Senin, 11 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 161

Sang waktu berlalu dengan cepat, beberapa tahun sudah lampau pula. Waktu itu adalah tahun pertama kaisar Song-li-cong bertahta di kerajaan Song Selatan dan terhitung tahun ke sembilan kaisar Goan-hian-cong (dinasti Yuan) dari kerajaan Mongol atau lebih terkenal dengan Kubilai Khan. Ketika itu baru permulaan musim semi. Pada Hong-leng-toh, sebuah kota tambang di tepi utara Hong-ho (Sungai Kuning) tampak sangat ramai dengan suara orang diseling ringkik kuda dan gemuruh roda kereta.

Rupanya selama beberapa hari ini cuaca berubah tidak menentu, terkadang dingin dan kemudian menjadi hangat. Mula-mula air sungai Kuning mencair, tapi sejak semalam turun salju dengan lebatnya sehingga air sungai membeku kembali, sebab itulah kapal tambang tidak dapat berjalan, kereta pun tidak berani menyeberangi permukaan sungai yang beku.

Karena itulah banyak saudagar yang hendak menyeberang ke selatan tertahan di kota tambangan kecil ini. Meski pun di Hong-leng-toh ada beberapa buah rumah penginapan, tapi karena pendatang dari utara masih mengalir tak putus-putusnya, tiada setengah hari semua rumah penginapan penuh sehingga banyak tetamu yang tidak mendapatkan pondokan dan tidak sedikit timbul ribut mulut antara tamu dan pemilik hotel.

Hotel yang paling besar di kota itu bernama ‘An-toh-Io-tiam’ yang artinya ‘Hotel selamat menyeberang’. Lantaran pekarangan hotel ini dan kamarnya lebih luas dari pada hotel-hotel lainnya, maka tetamu yang tidak mendapatkan tempat pondokan membanjiri An-toh-lo-tiam ini. Suasana menjadi ramai dan berjubel.

Banyak kamar buat dua orang terpaksa diisi tiga orang, itu pun masih juga kelebihan belasan tamu yang tidak mendapat kamar hingga terpaksa duduk berkerumun di ruangan tengah. Para pelayan menyingkirkan meja kursi dan membuat api unggun di tengah-tengah ruangan untuk menghangatkan badan tetamu. Menyaksikan bunga salju yang beterbangan dengan lebatnya di luar, para tetamu sedih karena besok belum tentu dapat melanjutkan perjalanan. Cuaca mulai gelap, hujan salju semakin lebat. Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda, tiga penunggangnya datang secepat terbang dan berhenti di depan An-toh-lo-tiam.

“Kembali ada tamu lagi!” gumam seorang tamu yang duduk di tepi api unggun.

Benar juga segera terdengar suara seorang perempuan berseru: “He, pengurus! Berikan dua kamar kelas satu!”

Kuasa hotel menjawab dengan mengiring tawa: “Maaf, sudah sejak pagi kamar hotel kami terhuni penuh, sama sekali tiada kamar kosong lagi.”

“Kalau begitu boleh satu kamar saja,” ujar perempuan tadi.

“Be-ribu maaf, nyonya, sungguh sudah penuh semua,” jawab pengurus hotel.

Tiba-tiba perempuan itu ayunkan cambuknya ke udara hingga menerbitkan suara.

“Tarrrrr...!”

Lalu terdengar ia mengomel: “Omong kosong! Memangnya kau tak bisa menyuruh orang mengalah sebuah kamar? Biar kutambahi sewanya.” Sembari bicara dia terus menerobos ke dalam hotel.

Pandangan para tamu terbeliak melihat perempuan itu. Usianya kira-kira 30 tahun lebih, matanya jeli, pipinya merah, mukanya cantik, perawakannya montok, berjaket kulit warna biru, bagian leher baju berlapiskan kulit berbulu halus, dan pembawaannya sangat perlente. Di belakang nyonya muda itu ikut seorang lelaki dan seorang perempuan lagi, kedua-nya masih remaja, usia mereka antara 16-17 tahun, yang lelaki beralis tebal dan bermata besar, sikapnya kasar gagah, sebaliknya perempuan muda itu sangat cantik. Keduanya mengenakan jaket satin hijau pupus. Leher si anak dara memakai sebuah kalung mutiara, setiap biji mutiara sebesar jari dan bercahaya.

Para tamu terpengaruh lagak lagu ketiga tamu baru, orang-orang yang tadinya sedang bicara semua berhenti dan memandangi ketiga orang ini. Dengan sigap pelayan hotel memberi hormat dan menjelaskan kepada si nyonya muda:

“Lihatlah, nyonya, para tamu ini pun tidak mendapatkan kamar. Kalau kalian tidak merasa kotor, silakan ikut duduk di sini sekedar menghangatkan badan dan melewatkan malam. Besok kalau air sungai tambah keras membeku mungkin sudah cukup kuat untuk diseberangi.”

Tampaknya nyonya muda itu tidak sabar, tapi keadaan memang begitu, terpaksa ia hanya mengerut kening dan tidak bersuara lagi.

Seorang perempuan setengah baya yang ikut duduk mengelilingi api unggun berkata: “Silakan duduk di sini, nyonya, hangatkan badan dulu, hawa sungguh dingin.”

“Terima kasih,” jawab nyonya cantik itu.

Segera tamu lelaki yang duduk di sampingnya bergeser memberi tempat kepada si nyonya muda. Belum lama duduk, pelayan lantas mengantarkan daharan yang dipesan, ada daging ada ayam, bahkan arak pun tersedia. Nyonya muda itu sangat kuat minum arak, semangkok demi semangkok ditenggaknya hingga habis. Lelaki muda itu pun ikut mengiringi minum, hanya si anak dara cantik saja setitik pun tidak minum arak. Dari cara sapa menyapa mereka dapatlah diketahui bahwa mereka adalah kakak beradik. Usia pemuda itu tampaknya lebih tua dari pada si anak dara, tapi ternyata memanggilnya “Cici”. Sehabis makan semua orang berkerumun di sekitar api unggun. Suara angin yang men-deru di luar membuyarkan rasa kantuk.

“Cuaca begini sungguh membikin susah orang,” demikian seorang lelaki berkata dengan logat daerah Soa-say, “Sebentar hujan salju, sebentar membeku jadi es, lain saat mencair lagi, Thian benar-benar ingin menyiksa orang.”

“Sebaiknya jangan mengomeli Thian dan Te (langit dan bumi),” ujar seorang laki-laki pendek dengan logat Ouwpak.

“Masih beruntung kita dapat menghangatkan badan dengan api dan makan enak di sini, Coba kalau kau pernah di kota terkepung Siang-yang, kukira tempat yang paling sengsara di dunia ini akan berubah menjadi sorga bagimu.”

Mendengar ‘kota terkepung Siang-yang’, nyonya cantik tadi memandang sekejap kepada kedua saudaranya. Lalu terdengar seorang tamu yang berlogat Kwitang bertanya:

“Numpang tanya saudara, bagaimana keadaan di kota Siang-yang yang terkepung itu?”



“Keganasan orang MongoI kiranya sudah kalian dengar sehingga tidak perlu aku jelaskan lagi,” tutur tamu Ouwpak tadi. “Tahun itu pasukan Mongol menyerang Siang-yang secara besar-besaran. Panglima yang menjaga kota, Lu-tayjin, adalah manusia yang tidak ada gunanya. Syukurluh Kwe-tayhiap dan isterinya membantu dengan sepenuh tenaga.”

Mendengar nama Kwe-tayhiap dan isterinya disebut, air muka nyonya cantik tadi berubah riang. Sementara itu tamu berlogat Ouwpak tadi menyambung ceritanya:

“Beratus ribu penduduk Siang-yang bersatu padu menghadapi musuh dan bertahan dengan mati-matian, seperti diriku ini, aku hanya pedagang gerobak dorong, tapi aku pun ikut berjuang dengan mengangkut pasir dan mengangkat batu untuk memperkokoh benteng kota. Lihat ini, codet pada mukaku adalah bekas luka kena panah orang Mongol.”

Waktu semua orang mengawasi, terlihat di pipi kirinya ada bekas luka panah sebesar gobang. Tanpa terasa semua orang menaruh hormat padanya.

“Negeri Song kita sedemikian luas dengan penduduknya yang begini banyak. Jika setiap orang berjiwa patriot seperti saudara, hah, biar pun Tartar Mongol lebih ganas sepuluh kali lipat takkan dapat menginjak tanah air kita,” demikian kata si orang Kwitang dengan bersemangat.

“Tepat!” ujar si orang Ouwpak, “Lihat, sudah belasan tahun pasukan Mongol menggempur Siang-yang, selalu gagal, sebaliknya tempat-tempat lain dibobolnya dengan mudah. Kabarnya belasan negeri di benua barat ditumpas oleh orang Mongol, sedangkan Siang-yang masih tetap berdiri dengan tegaknya, biar pun raja mongoI Kubilai sendiri yang memimpin penggempuran tetap tidak berhasil.”

“Ya, kalau saja Siang-yang jatuh, tentu tanah air Song Raya kita sudah lama dicaplok orang Mongol,” kata orang Kwitang.

Begitulah semua orang bicara penuh semangat tentang pertahanan benteng Siang-yang. Orang Ouwpak itu menjunjung Kwe Ceng dan Oey Yong setinggi langit seakan-akan malaikat dewata dan semua orang juga tiada hentinya memberi pujian. Mendadak seorang tamu berlogat Sucoan ikut berbicara dengan gegetun:

“Sesungguhnya pembesar yang menjaga benteng di-mana-mana juga ada. Soalnya pemerintah kerajaan tidak dapat membedakan antara yang baik dan jahat, sering kali kaum dorna justru menikmati segala kejayaannya, sedangkan pembesar setia malahan mati penasaran seperti Gak Hui pujaan kita yang sudah almarhum itu tidak perlu dibicarakan lagi, sekarang saja di daerah Sucoan ada beberapa pembesar pembela rakyat menjadi kaum dorna.”

“Hei pembesar siapakah itu? Mohon penjelasan,” tanya orang Ouwpak tadi.

“Sudah belasan tahun pasukan Mongol menggempur wilayah Sucoan, berkat perlawanan Sia Kay yang amat bijaksana, segenap rakyat jelata di Sucoan sama tunduk di bawah pimpinannya dan memujanya seakan-akan Budha penolong,” demikian si orang Sucoan mulai menutur.

“Siapa tahu raja kita yang berkuasa mempercayai laporan si dorna Ting Tay-coan. Katanya Sia-tayjin menyalah-gunakan kekuasaan dan membangkang perintah pusat, maka perlu diambil tindakan dan dikirimlah racun untuk memaksa Sia-tayjin bunuh diri kemudian kedudukannya diganti seorang pembesar tidak becus yang menjadi komplotan kaum dorna itu. Ketika kemudian pasukan Mongol menyerbu, hanya sekejap saja Sucoan lantas jatuh. Pihak kerajaan tidak menyesali dirinya sendiri yang salah membunuh pembesar baik, sebaliknya malah menuduh panglima tentara Ong Wi-tiong Ciangkun yang bertahan mati-matian itu bersekongkol dengan musuh lalu menangkap dan membawanya bersama segenap anggota keluarganya ke ibukota. Di sana Ong-ciangkun dihukum penggal kepala.” Bicara sampai di sini suaranya rada tersendat.

Semua orang menghela napas terharu mendengar kisah sedih itu. Orang Kwitang tadi berkata dengan gusar:

“Hancurnya negara selalu menjadi korban kaum dorna begitu, Kabarnya kerajaan selatan sekarang ada tiga ekor anjing, dan pembesar dorna Ting Tay-coan itu adalah salah seekor di antaranya.”

Seorang pemuda berwajah putih yang sejak tadi hanya mendengarkan saja tiba-tiba menimbrung:

“Betul, kaum dorna kerajaan selatan dikepalai Ting Tay-coan, Tan Tay-hong dan Oh Tay-jiang. Karena nama mereka semuanya memakai ‘Tay’, maka orang-orang di Lim-an (ibukota Song Selatan) menambahkan nama dengan satu coretan sehingga menjadi ‘Khian’ (anjing) dan mereka bertiga dianggap tiga ekor anjing.”

Sampai di sini semua orang tertawa puas. Orang Sucoan tadi lantas bertanya: “Dari logat saudara cilik ini, tampaknya engkau orang dari Lim-an?”

“Benar,” jawab si pemuda.

“Jika begitu, waktu Ong Wi-tiong Ciangkun menjalani hukuman mati, apakah saudara juga mengetahuinya?”

“Ya, malah aku ikut menyaksikan sendiri,” jawab pemuda itu. “Ong-ciangkun menghadapi ajalnya tanpa gentar, dengan gagah berani beliau malah mencaci maki Ting Tay-coan dan Tan Tay-hong sebagai pembesar dorna penjual negara dan bangsa, bahkan terjadi pula sesuatu yang aneh.”

“Kejadian aneh apa?” tanya orang banyak.

“Yang memfitnah Ong-ciangkun jelas adalah Tan Tay-hong,” tutur si pemuda. “Waktu menuju ke lapangan hukuman, di tengah jalan Ong-ciangkun berteriak-teriak dan mencaci maki Tan Tay-hong, katanya setelah mati pasti akan mengadu kepada Giam-lo-ong untuk merenggut nyawa dorna she Tan itu. Anehnya, tiga hari sesudah Ong-ciangkun menjalani hukuman, Tan Tay-hong benar-benar mati mendadak di rumahnya dan kepalanya dipenggal dan tergantung tinggi di menara lonceng di pintu gerbang timur Lim-an. Menara itu begitu tinggi, jangankan manusia, monyet sekali pun sukar merambat ke sana. Coba pikir, jika bukan Giam-lo-ong yang merenggut jiwa menteri dorna itu, lalu perbuatan siapa lagi? Peristiwa itu diketahui setiap penduduk Lim-an dan sekali-kali bukan dongeng belaka.”

Semua orang merasa heran. Orang Sucoan itu berkata: “Kejadian itu memang bukan dongeng, cuma yang membunuh Tan Tay-hong itu bukanlah Giam-lo-ong melainkan perbuatan seorang ksatria sejati.”

“Jumlah pengawal di rumah menteri doma itu tidak sedikit, penjagaan sangat ketat, orang biasa mana bisa membunuhnya? Bahkan menggantung kepalanya di tempat yang setinggi itu, memangnya orang itu bersayap?” ujar si pemuda sambil menggeleng.

“Di dunia ini tidak kurang orang kosen, tapi kalau aku tidak menyaksikan sendiri memang tidak percaya,” kata orang Sucoan itu.

“Kau menyaksikan sendiri ia memanjat ke tempat setinggi itu? Cara bagaimana kau dapat menyaksikannya?” tanya si pemuda.

Orang Sucoan itu ragu-ragu sejenak, akhirnya dia menutur: “Ong-ciangkun memiliki seorang anak lelaki yang berhasil kabur sewaktu keluarganya ditangkap. Demi membabat sampai akarnya, kawanan dorna mengirim begundalnya mencari putera Ong-ciangkun. Meski pun putera Ong-ciangkun mahir ilmu silat, namun dia cuma sendirian. Ketika dia dikejar dan hampir tertangkap tiba-tiba datang seorang penolong yang berhasil mengkocar-kacirkan pasukan pengejar. Lalu putera Ong-ciangkun menuturkan apa yang terjadi atas keluarganya. Tentu saja Tayhiap (pendekar besar) yang menolongnya tidak tinggal diam dan menyusul ke Lim-an dengan maksud hendak menolong Ong-ciangkun, tapi sayang, beliau terlambat satu hari, Ong-ciangkun sudah dipenggal kepalanya. Dalam marahnya Tayhiap itu mendatangi kediaman Tan Tay-hong serta memotong kepalanya. Meski pun menara lonceng itu amat tinggi dan sukar dicapai manusia, namun bukan soal bagi Tayhiap itu, hanya sekali loncat saja beliau naik ke situ.”

“Siapakah Tayhiap itu? Bagaimana bentuknya?” tanya si orang Kwitang.

“Aku tidak tahu nama pendekar besar itu, yang jelas dia tidak mempunyai lengan kanan, wajahnya cakap, sikapnya gagah, dan dia selalu membawa seekor burung raksasa yang aneh dan buruk.”

Belum habis ceritanya, seorang lelaki lain menanggapi “Betul, itulah ‘Sin-tiau-hiap’ yang termashur di dunia Kangouw.”
“Ya, pendekar besar itu suka membantu yang lemah dan menolong yang miskin, tetapi selamanya tidak mau menyebutkan namanya sendiri,” tutur laki-laki itu. “Karena dia selalu membawa burung yang aneh itu, kawan-kawan Kangouw memberi nama julukan ‘Sin-tiau-tayhiap’ (pendekar besar rajawali sakti) kepadanya. Tapi beliau mengatakan arti ‘Tayhiap’ terlampau berat baginya, maka ia tidak berani menerimanya dan terpaksa orang hanya menyebutnya ‘Sin-tiau-hiap’ saja, padahal berdasarkan perbuatannya yang luhur budi itu, sebutan Tayhiap pantas diterima olehnya. Kalau dia tidak bisa disebut pendekar besar, lalu siapa lagi yang bisa?”

“Huh, di sini Tayhiap, di sana juga Tayhiap, kan bisa kebanjiran Tayhiap nanti,” tiba-tiba si nyonya cantik tadi menimbrung.

“Ahh, mengapa nyonya ini bilang begitu?” bantah orang Sucoan dengan tegas. “Meski urusan Kangouw kurang kupahami, tapi demi menolong Ong-ciangkun, Sin-tiau-tayhiap segera berangkat dari Hopak ke Lim-an, selama empat hari empat malam tanpa berhenti, padahal beliau tidak pernah kenal siapa Ong-ciangkun, hanya karena kasihan kepadanya panglima yang difitnah menteri dorna, maka beliau bertindak tanpa menghiraukan bahaya sendiri. Coba, perbuatan begitu apakah tidak pantas disebut Tayhiap?”

Nyonya cantik itu mendengus dan baru saja dia hendak mendebat, tiba-tiba anak dara di sampingnya menyela:

“Cici, perbuatan ksatria yang terpuji itu tidak salah kalau diberi gelaran Tayhiap?” Suara anak dara itu sangat nyaring dan merdu, terdengar enak, segar rasanya bagi pendengaran setiap orang.

Nyonya cantik itu mengomeli adiknya: “Huh, kau tahu apa?” Kemudian ia berpaling kepada orang Sucoan tadi dan berkata lagi: “Dari mana kau bisa mengetahui sejelas itu? Bukankah kau pun mendengar dari obrolan orang di tepi jalan atau berita angin di dunia Kangouw? Huh, sembilan bagian pasti tidak dapat dipercaya.”

Orang Sucoan itu termenung sejenak. Akhirnya dia berkata dengan sungguh-sungguh: “Aku she Ong. Ong Wi-tiong Ciangkun itu adalah ayahku almarhum, nyawaku sendiri diselamatkan oleh Sin-tiau-tayhiap. Walau pun saat ini diriku menjadi buronan pemerintah, tetapi karena menyangkut nama baik tuan penolongku, terpaksa kujelaskan asal usul diriku ini.”

Semua orang melengak mendengar ucapan orang Sucoan ini, serentak orang Kwitang tadi mengacungkan ibu-jarinya sambil berseru:

“Ong-ciangkun cilik, kau memang seorang laki-laki sejati. Kalau di sini ada manusia rendah yang berani melaporkan dirimu kepada yang berwajib, biarlah kita beramai-ramai menghadapinya.”

Maka bergemuruhlah semua orang menyatakan setuju. Terpaksa nyonya cantik tadi tidak dapat membantah lagi. Dalam pada itu si anak dara jelita sedang termangu-mangu memandangi salju yang bertebaran di luar sambil bergumam perlahan: “Sin-tiau-tayhiap... Sin-tiau-tayhiap...“ Mendadak ia berpaling kepada si orang Sucoan dan bertanya:

“Ong-toako, kalau Sin-tiau-tayhiap memiliki kepandaian setinggi itu, kenapa pula sebelah lengannya buntung?”

Air muka si nyonya muda tampak berubah demi mendengar soal lengan buntung Sin-tiau-tayhiap disinggung, bibirnya tampak ber-gerak ingin bicara, tetapi urung. Orang Sucoan she Ong itu menjawab sambil menggeleng:

“Entahlah, nama asli Sin-tiau-tayhiap saja tidak dapat kuketahui, seluk-beluk pribadi beliau tentu saja lebih-lebih tidak kuketahui.”

“Tentu saja kau tidak tahu,” jengek si nyonya muda.

Tiba-tiba saja si pemuda Lim-an berkata pu!a: “Tentang menteri dorna Ting Tay-coan, sekarang mukanya mendadak berubah hijau gosong dalam satu malam, tentu kejadian ini karena hukuman Allah.”

“Aneh, mengapa dalam semalam mukanya bisa berubah menjadi gosong?” tanya si orang Kwitang.

“Memang aneh. Karena kulit mukanya berubah mendadak, sekarang penduduk Lim-an memberi nama Ting Je-bwe (Ting si kulit hijau),” tutur pemuda Lim-an. “Asalnya kulit muka Ting Tay-coan itu putih mulus, maklum, hidupnya mewah dan makannya enak. Tapi dalam semalam mendadak kulit mukanya berubah jadi hijau gosong, biar pun sudah diobati oleh tabib paling pandai tidak dapat menghilangkan warna kulitnya yang lucu itu. Konon Sri Baginda pernah menanyakan hal ini, tapi menteri dorna itu malah melapor, katanya lantaran sibuk mengurusi pekerjaan sehingga beberapa malam tidak tidur, maka kulit mukanya berubah menjadi hijau. Tetapi setiap penduduk Lim-an menganggap perubahan kulit muka menteri dorna itu adalah karena kutukan Allah.”

“Sungguh aneh kejadian itu,” ujar si orang Kwitang.

“Ha-ha-ha!” mendadak si lelaki kekar tadi bergelak tertawa dan berseru: “Ketahuilah bahwa kejadian itu pun atas tindakan Sin-tiau-tayhiap. Sungguh menyenangkan sekali... sungguh menarik.”

“He, bagaimana bisa jadi perbuatan Sin-tiau tayhiap lagi?” tanya semua orang.

Laki-laki kekar itu hanya bergelak tawa saja dan tidak bercerita lebih lanjut, tampaknya ia sengaja tahan harga, ingin jual mahal. Lantaran ingin sekali tahu duduk perkaranya lebih jelas, si orang Kwitang lalu memanggil pelayan agar membawakan dua kati arak Ko-tiang yang paling enak untuk lelaki kekar itu. Setelah dicekoki arak, semangat orang itu lantas bangkit, dan segera ia bercerita:

“Tentang peristiwa ini, bukan aku sengaja membual, tapi aku sendiri ikut berjasa. Malam hari itu Sin-tiau-hiap tiba-tiba datang ke Lim-an dan menyuruh aku memimpin para kawan meringkus semua opas yang dinas jaga di kantor walikota. Seragam mereka lalu dicopot dan disuruh pakai para kawan. Kami merasa tertarik dan juga heran. Entah apa yang akan dilakukan Sin-tiau-hiap, tetapi kami yakin permainan menarik pasti sedang menanti, maka segala perintah beliau selalu kami laksanakan. Kira-kira lewat tengah malam, Sin-tiau-hiap tiba di kantor walikota. Beliau memakai jubah kebesaran walikota dan duduk di meja sidang. Sekali palu diketok, beliau membentak: ‘Bawa hadir menteri berdosa Ting Tay-coan!’” Sampai di sini ia lantas angkat mangkuk arak dan menenggaknya hingga habis.

“Tatkala itu saudara kerja apa di Lim-an sana?” tanya si orang Kwitang.

“Kerja apa?” lelaki itu menegas dengan mata mendelik “Memangnya apa lagi? Minum arak pakai mangkuk besar, makan daging enak, bagi rejeki dengan timbangan, itulah kerjaku, berusaha tanpa pakai modal.”

Orang Kwitang itu terkejut dan tidak berani bertanya lagi. Dia tahu apa artinya berusaha tanpa pakai modal, yakni merampok, membegal dan sebagainya.

Orang itu lantas bercerita lagi: “Aku melenggong ketika mendengar nama Ting Tay-coan disebut. Bukankah pembesar anjing ini adalah perdana menteri sekarang? Mengapa Sin-tiau-hiap dapat menyeretnya ke sini? Terdengar palu diketok lagi, dua petugas benar-benar menggiring seseorang ke depan sidang. Mungkin saking ketakutan, orang itu gemetar, ingin berlutut, tetapi enggan. Seorang kawan lantas mendepak belakang dengkulnya sehingga dia jatuh bertekuk lutut. Ha-ha-ha, sungguh lucu dan menarik! Sin-tiau-hiap lantas menanyai dia: ‘Ting Tay-coan, apakah kau mengetahui dosamu?’

“Ting Tay-coan menjawab: ‘Tidak tahu’. Sin-tiau-hiap membentak: ‘Kau korupsi dan main kekuasaan, memfitnah dan membunuh menteri setia serta membikin sengsara rakyat. Kau bersekongkol dengan negara musuh. Lekas kau mengakui semua perbuatanmu yang jahat!’ Ting Tay-coan menjawab: ‘Engkau ini siapa? Berani menculik pembesar negeri, apakah kau tidak tahu undang-undang kerajaan?’

“Sin-tiau-hiap menjadi marah dan membentak pula: ‘Hah, kau juga tahu undang-undang segala? Bagus! Hayo anak buah, rangket dia 40 kali lebih dulu!’ Setiap orang sangat benci kepada menteri dorna ini. Sekarang diperintahkan merangketnya, keruan mereka sangat bersemangat, cara merangketnya juga diperkeras. Tentu saja menteri dorna itu berkaok-kaok minta ampun dan jatuh pingsan beberapa kali. Ia tidak berani kepala batu lagi, apa yang ditanya Sin-tiau-hiap diakuinya semua. Sin-tiau-hiap lantas menyuruhnya menulis sendiri pengakuan dosanya. Jika dia ragu-ragu menulisnya, segera Sin-tiau-hiap menyuruh menggebuk pantatnya atau menempeleng.”

Si anak dara cantik tadi mengikik senang, desisnya: “Hi-hi-hi, sungguh menarik!”

Lelaki itu menenggak habis semangkok arak, katanya dengan tertawa: “Ya, memang sangat menarik. Ting Tay-coan itu sangat ketakutan, apa lagi Sin-tiau-hiap ber-ulang mendesak agar cepat menulisnya, sedikit merandek saja segera para kawan disuruh menggebuknya. Akhirnya Ting Tay-coan terkencing-kencing dan ter-berak-berak. Untung baginya, tidak lama kemudian fajar pun menyingsing dan di luar kantor walikota sudah ramai dengan petugas yang datang dinas pagi, malah menyusul ada pasukan yang datang pula, mungkin kebocoran berita dan ada orang yang melapor.

Sin-tiau-hiap menjadi marah dan berteriak: ‘Penggal saja kepalanya!’

Aku tahu Sin-tiau-hiap tak suka sembarangan membunuh orang, tapi kulolos juga golokku terus kuayunkan ke batang leher Ting Tay-coan. Ketika golok terangkat ke atas aku putar sekali, lalu dengan tepat mengetuk kuduk Ting Tay-coan, kontan menteri dorna itu roboh terguling, tapi tidak mati melainkan jatuh pingsan. Rupanya yang mengenai kuduknya adalah punggung golok yang tidak tajam, tapi sudah cukup membuatnya ketakutan setengah mati. Sin-tiau-hiap bergelak tawa dan menyuruh kami mengundurkan diri melalui pintu belakang supaya tidak bentrok dengan pasukan pemerintah.

Konon besoknya Sin-tiau-hiap mengirim sendiri pengakuan dosa Ting Tay-coan itu kepada si kaisar tua, tapi entah ocehan apa Ting Tay-coan membuat si kaisar tetap percaya penuh kepadanya dan tetap menyuruhnya menjabat perdana menteri hingga saat ini.”

“Kalau saja Sri Baginda tidak ngawur dan lemah, tentu kaum dorna tidak akan berkuasa. Tampaknya tanah air kita yang jaya ini sukar dipertahankan lagi,” ujar Ong-ciangkun cilik.

“Ya, kecuali Sin-tiau-hiap yang menjadi perdana menteri barulah pasukan musuh dapat dikalahkan dan dunia ini pun menjadi aman,” kata lelaki tadi.

“Huh, dia sesuai menjadi perdana menteri?” tiba-tiba si nyonya cantik nyeletuk.

Laki-laki tadi menjadi gusar dan menjawab: “Kalau dia tidak sesuai, memangnya kau yang sesuai?”

Nyonya cantik itu naik pitam dan langsung membentak: “Kau ini kutu macam apa, berani kasar padaku?”

Dilihatnya laki-laki itu sedang memegang sepotong besi pengaduk api dan lagi menyorong kayu bakar ke onggokan api unggun supaya berkobar lebih keras. Sekenanya dia jemput sepotong kayu dan menyeruk ke besi pengaduk api itu. Seketika tangan lelaki itu tergetar kesemutan.

“Trangg...!” Pengaduk api itu jatuh ke lantai dan memercikkan lelatu sehingga beberapa jenggotnya terbakar hangus.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar