Selasa, 12 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 163

Kiranya nyonya cantik ini bukan lain dari pada Kwe Hu, ada pun anak dara itu adalah Kwe Siang, sedangkan pemuda itu adalah adik kembar Kwe Siang, Kwe Boh-lo. Tiga kakak beradik ini disuruh ayah-bundanya pergi ke Cin-yang untuk mengundang Khu Ju-ki, tokoh tertinggi Coan-cin-kau pada masa itu, untuk memimpin Eng-hiong-tay-hwe (pertemuan besar para pahlawan) yang hendak diadakan di Siang-yang. Hari itu mereka baru pulang dari Cin-yang, setiba di tempat penyeberangan mereka pun terhalang oleh cuaca yang buruk lantas masuk ke hotel ini sehingga dapat mendengarkan cerita orang-orang tadi mengenai Sin-tiau-hiap, si pendekar sakti rajawali alias Yo Ko.

Dengan cepat 16 tahun telah berlalu. Sementara itu Kwe Hu sudah menikah dengan Yalu Ce, Kwe Siang dan Kwe Boh-lo juga sudah besar. Kwe Siang berseri-seri mendengar ucapan Kwe Hu tadi. Ia bergumam sendiri:

“Begitu aku lahir sudah pernah dipondong olehnya,” lalu ia berpaling dan bertanya kepada sang Toaci: “Cici bilang waktu kecilnya Sin-tiau-hiap pernah tinggal di Tho-hoa-to, mengapa hal ini belum pernah kudengar dari ayah dan ibu?”

“Kau tahu apa?” sahut Kwe Hu. “Masih banyak soal lain yang tidak diceritakan kepadamu oleh ayah ibu.”

Kiranya tentang buntungnya lengan kanan Yo Ko serta keracunannya Siao-liong-li, karena semua itu akibat tindakan Kwe Hu yang ceroboh, setiap kali kejadian itu disinggung selalu menimbulkan amarah Kwe Ceng, meski Kwe Hu sudah dewasa dan sudah menikah, tetap Kwe Ceng mendamperatnya tanpa kenal ampun. Karena itu setiap anggota keluarga tidak suka menyinggung lagi selama beberapa tahun ini sehingga Kwe Siang dan Kwe Boh-lo tidak pernah mendengar orang bercerita kisah si Yo Ko.

“Kalau begitu, dia mempunyai hubungan erat dengan keluarga kita, mengapa selama ini dia tidak pernah datang ke rumah kita?” kata Kwe Siang. “Ah, pada Eng-hiong-tay-hwe yang akan diadakan di Siang-yang tangggal 15 bulan tiga nanti Sin-tiau-hiap pasti akan hadir.”

“Tindak tanduk orang itu sangat aneh dan wataknya juga angkuh sekali, belum tentu dia mau datang,” ujar Kwe Hu.

“Cici, kita harus berusaha mencari jalan untuk menyampaikan kartu undangan padanya,” kata Kwe Siang. Lalu dia berpaling kepada lelaki kekar tadi: “Song-toasiok, dapatkah kau menyampaikan surat kepada Sin-tiau-hiap?”

Orang she Song itu menggeleng dan menjawab: “Sin-tiau-hiap menjelajahi seluruh jagat, jejaknya sukar diketemukan, untuk mencarinya tidaklah mudah.”

Kwe Siang sangat kecewa. Dia benar-benar sangat tertarik oleh kisah keluhuran budi dan kepahlawanan Sin-tiau-hiap, sungguh ia ingin bisa bertemu dengan pendekar rajawali sakti itu. Dia merasa gegetun bahwa Sin-tiau-hiap yang dikaguminya itu tidak dapat hadir pada Eng-hiong-tay-hwe nanti. Katanya kemudian sambil menghela napas:

“Aihh... orang yang hadir nanti belum tentu semuanya ksatria sejati, sebaliknya ksatria sejati belum tentu mau hadir ke sana.”

“Blukk!”

Mendadak terdengar suara gedebuk yang keras, seseorang mendadak melompat berdiri dari pojok ruangan sana, rupanya orang yang sejak tadi tidur meringkuk itulah. Segera semua orang merasa ada suara gemuruh laksana bunyi guruh, kiranya orang itu sedang berkata.

“Apa sulitnya jika nona ingin menemui Sin-tiau-hiap? Biarlah malam ini juga akan kubawa kau untuk menjumpai beliau.”

Semua orang kaget oleh suara orang yang gemuruh keras itu, apa lagi setelah melihat jelas bentuk tubuh dan wajahnya, semua orang tampak heran. Kiranya perawakan orang itu tidak lebih dari satu meter saja, tubuhnya juga kurus kecil tetapi kepalanya amat besar, telapak tangannya serta telapak kakinya ternyata jauh lebih besar dari pada orang biasa. Sejak tadi ia meringkuk di pojok ruangan sehingga tidak diperhatikan oleh siapa pun. Siapa tahu begitu dia berdiri ternyata bentuknya begini aneh dan lucu. Dengan girang Kwe Siang menanggapi ajakan orang aneh itu:

“Bagus jika engkau mau membawaku ke sana. Cuma selamanya aku tidak kenal Sin-tiau-hiap, entah beliau mau menemui aku atau tidak?”

“Tapi kalau malam nanti kau tidak menemui dia, selanjutnya mungkin kau tak akan dapat melihat dia lagi,” kata orang cebol itu dengan suaranya yang mengguruh.

“Sebab apa?” tanya Kwe Siang heran.

Kwe Hu lantas berdiri dan bertanya pada si cebol: “Mohon tanya, siapakah namamu yang terhormat?”

“He-he-he-he!” orang pendek itu terkekeh-kekeh, katanya: “Orang buruk rupa macamku ini masakah di dunia ini ada keduanya? Kalau kau tidak kenal diriku, pulang saja tanyakan kepada ayah-ibumu.”

Pada saat itulah sayup-sayup terdengar suara seruan berkumandang dari jauh. “Komplotan setan dari Se-san, sepuluh sudah datang sembilan. Wahai Hong-thian-lui, kau tidak datang sekarang, mau tunggu sampai kapan?”

Suara sayup itu seperti terputus, lalu bersambung pula, lirih dan seram kedengarannya, tapi sekata demi sekata dapat terdengar dengan jelas.


PETUALANGAN KWE-SIANG

Si cebol melongo sejenak, tiba-tiba ia menggertak keras, debu pasir lantas berhamburan disertai percikan pecahan batu dan genting. Semua orang memejamkan mata dan waktu membuka mata lagi ternyata si cebol sudah menghilang entah ke mana. Semua orang terkejut, waktu menengadah, tampak atap rumah berlubang besar. Kiranya orang cebol itu menerjang keluar dengan kepala menjebol atap.

“Lihay benar orang itu, cici,” kata Kwe Boh-lo.

Kwe Hu sudah cukup berpengalaman dan banyak tokoh persilatan yang dikenalnya, tetapi betapa lihay kepala si cebol ini belum pernah dia dengar dari ayah-ibunya. Seketika ia pun melenggong dan tak dapat menanggapi ucapan adiknya itu. Kwe Siang lantas nyeletuk:

“Di antara guru yang pernah mengajar ayah juga ada seorang pendek bernama Ma-ong-sin Han Pok-ki. Samte sembarangan menyebut orang sebagai si cebol, kalau didengar ayah tentu beliau akan marah. Kau harus menyebutnya Locianpwe.”

Belum lagi Kwe Boh-lo menjawab, tiba-tiba.

“Blangg...!”



Terdengar suara yang keras, seketika debu pasir kembali bertebaran, malahan muka beberapa orang terkena cipratan batu kerikil sehingga menjerit kesakitan. Di tengah suara ribut itulah tahu-tahu terlihat si cebol tadi sudah berdiri kembali di tengah ruangan, dinding sebelah timur bobol sebuah lubang setinggi satu meteran dan lebarnya lebih dari setengah meter. Kiranya orang cebol ini tadi menerjang masuk dengan menjebol dinding.

Ilmu silat Kwe Hu sekarang sudah tentu jauh lebih tinggi dibandingkan belasan tahun yang lalu, tetapi tidak urung ia pun terkejut melihat kelihayan Nge-kang (kekuatan luar) si cebol. Cepat ia melompat maju menghadang di depan kedua adiknya untuk menjaga kalau-kalau si cebol mendadak menyerang. Orang cebol itu menjulurkan kepalanya yang sebesar gentong dan melongok ke belakang Kwe Hu, katanya kepada Kwe Siang:

“Eh, nona cilik, kalau kau ingin bertemu dengan Sin-tiau-hiap, mari ikut denganku.”

“Baiklah!” jawab Kwe Siang tanpa pikir, “Hayo Toaci dan Samte, kita pergi bersama.”

“Ah, untuk apa menemui dia? Kau jangan pergi, apa lagi kita belum pernah kenal tuan ini,” ujar Kwe Hu.

“Aku pergi sebentar dan segera kembali, kalian tunggu saja di sini,” kata Kwe Siang.

Mendadak orang she Song tadi bangkit dan berseru: “Nona cilik, sekali-kali kau jangan pergi. Orang ini... orang ini adalah tokoh gerombolan setan dari Se-san, apa bila kau ikut pergi, besar... besar kemungkinan akan celaka!”

“He-he-he-he..., kau juga tahu gerombolan setan dari Se-san?” Si cebol mengekek tawa, “Maksudmu kami adalah orang jahat?”

Habis itu sebelah tangannya tiba-tiba menyodok ke depan. Belum tangannya menyentuh tubuh Song Ngo, tahu-tahu tubuh Song Ngo sudah tergetar mundur kemudian menumbuk dinding, seketika mukanya pucat, kedua kakinya lemas dan terkulai ke lantai, kepalanya bergelantungan lemas di depan dada, entah sudah mati atau masih hidup. Kwe Hu menjadi gusar. Walau pun tahu kepandaian si cebol lebih tinggi juga tidak boleh kena digertak hingga diam saja. Segera dia berteriak:

“Engkau silakan pergi saja. Adikku masih kecil, mana boleh mengikuti kau kian kemari di tengah malam buta?”

Pada saat itu pula suara sayup ter-putus tadi sudah berkumandang lagi: “Gerombolan setan dari Se-san sepuluh sudah datang sembilan, Hong-thian-lui... wahai Hong-thian-lui, arwahmu tidak muncul, orang sudah Iama menunggu!”

Suara itu kedengaran sangat jauh, tiba-tiba seperti sangat dekat dan mengiang di kanan-kiri sehingga membuat merinding orang. Kwe Siang sudah bertekad harus bertemu dengan Sin-tiau-hiap sekali pun nanti dia akan kepergok setan iblis, maka segera dia menjawab:

“Baiklah, Cianpwe, bawalah aku!”

Berbareng dia terus melompat ke sana dan menerobos keluar melalui lubang dinding yang dibobol si cebol tadi.

“He, kau!” seru Kwe Hu meraih tangan sang adik, tetapi luput. Maka dia pun cepat melompat ke sana hendak mengejar keluar melalui lubang dinding.

Siapa tahu baru saja tubuhnya hendak menerobos keluar, tiba-tiba lubang dinding itu menghilang. Untung kepandaian Kwe Hu sekarang sudah cukup sempurna sehingga bisa mengendalikan tubuh sendiri sesuka hati. Cepat ia anjlok ke bawah sehingga seketika itu pula daya terobosnya dihentikan. Begitu kakinya menyentuh lantai, ternyata tubuhnya tepat berdiri di depan dinding, jaraknya cuma belasan senti saja. Waktu dia dapat melihat jelas, hampir saja dia menjerit kaget. Ternyata tubuh si cebol tadi dengan tepat terisi pada lubang dinding itu, kepalanya yang besar dan bahunya yang lebar itu persis seperti dicetak pada dinding.

Kwe Hu berdiri berhadapan dengan makhluk aneh bermuka buruk itu, malah tadi mukanya hampir mencium muka si cebol, keruan saja dia terkejut, cepat dia melompat mundur. Segera terasa angin dingin meniup, dinding itu kembali berlubang bentuk tubuh manusia cebol lagi, tapi si cebol sendiri sudah menghilang.

“Ji-moay, kembali!” seru Kwe Hu sambil menerobos keluar. Didengarnya suara tertawa keras di kejauhan, mana ada bayangan si Kwe Siang?

Rupanya sesudah si cebol menggertak mundur Kwe Hu, segera dia melompat keluar dan mendekati Kwe Siang, katanya:

“Bagus, nona cilik sungguh pemberani!”

Segera dia pegang tangan Kwe Siang kemudian diajak melompat ke depan, sekali lompat dua-tiga meter jauhnya. Jangan disangka orang cebol itu kakinya cekak maka tidak dapat melompat. Lompatannya ternyata sangat jauh dan cepat lagi, yang dia gunakan ternyata adalah Ginkang yang lain dari pada yang lain. Seperti katak saja dia terus melompat-lompat ke depan, walau pun membawa serta Kwe Siang namun gerak-geriknya sangat lincah dan enteng.

Tangan Kwe Siang yang digenggam oleh si cebol itu rasanya seperti dijepit oleh tanggem sehingga terasa sakit. Hatinya menjadi berdebar kuatir, entah dirinya hendak dibawa ke mana oleh orang cebol ini? Sejak kecil Kwe Siang langsung mendapat didikan dari Kwe Ceng dan Oey Yong, pada dasarnya anak dara itu pintar dan cerdik. Semula dia masih sanggup mengikuti lompatan orang cebol itu, tapi lama-lama dia menjadi lelah dan perlu ditarik dan diangkat baru dia dapat sama naik dan sama turun dengan si cebol. Sesudah berlompatan beberapa li jauhnya, tiba-tiba dari balik bukit sana ada orang tertawa kemudian berkata dengan suara halus:

“Hai, Hong-thian-lui, mengapa kau datang terlambat? Ehh, malahan kau membawa anak dara secantik ini!”

“Nona cilik ini adalah puteri Kwe Ceng dan Oey Yong. Ia ingin melihat Sin-tiau-hiap, maka aku membawanya kemari,” kata si cebol.

“Puteri Kwe Ceng?” orang tadi menegas dengan melengak.

Dari bukit sana seseorang lagi berkata: “Sekarang sudah lewat tengah malam, lekas berangkat!” Menyusul terdengarlah suara derap kuda berlari yang riuh, dari balik bukit muncul belasan ekor kuda.

Sementara itu salju masih turun dengan sangat lebatnya. Dari pantulan cahaya salju dapatlah Kwe Siang melihat belasan ekor kuda itu seluruhnya ada sembilan penunggang kuda yang berlainan bangun tubuh masing-masing. Ada yang tinggi dan ada yang pendek, ada lelaki dan juga ada perempuan, sebagian besar kuda itu malah tanpa penunggang. Si cebol tadi mendekat ke sana lalu menuntun dua ekor kuda, yang seekor diserahkannya kepada Kwe Siang, dia sendiri menunggang seekor, lalu membentak:

“Hayo berangkat!”

Sekali bersuit, berbondong-bondong belasan ekor kuda itu terus membedal cepat ke arah barat laut. Dari bentuk tubuh kesembilan orang itu Kwe Siang melihat jelas bahwa dua di antaranya adalah perempuan, yang satu kelihatan sudah tua renta, seorang lagi berpakaian merah membara sehingga sangat menyolok di tanah salju yang putih bersih. Wajah ketujuh orang lainnya tidak jelas, hanya perawakan salah seorang di antaranya sangat tinggi dan kurus sehingga mirip tiang bendera terpancang di atas pelana kuda. Rombongan mereka terus mengaburkan kuda dengan cepat. Sesudah belasan li mereka berganti kuda tunggangan agar kuda yang pertama dapat mengaso.

Kwe Siang membatin: “Dari suara sayup yang terdengar tadi katanya gerombolan setan Se-san sepuluh sudah datang sembilan, kini termasuk si cebol tadi jumlah mereka memang sepuluh. Tampaknya mereka inilah yang disebut gerombolan setan dari Se-san. Menurut Song-toasiok tadi, katanya besar bahayanya kalau aku ikut mereka, dan si cebol langsung menghantam paman Song itu hingga sekarat, kelihatannya orang-orang ini amat kejam. Namun orang cebol itu mengatakan hendak membawaku menemui Sin-tiau-hiap, agaknya kata-katanya juga bukan dusta. Kalau mereka kenal Sin-tiau-hiap, kukira mereka pasti bukan orang jahat.”

Dalam sekejap saja belasan li sudah berlalu. Orang yang paling depan tiba-tiba bersuara dan belasan ekor kuda itu serentak berhenti. Orang di depan itu melarikan kudanya ke tempat yang tinggi, lalu memutar balik. Kwe Siang menjadi sangat terkejut dan geli pula melihat wajahnya. Kiranya orang ini juga seorang cebol, tubuh yang berada di atas kuda tidak lebih dari pada setengah meter, tapi jenggotnya yang panjang itu ada satu meteran sehingga melambai ke bawah perut kuda, mukanya berkeriput dengan kedua alis terkerut seperti orang yang selalu bersedih.

“Dari sini ke To-ma-peng tak lebih 30 li saja,” terdengar orang tua itu berkata, “konon ilmu silat Sin-tiau-hiap itu amat tinggi, sebaiknya kita berunding dahulu agar gerombolan setan dari Se-san tidak kehilangan pamor.”

“Silakan Toako memberi petunjuk saja,” ujar si perempuan tua tadi.

“Apakah kita harus bertempur secara bergiliran dengan dia atau kita akan mengerubutnya sekaligus?” tanya orang tua cebol berjenggot panjang itu.

Kwe Siang terkejut sekali. Dari nada pembicaraan orang-orang ini jelas mereka hendak memusuhi Sin-tiau-hiap. Terdengar perempuan tua tadi berkata:

“Sebetulnya Sin-tiau-hiap itu mempunyai kepandaian sejati atau cuma bernama kosong belaka? Jit-te, dalam hal ini hanya kaulah yang pernah berjumpa dengan dia. Coba kau memberi keterangan sekedarnya!”

Seorang laki-laki tinggi besar lantas berkata: “Meski aku pernah melihat dia, tapi aku tidak sampai bergebrak dengannya. Kukira... kukira dia memang rada-rada...”

“Jit-ko,” wanita berpakaian merah turut bicara, “Sebab apa kau sampai bermusuhan dengan Sin-tiau-hiap? Hendaklah kau jelaskan lebih dulu agar nanti kalau bertarung kita sudah mempunyai pegangan.”

“Gerombolan setan dari Se-san selamanya sehidup-semati, kalau Sin-tiau-hiap itu sudah mengeluruk ke sini, apakah kita harus mengkeret dan menyingkir?”

Lelaki yang bertubuh tinggi kurus seperti lidi itu berkata: “Siapa yang bilang menyingkir? Andaikan Kiu-moay (adik kesembilan) tidak tanya, aku pun ingin tahu apa sebabnya kau bermusuhan dengan dia. Soalnya kita kan tidak merasa bersalah, lalu mengapa dia sesumbar hendak mengusir gerombolan setan Se-san keluar wilayah Soasay ini?”

“lni, coba lihatlah, dia sudah memotong sepasang daun telingaku. Kalau sakit hati ini tidak dibalas, lalu persaudaraan apa lagi di antara kita?” teriak laki-laki besar tadi dengan gusar, berbareng dia terus menarik kopiahnya sehingga kelihatan kedua sisi kepalanya halus licin tanpa kuping.

Kesembilan orang yang lain dari ‘Gerombolan setan Se-san’ itu menjadi marah, beberapa di antara mereka lantas mengumpat, ada pula yang berjingkrak murka dan menyatakan hendak melabrak Sin-tiau-hiap dengan mati-matian.

“Jit-ko,” perempuan baju merah berkata, “Sebab apa dia memotong daun telingamu? Apa kesalahanmu? Tentu kau menggoda wanita keluarga baik-baik lagi, bukan?”

Seorang yang berwajah selalu tertawa berkata dengan marah: “Sekali pun Jit-ko memang menggoda wanita keluarga baik-baik juga tidak perlu diurusi orang lain.”

Wajah orang ini sangat aneh, meski sedang marah air mukanya yang tertawa itu tidak menjadi berubah. Waktu Kwe Siang mengamati dengan lebih teliti, kiranya bibir orang itu menjengkit ke atas, sepasang matanya kecil, maka biar pun sedang sedih atau menangis tampaknya sedang tertawa riang. Lelaki tadi menjawab:

“Tidak, tidak! Soalnya waktu itu isteriku cekcok dengan keempat gundikku mengenai urusan tetek-bengek, dari ribut mulut akhirnya saling cakar-cakaran dan main pisau segala. Kebetulan Sin-tiau-hiap lewat, dasar orang itu memang suka ikut campur urusan orang lain, dia lalu berusaha melerai pertengkaran itu. Sungguh brengsek, gundikku yang ketiga tersenyum padanya.”

“O, tahulah aku, Jit-ko lantas cemburu, bukan?” tukas si perempuan baju merah.

“Cemburu bagaimana? Soalnya aku tidak ingin urusan rumah-tanggaku dicampur-tangani orang luar,” kata lelaki itu. “Sekali jotos tiga gigi gundikku kurontokkan, lalu si buntung sialan itu kusuruh enyah.”

Sampai di sini, Kwe Siang tak dapat menahan rasa dongkolnya, segera dia menanggapi:

“He, maksudnya kan baik, mengapa kau malah berlaku kasar padanya? Dalam urusan ini jelas kau yang salah.”

Semua orang berpaling memandang anak dara itu, sama sekali mereka tidak menyangka nona secilik itu berani ikut bicara. Lelaki itu menjadi marah dan membentak.

“Sialan! Kau anak sekecil ini berani menggurui aku? Go-ko, anak dara ini apamu?”

“Dia ingin melihat Sin-tiau-hiap, maka aku hendak membawanya ke sana. Urusan lain aku tidak peduli,” jawab si cebol kepala besar tadi.

“Baik, jika begitu akan kuajar adat padanya,” kata lelaki kekar itu.

“Tarrrr...!” segera cambuknya menyabet kepala Kwe Siang.

Cepat Kwe Siang menangkis dengan cambuknya sehingga kedua cambuk terlibat menjadi satu. Waktu lelaki itu membetot sekuatnya, seketika Kwe Siang merasa ditarik oleh satu tenaga dahsyat dan terpaksa melepaskan pegangannya. Setelah berhasil merampas cambuk Kwe Siang, segera cambuk lelaki tadi hendak disabetkan lagi. Syukur si cebol berjenggot panjang tadi berseru:

“Jit-te, kita harus cepat berangkat, untuk apa mengurusi anak kecil?”

Lelaki itu merandek, cambuk yang sudah terangkat ke atas itu tidak jadi dihantamkan. Si kakek jenggot panjang lantas menjengek:

“Hmm, gerombolan setan dari Se-san adalah tokoh yang tidak gentar pada langit dan takut pada bumi, betapa pun nyaring tersohornya Kwe Ceng dan Oey Yong tak dapat menggertak kami. He, anak dara, jika kau berani banyak omong lagi kami sembelih kau.” Lalu dia berpaling dan berkata pula, “Jit-te, laki-laki sejati berani berbuat berani tanggung jawab, kalau jatuh harus cepat merangkak bangun. Jenggotku yang panjang ini dulu juga pernah dipotong orang, Kedua kupingmu itu cara bagaimana dipotong orang?”

“Ketika kusuruh Sin-tiau-hiap itu enyah, dia juga tidak membantah. Dia malah tertawa saja terus melangkah pergi,” demikian tutur lelaki kekar tadi, “Tetapi sungguh sialan, tiba-tiba gundikku yang keempat ber-teriak dan menangis, katanya dia kupaksa menjadi gundik dan hidup tersiksa, kini dianiaya pula oleh isteri tua. Mendengar itu tiba-tiba Sin-tiau-hiap memutar balik dan tanya padaku: ‘Apakah benar perkataannya itu?’ Dengan mendongkol segera kujawab: ‘Kalau benar mau apa dan kalau tidak benar lantas bagaimana? Aku berjuluk Sat-sin-kui (setan elmaut), selamanya membunuh orang tanpa kenal ampun, tahu tidak kau?!’

Dengan kurang senang dia berkata: ‘Jika kau suka padanya, mengapa mengawini dia lalu mengambil lagi perempuan lain? Kalau tidak suka padanya, mengapa tadinya kau menikahi dia?’

Aku bergelak tertawa dan berkata: ‘Semula aku memang suka padanya, sesudah bosan lantas tidak suka lagi, Laki-laki mempunyai tiga isteri atau empat gundik adalah kejadian biasa, kenapa mesti heran? Ha-ha-ha, malahan aku hendak mengambil tiga gundik lagi.’

Dia lantas mengomel: ‘Jika manusia tak berbudi dan tidak setia macam kau bertambah banyak lagi di dunia ini, bukankah semua perempuan akan kecewa terhadap kaum lelaki?’

Habis berkata tiba-tiba ia menubruk maju dan melolos belatiku, sekaligus kedua kupingku dipotong, kemudian belati mengancam di depan dadaku dan membentak: ‘Akan kukorek hatimu, ingin kulihat warna apakah hatimu ini!’

Tentu saja aku mati kutu. Untunglah isteri dan para gundikku berlutut dan memohonkan ampun padanya, malah gundik ketiga dan keempat menangis me-raung. Hmm, sungguh memalukan! Benar-benar memalukan! Aku menjadi marah dan berteriak: ===================‘Lekas kau turun tangan. Jika kau membunuh aku, arwah gerombolan setan Se-san pasti senantiasa akan mengitari kau.’

Dia mengerut kening dan berkata kepada perempuanku: ‘Manusia tak berbudi begini, masa kalian malah mintakan ampun baginya?’

Perempuanku tidak msnjawab melainkan terus menyembah, Dia lantas berkata lagi: ‘Baiklah! Sekarang kuampuni kau. Tapi aku pun tidak gentar terhadap gerombolan setan dari Se-san itu. Pada akhir bulan ini akan kunantikan kalian di To-ma-peng, boleh kau undang seluruh gerombolanmu untuk menemui aku di sana. Kalau tidak berani datang, sekaligus kalian harus enyah dari wilayah Soasay dan selamanya tidak boleh kembali ke sini.’

Selesai laki-laki kekar itu menutur, semua orang terdiam. Selang sebentar barulah perempuan tua tadi bertanya:

“Senjata apa yang digunakannya? Dari aliran manakah ilmu silatnya?”

“Lengannya buntung sebelah dan dia tidak memakai senjata apa-apa,” tutur si lelaki tadi, “Mengenai aliran ilmu silatnya, tampaknya... tampaknya sukar diketahui.”

Perempuan tua tadi berkata pula: “Toako, sekali gebrak saja orang itu lantas membikin jit-te tidak dapat berkutik, tentu kepandaiannya sangat lihay. Sebaiknya kita mengerubutnya saja. Toako menghadapi dari depan, biar aku dan Go-te menyerang dari samping, dengan tiga lawan satu masa kita akan kalah? Sebaiknya kita harus menyerang dengan cepat sekaligus membinasakan dia.”

Kakek jenggot panjang merenung sejenak, katanya kemudian: “Nama Sin-tiau-hiap sangat termashyur, pertarungan nanti benar-benar luar biasa. Biarlah kita mengerubutnya secara beramai-ramai dan mengerahkan segenap tenaga dan senjata yang kita punyai. Selama gerombolan kita bersatu, belum pernah kita melabrak orang dengan maju sepuluh orang sekaligus dan baru sekarang terjadi untuk pertama kalinya. Kalau sudah begitu kita masih belum sanggup membinasakan dia, maka biarlah kita bersepuluh ini dari setan bayangan menjadi setan sungguhan saja.”

Tiba-tiba si kakek cebol kepala besar tadi ikut bicara: “Toako, kita bersepuluh mengeroyok dia seorang, kalau menang rasanya juga kurang terhormat, bahkan jika tersiar juga akan ditertawakan orang-orang Kangouw.”

“Kalau Sin-tiau-hiap itu dapat kita bunuh, kecuali anak dara ini kukira tiada orang lain lagi yang tahu,” ujar si nenek tadi.

Baru selesai ucapannya, dengan perlahan ia pun mengangkat tangannya. Cepat si cebol kepala besar menghadang di depan Kwe Siang sambil mengebaskan lengan bajunya, menyusul dari lengan bajunya dicabut sebuah jarum lembut, katanya:

“Jici, aku yang membawa anak dara ini kemari, janganlah mencelakai dia.” Kemudian dia berpaling dan berkata kepada Kwe Siang. “Nona Kwe, jika kau ingin melihat Sin-tiau-hiap, kejadian malam ini jangan sekali-sekali kau ceritakan kepada orang lain, kalau tidak, boleh kau pulang sekarang saja.”

Ngeri dan gusar pula Kwe Siang. Ia pikir nenek itu sungguh amat keji, kalau bukan paman cebol itu menoIongnya, mungkin dirinya telah binasa tertusuk oleh jarum yang lembut dan tanpa suara itu. Segera ia pun menjawab:

“Baiklah, takkan kuceritakan kepada siapa pun juga.“ Lalu ditambahkannya: “Kalian bersepuluh, masa Sin-tiau-hiap sendiri tidak mempunyai pembantu?”

Si cebol kepala besar bergelak tertawa, katanya: “Sudah belasan tahun Sin-tiau-hiap itu berkecimpung di Kangouw dan tidak pernah terdengar dia membawa pembantu, yang ada cuma seekor rajawali yang senantiasa mendampinginya.”

Habis berkata “Tarrr...!” cambuknya menggeletar di udara dan dia membentak: “Hayolah berangkat!”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar