Rabu, 13 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 166

Belum lanjut ucapannya, mendadak Su Siok-kang menghela napas panjang dan menyela:

“Toako, urusan ini tidak perlu disebut-sebut lagi. Kukira Gerombolan Setan Se-san juga tidak sengaja, mungkin sudah ditakdirkan nasibku harus begini, maka tidak perlu banyak mengikat permusuhan lagi.”

“Baiklah!” seru Su Pek-wi dengan menahan amarahnya, lalu dia memberi salam kepada Hoan It-ong dan berkata. “Selama gunung tetap menghijau dan air tetap mengalir, kelak kita pasti berjumpa lagi.” Lalu dia berpaling dan berkata kepada Yo Ko: “Sin-tiau-tayhiap, kami bersaudara terjungkal di tanganmu, sungguh kami merasa sangat kagum. Rasanya biar pun kami berlatih 20 tahun lagi tetap bukan tandinganmu, sengketa ini jelas kami tidak berharap dapat membalasnya. Kami pun tidak berani lagi bertemu dengan engkau, pokoknya ke mana engkau datang di sana pula kami lantas mendahului menyingkir.”

“Ahh, ucapan Su-toako teramat berlebihan,” ujar Yo Ko dengan tertawa.

“Hayolah, kita berangkat!” kata Su Pek-wi sambil mendekati Su Siok-kang. Dia memapah saudaranya yang sakit dan diajak pergi.

Hoan It-ong merasa ucapan Su Pek-wi itu banyak yang sukar dipahami, cepat dia berseru:

“Tunggu dulu, Su-toako. Tadi Su-samko mengatakan tindakan kami tidak disengaja, padahal seingat kami kecuali terobosan di tempat kediaman kalian ini, rasanya tak pernah berbuat kesalahan lain. Apa bila memang benar kami berbuat kesalahan di luar sadar kami, sedangkan kepala dipenggal saja Gerombolan Setan Se-san tak gentar, apa lagi hanya menyembah dan mohon maaf kepada kalian bersaudara.”

Tadi Su Pek-wi sudah menyaksikan cara Gerombolan Setan Se-san itu saling melempar kopiah kulit milik Su Siok-kang dan tidak ada satu pun yang ingin menyelamatkan diri sendiri, rata-rata adalah ksatria yang tidak takut mati, hal ini tidak perlu disangsikan lagi. Maka dengan rasa pedih dia menjawab:

“Kalian telah menyebabkan larinya Kiu-bwe-leng-hou sehingga luka dalam Samte kami tidak dapat diobati lagi, sekali pun kau menyembah seratus kali atau seribu kali kepada kami tiada gunanya.”

Hoan It-ong terkejut. Baru teringat olehnya tadi kelima saudara Su memimpin kawanan binatang menguber seekor binatang kecil mirip kucing dan anjing, kiranya itu yang disebut Kiu-bwe-leng-hou (rase atau musang cerdik berekor sembilan). Masa binatang kecil itu mempunyai kegunaan yang sangat penting? Tiba-tiba Sat-sin-kui menimbrung:

“Memang untuk apa rase kecil itu? Tetapi kalau binatang kecil itu memang menyangkut kesehatan Su-samko, maka marilah kita beramai-ramai memburu dan menangkapnya lagi. Hanya seekor rase kecil begitu apa sih artinya?”

“Apa artinya katamu, hah?” teriak Su Ki-kiang, “Kalau kau mampu menangkap rase kecil itu, biarlah nanti aku menyembah padamu seratus kali, bahkan seribu kali juga aku rela.”

Hoan It-ong terkesiap, pikirnya: “Keluarga Su terkenal mahir menjinakkan para binatang, rasanya di dunia ini tiada yang lebih pandai dari pada mereka, kalau mereka menyatakan alangkah sukarnya menangkap rase itu, lalu siapa lagi yang sanggup?” Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia memandang Yo Ko.

Kwe Siang tidak tahan, segera dia nyelutuk: “Semenjak tadi kalian hanya bicara saja, mengapa kalian tidak mohon bantuan Sin-tiau-hiap?”

Su Tiong-beng terhitung paling banyak tipu akalnya, dia adalah motor penggerak di antara kelima saudara Su itu. Dia pikir ilmu silat Sin-tiau-hiap ini memang sukar diukur, bisa jadi beliau mau memberi pertolongan. Maka dia lantas berkata:

“Ahh, nona cilik tahu apa? Kukira selain malaikat dewata yang turun ke bumi ini tiada lagi yang sanggup menangkap Kiu-bwe-long-hou itu.”

Yo Ko hanya tersenyum saja. Ia tahu orang sengaja hendak memancing reaksinya, tetapi dia tidak menanggapi.

“Sebenarnya rase kecil itu mempunyai kemujijatan apa? Coba ceritakan,” kata Kwe Siang.

Su Tiong-beng menghela napas sedih, katanya kemudian: “Akhir tahun yang lalu, karena membela keadilan di daerah Hengciu, samte bergebrak dengan orang. Namun pihak lawan memakai akal licik sehingga Samte kena diselomoti musuh dan terluka parah.”

“Aneh, Su-samsiok ini jelas sangat tinggi kepandaiannya, siapa lagi yang begitu lihay dan mampu melukainya?” ujar Kwe Siang heran.

“Ah, nona memuji sedikit kepandaianku yang tak berarti ini, bukankah akan ditertawai Sin-tiau-hiap?” kata Su Siok-kang dengan suara lemah.

Kwe Siang melirik Yo Ko sekejap katanya: “Dia?! Sudah tentu dia di luar hitungan. Yang kumaksud adalah orang lain.”

“Yang melukai Samte adalah orang Mongol,” tutur Su Tiong-beng lebih lanjut, “kalau tidak salah namanya Hotu. Konon dia adalah murid Kim-lun Hoat-ong, Koksu kerajaan Mongol.”

Mendadak Kwe Siang berkata kepada Yo Ko: “Sin-tiau-hiap, kumohon engkau suka pergi mencari pangeran Mongol itu dan memberi hajaran setimpal padanya untuk membalaskan sakit hati Su-samsiok ini.“



“Untuk ini kami tidak berani membikin repot Sin-tiau-hiap,” kata Su Tiong-beng, “Asalkan luka Samte sembuh, kami akan mencari dia dan pasti dapat menuntut balas. Hanya saja Iwekang kami ini lain dari pada yang lain sehingga luka yang diderita Samte sangat sukar disembuhkan, untuk ini harus minum darah segar Kiu-bwe-leng-hou itu.”

“Ahh, kiranya demikian,” Kwe Siang dan Gerombolan Setan Se-san bersuara.

“Rase kecil itu adalah binatang yang sangat jarang, makhluk yang amat cerdik,” tutur Su Tiong-beng, “Sudah lebih setahun kami bersaudara mencari ke mana-mana dan baru kami temukan jejaknya di daerah Cin-lam. Tempat sembunyi rase itu pun sangat aneh, yaitu di tengah sebuah kolam lumpur yang sangat luas yang terletak kurang lebih 30 li dari sini.”

“Kolam lumpur besar? Maksudmu Hek-liong-tam (tambak naga hitam)?” tegas Sat-sin-kui dengan heran.

“Betul,” sahut Su Tiong-beng. “Kalian sudah lama berdiam di sini, tentu mengetahui bahwa beberapa li di sekeliling Hek-liong-tam hanya lumpur belaka, baik manusia mau pun hewan sukar berdiam di tempat seperti itu, tapi rase kecil itu justru bersarang di sana. Dengan susah payah akhirnya kami berhasil memancingnya ke tengah hutan ini.”

“Ahh, pantas kalian marah dan melarang kami memasuki hutan ini,” kata Sat-sin-kui yang mulai menyadari kejadian tadi.

“Begitulah,” kata Su Tiong-beng pula, “Bahwasanya kedatangan kami ke sini adalah tamu, jadi betapa pun kasarnya juga tak pantas kami mengangkangi tempat orang lain, soalnya cuma terpaksa saja. Harus dimaklumi bahwa rase itu amat gesit dan larinya cepat sekali, sekejap saja lantas menghilang, hal ini telah kalian saksikan tadi.

Karena itulah kami mengerahkan segenap binatang buas piaraan kami untuk mengepung rapat hutan itu. Tampaknya dengan segera rase itu dapat kami tangkap, siapa tahu kalian justru membakar hutan hingga kawanan binatang terkejut dan memberi kesempatan lo!osnya rase itu. Memalukan juga jika diceritakan meski kami sudah berusaha sepenuh tenaga tetap tidak mampu menangkapnya, tapi luka Samte kami semakin hari semakin berat, kami menjadi sedih sehingga tindak-tanduk kami pun jadi berangasan, untuk ini hendaklah kalian dapat memaklumi.” Habis berkata dia terus memberi hormat sekeliling, tapi pandangannya justru menatap Yo Ko.

“Urusan rase ini adalah akibat kecerobohan kami dan Gerombolan Setan kami sekali lagi minta maaf,” kata Hoan It-ong. “Tentang rase itu entah dengan cara bagaimana Su-toako berlima memancingnya ke sini? Mengapa cara itu sekarang tidak dapat digunakan lagi?”

“Sifat rase suka curiga di samping cerdik, sukar sekali hendak menjebaknya, apa lagi Kiu-bwe-leng-hou ini, jauh lebih cerdik dan licin dari pada rase biasa,” demikian tutur Su Tiong-beng.

“Kami sudah mengorbankan ribuan ekor ayam jantan, dalam jarak sekian tombak jauhnya kami panggang seekor kemudian berturut-turut kami pancing dia dengan bau sedap ayam panggang. Kami tidak mau mengusiknya dan membiarkan dia makan. Setelah setiap hari berhasil makan ayam panggang tanpa gangguan, sampai dua-tiga bulan lamanya barulah kecurigaan rase itu berkurang. Habis itu barulah kami pancing dia ke hutan ini, tapi sekali ini dia telah mengalami kaget luar biasa, biar pun seratus tahun lagi tidak mau tertipu pula.”

“Ya, memang betul sulit,” kata Hoan It-ong. “Tapi kalau kita langsung masuk ke Hek-liong-tam dan menangkapnya, apakah tidak bisa?”

“Seluas beberapa li Hek-liong-tam itu hanya lumpur belaka yang kedalamannya beberapa meter, betapa pun tinggi Ginkang-mu sukar berpijak di atas lumpur,” tutup Su Tiong-beng. “Juga perahu, rakit atau getek dan sebagainya sukar berjalan di sana. Namun tubuh Kiu-bwe-leng-hou itu amat kecil dan enteng, telapak kakinya tebal lagi, larinya juga cepat, maka dia mampu meluncur di permukaan lumpur itu dengan cepat.”

Kwe Siang tiba-tiba ingat kedua rajawalinya di rumah. Mereka kakak beradik sering naik rajawali itu dan dibawa terbang ke udara. Kini dilihatnya rajawali sakti jauh lebih besar dari pada rajawali di rumahnya, bukan mustahil dua orang juga dapat dibawanya terbang. Karena itu dengan tertawa ia berkata:

“Sin-tiau-hiap, asalkan engkau sudi membantu aku yakin pasti ada jalannya.”

Yo Ko tersenyum, jawabnya: “Su-si-hengte adalah ahli penjinak binatang. Kalau mereka saja angkat tangan tak berdaya, maka apa yang dapat aku lakukan seumpama aku ingin membantu?”

Mendengar nada ucapan orang, ternyata bersedia menolong, urusan ini menyangkut mati-hidup saudaranya, maka tanpa pikir lagi Su Tiong-beng segera bertekuk lutut di hadapan Yo Ko dan memohon:

“Sin-tiau-tayhiap, jiwa adik kami hanya menanti ajal, mohon engkau kasihan padanya.”

Sorot mata Yo Ko mengerling sekilas ke muka Kwe Siang, katanya kemudian: “Kau bilang aku pasti dapat menolongnya, coba aku ingin tahu bagaimana pendapat adik cilik ini.”

“Asalkan engkau naik rajawali raksasa itu, bukankah dapat terbang masuk ke Hek-liong-tam?” jawab Kwe Siang.

“Ha-ha-ha! Menarik juga saranmu ini,” kata Yo Ko sambil tertawa. “Sayangnya Tiau-heng berlainan dengan burung umumnya. Karena tubuhnya teramat berat maka sejak kecil beliau tidak dapat terbang. Memang sekali sabet sayapnya mampu membinasakan singa atau harimau, tapi tidak dapat digunakan untuk terbang.”

Sementara itu, kecuali Su Siok-kang saja, keempat saudara she Su lainnya sudah berlutut di depan Yo Ko. Segera Yo Ko membangunkan mereka dan berkata:

“Apa boleh buat, biarlah kukerjakan sekuat tenagaku, akan tetapi jika tidak berhasil ya kalian jangan menyesal.”

Su-si-hengte menjadi girang. Mereka pikir nama pendekar besar itu termashur, sekali dia sudah menyanggupi pasti akan dilaksanakannya. Jika beliau juga gagal, terpaksa pasrah nasib saja. Begitulah Su Pek-wi menyembah beberapa kali lagi dan berkata:

“Jika demikian, silakan Tayhiap dan para saudara dari Se-san mengaso di tempat kediaman kami untuk berunding lebih lanjut.”

“Urusan ini berpangkal pada kesalahan kami, sudah tentu kami siap menerima tugas apa pun,” kata Hoan It-ong.

“Ahh, tidak perlu begitu,” ujar Su Pek-wi, “Tidak berkelahi takkan kenal. Kalau kalian tidak menoIak, marilah mulai sekarang kita berkawan.”

Dari pertarungan tadi sudah sama-sama tahu mengenai kelihayan pihak lawan. Memang kedua pihak tidak ada permusuhan apa-apa, soalnya cuma bertengkar mulut saja kemudian berkelahi. Maka setelah beramah tamah sejenak, dua pihak lantas seperti kenalan lama saja dan bersahabat baik.

“Sekarang juga biarlah aku pergi ke Hek-liong-tam, apakah berhasil atau tidak pasti aku akan kembali lagi ke sini,” kata Yo Ko tiba-tiba.

Walau pun GeromboIan Setan dan Su-si-hengte ingin turut mencurahkan tenaga, namun mereka tidak mendengar Yo Ko menghendaki pembantu, terpaksa mereka diam saja dan tidak berani mencalonkan diri. Sesudah memberi salam kepada para hadirin, Yo Ko lantas melangkah pergi.

Maksud kedatangan Kwe Siang adalah ingin melihat Sin-tiau-hiap. Kini tokoh tersebut sudah dilihatnya. Meski berwajah jelek tetapi ilmu silatnya mengejutkan, suka membantu yang lemah dan menolong yang susah, nyata memang setimpal mendapatkan sebutan ‘Tayhiap’. Jadi tujuan kedatangannya ini tidaklah percuma, Tapi demi teringat Sin-tiau-hiap hendak pergi menangkap Kiu-bwe-leng-hou, caranya pasti amat menarik, dasar anak muda pula, rasa ingin tahunya menggelitik lubuk hati. Maka tanpa terasa dia pun melangkah ke sana mengintil di belakang Yo Ko.

Melihat itu segera Toa-thau-kui bermaksud memanggilnya kembali, namun lantas terpikir olehnya: “Dia bertekad ingin menemui Sin-tiau-hiap, tentu ada sesuatu hendak dikatakan kepadanya.”

Sedangkan Su-si-hengte tidak tahu asal usul Kwe Siang, mereka tidak dapat ikut campur urusan nona cilik itu.


HEK-LIONG-TAM ( Tambak Naga Hitam )

Kwe Siang terus mengintil di belakang Yo Ko, jaraknya kira-kira belasan meter, tujuannya hanya ingin tahu cara bagaimana pendekar besar itu menangkap rase. Dilihatnya jalan Yo Ko semakin lama semakin cepat, sedangkan rajawali raksasa itu jalan berjajar dengan dia dengan langkah lebar, cepatnya ternyata tak kalah dengan kuda lari. Hanya sekejap saja Kwe Siang jauh tertinggal di belakang. Dengan sekuatnya Kwe Siang mengeluarkan Ginkang ajaran ibunya. Tampaknya Yo Ko hanya berlenggang seenaknya, tetapi jaraknya ternyata semakin jauh, tak lama kemudian bayangan Yo Ko dan si rajawali raksasa itu telah mengecil menjadi dua titik hitam saja. Kwe Siang menjadi cemas, serunya.

“Hei, tunggu!”

Karena sedikit meleng itu mendadak dia terpeleset di tanah salju yang licin sehingga jatuh terduduk. Ya malu ya gelisah, maka menangislah dia. Tiba-tiba sebuah suara yang halus mendenging di pinggir telinganya:

“Kenapa menangis? Siapa yang nakal?”

Waktu Kwe Siang mendongak, ternyata Yo Ko adanya, entah bagaimana dia dapat putar balik secepat ini. Kejut dan girang pula si nona, segera dia pun merasa likat dan cepat menunduk. Dia bermaksud mengambil sapu tangan untuk mengusap air mata, tapi karena berlari-lari tadi, sapu tangan itu ternyata sudah hilang.

“lnikah yang kau cari?” tanya Yo Ko tiba-tiba sambil menyodorkan sebuah sapu tangan.

Segera Kwe Siang mengenali sapu tangan yang ujungnya bersulam setangkai bunga kecil itu adalah miliknya sendiri. Mendadak ia menjawab pertanyaan Yo Ko:

“Ya, kau inilah yang nakal!”

“He, bilakah aku nakal?” ujar Yo Ko heran.

“Kau telah merampas sapu tanganku, apakah perbuatan ini tidak nakal?”

“Sapu tanganmu jatuh di sana, dengan maksud baik kupungut lantas mengembalikannya kepadamu, masa kau tuduh aku merampasnya?” kata Yo Ko dengan tertawa.

“Aku berada di belakangmu, andai kata benar sapu tanganku jatuh, bagaimana pula kau memungutnya? Hm, jelas kau menyolongnya dariku,” kata Kwe Siang.

Padahal semenjak tadi Yo Ko sudah tahu Kwe Siang mengintil di belakangnya. Ia sengaja mempercepat langkahnya untuk menjajal Ginkang si nona, ia merasa biar pun usia nona cilik ini masih amat muda, tapi ilmu silatnya sudah mempunyai dasar yang kuat dan jelas mendapatkan ajaran dari tokoh ternama. Maka begitu mengetahui Kwe Siang terpeleset jatuh, cepat dia meluncur balik. Dilihatnya sebuah sapu tangan jatuh tak jauh di sebelah sana, maka segera ia memungutnya. Cuma gerakannya teramat gesit, pergi datang secepat terbang, walau pun berada di depan, tapi dapat memungut sapu tangan yang jatuh di bagian belakang, hal ini memang tidak masuk di akal. Dengan tersenyum Yo Ko lantas bertanya:

“Kau she apa dan siapa namamu? Siapa pula gurumu? Mengapa kau mengikuti aku?”

“She dan namamu yang terhormat harap diberi-tahukan lebih dulu padaku baru nanti aku pun memberi-tahukan namaku,” jawab Kwe Siang.

Selama belasan tahun ini Yo Ko selalu menutupi wajah aslinya bagi umum, maka dengan sendirinya juga tidak suka memberi-tahukan namanya kepada seorang nona cilik yang tak dikenalnya. Katanya:

“Nona cilik ini benar-benar amat aneh. Jika kau tidak mau menerangkan ya sudahlah, ini sapu tanganmu kukembalikan.”

Habis bicara dengan perlahan tangannya mengebas. Sapu tangan itu lantas mekar merata dan mengembang di udara terus melayang enteng ke depan Kwe Siang. Kwe Siang sangat tertarik. Cepat dia tangkap sapu tangan itu dan berkata:

“Sin-tiau-hiap, ilmu kepandaian apakah ini? Maukah kau mengajarkan kepadaku?”

Melihat si nona yang lincah kekanak-kanakan ini sama sekali tidak takut kepada wajahnya yang seram, tiba-tiba timbul pikiran Yo Ko untuk coba menakutinya. Mendadak ia membentak bengis:

“Berani benar kau! Kenapa kau tidak takut padaku, hm? Akan kuhantam kaul” Berbareng dia melangkah maju dan berlagak hendak menyerang.

Kwe Siang terkejut, tapi cepat ia pun mengikik tawa, katanya: “Mana aku takut. Jika betul kau ingin mencelakakan aku, masa kau sendiri mau mengatakan lebih dulu? Sin-tiau-tayhiap terkenal sangat berbudi dan baik hati, mana mungkin mencelakai seorang anak perempuan kecil seperti diriku ini?”

Di dunia ini tak ada seorang pun yang tidak suka dipuji, apakah mendengar orang memuji dengan setulus hati atau pun hanya sekedar basa-basi. Meski Yo Ko tidak suka disanjung puji orang, tetapi mendengar ucapan Kwe Siang benar-benar mengaguminya, mau tak mau ia tersenyum dan berkata:

“Kau baru kenal diriku, dari mana mengetahui aku takkan mencelakai kau?”

“Meski sebelumnya aku tidak kenal kau, tetapi semalam kudengar orang banyak bercerita mengenai tindak-tandukmu yang terpuji. Maka dalam hati aku bertekad hendak melihat tokoh ksatria besar ini, karena itulah aku ikut Toa-thau-kui ke sini untuk menemui engkau.”

“Ah, aku ini terhitung ksatria apa?” ujar Yo Ko sambil menggeleng, “Dan setelah sekarang bertemu, kau pasti kecewa bukan?”

“Tidak, tidak!” jawab Kwe Siang cepat. “Kalau engkau bukan pahlawan dan ksatria besar, siapa lagi yang dapat dianggap pahlawan?” Habis berkata demikian segera ia merasa tak pantas bila ayahnya sendiri tidak disebut, maka cepat ia menambahkan. “Tentu saja selain engkau, di dunia ini juga masih ada beberapa pahlawan dan ksatria besar lagi, tapi engkau adalah satu di antaranya.”

Yo Ko pikir anak dara sekecil ini masa tahu tokoh-tokoh dunia segala. Dengan tersenyum dia lantas bertanya:

“Coba katakan, siapa saja yang kau anggap pahlawan dan ksatria besar?”

Karena nada ucapan orang terasa meremehkan dirinya, tiba-tiba terpikir sesuatu oleh Kwe Siang, katanya:

“Akan kukatakan, tapi kalau tepat, engkau harus berjanji akan membawa serta diriku pergi menangkap Kiu-bwe-leng-hou, jadi?”

“Baiklah, coba katakan,” jawab Yo Ko.

“Nah, ada seorang pahlawan yang bertahan di benteng Siang-yang, gagah perkasa tanpa menghiraukan keselamatan diri sendiri, sekuat tenaga melawan serbuan pasukan Mongol, membela negara dan melindungi rakyat. Tokoh demikian terhitung pahlawan atau tidak?”

“Bagus!” ujar Yo Ko sambil mengacungkan ibu jarinya. “Yang kau maksudkan Kwe Ceng, Kwe-tayhiap. Jelas beliau terhitung pahlawan besar.”

“Ada lagi seorang pahlawan wanita, ia senantiasa membantu suaminya mempertahankan Siang-yang, tipu akalnya tiada bandingan, dia terhitung pahlawan besar atau tidak?”

“O, maksudmu Kwe-hujin Oey Yong? Ya, beliau juga terhitung pahlawan.”

“Masih ada seorang pahlawan tua, beliau mahir ilmu falak dan macam-macam ilmu gaib, baik ilmu silat mau pun sastra jarang ada bandingannya. Beliau dapat dianggap pahlawan besar tidak?”

“ltulah Tho-hoa-tocu Oey Yok-su. Beliau adalah angkatan tua di dunia persilatan dan juga tokoh yang kukagumi.”

“Ada lagi satu pahlawan. Beliau memimpin kawanan orang jembel, menumpas orang lalim dan menyerbu musuh, membela negara dan rakyat tanpa kenal lelah, dia boleh terhitung pahlawan besar tidak?”

“Maksudmu Loh-pangcu, Loh Yu-kah? Ilmu silat orang ini tidak terlalu menonjol dan juga tidak ada sesuatu tindakannya yang luar biasa, tapi mengingat semangat perjuangannya membela negara dan rakyat serta menumpas penjahat dan menyerbu musuh, dapatlah ia dianggap tokoh kelas satu.”

Kwe Siang pikir Sin-tiau-tayhiap sendiri sedemikian hebatnya, sudah tentu penilaiannya terhadap orang lain juga tinggi, kalau kukatakan lagi mungkin akan dibantah olehnya. Apa lagi selain ayah-ibu, kakek dan paman Loh, rasanya juga tiada tokoh lainnya yang dapat ditonjolkan.

Melihat air muka si nona mengunjuk rasa ragu untuk bicara lagi, Yo Ko lantas berkata: “Asalkan kau dapat menyebut lagi seorang pahlawan lain dan tepat, segera kubawa kau ke Hek-liong-tam untuk menangkap Kiu-bwe-leng-hou.”

Yo Ko pikir nama paman dan bibi Kwe serta Oey-tocu dan Loh-pangcu sangat terkenal di dunia Kangouw, maka tidaklah heran jika nona cilik ini dapat menyebut nama mereka.

Segera Kwe Siang bermaksud menyebut kakak iparnya, yaitu Yalu Ce, tapi rasanya kurang cocok untuk dianggap sebagai ‘pahlawan besar’ meski ilmu silatnya cukup tinggi. Selagi serba susah, tiba-tiba saja timbul kecerdikannya, cepatlah ia berkata:

“Baik, ada seorang lagi, beliau suka membantu kaum lemah, menolong yang sengsara, setiap orang selalu memujinya, itulah dia Sin-tiau-tayhiapl Nah, jika beliau tak dapat dianggap sebagai pahlawan besar, jelas kau sendiri yang bohong.”

Yo Ko bergelak tertawa, katanya: “Ha-ha-ha, cara bicara nona cilik sungguh lucu.”

“Jadi tidak kau membawaku ke Hek-liong-tam?” tanya Kwe Siang.

“Karena kau sudah mengatakan diriku ini adalah pahlawan besar, maka pahlawan besar tidak boleh mungkir janji kepada seorang nona cilik. Marilah kita berangkat!”

Senang sekali hati Kwe Siang, segera tangan kanannya menggandeng tangan kiri Yo Ko. Sejak kecil dia berkawan dengan para ksatria di Siang-yang dan semua menganggap dia sebagai adik kecil, maka sekarang saking senangnya ia pun menganggap Yo Ko sebagai kenalan lama.

Yo Ko sendiri menjadi rikuh. Dia merasa tangan si nona lunak dan halus, tetapi kalau dia melepaskan pegangan Kwe Siang, rasanya kurang sopan. Dia coba melirik nona cilik ini, terlihat dia meloncat-loncat kegirangan dan sama sekali tiada pikiran Iain. Dengan tersenyum dia lantas menuding ke arah utara:

“Hek-liong-tam terletak tidak jauh di sana.” Dengan alasan menuding inilah dia dapat menarik tangannya dari pegangan Kwe Siang.

Kiranya Yo Ko merasa waktu mudanya sudah terlalu banyak membikin anak perempuan tergila-gila padanya, tapi sejak matinya Kongsun Lik-oh dan menghilangnya Siao-liong-li, diam-diam dia sangat menyesalkan tindakannya di masa lampau. Selama belasan tahun ini dia menjadi sangat alim sehingga tangan anak perempuan kecil seperti Kwe Siang ini juga enggan disentuhnya lagi. Sama sekali Kwe Siang tidak merasakan perubahan pikiran Yo Ko, dia jalan berjajar dengan Yo Ko. Ketika melihat muka rajawali sakti itu sangat jelek, tetapi tubuhnya kekar, tanpa pikir dia tepuk punggungnya sebagai tanda simpatik.

Sejak kecil dia sudah biasa bermain dengan sepasang rajawali di rumahnya, siapa tahu rajawali ini ternyata tidak suka ditepuk, mendadak sayapnya terbentang.

“Brett!” tangan Kwe Siang didorong pergi.

Keruan Kwe Siang menjerit kaget. Dengan tertawa Yo Ko berkata: “Jangan marah, Tiau-heng! Buat apa mengurusi anak kecil?”

Kwe Siang melelet-lelet lidah dan menyingkir ke sisi Yo Ko yang lain, dia tidak berani lagi berdekatan dengan si rajawali sakti. Dia tidak tahu bahwa sepasang rajawali di rumahnya itu termasuk burung piaraan, sedangkan hubungan rajawali sakti ini dengan Yo Ko boleh dikatakan setengah guru dan setengah kawan, kalau bicara tentang usia bahkan terhitung angkatan tua, jelas kedudukannya tidak sama.

Begitulah mereka terus ke Hek-liong-tam. Tempat itu sangat mudah dikenali, beberapa li sekelilingnya sama sekali tiada tetumbuhan. Sebenarnya Hek-liong-tam itu adalah sebuah danau, mungkin karena sumber airnya kering, lama-lama dasar danau mendangkal sehingga akhirnya berubah menjadi tambak besar dengan lumpur melulu.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar