar-benar cuma pura-pura mati saja. Melihat itu Yo Ko mendongkol sekaligus geli, pikirnya: “Kali ini ternyata aku dikalahkan oleh seekor hewan kecil. Tampaknya rase kecil ini adalah piaraan nenek ini, entah siapakah gerangan, rasanya di dunia Kangouw tidak pernah terdengar ada seorang tokoh macam begini. Rasanya akan sulit jika menghendaki rase kecil itu.” Segera Yo Ko memberi hormat dan menyapa:

“Maafkan kelancangan Wanpwe masuk ke sini tanpa permisi.”

Nenek itu memandang tangkai kayu di telapak kaki Yo Ko berdua, mukanya menampilkan rasa kejut dan heran, akan tetapi hanya sekilas saja perasaan itu lantas menghilang. Dia melambaikan tangannya dan berkata:

“Orang tua mengasingkan diri di tempat terpencil ini dan tidak suka menemui tamu, kalian boleh pergi saja!” suaranya terdengar lembut tetapi sangat menyeramkan, di antara mata-alisnya menampilkan rasa yang benci kepada sesamanya.

Meski wajah nenek itu tampak seram, namun raut mukanya bersih, pada waktu mudanya jelas seorang wanita cantik, sungguh ia tidak ingat tokoh Kangouw siapakah nenek ini. Segera ia memberi hormat pula dan berkata:

“Cayhe mempunyai seorang kawan terluka parah dan harus disembuhkan dengan darah Kiu-bwe-leng-hou, maka mohon locianpwe sudi memberi bantuan.”

“Ha-ha-ha-ha-ha, he-he-hee...!” mendadak nenek itu terbahak-bahak sambil menengadah. Sampai lama sekali dia terkakah dan terkekeh, namun suara tawanya itu ternyata penuh mengandung rasa pedih. Sesudah tertawa sekian lama barulah ia berkata: “Terluka parah dan harus menolongnya, hmm? Bagus, tapi mengapa anakku terluka parah dan orang lain sama sekali tidak sudi menolongnya?”

Yo Ko terkejut, jawabnya: “Entah siapakah putera Locianpwe? Apakah sekarang masih keburu ditolong?”

Kembali nenek itu terbahak-bahak, katanya: “Apakah masih keburu ditolong? Dia sudah mati berpuluh tahun, mungkin tulang belulangnya juga sudah menjadi abu, masa kau bertanya apakah masih keburu ditolong segala?”

Yo Ko tahu si nenek jadi terkenang kepada kejadian masa lampau sehingga merangsang emosinya, sebab itu dia tidak berani bertanya lagi, terpaksa berkata pula:

“Memang tidak pantas kami datang begini saja untuk memohon bantuan rase kecil ini. Sudah tentu kami tidak ingin menerimanya dengan cuma-cuma, apa bila Locianpwe menghendaki sesuatu, asalkan tenagaku mampu mengerjakannya, pasti akan kulaksanakan dengan baik.”

Nenek itu mengerling sekejap ke arah Kwe Siang, lalu berkata: “Perempuan tua berdiam terpencil di kolam lumpur ini tanpa sanak dan tanpa kadang, hanya sepasang rase inilah teman hidupku. Boleh juga jika kau ingin mengambilnya, tapi nona itu harus ditinggalkan di sini untuk mengawani aku selama sepuluh tahun.”

Yo Ko mengerutkan kening, belum lagi menjawab, mendadak Kwe Siang mendahului berkata dengan tertawa:

“Di sini hanya lumpur melulu, kurasa tidak enak hidup di sini. Jika engkau merasa kesepian, mari tinggal saja di rumahku, apakah kau ingin tinggal selama satu tahun atau sepuluh tahun, ayah-ibuku pasti akan menghormati engkau sebagai kaum locianpwe. Lebih baik begitu, bukan?”

Mendadak nenek itu menarik muka kemudian mendamperat: “Ayah-ibumu itu orang apa? Memangnya begitu saja aku dapat diundang ke sana?”

Watak Kwe Siang memang periang dan sabar, sekali pun orang lain bersikap kasar dihadapinya dengan tertawa saja dan jarang sekali marah. Apa bila ucapan si nenek yang menyinggung kehormatan Kwe Ceng dan Oey Yong ini didengar Kwe Hu, pasti seketika akan terjadi pertengkaran. Tapi Kwe Siang hanya tersenyum dan meleletkan lidahnya pada Yo Ko, lalu tidak bersuara lagi.

Betapa pun Yo Ko memuji keramahan nona cilik ini, sedikit pun tidak menimbulkan kesulitan baginya, maka ia balas mengangguk kepada Kwe Siang sebagai tanda memuji, lalu berpaling dan berkata kepada si nenek:

“Bahwasanya Locianpwe menyukai adik cilik ini, sebenarnya ini adalah kesempatan bagus yang sukar dicari, cuma sebelum mendapat ijin ayah-bundanya, betapa pun Cayhe tak berani mengambil keputusan sendiri.”

“Siapa ayah-ibunya? Kau sendiri siapa?” tanya si nenek dengan bengis.

Yo Ko menjadi gelagapan dan tidak dapat menjawab, akan tetapi Kwe Siang menanggapinya:

“Ayah ibuku adalah orang kampung, biar kukatakan juga Locianpwe tidak kenal, sedangkan dia ini, dia... dia adalah Toakoko-ku!”

Sembari berkata nona itu memandang kepada Yo Ko. Kebetulan saat itu Yo Ko juga memandang padanya, sorot mata kedua orang bentrok. Namun Yo Ko memakai kedok, air mukanya kaku tanpa emosi, hanya sorot matanya jelas menunjukkan rasa akrab yang menghangatkan perasaan. Tergerak hati Kwe Siang, terpikir olehnya: “Jika benar aku mempunyai seorang toakoko (kakak tertua) seperti ini, tentu dia akan menjaga dan membantu diriku, pasti tidak rewel dan selalu mengomeli aku seperti kakak Hu, begini salah, begitu salah, ini dilarang, itu tak boleh.” Berpikir sampai di sini, air mukanya lantas penuh rasa hormat dan kagum kepada Yo Ko.

Yo Ko berkata: “Ya, adikku yang kecil ini tidak tahu urusan, maka aku membawa dia keluar mencari pengalaman. Ketika dilihatnya Kiu-bwe-leng-hou ini sangat aneh dan menarik, dia tahu pasti binatang piaraan orang kosen angkatan tua, sebab itulah dia minta Wanpwe membawanya berkunjung ke sini dan sungguh beruntung sekali dapat bertemu dengan Locianpwe.”

“Hmm, kalian menguber-uber dan memukuli rase piaraanku, apakah begini caranya kalian menghormati kaum Cianpwe?” jengek nenek itu, “Hayo, lekas enyah dari sini dan jangan menemui aku lagi selamanya!”

Setelah itu kedua tangannya terus mengebas ke depan, tangan yang satu mendorong ke arah Yo Ko dan tangan lain mendorong Kwe Siang. Jarak mereka ada dua-tiga meter jauhnya, maka sodokan tangan nenek itu jelas tak dapat mencapai tubuh Yo Ko berdua, tapi tenaga pukulannya ternyata keras dan keji. Serentak Kwe Siang merasakan angin dingin menyampuk tiba.

Penghuni HEK-LIONG-TIM

Akan tetapi lengan baju Yo Ko sempat bergerak sehingga angin pukulan si nenek berhasil dipatahkan, sedangkan tenaga pukulan yang ditujukan kepadanya sama sekali tidak dielakkannya. Sebenarnya nenek itu pun tidak bermaksud mencelakai Yo Ko berdua, tetapi hanya ingin mengusir mereka saja, sebab itulah hanya separoh tenaganya yang digunakan. Tapi dilihatnya kedua orang itu ternyala bergeming sama sekali, mau tak mau dia terkejut dan gusar. Segera dia menghimpun tenaga, kembali kedua tangan menyodok ke depan dengan lebih kuat, kini dia tidak pedulikan lagi mati-hidup pihak lawan.

Pada waktu merasakan angin pukulan nenek itu menyambar tiba, dada Kwe Siang terasa sesak, namun lengan baju Yo Ko mengebas lagi sehingga serangan si nenek dipatahkan lagi. Dia tahu bahwa Yo Ko dan nenek itu sedang mengadu tenaga dalam, tampaknya si nenek menjadi sangat beringas dan menakutkan, sebaliknya Yo Ko berdiri tenang-tenang saja, jelas berada di atas angin alias lebih unggul. Sekonyong-konyong si nenek berkelebat maju, gerakannya cepat luar biasa.

“BIangg!”

Dengan tepat dan keras kedua tangannya menghantam dada Yo Ko. Sekali menyerang segera nenek itu melompat mundur lagi tanpa memberi kesempatan Yo Ko untuk balas menyerang. Keruan Kwe Siang terkejut. Cepat dia menarik tangan Yo Ko dan bertanya:

“Ap... apakah engkau terluka?”

Si nenek lantas berteriak bengis: “Dia sudah terkena pukulan ‘Han-im-cian’ (tenaga panas dingin), ajalnya tidak akan lebih lama dari pada satu hari saja. Dia menerima ganjaran karena perbuatannya sendiri dan tidak dapat menyalahkan orang lain.”

Dengan ilmu silat Yo Ko 15 tahun yang lalu saja tidak dapat ditandingi oleh si nenek, apa lagi sekarang luar-dalamnya sudah tergembleng demikian sempurna, betapa pun lihaynya tenaga pukulan si nenek tak dapat melukainya. Soalnya Yo Ko tiada permusuhan apa pun dengan si nenek, kedatangannya ini ingin memohon barang kesayangan orang tua itu, karenanya dia sengaja membiarkan si nenek menyerang tiga kali tanpa balas menyerang.

Selama likuran tahun nenek itu giat berlatih ilmu pukulan ‘Han-im-cian’ sekaligus sudah dapat menghancurkan 17 potong bata dalam keadaan luar utuh dan dalam remuk. Dan kini jelas Yo Ko terkena pukulannya dengan telak, ia yakin isi perut orang akan remuk, tetapi lawan justru tetap berdiri tenang dan tertawa seperti tidak terjadi sesuatu, ia pikir bocah ini benar-benar kepala batu, sudah dekat ajal masih berlagak gagah. Segera dia berkata:

“Mumpung belum roboh binasa, lekas kau pergi membawa anak dara ini dan jangan sampai mampus di tengah tambakku ini.”

Yo Ko mendongak sambil berseru lantang. “Ha-ha-ha-ha, rupanya sudah lama Locianpwe menyepi di tempat terpencil begini, tentu Locianpwe tak dapat membayangkan betapa hebat kemajuan ilmu silat di dunia ini.” Habis berkata dia sengaja bergelak tertawa, suara keras menggelegar dengan tenaga dalam yang kuat.

Mendengar suara Yo Ko, si nenek tahu bahwa orang ternyata tidak mengalami luka sedikit pun. Mukanya menjadi pucat, tubuhnya sempoyongan. Baru kini dia menyadari bahwa Yo Ko sengaja membiarkan diserang tiga kali, kalau bicara kepandaian sejati, jelas dirinya bukan tandingannya. Tiba-tiba si nenek mengangkat rase kecil dalam pelukannya, lalu ia bersuit. Rase yang satunya langsung menerobos keluar dari onggokan rumput kemudian melompat ke dalam pangkuan si nenek. Lalu ia berkata:

“Kepandaianmu memang hebat, aku sangat kagum padamu. Tetapi kalau engkau ingin merebut rase ini secara kekerasan, hm, jangan kau harap. Asalkan kau melangkah maju setindak, seketika kucekik mati kedua ekor rase ini agar kau datang dan pergi dengan tangan hampa.”

Melihat sikap dan ucapan si nenek yang tegas dan pasti itu, Yo Ko tahu watak orang tua itu amat keras dan kaku, biar pun mati tidak mau menyerah. Mau tak mau ia menjadi serba susah. Jika mendadak menubruk maju dan menotok Hiat-to si nenek, lalu merebut rase, rasanya si nenek bisa membunuh diri saking marahnya. Jika demikian jadinya, maka biar pun Su Siok-kang dapat diselamatkan tapi harus mengorbankan jiwa orang lain. Selagi Yo Ko ragu-ragu, tiba-tiba saja dari jauh berkumandang suara orang menyebut: “Omitohud...!” Menyusul orang itu berkata:

“Loceng (paderi tua) It-teng mohon berjumpa, sudilah kiranya Eng-koh menemui!”

Kwe Siang memandang sekeliling tambak, tapi tidak tampak seorang pun. Padahal suara orang itu tidak begitu keras, jelas datang dari tempat dekat saja, namun sekitar situ jelas tiada tempat bersembunyi, lalu berada di manakah orang yang bersuara itu? Dia pernah mendengar cerita dari ibunya bahwa Ii-teng Taysu adalah tokoh angkatan tua, pernah menolong jiwa ibunya, juga terhitung kakek guru kedua saudara Bu, hanya selama ini paderi sakti itu belum pernah dilihatnya. Kini tiba-tiba didengarnya ada orang menyebut ‘It-teng’, tentu saja dia terkejut dan girang.

Yo Ko gembira sekali mendengar suara It-teng. Ia tahu yang digunakan It-teng Taysu adalah lwekang maha sakti, ilmu menyiarkan gelombang suara dari tempat beberapa li jauhnya. Makin tinggi lwekang-nya, semakin halus suaranya sehingga mirip orang bicara dari dekat saja. Yo Ko kagum sekali mendengar suara It-teng Taysu yang luar biasa itu, betapa pun dia merasa tenaga dalam sendiri tak dapat menandingi paderi sakti itu, pikirnya pula: “Kiranya nenek ini bernama Eng-koh. Entah ada urusan apa It-teng Taysu ingin menemuinya? Jika paderi itu suka tampil ke muka, mungkin sekali rase ini akan bisa diperoleh.”

Kiranya nenek penghuni Hek-liong-tam ini memang betul bernama Eng-koh. Ketika masih menjadi raja negeri Tayli, aslinya It-teng Taysu she Toan dan terkenal sebagai tokoh Raja Selatan di dunia Kangouw. Sebagai raja sudah tentu cukup banyak selir-nya, Eng-koh adalah salah satu selir kesayangannya ketika itu. Tapi pada suatu hari Toan-hongya (raja Toan) kedatangan tamu yang terkenal, yaitu Ong Tiong-yang dari Coan-cin-kau beserta Sute-nya, yakni si Anak Tua Nakal Ciu Pek-thong. Mungkin sudah suratan nasib, selama tinggal beberapa lama di negeri Tayli, dasar watak Ciu Pek-thong memang suka keluyuran, secara kebetulan dia memergoki Eng-koh sedang berlatih silat (ajaran Toan-hongya).

Karena sifatnya yang jahil dan tidak peduli mengenai adat lelaki dan perempuan, Ciu Pek-thong mendekati Eng-koh kemudian mengajaknya ngobrol mengenai ilmu silat (Ciu Pek-thong itu memang orang yang keranjingan ilmu silat). Bicara punya bicara, akhirnya keduanya jatuh cinta dan ‘ada main’ hingga membuahkan seorang anak laki-laki. Pada waktu Toan-Hongya kedatangan musuh, yaitu Kiu Jian-yim yang kemudian terkenal sebagai Cu-in Hwesio, secara licik Kiu Jian-yim melukai anak haram hasil ‘semokel’ antara Ciu Pek-thong dan Eng-koh itu, tujuannya memaksa Toan-hongya menyelamatkan orok itu dengan menggunakan It-yang-ci, dengan begitu tenaga dalamnya terpaksa harus dikorbankan dan sukarlah dipulihkan dalam waktu singkat, dalam keadaan demikian Kiu Jian-yim yakin pasti dapat mengalahkan Toan-hongya.

Tak terduga tipu muslihatnya ini ternyata diketahui Toan-hongya. Lagi pula dia cemburu karena hubungan gelap Eng-koh dengan Ciu Pek-thong, maka dia bertekad tidak mau menolongnya sehingga anak itu mati. Toan-hongya sangat menyesal. Akibatnya dia cukur rambut dan menjadi Hwesio dengan gelar It-teng.

Kematian anaknya tentu saja membuat Eng-koh menjadi sakit hati dan merana, maka dia lantas minggat dari negeri Tayli. Suatu ketika dia memergoki Kiu Jian-yim di puncak Hoa-san, tetapi tidak berhasil membunuhnya. Ia pun bertemu dengan Ciu Pek-thong dan ingin bicara, tetapi si Anak Tua Nakal itu kabur. Soalnya dia merasa malu dan berdosa, maka tidak berani menemui bekas kekasihnya. Kemudian Eng-koh mengembara tanpa tujuan dan akhirnya menetap di Hek-liong-tam ini.

Sebenarnya sudah belasan hari It-teng Taysu berada di tepi Hek-liong-tam dan setiap hari selalu berseru mohon bertemu, akan tetapi Eng-koh masih sakit hati karena dahulu bekas raja Tayli itu sungguh tega tidak mau menolong jiwa anaknya, maka dia tetap tidak mau menemuinya. Begitulah Eng-koh tampak lesu kemudian mundur duduk di atas onggokan kayu, sorot matanya kelihatan dendam dan benci. Selang tidak lama, terdengar It-teng berseru lagi:

“Dari jauh It-teng datang ke sini, hanya untuk mohon bertemu sejenak dengan Eng-koh.”

Namun Eng-koh tetap tidak menggubrisnya. Yo Ko menjadi heran. Dia pikir kepandaian It-teng jauh lebih tinggi dari pada Eng-koh, jika dia mau menemuinya ke sini nenek ini takkan dapat menolaknya, mengapa dia mesti memohon dari kejauhan? Dalam pada itu terdengar It-teng kembali berseru memohon. Setelah Eng-koh tetap tidak memberi jawaban, lalu tidak diulangi lagi, suasana kembali sunyi.

“Toakoko,” kata Kwe Siang. “It-teng Taysu itu adalah tokoh yang luar biasa, maukah kita ke sana menemuinya?”

“Baik, memang aku juga ingin menemui beliau,” jawab Yo Ko.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar