Selasa, 12 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 164

Setelah berlari sekian jauhnya, orang cebol itu berkata kepada Kwe Siang: “Sebentar kalau sudah saling gebrak, jangan sekali-sekali kau menjauhi aku.”

Kwe Siang mengangguk. Dia tahu gerombolan setan dari Se-san ini ada sebagian sangat jahat dan tidak kenal ampun, bisa jadi mendadak dirinya diserang hingga si cebol kepala besar ini tidak sempat menolongnya. Diam-diam dia pun kuatir bagi Sin-tiau-hiap yang akan dikerubut kesembilan orang ini. Betapa pun tingginya kepandaian pendekar rajawali sakti itu, apakah sanggup satu lawan sepuIuh? Dia pikir kalau ayah-ibunya berada di sini tentu segalanya akan beres, beliau pasti takkan tinggal diam saja menyaksikan pertarungan yang tidak adil ini.

Selagi mereka melarikan kuda dengan cepat, dari dalam hutan di depan yang gelap gulita berkumandang suara auman harimau. Beberapa ekor kuda berjingkrak kaget dan takut, ada yang terus berdiri diam dan ada pula yang putar haluan hendak kabur. Si jangkung tadi segera mengayun cambuknya beberapa kali dan mendahului menerjang ke dalam hutan. Si nenek juga mengomeli kudanya:

“Binatang tak berguna, takut dicaplok kucing liar begitu?“

Beramai-ramai mereka menghalau kawanan kuda itu dan ikut menerobos ke dalam hutan. Setelah membedal lagi beberapa puluh meter jauhnya, tiba-tiba seseorang membentak di depan:

“Siapa berani terobos Ban-siu-san-ceng malam-malam begini?!”

Serentak gerombolan setan Se-san itu menahan kuda. Tampaklah seseorang menghadang di tengah jalan, di kedua sisinya masing-masing mendekam seekor harimau loreng. Mendengar suara raungan harimau yang kereng itu, kembali kawanan kuda ber-jingkrak ketakutan. Setelah berhasil menguasai kudanya, si kakek cebol jenggot panjang memberi hormat dan berkata

“GeromboIan Setan Se-san kebetulan lewat di sini dan tidak sempat berkunjung, harap memaafkan.”

Orang yang menghadang di depan itu menjawab: “O, kalian inikah Gerombolan Setan dari Se-san? Jadi saudara ini Tiang-si-kui (setan jenggot panjang) Hoan-ya (tuan Hoan)?”

“Betul,” jawab si kakek jenggot panjang, “Ada urusan penting sehingga kami harus menuju To-ma-peng, kembalinya nanti kami akan mampir untuk mohon maaf lagi.”

Rupanya dia pun tahu orang Ban-siu-san-ceng (perkampungan berlaksa binatang) sukar dilawan, pula mereka sekarang harus mencurahkan segenap perhatian menghadapi Sin-tiau-hiap, maka bicaranya sangatlah rendah hati.

“Coba kalian tunggu sebentar,” kata orang itu, lalu ia berteriak: “Toako, ini Gerombolan Setan Se-san yang hendak pergi ke To-ma-peng. Katanya kembalinya nanti akan datang untuk minta maaf.”

Kawanan ‘Setan’ itu merasa kurang senang mendengar ucapan itu. Mereka mengatakan kembalinya nanti akan mampir untuk minta maaf, kata-kata ini tidak lebih hanya sebagai basa-basi saja, masa dianggapnya Gerombolan Setan Se-san benar gentar terhadap pihak Ban-siu-san-ceng? Maka terdengarlah suara seseorang menjawab dengan lagak tuan besar dari dalam hutan:

“Minta maaf sih tidak perlu, suruh mereka pergi mengitari hutan.”

Kawanan setan itu menjadi marah. Si jangkung mendengus: “Hm, selamanya Gerombolan Setan Se-san kalau berjalan tidak pernah main mengitari.” Habis berkata segera dia melarikan kudanya menerjang ke depan.

Namun sekali orang yang menghadang itu memberi aba-aba, serentak kedua harimau di sampingnya menubruk maju. Karena kaget dan takut, kuda si jangkung berjingkrak berdiri. Tetapi agaknya si jangkung sangat menguasai kuda tunggangannya.

“Srett!”

Sambil tetap menempel di atas pelana, kedua tangannya mengeluarkan senjatanya yang berbentuk sepasang tombak pendek dan menikam ke arah kedua ekor harimau. Harimau yang sebelah kiri cepat melompat ke pinggir, sedangkan cakar harimau sebelah kanan sempat merobek perut kuda si jangkung, tetapi binatang buasnya itu pun meraung keras, rupanya juga terluka oleh tikaman tombak. Segera si jangkung melompat turun kemudian membentak:

“Hayo keluarkan senjatamu!” dia pasang kuda-kuda dan siap tempur.

Orang di depan sana menjengek: “Hmm, kau berani melukai kucing piaraanku, andaikan kini mau mengitar hutan juga tidak dapat kuijinkan lagi. Bu-siang-kui (setan gentayangan), tinggalkan saja tombakmu!”

Seketika si jangkung melengak karena julukannya dengan tepat disebut lawan, jawabnya:

“Siapakah kau? Selama ini Ban-siu-san-ceng berada di Se-keng, kenapa sekarang pindah ke sini? Kau ingin kutinggalkan tombakku, hah, memangnya gampang?”



“Kediaman Ban-siu-san-ceng memang berada di Se-keng, tetapi kalau kami ingin pindah tempat tidak perlu lapor dulu kepada kawanan setan macam kalian?” ujar orang itu. “Bahwa Toako kami menyuruh kalian lewat mengitar hutan sudah cukup ramah, soalnya Samko kami sedang sakit dan tidak suka diganggu orang, kau tahu tidak?”

Berkata sampai di sini, mendadak tangan kirinya meraih ke depan, gagang tombak yang dekat dengan ujung tombak si Bu-siang-kui kena dipegang olehnya. Sama sekali Bu-siang-kui tidak menyangka gerakan tangan lawan sedemikian cepatnya. Cepat dia menarik sekuatnya, namun orang itu pun membetot dan ditekuk.

“Pletakk!”

Terdengar suara dua kali, sepasang tombak pendek itu patah semua, padahal tombak terbuat dari besi, karena tenaga kedua orang sama kerasnya tombak itu tak dapat menahan tenaga tarikan mereka dan akhirnya patah. Kejadian ini membuat Gerombolan Setan Se-san melengak. Si kakek jenggot panjang yang berjuluk ‘Setan jengot panjang’ lantas berkata:

“Rupanya saudara ini Pat-jiu-sian-kau (Kera sakti bertangan delapan). Apakah Kim-kah-say-ong (raja singa bersisik emas) kurang sehat? Saat ini kami ada urusan lain, biarlah kita bertemu lagi di sini besok pada saat yang sama.”

Kiranya Ban-siu-san-ceng itu dipimpin oleh lima bersaudara. Toako atau kakak tertua Pek-hia-san-kun (raja gunung dahi putih) Su Pek-wi, Jiko atau kakak kedua Koan-kian-cu (si bumbung perak) Su Tiong-beng, Samko (kakak ke tiga) Kim-kah-say-ong Su Siok-kang, Suko (kakak ke empat) Tay-lik-sin (malaikat bertenaga raksasa) Su Ki-kiang dan saudara yang terkecil Pat-jiu-sian-kau Su Beng-ciat ini. Turun temurun keluarga Bu itu hidup sebagai penjinak binatang. Sampai di tangan kelima bersaudara ini bahkan kepandaian mereka bertambah maju, bukan saja cara menjinakkan binatang jadi lebih lihay, bahkan dari gerak-gerik setiap binatang buas yang mereka lihat setiap hari itu dipelajari dan dipahami menjadi gerakan ilmu silat yang khas, jadi binatang-binatang buas seakan-akan menjadi guru kelima bersaudara itu sehingga jadilah mereka memiliki ilmu silat yang tinggi.

Waktu Su Siok-kang, yaitu kakak ke tiga yang berjuluk Kim-kah-say-ong berumur 20-an, suatu hari ketika sedang berburu, secara kebetulan dia bertemu dengan orang kosen dan berhasil meyakinkan Iwekang tingkat tinggi. Kemudian, sepulangnya di rumah ia segera mengajarkan Iwekang itu kepada saudaranya. Begitulah semakin banyak mereka memiara binatang buas semakin tinggi ilmu silat yang mereka yakinkan. Nama Ban-siu-san-ceng juga mulai terkenal di dunia Kanguow, maka orang Bu-lim memberikan julukan kepada kelima bersaudara itu sebagai ‘Hou-pa-say-jio-kau’ (harimau, macan tutul, singa, gajah dan kera). Di antara mereka berlima Kim-kah-say-ong. si singa berbaju emas, terkenal paling lihay.

Maka Tiang-si-kui merasa lega demi mendengar Su Siok-kang sedang sakit. Betapa pun lihaynya musuh, kawanan ‘Setan’ mereka juga tak gentar, apa lagi sekarang pihak lawan berkurang tokoh utamanya, maka dia lantas menetapkan malam besok untuk pertarungan yang menentukan.


BAN-SIU-SAN-CENG ( Perkampungan Berlaksa Binatang )

“Baik,” segera Pat-jiu-sian-kau Su Beng-ciat menjawab. “Besok malam kami bersaudara akan menunggu kalian di sini.”

Habis berkata, sekali tangan bergerak...

“PIok! Plok!”

Kedua potong tombak patah yang dirampasnya tadi menyambar dan menancap di batang pohon di sebelah Tiang-si-kui. Diam-diam Tiang Si-kui terkesiap. Ia merasa amat heran mengapa pihak lawan tetap tidak memperbolehkan mereka lewat menerobos hutan. Ada pekerjaan apa kelima saudara Su itu di sini? Segera ia memberi salam:

“Baiklah kami mohon diri!”

Kedua kakinya mengempit kencang, segera ia melarikan kudanya ke depan. “He, tunggu dulu!” kembali Su Beng-ciat berteriak mencegah, “Tadi Toako kami menyuruh kalian lewat mengitar hutan. Apakah kalian tidak berkuping atau memang tuli?”

Tiang-si-kui menahan kudanya dan baru saja ia mau menjawab, terdengar di kanan kiri depan sana dua orang tertawa terbahak-bahak, menyusul asap tebal mengepul dan terdengar dua orang berteriak berbareng.

“Main gila apa di dalam hutan? Mana Gerombolan Setan Se-san dapat dikelabui?”

Rupanya secara diam-diam Song-bun-kui dan Siau-bin-kui, ‘setan sialan’ dan ‘setan muka ketawa’, yaitu setan ke-8 dan ke-10 menurut urut-an mereka, telah memutar ke belakang sana untuk menyalakan api ketika Su Beng-ciat sedang bicara dengan Tiang-si-kui. Tapi baru saja api mulai berkobar, menyusul terdengar Song-bun-kui dan Siau-bin-kui menjerit kaget dan berlari kembali seperti memergoki sesuatu makhluk yang mengerikan.

“Ada apa?” tanya Tiang-si-kui.

“Macan! Harimau! Ada seratus, dua ratus ekor...” seru Song-bun-kui.

Su Beng-ciat kelihatan sangat murka melihat api mulai menjilat pepohonan, dia berteriak sekerasnya:

“Toako, Jiko, yang penting padamkan api dulu, biarkan gerombolan setan ini pergi saja, masa kelak kita tak dapat menemukan mereka?”

Pada saat itu pula se-konyong pandangan semua orang serasa bureng, seekor binatang sebesar anjing kecil mendadak menerobos keluar dari hutan dan sekejap saja kabur ke sana. Tubuh binatang itu tidak besar, namun keempat kakinya sangat panjang. Warna bulunya putih mulus, hanya bagian ekor saja berwarna hitam, bentuknya mirip kucing dan memper anjing.

“Hmm, Kiu-bwe-leng-hou kabur!” seru Su Beng-ciat dan segera dia mengudak ke sana. Suara teriakannya penuh mengunjuk rasa kaget, cemas dan kuatir.

Mendadak terdengar suara raungan yang keras di dalam hutan, suara raungan yang menyerupai raungan harimau dan mirip pula auman singa, malahan seperti suara teriakan orang namun suara manusia seyogianya tidak sekeras dan senyaring itu. Mendengar suara raungan itu, Kwe Siang rada merinding. Setelah terdengar suara raungan itu, serentak be-ratus binatang buas mengaum di segenap penjuru, suara singa, harimau, macan tutul, serigala, gajah, kera, gorilla dan entah binatang buas apa lagi karena sulit dibedakan. Menyusul terdengarlah suara gemuruh, be-ratus bahkan beribu-ribu binatang buas itu berbondong-bondong lari keluar hutan. Seseorang lantas berseru:

“Toako ke sebelah timur, Jiko sebelah barat, Site (adik keempat) ke tenggara...” jelas ada suara orang ini sama dengan suara raungan tadi.

Sekilas Kwe Siang melihat beberapa sosok bayangan orang berkelebat keluar hutan lebat itu. Walau pun tahu bahaya tetapi ia tak dapat menahan rasa ingin tahunya. Cepat ia pun melarikan kudanya menyusul keluar hutan. Cepat si cebol kepala besar yang berjuluk Toa-thau-kui (setan kepala besar) itu berteriak:

“He, nona Kwe, jangan pergi!” Segera ia pun mengeprak kudanya menyusul.

Begitu berada di luar hutan, seketika Kwe Siang menyaksikan pemandangan yang aneh. Dilihatnya lima orang memimpin segerombolan binatang sedang mengurung bagian tengah di tanah datar yang berselimutkan salju. Tampaknya kawanan binatang buas itu sudah sangat terlatih, mereka tidak saling cakar dan bertengkar sendiri, tetapi ke sana kemari, cara lari mereka sangat teratur. Kwe Siang merasa takut tetapi juga sangat tertarik untuk menonton. Dilihatnya lingkaran kelima barisan binatang buas itu makin menciut sehingga di tengah-tengah kelihatan sebuah bundaran. Tapi tiba-tiba sesosok bayangan putih berkelebat, binatang kecil yang menyerupai anjing tadi lari menerobos keluar dari kepungan binatang buas, secepat angin binatang kecil itu melayang lewat di depan Kwe Siang.

“Kiu-bwe-leng-hou! Di sana, dia lari ke sana!” terdengar kelima bersaudara she Su itu ber-teriak-teriak, menyusul gerombolan binatang buas itu lantas menerjang seperti gugur gunung dahsyatnya.

Cepat Kwe Siang menarik kudanya menyingkir ke pinggir, tapi kuda itu menjadi ketakutan melihat binatang buas sebanyak itu, saking takutnya kaki lemas lantas jatuh mendeprok. Keruan Kwe Siang terkejut sekali. Kalau gerombolan binatang itu menerjang ke arahnya, tentu tubuhnya akan ter-injak hancur lebur. Lekas-lekas dia melompat turun dari pelana kudanya kemudian berlari ke samping sana. Terendus olehnya bau yang amat amis, kawanan binatang buas itu terus mengalir lewat di sebelahnya laksana air bah dan sejenak saja sudah menjauh. Sementara itu Gerombolan Setan Se-san juga berada di luar hutan. Si kakek jenggot panjang berkata:

“Betapa pun tinggi kepandaian keluarga Su kita tidak gentar, hanya kawanan binatang itulah yang sukar dihalau. Malam ini kita tidak perlu cari perkara, kita harus menjaga tenaga menghadapi Sin-tiau-hiap. Mari kita berangkat!”

Si nenek juga berkata: “Ya, malam ini kita bunuh Sin-tiau-hiap, besok kita pesta panggang daging harimau dan singa!” dia terus menarik kudanya dan hendak meneruskan perjalanan dengan mengitari hutan.

Pada saat itulah mendadak suara raungan binatang buas terdengar bergemuruh lagi, gerombolan binatang itu datang lagi dari berbagai arah. Sekali ini suara raungan binatang tidak begitu buas, larinya juga tidak cepat. Namun Tiang-si-kui menjadi kuatir, katanya:

“CeIaka! Lekas kita pergi!”

Namun sudah terlambat, di sekeliling mereka sudah terkepung. Cepat Tiang-si-kui bersuit, sepuluh orang lantas melompat turun dan berdiri pada lima sudut dengan senjata terhunus menanti serangan musuh.

“Nona Kwe,” kata Toa-thau-kui, si setan kepala besar. “Lekas pulang saja kau, tidak perlu ikut menyerempet bahaya di sini.”

“Tapi mana Sin-tiau-hiap? Kau sudah berjanji akan membawaku menemuinya,” kata Kwe Siang.

“Apakah kau tidak dapat melihat binatang buas sebanyak ini?” ujar Toa-thau-kui dengan mengernyitkan kening.

“Bicaralah secara baik-baik dengan majikan gerombolan binatang itu, katakan kalian ada janji dengan Sin-tiau-hiap dan tiada waktu,” ujar Kwe Siang.

“Hmm, Gerombolan Setan Se-san tidak pernah bicara baik-baik dengan siapa pun juga,” kata Toa-thau-kui.

Tengah bicara, kelima bersaudara Su sudah muncul di sana, mereka semua memakai jubah kulit binatang. Sesudah berhadapan dengan Gerombolan Setan, tetap Su Beng-ciat yang menjadi juru bicara, katanya:

“Selamanya Ban-siu-san-ceng tidak pernah bermusuhan dengan Kawanan Setan, mengapa kalian membakar hutan dan menghalau lari Kiu-bwe-leng-hou (rase cerdik berekor sembilan)?”

Dari nada ucapan orang, Kwe Siang merasakan orang she Su itu amat marah dan gemas sekali. Pikirnya: “Walau pun binatang kecil tadi sangat menyenangkan, tetapi tampaknya juga tiada sesuatu yang istimewa, kenapa mesti marah-marah begitu rupa? Jelas binatang itu cuma punya sebuah ekor, mengapa disebut rase berekor sembilan?”

Maka terdengar perempuan yang berpakaian serba merah dari pihak Gerombolan Setan menjawab:

“Peristiwa ini awal mulanya adalah gara-gara tindakan kalian sendiri. Selamanya Ban-siu-san-ceng berdiam di wilayah Sa-keng, mengapa sekarang tiba-tiba saja muncul di daerah Soasay sini dan di tengah malam buta melarang orang lain lewat di jalan umum ini? Sikap kalian yang semena-mena ini masa kalian malah menyalahkan pihak lain?”

“Persoalan sekarang ini tidak perlu dibicarakan, pokoknya tidak ada seorang pun di antara kalian yang dapat hidup lagi!” mendadak Pek-hia-san-kun Su Pek-wi membentak.

Sekali mengaum murka, dengan bertangan kosong dia terus menubruk ke arah Tiang-si-kui, kedua telapak tangannya tergenggam laksana cakar harimau segera mencengkeram begitu hebat dan dahsyat, sekali pun harimau benar-benar juga tidak seganas itu. Cepat Tiang-si-kui melangkah mundur terus menggeser.

“Serrr...!” senjatanya yang panjang menyapu pinggang lawan.

Tanpa menghindar, cakar harimau Su Pek-wi mencengkeram ujung senjata lawan. Tapi senjata Tiang-si-kui itu kiranya adalah sebatang tongkat baja yang besar dan berat, belum lagi cengkeraman Su Pek-wi mengencang, mendadak tangan terasa panas. Cepat ia lepaskan kembali tangannya sambil disampuk ke samping. Untung dia dapat bergerak dengan cepat sehingga dadanya terhindar dari sodokan tongkat. Diam-diam Su Pek-wi terkesiap. Sekarang barulah dia tahu Gerombolan Setan Se-san itu memang bukan orang sembarangan, pantas nama mereka akhir-akhir ini semakin menanjak. Dia tidak berani gegabah lagi.

“Crengg...!”

Segera ia pun mengeluarkan senjatanya, Hoa-thau-kau (kaitan dengan ujung berukir kepala harimau). Sepasang kaitan baja itu beratnya 30 kati dan merupakan senjata yang tajam dan lihay. Demikianlah dua larik sinar kuning berkelebat, kaitan itu lantas menempur sengit tongkat baja si setan jenggot panjang.

Dalam pada itu, Koan-kian-cu Su Tiong-beng dengan senjatanya sepasang bumbung atau pipa perak sudah melabrak Jui-beng-kui, setan pencabut nyawa yang bersenjatakan golok, juga menerjang tombak si Song-bun-kui. Ada pun Tay-lik-sin Su Ki-kiang menempur Tiau-si-kui (setan gantung) yaitu si nenek yang bersenjatakan seutas tali panjang lagi lemas sehingga sukar diraba. Ia hanya meraung murka saja karena sukar mengembangkan tenaga raksasa yang dimilikinya.

Di sebelah sana Pat-jiu-sian-kau Su Beng-ciat juga sedang menghadapi Toa-thau-kui, si setan kepala besar dengan senjatanya yang berwujud godam persegi delapan. Su Beng-ciat bersenjata sepasang Boan-koan-pit, potlot baja berujung runcing, serangannya hebat tenaganya kuat. Toa-thau-kui rada kewalahan, maka cepat Siau-yau-kui, si setan cantik, perempuan berbaju serba merah, segera menubruk maju membantu dengan senjata golok.

Di tanah salju itu terjadilah pertarungan yang sengit, sepuluh orang terbagi menjadi empat. Bunga salju bertebaran. namun pertempuran belum dapat menentukan kalah dan menang. Di pihak Gerombolan Setan masih ada empat orang belum ikut turun tangan, sebaliknya di pihak lawan hanya Kim-kah-say-ong saja yang belum bergerak. Terlihat dia bersandar pada tubuh seekor singa jantan, tampaknya menderita sesuatu penyakit hingga tubuhnya lemas lunglai.

Melihat keadaan pertarungan ini, jelas pihak Gerombolan Setan lebih diuntungkan karena berjumlah lebih banyak, tetapi kalau Su bersaudara itu berseru memberi komando, maka seketika kawanan binatang buas pasti akan menerjang dan Gerombolan Setan pasti akan celaka. Siau-bin-kui, si setan muka tertawa juga merasa kebat-kebit bila menyaksikan kawanan binatang buas yang siap menunggu perintah itu. Dia pikir nanti harus menggunakan kabut racun untuk merobohkan sebagian binatang itu baru dapat menerjang keluar kepungan.

Sementara itu pertarungan sengit sudah berlangsung sekian lamanya, Tiau-si-kui dan Su Pek-wi sama kuatnya. Si nenek Tiau-si-kui mainkan talinya yang panjang itu dengan cara yang aneh dan ujung tali selalu berubah menjadi lingkaran jiratan, kalau Su Ki-kiang meleng, mungkin lehernya bisa terjirat. Tapi karena dia memiliki tenaga raksasa, mau tak mau Tiau-si-kui juga rada jeri. Toa-thau-kui dan Siau-yau-kui bahu-membahu menghadapi Su Beng-ciat. Mereka dapat bekerja sama dengan baik, namun gerak serangan Su Beng-ciat cepat lagi aneh. Mereka terus berputar, terdengar suara Toa-thau-kui mengguruh-guruh, sedangkan si setan cantik tertawa ngikik, tujuan mereka memencarkan perhatian musuh, tetapi Su Beng-ciat anggap tidak mendengar dan terus menempur dengan sengit.

Di sebelah sana Jui-beng-kui dan Song-bun-kui ternyata tidak sanggup menandingi pipa perak Su Tiong-beng. Pipa perak yang dipergunakan sebagai senjata itu lebih pendek dari pada toya dan kosong bagian tengah, gaya serangannya juga aneh. Suatu ketika Song-bun-kui menusuk dengan tombaknya, akan tetapi Su Tiong-beng justru mengincar ujung tombak lawan dan pipanya ditusukkan ke depan. Pipa itu terus saja menyelongsong ke bawah sehingga gagang tombak terkunci di dalam pipa. Keruan Song-bun-kui terkejut dan cepat menarik tombak kirinya, tombak terus diputar untuk menjaga diri.

Melihat kawannya terancam bahaya, cepat To-ceh-kui, si setan penagih utang, menubruk membantu. Senjatanya yang berbentuk sepotong pelat besi segera memotong ke arah pipa Su Tiong-beng. Kiranya senjata To-ceh-kui itu terdiri dari lima potong pelat besi sehingga berbentuk buku utang-piutang sesuai namanya sebagai tukang tagih utang. Tepi pelat besi itu tajam merupakan senjata aneh dan lihay.

Sebenarnya GeromboIan Setan Se-san itu masing-masing mempunyai nama asli sendiri-sendiri, tetapi sejak nama ‘Gerombolan Setan Se-san’ terkenal di dunia Kangouw, mereka lantas membuang nama aslinya masing-masing dan menggunakan julukan Setan sebagai tanda pengenal. Apa lagi tindak tanduk dan bentuk tubuh serta wajah mereka bersepuIuh memang juga aneh dan ber-beda. Misalnya si To-ceh-kui, setan penagih utang, dia mempergunakan senjata lima helai pelat besi sehingga menyerupai buku utang piutang, dia memang sangat pendendam, sakit hati sekecil apa pun pasti akan dituntut-balasnya, tiada seorang pun dapat lolos jika pernah menyakiti hatinya. Sebab itulah dia diberi julukan setan tukang tagih utang.

Tetapi dia malah senang dengan nama poyokan itu. Senjata pelat besi diubahnya menjadi seperti halaman buku, tipis dengan tepinya yang sangat tajam, bahkan pelat besi itu diukir nama-nama musuhnya dengan kesalahannya, bila sakit hati itu sudah dibereskan barulah nama musuh itu dicoret. Pipa perak adalah senjata aneh, namun buku besi itu lebih aneh, lima halaman besi itu saling bergesek dan mengeluarkan suara nyaring. Sesudah setan itu menempur Su Tiong-beng dengan bertiga, barulah keadaan rada mendingan.

Kwe Siang mengikuti pertempuran itu dari pinggiran. Dilihatnya cuaca mulai remang-remang, fajar sudah hampir tiba, tapi pertarungan masih berlangsung dengan sengitnya. Dia pikir janji pertemuan kesepuluh setan itu dengan Sin-tiau-hiap sudah lewat waktunya, mungkin tidak sabar menunggu dan pendekar sakti itu sudah pergi sendiri. Dia menjadi gelisah dan kecewa karena maksudnya melihat Sin-tiau-hiap tak tersampai, untuk melerai pertempuran orang-orang itu pun dia tidak mampu. Dilihatnya kawanan binatang buas itu semua mendekam di tanah berbentuk satu lingkaran yang rapat, seumpama Gerombolan Setan itu mampu membinasakan kelima saudara Su juga sukar menerjang keluar kepungan kawanan binatang buas itu.

Keadaan demikian juga disadari oleh GeromboIan Setan itu. Maka si nenek, yaitu si setan gantung, berhasrat menangkap Tay-lik-sin Su Ki-kiang dengan tali jiratannya yang panjang. Asalkan lawan dapat ditawan tentu bisa digunakan sebagai sandera untuk memaksa Su-si-hengte (saudara keluarga Su) membubarkan kepungan binatang buasnya. Namun kepandaian Su Ki-kiang sendiri lebih tinggi dari pada Tiau-si-kui si setan gantung, hanya saja senjata tali memang aneh dan sukar dilayani, makanya kedudukan mereka menjadi sama kuat, tapi untuk menangkapnya jelas tidaklah mudah.

Siau-bin-kui, si setan muka tertawa tahu keadaan sangat berbahaya, dia pikir tiada jalan lain terpaksa harus menggunakan akal licik. Segera dia berseru:

“Jici, biar kubantu kau!” Segera dia melolos senjatanya dan menerjang ke arah Su Ki-kiang.

Su Ki-kiang tidak gentar ketambahan seorang lawan. “Bagus!” serunya menyambut terjangan musuh, berbareng itu senjata gada bajanya mengepruk kepala orang. Cepat Siau-bin-kui mengegos sambil menangkis dengan sepasang ruyung.

“Prak! Krek!”

Senjata saling beradu dan kedua ruyung patah seketika, tetapi dari bagian yang patah itu mengepul asap putih kemerahan. Su Ki-kiang melengak, langkahnya rada sempoyongan terus roboh terjungkal. Tanpa ayal tali jirat si setan gantung dilempar ke depan dan tepat menjirat kedua kaki musuh. Kiranya gagang ruyung Siau-bin-kui itu kopong dan tersimpan bubuk racun, pada gagang ruyungnya terpasang pesawat rahasia, sekali ditekan segera bubuk racun tersembur mencelakai musuh. Tapi tenaga Su Ki-kiang teramat besar, dengan sekali hantam dia patahkan ruyung lawan. Meski pun senjatanya patah tetapi Siau-bin-kui dan Tiau-si-kui berhasil menawan Su Ki-kiang.

“Heii! Apa-apaan kalian ini?! Merobohkan lawan dengan cara licik, terhitung orang gagah macam apa?” seru Kwe Siang.

Melihat saudaranya tertawan musuh, Su Pek-wi, Su Tiong-beng dan Su Beng-ciat sangat terkejut dan murka, tapi apa daya, mereka sendiri terlibat dalam pertempuran dan sukar memberi bantuan.

Kwe Siang sendiri sebenarnya tidak membela mana pun, cuma dilihatnya cara Siau-bian-kui merobohkan Su Ki-kiang itu kurang ‘sportif’, maka dia berseru mencelanya. Pada saat itu juga mendadak terdengar suara raungan di sebelah sana. Tampaklah Kim-kah-say-ong Su Siok-kang bangkit perlahan, kemudian membentak dengan suara berat:

“Lepaskan saudaraku!”

Su Ki-kiang tidak sadarkan diri. Tiau-si-kui segera meringkusnya dengan tali, bahkan menambahkan beberapa kali totokan pada Hiat-to yang penting agar tidak dapat berkutik bila nanti sudah siuman. Dia menjawab:

“Silakan kau menyingkirkan kawanan binatang ini dan memberi jalan, maka segera kami membebaskan saudaramu.”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar