Senin, 11 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 162

Semua orang berseru kaget. Waktu mereka memandang, kiranya besi pengaduk itu telah bengkok. Sungguh pun watak lelaki tadi rada berangasan, tetapi demi melihat kelihayan si nyonya cantik, ia menjadi mengkeret dan tidak berani bersuara lagi, bahkan arak pun lupa diminum lagi. Si anak dara cantik lantas ikut bicara:

“Cici, orang sedang bercerita tentang Sin-tiau-hiap yang baik budi, mengapa kau seperti tidak suka mendengarkannya?” Lalu dia berpaling pada lelaki tadi dan berkata dengan tersenyum manis: “Toasiok, jangan kau marah ya!”

Sebenarnya laki-laki tua itu sangat mendongkol, tetapi karena senyuman manis anak dara ini seketika api amarahnya sirna tanpa bekas, dan ia pun membalasnya dengan tertawa, mestinya ingin mengucapkan beberapa patah kata merendah, tetapi urung.

“Toasiok,” demikian si anak dara berkata lagi. “Silakan engkau berkisah lagi mengenai Sin-tiau-hiap itu. Apakah engkau kenal dia?”

Laki-laki itu memandang sekejap ke arah si nyonya cantik dan ragu-ragu untuk bicara. Anak dara itu lantas berkata:

“Silakan bercerita saja, asalkan engkau tidak membikin marah Cici-ku tentu takkan terjadi apa-apa. Cara bagaimana engkau kenal Sin-tiau-hiap? Berapa umurnya kira-kira? Apakah burungnya rajawali itu amat bagus?” Tanpa menunggu jawaban lelaki itu, ia berpaling kepada si nyonya muda dan bertanya: “Cici, entah bagaimana kalau rajawalinya itu dibandingkan dengan sepasang rajawali kita?”

“Dibandingkan sepasang rajawali kita?” tukas si nyonya muda, “Huhh! Di dunia ini mana ada burung lain yang dapat menandingi kedua rajawali kita?”

“Ahh, itu juga belum tentu,” ujar si anak dara. “Ayah sering mengatakan bahwa orang belajar silat harus tahu bahwa di atas langit masih ada langit, di atas orang pandai masih ada yang lebih pandai, sekali-kali tak boleh bangga dan puas. Kalau manusia saja begitu, kukira burung yang lebih dari pada rajawali kita itu pasti juga ada.”

“Huh, anak kecil tahu apa?” Omel si nyonya muda, “Waktu berangkat, ayah ibu menyuruh kau menurut pada perkataanku, apakah kau sudah lupa?”

“Menurut ya menurut, tetapi kan harus tahu apa yang kau katakan itu benar atau tidak?” jawab si anak dara. “Eh, adik, coba katakan, ucapanku yang betul atau ucapan Cici yang betul?”

Pemuda di samping anak dara itu ragu-ragu sejenak, kemudian menjawab: “Entahlah, aku tidak tahu. Yang jelas ayah bilang kita harus menurut perkataan Toaci dan menyuruh kau jangan adu mulut dengan Toaci.”

“Nah, benar tidak?” kata si nyonya muda dengan senang.

Tapi si anak dara juga tidak marah meski adiknya mengeloni sang Toaci. Dengan tertawa ia berkata:

“Ah, adik memang tidak paham apa-apa.” Lalu ia berpaling dan tanya laki-laki kekar tadi: “Toasiok, silakan kau bercerita lagi tentang Sin-tiau-hiap.”

Lelaki itu menjawab: “Baiklah, kalau nona senang mendengarkan, tentu akan kuceritakan. Meski kepandaian orang she Song ini rendah, paling tidak aku pun seorang laki-laki, satu bilang satu dua ya bilang dua, satu patah kata pun tidak berdusta. Tetapi kalau nona tidak percaya, ya lebih baik tidak kuceritakan saja.”

“Mana aku tidak percaya? Lekas engkau bercerita lagi,” kata si anak dara sambil angkat poci arak dan menuangkan satu mangkok lagi bagi orang itu, malahan ia terus memanggil pelayan: “Heii, pelayan, tambah lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging rebus. Toaci-ku menjamu para paman dan bibi ini minum arak sekadar menolak hawa dingin.”

Pelayan mengiyakan dan cepat berteriak menyampaikan pesanan itu. Semua orang tertawa gembira dan mengucapkan terima kasih kepada si anak dara.


KISAH KEPAHLAWANAN SIN-TIAUW-HIAP

Tidak lama kemudian, tiga pelayan mengantarkan arak dan daging yang dipesan. Tapi si nyonya cantik tadi menjadi tidak senang, katanya dengan mulut cemberut:

“Hmm, umpama aku ingin menjamu tamu juga takkan menjamu orang yang suka mengaco belo ini. He, pelayan, rekening arak dan daging itu tidak boleh diperhitungkan padaku.”

Si pelayan melengak bingung. Ia pandang si nyonya cantik sebentar, lalu pandang si anak dara lagi. Anak dara yang cantik itu lalu mengambil tusuk konde emasnya dan disodorkan kepada pelayan, katanya:

“Tusuk konde ini terbuat dari emas murni, sedikitnya bernilai beberapa puluh tahil perak, Nah, tukarkan saja bagiku, lalu bawakan lagi sepuluh kati arak dan 20 kati daging kambing rebus.”

Nyonya cantik tadi menjadi marah, omelnya: “Ji-moay, kau sengaja membikin keki aku, bukan? Mutiara yang terbingkai di tusuk konde itu saja bernilai beberapa ratus tahil perak, tapi benda berharga begitu sembarangan kau berikan untuk mentraktir minum arak sembarang orang. Nanti kalau pulang dan ditanyakan ibu, coba bagaimana kau akan menjawab?”

Anak dara itu melelet lidah, lalu berkata sambil tertawa: “Akan kukatakan hilang di tengah jalan, sudah kucari tapi tidak ketemu.”

“Huh, masa aku mau berdusta bagimu?” omel si nyonya muda.

Si anak dara lantas mendahului menyumpit sepotong daging rebus dan dimakan, lalu dia berkata:



“Nah, barang sudah dimakan, masa boleh dikembalikan? Ehh, hayolah para paman dan bibi, jangan sungkan-sungkan, silakan minum dan makan!”

Melihat dua kakak beradik itu beradu mulut, semua orang merasa tertarik sekali. Mereka semua menyukai si anak dara yang polos ke-kanakan, maka dalam hati mereka memihak si anak dara. Rupanya nyonya muda cantik itu mendongkol, dia terus memejamkan mata dan menutupi telinganya.

“Nah, Song-toasiok, sekarang Toaci-ku sudah tidur, silakan kau bercerita lagi, tentu tidak akan mengganggunya,” kata si anak dara tertawa.

“Bilakah aku tidur?” semprot si nyonya muda dengan marah.

“Ahh, bagus, tentunya engkau menjadi lebih tidak terganggu,” jawab si anak dara dengan tertawa.

Dengan suara keras si nyonya muda berkata; “Siang-ji, dengarkan kataku, jika kau selalu ngotot dengan aku, besok aku takkan berangkat bersama kau.”

“Ah, tak jadi soal, aku berangkat bersama Samte (adik ketiga),” ujar si nona cilik.

“Tidak, Samte akan ikut aku,” kata si nyonya.

”Eh, Samte, kau akan berangkat bersama siapa?” tanya anak dara itu.

Anak muda tadi menjadi serba susah. Apa bila membantu sang Toaci, tentu Jici kurang senang, jika mengeloni Jici, sang Toaci yang akan marah. Dengan ter-gagap kemudian ia menjawab:

“Kata ibu, kita bertiga harus selalu bersama, tidak boleh terpencar.”

“Nah, betul tidak? Jika Toaci tidak membawa serta diriku, nanti kalau pulang dan ditanyai ibu, tentu Toaci tak bebas dari tanggung jawab,” jawab si nona cilik dengan tertawa.

Dengan mendongkol si nyonya menjawab: “Tahu kau selalu bandel begini, dulu waktu kau masih kecil dan diculik orang jahat, tentu aku tidak perlu kuatir dan ikut mencari kau.”

Mendengar ucapan itu, nona cilik itu menjadi lunak hatinya, ia terus merangkul bahu sang Toaci dan memohon:

“Oh, Toaci yang baik, jangan marah ya! Anggaplah aku yang salah.”

Si nyonya muda sengaja bermuka merengut dan tidak menggubris.

“Jika Toaci tidak mau tertawa, akan ku-kitik kau,” kata si anak dara.

Tetapi nyonya muda itu malah melengos ke sana. Mendadak anak dara itu menggunakan tangan kanan mengelitik ketiak sang Toaci dari belakang. Tanpa menoleh nyonya muda itu menggunakan siku kiri untuk menyikut ke belakang, Tapi tangan kiri si anak dara sempat menangkap sang Toaci dan tangan lain tetap hendak mengelitik. Segera si nyonya muda sedikit memutar tubuh dan sikutnya menyodok untuk memaksa si anak dara menarik kembali tangannya, keduanya bergerak dengan lemah gemulai dan bergaya menarik.

Hanya sekejap saja keduanya sudah saling gebrak beberapa jurus. Si anak dara tetap tak mampu mengelitik sang Toaci, tetapi si nyonya muda juga tidak dapat menangkap tangan adiknya.

“Kepandaian bagus!” tiba-tiba seseorang berseru tertahan di pojok ruangan sana.

Kedua kakak beradik serentak berhenti dan memandang ke pojok sana, tampak seseorang duduk meringkuk menjadi satu gulungan, kepalanya terbenam di antara kedua lututnya, agaknya sedari tadi tidur nyenyak.

Sejak duduk di tepi api unggun, kedua kakak beradik itu sudah melihat cara orang tidur meringkuk begitu tanpa bergerak. Orang lain sedikit pun tidak dapat melihat bagaimana cara kedua kakak beradik itu bercanda, jadi agaknya suara sorakan itu bukan dilakukan olehnya. Tiba-tiba saja si pemuda berkata,

“Toaci dan Jici, ayah sudah berpesan jangan sembarangan memperlihatkan kungfu kita.”

“Ahh, sok kemaki (belagu)!” si anak dara berseloroh. “Tapi benar juga kau.” Kemudian dia berpaling kepada lelaki kekar tadi: “Maaf, Song-toasiok, kami kakak beradik ribut sendiri sehingga lupa mendengar ceritamu. Hayolah lekas mulai!”

LeIaki she Song itu menjawab: “Tapi sekali-sekali aku bukan mendongeng, apa yang aku ceritakan ini adalah kisah nyata.”

“Tentu saja cerita Song-toasiok adalah kejadian nyata,” ujar si anak dara dengan tertawa.

Lelaki itu menenggak araknya, lalu berkata: “Aku sudah minum dan makan suguhan nona, andaikan tidak bercerita juga rikuh rasanya. Jika saja semalam duitku tidak amblas di meja dadu, tentu akan kujamu kembali engkau nona manis, panggilan Toasiok berulang-ulang hanya panggilan percuma saja? Eh, bicara tentang perkenalanku dengan Sin-tiau-hiap, kejadiannya hampir sama dengan pengalaman Ong-ciangkun cilik, jiwaku juga telah diselamatkan oleh Sin-tiau-hiap, cuma kali ini beliau tidak menggunakan kekerasan melainkan dibeli dengan uang.”

“Sungguh aneh sekali, masa dia membeli kau dengan uang?” si anak dara menegas, “Memangnya berapa sih harganya satu kilo dirimu ini?”

Lelaki itu terbahak-bahak, katanya: “Ha-ha-ha, daging orang macamku yang berbau tengik ini ternyata jauh lebih mahal dari pada daging sapi mau pun babi. Kau tahu berapa Sin-tiau-hiap menghargai diriku ini? Hah, 4000 tahil perak, tidak kurang. Begini kejadiannya. Lima tahun yang lalu pada waktu membela urusan di Celam, Soatang, aku membunuh mati seorang bicokok setempat. Bunuh orang ganti nyawa bukan soal bagiku. Pada suatu hari aku harus menjalani hukuman mati. Yang mendongkolkan aku adalah aku diharuskan mati berbarengan dengan seorang buaya darat setempat yang sangat jahat. Sungguh brengsek, masa seorang laki-laki sejati macamku harus mati di tempat yang sama dengan seorang penjahat? Wah, betapa pun aku sangat penasaran...”

“Tak terduga, selang beberapa hari buaya darat itu menyogok walikotanya sehingga tuduhan menculik orang, memeras, sampai membuka rumah perjudian dan rumah pelacuran, semuanya ditumpukkan atas diriku dan buaya darat itu dibebaskan. Dari kepala penjara aku mendengar bahwa buaya darat itu telah menyogok dua ribu tahil perak kepada walikota sehingga segenap kesalahannya ditambahkan seluruhnya atas namaku. Katanya toh sama saja, satu pelanggaran dihukum mati, sepuluh pelanggaran dihukum mati juga, dari pada mati dua orang biarlah mati satu orang saja.“

“Keruan aku merasa difitnah dan sangat penasaran. Aku ber-teriak mencaci maki pembesar durjana itu, tetapi apa dayaku? Lewat beberapa hari lagi aku dibawa ke sidang, tetapi sungguh aneh bin ajaib, buaya darat itu dihadapkan sidang pula bersamaku. Kontan saja aku mengumpat habis-habisan. Tapi pembesar korup itu berkata dengan tertawa: ‘He, Song Ngo, tidak perlu kau mencak-mencak begitu, persoalannya sudah kuselidiki dengan jelas bahwa kau memang tak bersalah, bicokok itu bukan dibunuh olehmu, tapi dia pembunuhnya!’ sembari bicara ditudingnya pula buaya darat tadi, lalu aku pun dibebaskan. Tentu saja aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal ini. Sudah jelas akulah yang membunuh bicokok itu, mengapa sekarang kesalahan ini ditimpakan kepada orang lain?”

“Hi-hi-hi, sungguh pembesar yang konyol dan linglung,” ujar si anak dara mengikik tawa.

“Mana dia linglung,” ujar lelaki she Song itu. “Setibanya di rumah, ibuku memberi-tahu bahwa ketika aku diputus hukuman mati, setiap hari ibu menangis di jalan raya, suatu hari kebetulan dilihat Sin-tiau-hiap dan ditanya sebab-sebabnya. Beliau menyatakan sedang ada urusan penting sehingga tidak dapat membereskan perkara itu, lalu ibu diberi uang empat ribu tahil perak untuk menebus diriku. Selang tiga bulan kemudian tersiarlah berita yang menggegerkan, katanya bapak walikota marah-marah lantaran habis kecurian delapan ribu tahil perak. Aku yakin kejadian itu pasti perbuatan Sin-tiauhiap, sebab itu kami tak berani tinggal lagi di tempat asal dan terpaksa pindah ke Lim-an. Lewat setahun lagi aku mendengar ada seorang tuan bertangan buntung sebelah bersama seekor burung raksasa selalu berada di pantai laut sambil memandangi ombak samudera dengan termangu-mangu. Cepat aku memburu ke sana dan dapatlah menemui beliau, di situlah dapat kuhaturkan terima kasih kepadanya.”

“Apa yang kau terima kasihkan?” mendadak si nyonya muda menyela, “dia mengeluarkan empat ribu tahil perak dan masuk delapan ribu tahil perak, jadi masih untung empat ribu tahil bersih. Memangnya orang she Yo itu mau berbuat sesuatu yang membuatnya rugi?”

“She Yo? Sin-tiau-hiap itu she Yo maksudmu?” tanya si anak dara.

“Entahlah, siapa yang bilang dia she Yo?” jawab si nyonya muda.

“Jelas baru saja Toaci menyebutnya she Yo,” kata anak dara itu.

“Ahh, kau sendiri yang salah dengar,” bantah si nyonya.

“Baiklah, tidak perlu aku ribut dengan kau,” ujar si anak dara. “Seumpama benar Sin-tiau-hiap untung bersih empat ribu tahil perak, pasti juga akan dipergunakan untuk membantu kaum miskin dan menolong orang sengsara.”

Serentak semua orang bersorak merauji: “Bagus! Memang tepat ucapan nona!”

“Eh, Song-toasiok, Sin-tiau-hiap itu memandangi ombak laut? Apakah dia sedang menanti sesuatu di sana?” Tanya si anak dara pula.

“Entahlah, aku pun tidak tahu,” jawab lelaki She Ong sambil menggeleng.

Si anak dara mengambil dua potong kayu bakar kemudian dilemparkan ke gundukan api unggun. Dia termenung-menung memandangi api yang berkobar itu, lalu dia menggumam perlahan:

“Meski Sin-tiau-hiap suka menolong orang lain, bisa jadi dia sendiri pun justru menyimpan sesuatu persoalan pelik. Sebab apakah dia termenung memandangi laut? Ya, sebab apakah memandangi laut dengan termangu-mangu?”

Seorang wanita setengah umur yang duduk di sudut kiri sana tiba-tiba menyeletuk: “Aku mempunyai seorang adik misan dan beruntung dapat bertemu dengan Sin-tiau-hiap yang sedang memandangi laut dengan termangu-mangu itu. Karena heran, adik misan pernah bertanya kepada beliau dan menurut keterangan Sin-tiau-hiap, katanya isterinya berada di seberang lautan sana dan tidak dapat berjumpa.”

“Ahhh...!” semua orang bersuara heran.

“Kiranya Sin-tiau-hiap juga punya isteri,” kata si anak dara cantik, “Entah sebab apakah isterinya berada di seberang lautan sana? Dia memiliki kepandaian setinggi itu, mengapa dia tidak menyeberang ke sana untuk mencari isterinya?”

“Adik misanku juga pernah bertanya begitu,” tutur si wanita setengah umur tadi, “Tetapi beliau menjawab bahwa lautan seluas itu, entah ke mana baru dapat menemukan isterinya?”

“Aih, kupikir tokoh demikian pasti seorang yang berbudi dan berperasaan halus, ternyata memang benar,” kata si anak dara dengan menghela napas perlahan. Lalu ia Tanya lagi: “Adik misanmu itu tentu amat cantik, bukan? Diam-diam dia menyukai Sin-tiau-hiap, betul tidak?”

“Hush! Ji-moay, kau bicara yang aneh-aneh lagi!” bentak si nyonya cantik tadi.

Tapi wanita setengah umur itu berkata pula: “Ya, adik misanku memang tergolong cantik. Sin-tiau-hiap sudah menyelamatkan jiwa ibunya dan membunuh ayahnya, apakah diam-diam adik misan menyukai Sin-tiau-hiap sukar diketahui orang lain, cuma sekarang ia sudah menikah dengan seorang petani yang baik. Sin-tiau-hiap telah memberi sejumlah uang, penghidupannya cukup lumayan.”

“Sin-tiau-hiap menyelamatkan jiwa ibunya, tetapi membunuh ayahnya. Sungguh kejadian aneh, aku menjadi rada sangsi apakah betul bisa terjadi begitu?” ujar si anak dara tadi.

“Kenapa mesti sangsi?” kata sang Toaci, si nyonya cantik, “watak orang itu memang aneh dan sebentar berubah. Kalau senang dia menolong jiwa orang, kalau tidak suka lantas dia membunuh. Ya, memang sudah begitu sejak kecilnya.”

“Sudah begitu sejak kecilnya? Toaci tahu dari mana?” tanya si anak dara.

“Tentu saja aku tahu,” jawab si nyonya muda, tetapi meski telah ditanya dan didesak lagi oleh si anak dara, tetap dia tidak mau menjelaskan.

“Baik, kau tidak mau bercerita ya sudahlah, memangnya siapa pingin tahu?” kata si anak dara dengan rada dongkol. “Rasanya seumpama kau mau bercerita juga cuma membual belaka.” Lalu ia berpaling kepada si wanita setengah umur dan berkata pula: “Eh, Toasoh, maukah kau bercerita mengenai pengalaman adik misanmu?”

“Baiklah, akan kuceritakan,” jawab wanita itu.

“Usiaku dengan adik misan sebaya, rumah adik berada di Holam. Tahun itu orang Mongol menyerbu sampai di wilayah sana dan Kohtio (paman) diculik pasukan musuh untuk dijadikan kuli kerja paksa. Lalu bibi membawa adik misan mencari paman ke utara dengan cara minta-minta di sepanjang jalan. Susah payah juga perjalanan mereka itu, terutama jika mengingat bahwa wajah bibi dan adik tidaklah jelek, tentu banyak juga mendatangkan kesuIitan. Sebab itulah bibi dan adik telah memoles muka mereka dengan hangus supaya tidak merangsang pikiran orang jahat.”

“Mengapa jika muka mereka diberi hangus menjadi tidak merangsang orang jahat?” tanya si anak dara.

Karena pertanyaan ini, sebagian orang-orang itu, terutama kaum lelakinya, tertawa geli.

“Ji-moay!” omel si nyonya muda, “jika engkau tidak tahu hendaklah jangan sembarangan bertanya. Nona sebesar ini hanya menimbulkan tawa orang saja!”

“Justru lantaran aku tidak tahu, makanya aku bertanya, kalau sudah tahu buat apa tanya,” gerundel si anak dara.

“Ahh, urusan kurang pantas diceritakan itu lebih baik nona tidak paham saja,” ujar wanita setengah umur tadi. “Selama empat tahun bibi dan adik misan menjelajahi Mongol hingga kemudian sampai ke Soasay. Akhirnya dapatlah paman diketemukan, ia menjadi budak di bawah seorang Mongol berpangkat Jian-hou-tiang (kepala seribu jiwa). Jian-hou-tiang itu sangat jahat. Ketika paman diketemukan kebetulan bibi menyaksikan sebelah kakinya baru saja dipukul patah oleh orang Mongol itu. Tentu saja bibi sangat berduka dan mohon agar suaminya dibebaskan, Orang Mongol itu bersedia melepaskan paman apa bila ditebus dengan seribu tahil perak, sebab katanya dia beli paman dengan harga seratus tahil. Sedangkan sepuluh tahil saja bibi tidak punya, dari mana seribu tahil perak diperoleh? Setelah putus asa dan menghadapi jalan buntu, bibi menjadi nekat, terjunlah dia ke dunia gelap, bersama adik misan dan dia sendiri dijual ke Ca-bo-keng (rumah pelacuran)”

Karena tidak tahu apa artinya ‘Ca-bo-keng’, si anak dara cantik itu hendak bertanya lagi, tapi karena tadi pertanyaannya telah menimbulkan tawa orang, tiba-tiba saja dia urungkan niatnya bertanya. Terdengar wanita setengah baya itu melanjutkan ceritanya:

“Begitulah bibi dan adik misan hidup menderita setengah tahun. Sedikit-sedikit mereka sudah ada tabungan, tetapi untuk mencukupi seribu tahil perak sungguh tidak mudah. Untunglah para tetamu mengetahui cita-cita luhur ibu beranak yang ingin menolong suaminya itu, maka waktu memberi uang sengaja dilebihkan dari pada tarip umum. Dengan susah payah dan kenyang hina derita, pada malam tahun baru dapatlah mereka menabung cukup seribu tahil perak. Dengan riang gembira mereka membawa uang tabungan itu ke rumah Jian-hou-tiang untuk diserahkan sebagai harga tebusan paman. Mereka pikir malam itu juga suami isteri dan anak dapat berkumpul lagi sehingga dapat merayakan tahun baru dengan gembira.”

Sampai di sini si anak dara ikut bergembira juga bagi ibu beranak yang beruntung itu. Tapi si wanita setengah baya lantas berkata:

“Namun kenyataan ternyata berlainan dari pada harapan. Sesudah menerima seribu tahil perak, Jian-hou-tiang memang benar-benar mengeluarkan paman untuk bertemu bibi dan adik, tapi ketika mereka bertiga menghadap Jian-hou-tiang itu untuk mohon diri, mendadak timbul lagi pikiran jahat orang MongoI itu karena melihat adik misanku yang cantik, katanya:

‘Bagus sekali kalian mau menebus budak ini, nah, boleh serahkan uang tebusannya!’

“Keruan bibi terkejut, padahal seribu tahil perak itu semenjak tadi telah diserahkan kepada kasir Jian-hou-tiang, mengapa sekarang menagih lagi? Namun Jian-kou-tiang itu tidak mau menerima alasan bibi, dengan marah ia malah membentak:

‘Huh, masa seorang berpangkat seperti aku ini sudi anglap duit kaum budak? Apakah kalian sengaja hendak mencemarkan nama baikku?’

“Tentu saja bibi menjadi takut dan berduka, tanpa tahan lagi ia menangis ter-gerung di tempat. Jian-hou-tiang itu lalu berkata:

‘Baiklah, mengingat malam ini adalah malam tahun baru, biarlah kuberi kesempatan berkumpul kalian suami-isteri. Tetapi budak ini mungkin akan kabur, maka sebagai jaminan anak gadis kalian harus ditinggalkan di sini.’

Sudah tentu bibi tahu niat busuknya dan tidak dapat menerima kehendak orang. Segera Jian-hou-tiang membentak-bentak marah dan memerintahkan anak buahnya mengusir bibi dan paman...”

“Karena tidak tega meninggalkan anak perempuannya, bibi lalu menangis sesambatan di depan rumah Jian-hou-tiang. Walau pun setiap orang mengetahui kesusahan bibi, tapi di bawah kekuasaan orang Mongol, membunuh seorang Han ibarat kata memites seekor semut, siapa yang berani membela keadilan? Tetapi yang paling celaka adalah pamanku, dia malah bilang:

‘Kalau tuan besar Jian-hou-tiang penujui anak gadis kita, ini rejeki yang sukar dicari bagi orang lain, kenapa kau malah menangis?’

Rupanya paman sudah terlalu lama menjadi budak sehingga jiwa raganya sampai tulang sumsumnya benar-benar sudah berbau budak. Kemudian dia pun menanyakan bibi dari mana mendapatkan seribu tahil perak untuk menebusnya. Semula bibi tak mau menjelaskan, karena didesak akhirnya diceritakan juga. Tak tahunya paman menjadi marah bukan main dan menuduh bibi telah mencemarkan nama baiknya, katanya perempuan yang tidak dapat menjaga kepribadian dan suka melacurkan diri, bibi dianggapnya terlalu hina dina. Segera paman membuat surat cerai dan menceraikan bibi.”

Sampai di sini semua orang menggerutu dan menganggap nasib bibinya itu benar-benar malang dan pamannya itu terlalu kejam.

“Bibi menjadi putus asa,” demikian tutur wanita lebih lanjut, “maka diam-diam beliau pergi ke hutan dan hendak menggantung diri dengan tali pinggangnya. Untunglah Sin-tiau-hiap kebetulan lewat dan bisa menyelamatkan jiwanya. Setelah mengetahui duduknya perkara, Sin-tiau-hiap sangat marah. Malam itu juga beliau masuk ke tempat Jian-hou-tiang dan melihat adik misan sedang dipaksa agar menuruti kehendaknya. Celakanya paman juga di situ dan malah membujuk agar adik misan menuruti saja. Kontan Sin-tiau-hiap memukul mati pamanku kemudian menyeret Jian-hou-tiang dan melemparkan ke sungai, juga adik misan ditolong keluar. Begitulah kisahnya Sin-tiau-hiap menyelamatkan bibi dan membunuh pamanku. Menurut Sin-tiau-hiap, selama hidupnya paling benci pada manusia yang tak berbudi dan tidak memiliki perasaan, apa lagi rela diperbudak musuh segala. Paman telah melanggar pantangan Sin-tiau-hiap, maka tanpa sungkan-sungkan lantas dibunuhnya.”

Saking kesemsemnya mendengar cerita yang menarik itu, tanpa terasa anak dara cilik itu mengangkat mangkok arak dan minum seceguk.

“Ah, pedas!” katanya sambil meringis. Karena tidak biasa minum arak, seceguk saja telah membuat mukanya menjadi merah sehingga semakin menambah kecantikannya. Dengan perlahan dia berkata: “Kalian beruntung sudah pernah melihat Sin-tiau-hiap. Jika aku pun dapat berjumpa dan bicara sejenak dengan dia, andai kata umurku harus berkurang tiga tahun juga aku rela.”

“Ji-moay, kenapa kau sembarangan percaya pada obrolan orang?” seru si nyonya cantik. “llmu silat orang itu memang tinggi, tapi kalau dibandingkan dengan ayah masih terlampau jauh. Padahal orang itu pun sudah pernah kau lihat, malah dia pernah memondong kau.”

Air muka si anak dara menjadi merah jengah, semprotnya: “Cis, mengapa Toaci juga sembarangan omong? Siapa mau percaya?”

“Kalau tidak percaya, setelah pulang nanti boleh kau tanya ayah dan ibu,” kata si nyonya cantik.

“Apa yang disebut Sin-tiau-hiap itu sebenarnya she Yo bernama Ko, waktu kecilnya juga pernah tinggal di Tho-hoa-to. Lengannya yang buntung itu justru... justru... Waktu kau baru lahir dia sudah lantas memondong kau.”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar