Rabu, 13 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 165

Dilihatnya kedua mata Su Siok-kang tampak cekung, mukanya amat pucat, jalannya pun sempoyongan, jelas sedang sakit parah, maka kawanan setan itu tidak merasa gentar. Simpati Kwe Siang berada pada Su Siok-kang, karena melihat orang dalam keadaan sakit toh tetap hendak menolong saudaranya. Cepat dia berseru:

“He, engkau lagi sakit, jangan ikut bertempur.”

Su Siok-kang mengangguk kepadanya dan mengucapkan terima kasih, tetapi langkahnya tidak berhenti, dia masih terus mendekati Su Ki-kiang yang menggeletak teringkus musuh itu. Siau-bin-kui mengedipi Tiau-si-kui, dengan berbareng kedua orang menubruk dari kanan kiri, mereka hendak menangkap sekaligus lawan yang tampaknya sakit tebese ini. Begitu sudah dekat, keempat tangan mereka mencengkeram.

Tetapi mendadak Su Siok-kang meraung laksana singa, tangan kirinya menabok pundak Tiau-si-kui dan tangan kanan menyodok dada Siau-bin-kui. Seketika kedua ‘setan’ itu merasa ditekan tenaga maha dahsyat, langkah mereka terhuyung dan hampir saja terperosot jatuh. Cepat mereka melompat mundur, untung saja Su Siok-kang tidak mengejar maju. Keruan mereka saling pandang dengan kaget dan berkeringat dingin, sama sekali mereka tak mengira bahwa orang yang tampaknya sakit tebese itu ternyata sedemikian lihaynya. Su Siok-kang lantas melepaskan Hiat-to saudaranya yang tertotok itu. Dengan sekali tarik tali Tiau-si-kui yang meringkus Su Ki-kiang putus menjadi beberapa potong. Tapi Su Ki-kiang belum sadar karena dia kena asap beracun. Sambil mengerut kening Su Siok-kang membentak:

“Berikan obat penawarnya!”

“Bubarkan dulu kepungan binatang buas kalian dan segera kuberikan obat penawarnya,” jawab Siau-bin-kui.

Su Siok-kang mendengus, lalu melangkah ke arah Siau-bin-kui dengan sempoyongan. Siau-bin kui tidak berani melawannya, cepat dia mengelak ke samping. Rupanya karena sakit sehingga gerak-geriknya tidak leluasa, namun Su Siok-kang masih terus melangkah ke arah Siau-bin-kui. Sudah tentu sisa keempat ‘setan’ yang masih menganggur tidak tinggal diam, mereka mengerubut maju, Siau-bin-kui juga lantas memutar balik untuk ikut mengeroyok. Gerak serangan Su Siok-kang sangat lamban, tapi tenaga pukulannya amat kuat. Kelima setan itu mengepungnya di tengah sambil terus melancarkan serangan dengan golok dan tombak, namun tidak berani terlalu mendekat.

Kwe Siang menaruh kasihan terhadap Su Ki-kiang yang dirobohkan lawan dengan akal licik dan belum sadar itu. Segera dia mencomot sepotong salju dan diusap-usapkan di dahi Su Ki-kiang, lalu secomot kecil bunga salju dijejalkan ke mulutnya. Rupanya asap racun tadi tidak dapat bertahan terlalu lama. Su Ki-kiang sendiri sehat dan kuat, begitu kepala terasa dingin dan mulutnya dicekoki es batu, segera pikirannya jernih kembali. Perlahan ia merangkak bangun dan mengucek-ucek matanya, ia menjadi murka demi melihat kakak ketiganya dikerubut lima orang. Segera ia berteriak:

“Mundur dulu, Samko!” Ia terus menubruk maju dan merangkul pinggang Siau-bin-kui.

Di sebelah Iain, Su Pek-wi yang sedang menempur sengit Tiang-si-kui menjadi girang melihat Su Ki-kiang sudah siuman kembali. Segera ia bersuit panjang, serentak kawanan binatang buas yang semenjak tadi hanya mendekam di atas tanah itu berdiri semua dan bersiap-siap hendak menubruk musuh.

Ketika Su Pek-wi menggertak lagi dengan suara keras, serentak kawanan binatang itu pun mengaum buas. Meski GoromboIan Setan Se-san itu sudah banyak berpengalaman di medan pertempuran, tetapi begitu menyaksikan suasana yang mengerikan ini mau tak mau mereka menjadi kuatir. Benar saja, belum lenyap suara raungan kawanan binatang itu, di sana sini berbagai jenis binatang buas sudah lantas menerjang maju dan menerkam ke sepuluh ‘setan’ itu.

Kwe Siang menjerit kaget dengan muka pucat. Syukurlah Su Siok-kang lantas menyadari keadaan anak dara itu. Cepat dia mendorong seekor harimau yang sedang menubruk ke arah Kwe Siang, menyusul dia tanggalkan kopiah kulit sendiri lalu dipasangkan di kepala si anak dara. Tampaknya kawanan binatang buas itu sudah terlatih. Begitu melihat Kwe Siang memakai kopiah kulit, mereka tidak mau menubruknya lagi melainkan terus membelok ke sana dan menyerang Gerombolan Setan.

Macam-macam binatang buas, ada harimau, singa, serigala, macan tutul, gorila, beruang dan sebagainya serentak menerjang ke sepuluh ‘setan’. Namun Gerombolan Setan itu juga bertahan mati-matian, belasan ekor binatang buas itu pun dapat mereka binasakan. Tetapi lantaran Su-si-hengte terus memberi aba di samping sana, pula jumlah binatang buas itu teramat banyak, hanya sekejap saja Gerombolan Setan itu sudah terluka semua, baju robek dan darah mengucur, tampaknya dalam waktu singkat mereka pasti akan dilalap habis oleh kawanan binatang buas itu.

Ketika itu Kwe Siang melihat tiga ekor singa jantan sedang mengkerubuti Toa-thau-kui, si setan kepala besar, godam besar yang merupakan senjata andalannya sudah terjatuh, lengan kanannya tergigit seekor singa dan tak dilepaskan. Hanya tangan kirinya yang masih terus menghantam serabutan untuk sekedar bertahan terhadap terkaman kedua ekor singa yang lain. Teringat oleh Kwe Siang bahwa Toa-thau-kui itulah yang membawanya ke sini. Sekarang orang terancam bahaya, ia menjadi tidak tega, tanpa pikir ia menanggalkan kopiah kulit yang dipakainya serta dilemparkan ke atas kepala Toa-thau-kui. Kopiah kecil di atas kepala besar, tentunya tampak amat menggelikan, bahkan kopiah itu bergoyang-goyang hendak jatuh ke bawah.

Rupanya pada waktu melatih kawanan binatang itu kelima saudara Su itu selalu memakai kopiah kulit. Serentak tiga ekor singa itu tidak menubruk dan menggigitnya lagi dan terus menyingkir pergi. Dalam pada itu Kwe Siang sendiri telah terkepung oleh empat ekor macan tutul. Keruan ia ketakutan dan menjerit-jerit. Saat itu Su Siok-kang sedang berusaha merampas tongkat baja Tiang-si-kui agar tongkat itu tidak banyak mengambil korban kawanan binatang buas. Demi mendengar jeritan Kwe Siang dia menoleh dan terkejut, tetapi jaraknya dengan anak dara itu agak jauh sehingga sukar memberi pertolongan.

Aneh juga. Begitu empat ekor macan tutul itu mendekati Kwe Siang, mereka tidak lantas menerkam dan mencakarnya, sebaliknya seperti anjing piaraan saja mereka mengitari Kwe Siang sambil mengendusnya disertai meng-gesekkan tubuhnya pada anak dara itu, tampaknya seperti sudah kenal dengan akrab sekali. Sesungguhnya Kwe Siang sudah ketakutan dan pasrah nasib. Ia menjadi terkesiap ketika melihat macan tutul itu tidak bermaksud jahat padanya. Segera ia teringat pada cerita ibu dan kakaknya bahwa waktu bayinya dahulu dirinya pernah menetek pada induk harimau tutul. Agaknya keempat macan tutul itu mencium bau aneh pada tubuhnya sehingga menganggap sebagai kaum sejenisnya.

Dengan takut-takut bercampur girang Kwe Siang lantas berjongkok dan merangkul leher dua ekor macan tutul, dua ekor yang lain menjilati tangannya dan mukanya. Keruan Kwe Siang merasa geli dan tertawa terkikik. Selama menjadi pelatih dan penjinak binatang buas, belum pernah kelima saudara Su itu menyaksikan adegan seaneh itu, keruan mereka melongo heran.

Meski Toa-thau-kui sendiri dapat terhindar dari bahaya berkat kopiah kulit, namun melihat kesembilan saudara angkatnya sukar lolos dari renggutan elmaut, betapa pun ia tak dapat mencari selamat sendiri. Tanpa pikir lagi ia terus memegang kopiah kulit dan dilemparkan kepada Siau-kui, si perempuan berbaju serba merah, sambil berseru:

“Kiu-moay, pakailah kopiah ini dan lekas menyelamatkan diri!”



Siau-kui menangkap kopiah itu lantas dilemparkan kepada Tiang-si-kui, serunya: “Toako, engkau saja menerjang keluar dahulu, kelak berusaha lagi menuntut balas bagi kita!”

Tetapi Tiang-si-kui juga lantas melangsir kopiah itu kepada Siau-bin-kui sembari berteriak:

“Capte (adik kesepuluh), menuntut balas walau pun sepuluh tahun lagi juga belum kasip. Engkau saja lekas lari, kakakmu ini sudah cukup umur dan sudah bosan hidup!”

Ternyata di antara mereka amat setia satu sama lain, siapa pun tidak mau meninggalkan kawannya untuk menyelamatkan diri sendiri. Karena dikerubuti lima ekor serigala, Siau-bin-kui tidak dapat mengoper kopiahnya kepada saudara yang lain. Sedangkan serigala terkenal rakus dan buas, sekali merasakan darah betapa pun tidak mau tinggal pergi, meski Siau-bin-kui memegang kopiah itu, serigala itu tetap saja tidak mau meninggalkan mangsanya. Tentu saja Siau-bin-kui mencaci maki dengan marah, namun wajahnya tetap tersenyum simpul. Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara suitan nyaring di atas, seorang berseru lantang:

“Gerombolan Setan Se-san ingkar janji, aku menunggu semalaman sia-sia, kiranya kalian sedang ribut dengan kawanan binatang di sini!”

Girang bukan main Kwe Siang mendengar seruan itu, pikirnya: “Aha, Sin-tiau-hiap sudah datang.”

Waktu Kwe Siang mendongak, terlihat seorang duduk di atas dahan pohon, di sebelahnya nangkring seekor rajawali besar dan buruk rupa. Orang itu memakai jubah panjang warna putih, lengan baju kanannya terselip pada ikat pinggang, nyata memang lengannya buntung. Waktu memandang wajahnya, seketika Kwe Siang bergidik. Air mukanya ternyata pucat kaku seperti mayat, hakikatnya bukan air muka manusia hidup. Banyak juga orang bermuka buruk dan menakutkan, misalnya para anggota Gerombolan Setan Se-san itu juga semuanya berwajah penjahat, tapi tidak seburuk dan menyeramkan seperti ini.

Sebelum ini dalam hati kecilnya Kwe Siang membayangkan wajah Sin-tiau-hiap pasti cakap ganteng, ia menjadi amat kecewa melihat kejelekan mukanya itu. Tanpa terasa ia memandang sekejap lagi kepadanya, terlihat sorot matanya memancarkan sinar tajam. Sinar mata tajam itu sekilas mengerling ke arahnya dan tiba-tiba terhenti sejenak seperti rada menimbulkan rasa herannya.

Tanpa terasa wajah Kwe Siang menjadi merah jengah dan tanpa kuasa menunduk malu, samar-samar ia merasa sang Sin-tiau-hiap tidak terlalu buruk. Sin-tiau-hiap di hadapan Kwe Siang ini memang betul Yo Ko adanya. Selama 16 tahun ini dia menunggu dengan hati menderita untuk bertemu kembali dengan Siao-liong-li. Ia telah berkelana ke segenap penjuru dan memberikan darma baktinya bagi sesama, karena dia selalu ditemani rajawali sakti itu, maka didapatkanlah nama julukan ‘Sin-tiau-hiap’.

Ia merasa berdosa waktu mukanya banyak digilai anak perempuan seperti Kongsun Lik-oh yang binasa demi menolong jiwanya, juga Thia Eng dan Liok Bu-siang hidup merana karena patah hati. Ia pikir kalau mukanya buruk, tentu takkan menarik perhatian anak perempuan. Sebab itulah sekarang ia memakai kedok muka pemberian Oey Yok-su dahulu untuk menutupi wajah aslinya. Malam ini mestinya dia punya janji bertemu dengan Gerombolan Setan Se-san di Te-ma-peng, tapi pihak lawan ternyata ingkar janji dan tidak datang, sebab itulah ia lantas mencarinya dan kebetulan dilihatnya apa yang terjadi di hutan ini.


KIU-BWE-LENG-HOU ( Rase Cerdik Berekor Sembilan )

Jiwa kesepuluh setan itu sudah amat terancam di tengah kerubutan kawanan binatang buas sebanyak itu, dan sekarang tiba-tiba Yo Ko membuka suara sehingga bertambah lagi satu musuh tangguh bagi mereka. Keruan mereka menjadi putus asa dan yakin sekali ini jiwa pasti akan melayang semuanya. Dalam pada itu terdengar Yo Ko berkata dengan suara lantang:

“Beberapa saudara ini mungkin adalah Su-si-hengte dari Ban-siu-san-ceng? Silakan kalian berhenti dulu dan dengarkanlah perkataanku.”

“Kami memang she Su,” jawab Su Pek-wi, “Dan siapakah tuan?” Akan tetapi segera dia menambahkan: “Ahh, maaf, agaknya tuan inilah Sin-tiau-hiap.”

“Terima kasih, memang betul Cayhe adanya,” sahut Yo Ko. “Harap kalian lekas hentikan amukan kawanan binatang buas itu. Apa bila terlambat maka sebentar lagi mungkin para setan gadungan ini akan berubah menjadi setan sungguhan.”

“Ya, biar jadi setan sungguhan dulu barulah kami bicara denganmu,” ujar Su Pek-wi.

Yo Ko mengernyitkan keningnya, katanya: “Tetapi Gerombolan Setan itu sudah ada janji pertemuan denganku lebih dulu. Jika binatang kalian membinasakan mereka, lalu kepada siapa aku harus bicara lagi?”

Mendengar ucapan Yo Ko mulai kasar, Su Pek-wi menjengek, kemudian malah memberi aba agar kawanan binatang menyerang lebih ganas.

“Kalau kau sudah tahu aku adalah Sin-tiau-hiap, mengapa kau tidak ambil pusing kepada perkataanku?” bentak Yo Ko.

“Memang kalau Sin-tiau-hiap lantas bagaimana?” jawab Su Pek-wi dengan tertawa, “Kalau mampu boleh kau menghentikan serangan kawanan binatang kami ini.”

“Baik,” kata Yo Ko. “Mari, Tiau-heng, kita turun!”

Habis berkata, bersama rajawali raksasa itu mereka melompat ke bawah. Sebelum Yo Ko dan rajawali itu menyentuh tanah, kawanan binatang sudah meraung sambil menubruk maju. Tetapi sekali sayap rajawali itu menyabet ke kanan dan menyampuk ke kiri, kontan beberapa ekor binatang yang lebih kecil seperti serigala dan sebagainya terjungkal. Seekor singa dan seekor harimau mengaum murka lantas menubruk. Kembali sayap rajawali itu menyabet, bukan main kekuatannya, singa dan harimau itu terguling dan tidak mampu mendekat lagi. Menyusul sayap yang lainnya menyabet pula, kontan kepala seekor macan tutul hancur berantakan.

Melihat kesaktian rajawali itu, kawanan binatang buas yang lain menjadi ketakutan dan tak berani menyerang. Kini semuanya mendekam di kejauhan sambil mengeluarkan suara menggereng. Su Pek-wi menjadi marah. Segera ia memapaki Yo Ko, tangannya yang kaku seperti cakar macan itu mencengkeram ke dada lawan. Akan tetapi Yo Ko sedikit mengebas lengan baju kanan yang kopong itu.

“Blukk!”

Dengan tepat kedua pergelangan tangan Su Pek-wi tersabet sehingga menimbulkan rasa sakit tidak kepalang seperti dipotong pisau. Tanpa tertahan dia menjerit. Dengan langkah tertahan Su Siok-kang mendekati Yo Ko, sepasang tangannya menyodok lurus ke depan.

“Bagus!” sambut Yo Ko sambil tersenyum dan menjulurkan telapak tangan kirinya untuk memapak serangan lawan. Dia hanya menggunakan tiga bagian tenaganya saja.

Maklumlah, selama belasan tahun dia telah menggembleng diri di tengah amukan ombak samudera. Kalau dia mengeluarkan tenaga penuh, jangankan tubuh manusia, sekali pun batang pohon dan dinding tembok akan runtuh dihantamnya. Namun Su Siok-kang juga pernah mendapat ajaran orang kosen, maka tenaga dalamnya juga lain dari pada yang lain. Begitu beradu tangan, tubuhnya tergeliat tetapi tidak tergetar mundur.

“Awas!” seru Yo Ko memperingatkan sambil mengerahkan tenaga.

Seketika pandangan Su Siok-kang menjadi gelap dan mengeluh, sekali ini nyawanya pasti melayang. Untung pada saat gawat itu mendadak Yo Ko berkata:

“Ahh, ternyata kau sedang sakit!” Berbareng itu tenaga yang maha dahsyat seketika hilang sirna.

Lolos dari renggutan elmaut, Su Siok-kang menjadi melenggong dan tidak dapat berkata apa-apa. Su Pek-wi, Su Tiong-beng dan lain-lain menyangka Su Siok-kang terluka dan tidak dapat bergerak, maka mereka menjadi cemas dan marah sekali. Serentak mereka menerjang Yo Ko. Tepat pada waktu yang sama seekor harimau juga menubruk dari sebelah sana. Tapi sekali meraih, Yo Ko mencengkeram leher raja hutan itu. Binatang buas ini lantas digunakan sebagai senjata menangkis serangan pipa perak Su Tiong-beng dan gada baja Su Ki-kiang, sedangkan cakar macan malahan terus mencakar muka Su Pek-wi dan Su Beng-ciat.

Belasan tahun yang lalu Yo Ko sudah pernah menggunakan pedang yang beratnya lebih dari 70 kati. Sekarang memegangi tubuh harimau yang besar, beratnya paling-paling juga cuma seratusan kati, maka enteng saja baginya. Karena lehernya terpegang, harimau itu menjadi rnurka dan tidak kenal sang majikan lagi, cakarnya terus menggaruk dan mulutnya menggigit, Dalam keadaan demikian Su Pek-wi dan Su Beng-ciat menjadi kelabakan juga walau pun biasanya mereka selalu berkawan dengan binatang buas.

Menyaksikan pertarungan itu, Kwe Siang bersorak gembira, teriaknya. “Hebat sekali Sin-tiau-hiap! Nah, kalian mengaku kalah tidak, Su-keh-hengte?”

Yo Ko memandang sekejap kepada anak dara itu, dia tidak tahu siapakah Kwe Siang ini. Anehnya anak dara itu berkawan dengan macan tutul, akan tetapi sekarang mengolok dan mengejek kelima saudara Su.

Sementara itu Su Siok-kang mengatur pernapasannya dan terasa lancar tanpa ada gangguan apa pun. Dia tahu bahwa tadi Sin-tiau-hiap sengaja bermurah hati dan tidak ingin melukainya. Diam-diam dia pun mengakui, kalau berdasarkan kepandaian sejati biar pun mereka berlima mengerubutnya sekaligus bukan tandingannya. Saat itu tampak keempat saudaranya sedang mengerubuti Yo Ko, maka segera ia berseru:

“Para kakak dan adik, lekas berhenti, kita harus tahu diri.”

Mendengar itu Koan-kian-cu Su Tiong-beng segera mendahului menarik kembali pipanya dan melompat mundur. Tetapi Tay-Iik-sin Su Ki-kiang adalah orang yang sembrono, maka seruan saudaranya dia anggap sepele.

“Tahu diri apa? Rasakan dulu gadaku ini!” demikian ia pikir.

Segera kedua tangan memegang gada terus mengepruk kepala Yo Ko dengan gaya ‘Ki-siang-kay-san’ atau gajah raksasa menggugur gunung. Jurus ini ditirunya dari gajah menggunakan belalai menghantam benda, maka pukulan dahsyatnya dapatlah dibayangkan. Namun Yo Ko tidak menghindar. Ia lemparkan harimau yang dipegangnya, tangan kiri membalik ke atas, sekali meraih ujung gada belalai gajah lawan ditangkapnya, katanya:

“Marilah kita coba-coba tenaga siapa lebih kuat!”

Sekuatnya Su Ki-kiang berusaha menekan ke bawah, tapi gada itu berhenti di atas kepala Yo Ko dan tidak dapat menurun lagi.

“Berhenti, Site! Jangan kurang adat!” seru Su Siok-kang pula.

Sekuatnya Su Ki-kiang membetot dengan maksud ingin menarik kembali gadanya. Namun gada itu seperti lengket di tangan Yo Ko, sedikit pun tak dapat bergerak. Berulang-ulang Su Ki-kiang membetot dan tetap tidak berhasil. Yo Ko merasa tenaga tarikan lawan amat kuat, pikirnya, “Jika tidak kuperlihatkan tenaga sakti, orang dogol ini tentu tidak mau takluk.” Dia kerahkan tenaga dan dipelintir ke atas, tetapi Su Ki-kiang tetap memegangi gadanya sekuat-kuatnya, keruan gada yang menyerupai belalai gajah itu bengkok.

“Bagus!” bentak Yo Ko lalu ditekuk balik ke bawah. Karena ditekuk ke atas dan ke bawah, gada itu tidak tahan.

“Pletak!”

Gada patah menjadi dua dan tangan Su Ki-kiang tergetar hingga lecet berdarah. Tapi dia benar-benar kuat dan kepala batu, gada patah itu masih dipegangnya dengan kencang. Yo Ko bergelak tawa sambil melempar bagian gada patah yang dirampasnya. Kontan setengah gada itu ambles ke dalam tanah bersalju, padahal tebal salju tiada satu kaki, sedangkan gada patah itu panjangnya lebih tiga kaki, namun menghilang tanpa bekas ke dalam tanah, betapa hebat tenaga sakti Yo Ko sungguh sangat mengejutkan.

Dilihatnya Su Siok-kang, Su Beng-ciat dan lain-lain sedang membentak menghentikan serangan kawanan binatang buas, akan tetapi sekali kawanan binatang itu mengamuk dan melihat darah, sukarlah dikendalikan begitu saja. Cepat Yo Ko memberi tanda kepada Kwe Siang supaya nona cilik itu menutup telinganya dengan tangan. Meski pun tidak tahu apa tujuannya tapi Kwe Siang menurut, segera ia mendekap rapat kedua kupingnya. Segera Yo Ko berteriak dengan keras, demikian nyaring suaranya sehingga laksana bunyi guntur yang menggelegar.

Meski telinganya sudah ditutup, tergetar juga jantung Kwe Siang hingga berdebar-debar dan rada pening. Untung sejak kecil Iwekang-nya tertumpuk cukup kuat sehingga suara Yo Ko itu tidak sampai membuatnya roboh. Suara Yo Ko masih menggelegar hingga lama sekali. Air muka semua orang berubah, kawanan binatang buas juga roboh, menyusul Gerombolan Setan Se-san dan Su-si-hengte terguling, hanya tersisa belasan ekor gajah serta Su Siok-kang dan Kwe Siang saja yang masih tetap tegak berdiri, sedangkan si rajawali sakti tampak berdiri dengan bersitegang leher, kelihatannya sangat umuk, sombong.
Melihat Su Siok-kang mampu berdiri, Yo Ko pikir tenaga dalam orang sakit ini hebat juga, tetapi kalau suaranya dikeraskan lagi sedikit sehingga Su Siok-kang dirobohkan, mungkin dia akan terluka dalam dengan parah. Maka dia lantas menghentikan suara suitannya. Selang tak lama, semua orang dan kawanan binatang itu baru dapat berdiri kembali, tapi sebagian binatang kecil sebangsa serigala dan sebagainya ada yang pingsan dan belum sadar, malahan di mana-mana banyak terdapat kotoran binatang, rupanya saking ketakutan, kawanan binatang itu banyak yang ter-kencing dan terberak-berak, dan begitu bangun, kawanan binatang itu lari ke dalam hutan dengan mencawat ekor tanpa menunggu komando Su-si-hengte lagi.

Sudah tentu Su-si-hengte dan gerombolan Setan Se-san itu belum pernah menyaksikan perbawa yang sehebat ini. Mereka semua berdiri terkesima dan tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maka berkatalah Yo Ko:

“Maaf kalau Cayhe sudah mengganggu. Cayhe ada janji dengan Gerombolan Setan Se-san, terpaksa harus kuhentikan pertarungan kedua pihak ini, nanti apa bila persoalan Cayhe sudah selesai, bolehlah silakan melanjutkan pertikaian kalian ini dan Cayhe takkan membantu pihak mana pun selain menonton saja di pinggir.” Lalu dia berpaling kepada Sat-sin-kui, si setan elmaut: “Nah, bagaimana kalian? Ingin satu persatu bergiliran menempur aku atau sepuluh orang maju bersama sekaligus?”

Karena pengaruh suitan Yo Ko tadi, sampai sekarang perasaan Sat-sin-kui belum kembali tenang, dia tak dapat menjawab pertanyaan Yo Ko. Segera Tiang-si-kui memberi hormat dan berkata:

“Sin-tiau-tayhiap, kepandaianmu dengan kami seperti langit dan bumi, mana Gerombolan Setan Se-san berani bermusuhan lagi dengan engkau? Jiwa kami tadi telah diselamatkan olehmu, selanjutnya engkau ada perintah apa pun pasti akan kami laksanakan. Jika engkau menyuruh kami harus keluar dari wilayah Soasay ini, maka segera kami akan pergi, sedetik pun tak berani bertahan di sini.”

Dari bentuk tubuhnya serta jenggotnya yang panjang itu, sejak tadi Yo Ko merasa kakek cebol ini seperti pernah dikenalnya. Sesudah mendengar suaranya, segera dia bertanya:

“Bukankah kau ini she Hoan bernama It-ong?”

Kiranya Tiang-si-kui ini memang betul adalah Hoan It-ong, yaitu murid tertua Kongsun Ci di Coat-ceng-kok. Setelah jiwanya diampuni Yo Ko, dia mengasingkan diri, sepuluh tahun kemudian baru berkecimpung lagi di dunia Kangouw. Berkat kepandaiannya yang lumayan dia berhasil mengepalai Gerombolan Setan Se-san. Dulu Yo Ko dikenalnya sebagai pemuda yang cakap dan berkepandaian tinggi, sekarang tangan Yo Ko buntung sebelah, pakai kedok lagi, dengan sendirinya Hoan It-ong pangling padanya.

“Benar, hamba memang Hoan It-ong adanya dan siap menerima pesan Sin-tiau-tayhiap,” demikian jawab Tiang-si-kui dengan munduk-munduk.

Yo Ko tersenyum, katanya: “Jika kalian mau tunduk pada perkataanku, maka kalian juga tidak perlu keluar dari wilayah Soasay. Sat-sin-kui, cukuplah kau membebaskan keempat gundikmu itu.”

Sat-sin-kui mengiyakan setelah terdiam sejenak, katanya: “Jika keempat perempuan hina itu tidak mau angkat kaki, biar kuhalau mereka dengan pentung.”

Yo Ko malah jadi melengak. Teringat olehnya ketika kelima isteri serta gundik Sat-sin-kui menyembah kepadanya dan mintakan ampun bagi sang suami, sikap mereka yang sungguh-sungguh itu tampaknya memang setia dan mencintai suaminya. Kalau perempuan-perempuan itu mau ikut dia, sekarang dia malah diharuskan mengusir keempat gundiknya, bisa jadi tindakan ini malah akan melukai hati mereka. Maka sambil tertawa Yo Ko menambahkan:

“Usir sih tidak perlu. Jika mereka ingin pergi, maka kau tidak boleh menahan mereka, sebaliknya kalau mereka suka ikut kau, ya, apa mau dikatakan lagi? Tapi kau bilang mau ambil lagi empat orang gundik, apakah betul ucapanmu ini?”

“Ahh, persoalan perempuan itu sudah membikin repot Sin-tiau-tayhiap, malahan jiwa para saudaraku ini hampir ikut melayang. Masa hamba berani mengambil isteri lagi? Andai kata berani, rasanya Toako kami ini juga takkan mengijinkan.” Serentak ‘Setan” yang lain tertawa geli mendengar ucapan Sat-sin-kui itu.

“Baiklah, sekarang urusanku telah selesai, kalian boleh mulai bertempur lagi,” kata Yo Ko, kemudian dia mundur bersama rajawali sakti dan membiarkan Su-si-hengte dan Gerombolan Setan bertarung lagi.

Segera Hoan It-ong melangkah maju dan berkata kepada Su Pek-wi: “Gerombolan Setan Se-san sudah babak belur, sementara ini kami mohon diri saja. Kami hanya ingin tahu, selanjutnya Ban-siu-san-ceng tetap bercokol di sini atau akan kembali ke Se-keng? Harap dijelaskan agar kelak kami dapat menemukan alamat kalian secara tepat.”

Dari nada ucapan itu, Su Pek-wi paham bahwa kelak orang bermaksud mencarinya untuk menuntut balas, maka dengan angkuh ia pun menjawab:

“Kami akan menanti kedatangan kalian di Se-keng. Jika Samte kami akhirnya tidak... tidak dapat disembuhkan, maka tanpa kunjungan kalian juga kami berempat saudara akan mendahului berkunjung kepada kalian.”

Hoan It-ong melengak, katanya: “Memangnya Su-samko sedang sakit, apa sangkut-paut sakitnya dengan kami? Untuk ini mohon diberi penjelasan.”

Su Pek-wi menjadi murka, dengan muka merah padam ia berteriak: “Samte...!”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar