Sabtu, 09 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 158

“Tentu saja ingat,” jawab Yo Ko.

“Kau pernah bersumpah bahwa selama hidupmu kau akan tunduk pada perkataanku, apa pun yang kukatakan tak akan kau bantah. Sekarang aku sudah menjadi isterimu, menurut pendapatmu sepantasnya aku harus ‘setelah menikah tunduk kepada suami’ ataukah kau yang harus ‘tetap tunduk kepada perintah guru’?”

“Ahh, apa pun yang kau katakan, itu pula yang kukerjakan,” jawab Yo Ko tertawa “Perintah guru tak berani kubantah, perintah isteri lebih-lebih tak berani kubangkang.”

“Bagus, asal kau ingat saja,” kata Siao-liong-li.

Mereka duduk bersandar. Pemandangan sekeliling sungguh indah permai sehingga rasanya berat untuk berpisah. Dari jauh mereka mendengar suara Bu Sam-thong memanggil mereka bersantap. Mereka saling pandang dengan tersenyum dan sama-sama berpendapat untuk apa bersantap dengan meninggalkan pemandangan indah yang sukar dicari ini?

Sementara hari sudah mulai gelap, mereka sudah teramat lelah sehari semalam, apa lagi mereka pun sama-sama terluka, selang tak lama, tanpa terasa mereka tertidur. Sampai tengah malam, layap-layap Yo Ko memanggil:

“Apakah kau kedinginan, Liong-ji?” Berbareng ia hendak merangkulnya, tapi siapa tahu rangkulannya telah merangkul tempat kosong.

Keruan dia terkejut dan cepat membuka mata, ternyata Siao-liong-li telah menghilang entah ke mana. Segera dia melompat bangun. Dia memandang sekitarnya. Bulan sabit menghias di angkasa menyinari bumi, suasana sunyi senyap, mana ada bayangan Siao-liong-li? Yo Ko berlari-lari ke atas gunung sambil berteriak-teriak:

“Liong-ji...! Liong-ji...!”

Seketika suaranya bergema, kata-kata ‘Liong-ji’ itu berkumandang dari lembah pegunungan, namun tetap tiada jawaban.

“Ke mana perginya?” tidak kepalang cemasnya Yo Ko.

Dia tidak menguatirkan Siao-liong-li dicelakai binatang buas, sebab diketahuinya bahwa di pegunungan ini tidak ada sesuatu binatang buas yang menakutkan, andaikan ada juga tak dapat mengganggu Siao-liong-li. Kalau bertemu dengan musuh tangguh, mustahil dirinya tidak mengetahuinya mengingat mereka berdua tidur berdampingan.

Karena teriakan Yo Ko inilah serentak It-teng Taysu, Oey Yong, Cu Cu-liu dan lain-lainnya terjaga bangun. Ketika mendengar Siao-liong-li menghilang entah ke mana, semua orang merasa heran, beramai-ramai mereka ikut mencari di segenap pelosok lembah pegunungan itu, namun tetap tidak ditemukan jejaknya.

“Tentu dia sengaja tinggal pergi sehingga aku sama sekali tidak mengetahuinya,” begitu pikir Yo Ko, “Tetapi mengapa dia pergi begitu saja tanpa pamit? Hal ini pasti ada sangkut-pautnya dengan pembicaraannya dengan bibi Kwe siang tadi. Ketika itu dia tampak sedih dan mengajak aku ke sini, tentu disebabkan setelah berbicara dengan bibi Kwe.”

Karena pikiran ini, segera ia tanya Oey Yong dengan suara keras: “Kwe-pekbo, apa yang kau bicarakan dengan Liong-ji siang tadi?”

Oey Yong sendiri tidak habis mengerti mengapa mendadak Siao-liong-li menghilang. Dia lihat urat hijau di dahi Yo Ko menonjol, cara bicaranya rada kasar, segera dia tahu gelagat tidak enak. Cepat dia menjawab:

“Aku minta dia agar suka membujuk kau minum Toan-jong-cau itu agar racun dalam tubuhmu bisa dipunahkan.”

Tanpa pikir Yo Ko berteriak lagi: “Jika dia tak dapat hidup lama lagi, untuk apa aku hidup sendirian di dunia ini?”

“Jangan kuatir, Ko ji,” Oey Yong berusaha menghibur. “Seketika nona Liong entah pergi ke mana, tapi mengingat ilmu silatnya yang maha tinggi kukira dia takkan berhalangan apa pun, masa kau bilang dia tak dapat hidup lama lagi?”

Saking cemasnya Yo Ko tak dapat menguasai perasaannya lagi, teriaknya gemas: “Puteri kesayanganmu telah menyarangkan jarum berbisa di tubuhnya, waktu itu dia sedang mengatur jalan darah secara terbalik untuk menyembuhkan lukanya, maka seluruh racun jarum itu sudah tersedot ke jantungnya, dalam keadaan begitu mana dia dapat hidup lama lagi, dia kan bukan dewa?”

Tentu saja Oey Yong tidak pernah menyangka akan kejadian itu. Biar pun dia mendengar dari Kwe Hu bahwa Yo Ko dan Siao-liong-li telah keliru dilukainya dengan jarum berbisa di kuburan kuno, tetapi dia pikir Yo Ko berdua adalah ahli waris Ko-bong-pay, satu aliran dengan Li Bok-chiu, maka tentu saja mereka memiliki obat penawar perguruannya untuk menyembuhkannya. Sekarang mendengar ucapan Yo Ko ini, seketika mukanya menjadi pucat terkejut. Cepat sekali Oey Yong menggunakan otaknya, segera terpikir olehnya: “Kiranya Ko-ji tak mau minum Coat-ceng-tan itu adalah karena jiwa isterinya sudah pasti takkan tahan lama lagi, makanya dia tak ingin hidup sendiri. Lantas ke mana perginya nona Liong sekarang?”

Ia memandang ke puncak gunung yang bergoa dan telah menelan Kiu Jian-jio serta Kongsun Ci. Tanpa terasa ia merinding sendiri. Tanpa berkedip Yo Ko memandangi Oey Yong, dengan sendirinya dia pun dapat meraba jalan pikiran nyonya cerdik yang gemetar memandangi puncak gunung. Seketika dia kuatir dan marah, katanya:

“Sudah jelas jiwanya sukar dipertahankan, lalu kau membujuk dia supaya membunuh diri untuk menyelamatkan jiwaku, begitu bukan? Mungkin kau kira tindakanmu ini ada baiknya bagiku, tapi aku... aku... Oh, betapa benciku padamu...”

Sampai di sini dadanya menjadi sesak, ia roboh pingsan. Cepat It-teng mengurut gitok anak muda itu sejenak dan per-lahan Yo Ko siuman kembali, Oey Yong lantas berkata:

“Aku hanya membujuk dia supaya menyelamatkan jiwamu dan sama sekali tidak meminta dia bunuh diri. Kalau kau tidak percaya, terserah padamu!”

Semua orang saling pandang dengan bingung. Mendadak Thia Eng berkata: “Lekas kita membuat tali panjang dari kulit pohon, biar aku turun ke dalam goa untuk mencari Liong-cici, barang kali... barang kali dia tergelincir...”

“Ya, betapa pun kita harus mencarinya hingga jelas persoalannya,” ujar Oey Yong.

Segera mereka bekerja keras mengupas kulit pohon untuk dipintal menjadi tali besar. Di situ banyak orang bertenaga kuat, maka tak lama kemudian tali yang panjangnya ratusan meter sudah jadi. Beramai-ramai para anak muda itu mengajukan diri untuk menyelidiki goa di bawah tanah itu.

“Biar aku sendiri yang turun ke sana,” kata Yo Ko.

Semua orang memandang Oey Yong untuk menunggu keputusan darinya. Oey Yong tahu dirinya dicurigai Yo Ko, kalau keinginan anak muda itu dicegah pasti takkan digugu. Sebaliknya kalau dibiarkan turun ke bawah, kemudian ternyata Siao-liong-li betul terjatuh dan meninggal di sana, maka pastilah anak muda itu takkan mau naik lagi. Selagi Oey Yong ragu-ragu, tiba-tiba Thia Eng berkata dengan ikhlas:



“Yo-toako, aku saja yang turun ke sana. Dapatkah engkau mempercayaiku?”

Kecuali Siao-liong-li, hanya Thia Eng saja yang paling digugu Yo Ko. Apa lagi dia sendiri pun sedih dan bingung, kaki tangan terasa lemas, maka terpaksa dia mengangguk setuju. Segera Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain yang bertenaga kuat memegangi tali panjang itu untuk menurunkan Thia Eng ke dalam goa di bawah tanah. Karena lubang goa di bawah tanah itu terletak di puncak bukit, maka dalamnya juga sama tinggi dengan puncak itu. Tali panjang itu terus diulur hingga tertinggal beberapa meter saja barulah Thia Eng mencapai tanah. Beramai-ramai semua orang berdiri mengelilingi lubang goa dan tidak ada seorang pun yang bicara.

Oey Yong hanya saling pandang dengan Cu Cu-liu, apa yang mereka pikir adalah sama, yakni kalau Siao-liong-li benar-benar meninggal di bawah sana, pasti Yo Ko akan terjun juga ke dalam goa, hal ini harus dicegah sebisanya. Begitulah dengan perasaan cemas dan gelisah semua orang memandangi lubang goa itu sambil menantikan berita yang akan dibawa oleh Thia Eng. Sekian lama mereka menanti dengan tidak sabar, sedangkan Thia Eng masih belum nampak memberi tanda untuk naik kembali ke atas. Tidak lama kemudian, mendadak tali yang dipegang Bu Sam-thong itu bergoyang-goyang beberapa kali. Kwe Hu dan lain-lain lantas berteriak:

“Lekas kerek dia ke atas!”

Mereka lantas menarik sekuatnya sehingga Thia Eng bisa dikerek ke atas. Sebelum keluar dari lubang goa Thia Eng sudah berteriak-teriak :

”Tidak ada, tidak ada Liong-cici di bawah sana!”

Semua orang menjadi girang dan segera menarik napas lega. Sejenak kemudian Thia Eng menongol keluar, lalu berkata:

“Yo-toako, sudah kuperiksa dengan teliti, di bawah sana hanya ada mayat Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio yang sudah hancur dan tiada terdapat benda lain.”

“Kita sudah mencari rata segenap pelosok dan tidak menemukannya, kukira saat ini nona Liong pasti sudah meninggalkan lembah ini,” kata Cu Cu-liu setelah berpikir sejenak.

Tiba-tiba Bu-siang berseru: “He, masih ada tempat yang belum kita longok, bisa jadi Liong-cici sedang berusaha menemukan Coat-ceng-tan yang terbuang...”

Tidak sampai habis ucapan Bu-siang, hati Yo Ko tergetar dan segera dia berlari ke tebing curam kemarin itu, sembari berlari dia pun berteriak-teriak:

“Liong-ji...! Liong-ji...!”

Setiba di tebing itu, tampak kabut membungkus permukaan jurang, awan mengapung di udara, kicau burung saja tak terdengar apa lagi bayangan manusia. Yo Ko pikir Siao-liong-li adalah orang yang berhati polos dan lugu, apa pun yang dia pikir pasti dikatakan padaku. Ketika berbaring di tanah rumput itu dia hanya mengatakan agar aku ingat saja sumpahku akan patuh pada perkataannya. “Sudah tentu aku tidak pernah membantah kehendaknya, mengapa perlu ditegaskan lagi? Namun dia kan tidak pernah memberi pesan apa-apa padaku?” Begitulah dia menengadah dan bergumam pelan.

“Liong-ji... Oh, Liong-ji, ke manakah kau sesungguhnya? Sebenarnya kau ingin aku mematuhi perkataanku tentang apa?”

Ia memandang ke tebing di depan sana, samar-samar tampak bayangan nona berbaju putih dengan bunga merah tersunting di sanggulnya, bayangannya yang mengambang itu seperti saling bertempur melawan Kongsun Ci.

“Liong-ji!” Yo Ko berteriak lagi, tetapi setelah diperhatikan lagi, mana ada bayangan Siao-liong-li? Hanya bunga salju belaka yang bertebaran tertiup angin, tapi bunga merah yang dipetiknya kemarin itu memang benar berada di bawah tebing sana.

Yo Ko menjadi heran, padahal waktu Siao-liong-li menempur Kongsun Ci di situ kemarin belum ada bunga merah itu. Tebing hanya batu karang belaka tanpa tetumbuhan apa pun, mengapa ada bunga di situ? Kalau bunga itu jatuh ke situ tertiup angin, mana bisa terjadi secara kebetulan begitu? Segera dia menarik napas panjang dan berlari ke tebing sana melalui jembatan batu yang sempit itu. Sesudah dekat, seketika hatinya tergetar hebat. Jelas itu adalah bunga merah yang dipetiknya untuk Siao-liong-li. Kelopak bunga kelihatan sudah layu namun dapat dikenalnya dengan jelas, bahkan waktu itu dia sendiri memberi nama ‘Liong-li-hoa’ untuk bunga merah ini. Kalau bunga ini terjatuh di sini, maka Siao-liong-li pasti juga pernah datang ke sini.

Dia jemput bunga itu dan dilihatnya di bawah bunga ada satu bungkusan kertas. Cepat dia membuka bungkusan itu, isinya adalah setangkai rumput warna ungu, yaitu Toan-jong-cau yang tumbuh di bawah semak-semak bunga cinta. Hati Yo Ko berdebar-debar keras. Ia coba meneliti kertas pembungkus rumput itu, namun tiada sesuatu tulisan apa-apa.

“Yo-toako!” terdengar Bu-siang memanggil di seberang, “apa yang kau lakukan di sana?”

Waktu Yo Ko menoleh, terlihat di dinding tebing terukir dua baris huruf dengan ujung pedang, huruf yang satu baris lebih besar dan tertulis:

‘16 tahun lagi berjumpa di sini, cinta murni suami isteri, jangan sekali-sekali ingkar janji’.

Sedang baris huruf yang lebih kecil tertulis: ‘Dengan sangat Siao-liong-li menyampaikan pesan kepada suamiku Yo Ko supaya menjaga diri baik-baik dan harus berusaha untuk berkumpul kembali’.

Yo Ko terus memandangi dua baris tulisan itu dengan termangu-mangu, ia tidak paham apa maksud Siao-liong-li. Pikirnya: “Dia berjanji padaku untuk berjumpa lagi di sini 16 tahun kemudian, lalu ke mana perginya sekarang? Dia mengidap racun jahat dan sukar disembuhkan, mungkin sepuluh hari atau setengah bulan saja tidak tahan, mana bisa dia mengadakan janji bertemu 16 tahun lagi? Sudah jelas dia mengetahui Coat-ceng-tan yang dapat menyelamatkan jiwaku telah kubuang ke jurang, mana bisa pula dia menunggu aku sampai 16 tahun lamanya?”

Begitulah makin dipikir semakin ruwet sehingga tubuhnya sempoyongan. Melihat keadaan Yo Ko yang linglung, semua orang menjadi kuatir kalau-kalau anak muda itu tergelincir ke dalam jurang. Tapi untuk menyeberang ke sana dan membujuknya juga sulit karena jembatan itu sangat sempit. Kalau mendadak dia menjadi kalap, apa lagi ilmu silatnya sedemikian tinggi, siapa yang mampu mengatasinya dan pasti akan ikut terjeblos ke dalam jurang. Oey Yong mengerut kening, katanya kemudian kepada Thia Eng:

“Sumoay, tampaknya dia masih mau menurut perkataanmu.”

“Baiklah, coba kupergi ke sana,” jawab Thia Eng dan segera melompat ke atas jembatan batu lalu melangkah ke sana.

Mendengar suara tindakan orang dari belakang, segera Yo Ko membentak: “Siapa pun tak boleh ke sini!” Cepat ia pun membalik tubuh dengan mata mendelik.

“Akulah, Yo-toako!” seru Thia Eng dengan suara lembut. “Aku hanya ingin membantu kau mencari Liong-cici dan tiada maksud lain.”

Sejenak Yo Ko mengawasi Thia Eng dengan termenung, kemudian sorot matanya mulai berubah halus. Thia Eng melangkah maju dan bertanya:

“Apakah bunga merah ini tinggalan Liong-cici?”

“Ya,” Yo Ko menjawab. “Mengapa harus 16 tahun? Mengapa?”

Sudah tentu Thia Eng tidak paham dengan apa yang dikatakan Yo Ko. Setelah berada di seberang dapatlah ia membaca tulisan yang terukir di dinding tebing itu. Ia pun merasa heran. Katanya kemudian:

“Kwe-hujin banyak tipu daya, cara memecahkan persoalan juga sangat jitu, mari kita kembali ke sana dan tanya beliau, tentu akan mendapatkan keterangan yang memuaskan.”

“Benar,” ujar Yo Ko. “Awas, jembatan itu sangat licin, kau harus hati-hati!”

Segera ia mendahului melompat ke seberang sana serta menceritakan kedua baris tulisan itu kepada Oey Yong. Untuk sekian lamanya Oey Yong merenungkan arti tulisan itu, tiba-tiba matanya bercahaya dan berkeplok tangan, katanya dengan tertawa:

“Wah, selamat, Ko-ji, selamat!”

Kejut dan girang Yo Ko, cepat dia bertanya: “Maksudmu... maksudmu itu berita baik?”

“Ya, tentu saja,” jawab Oey Yong, “Rupanya adik Liong sudah bertemu dengan Lam-hay Sin-ni (Rahib sakti dari lautan selatan), sungguh penemuan yang sukar dicari.”

“Lam-hay Sin-ni?” Yo Ko mengulang nama ini dengan bingung. “Siapakah dia?”

“Lam-hay Sin-ni adalah nabi besar agama Buddha jaman kini,” tutur Oey Yong, “Agama beliau sukar dijajaki, tingkatannya bahkan jauh lebih tinggi dari pada It-teng Taysu. Tapi lantaran dia jarang ke Tionggoan, maka jarang ada tokoh dunia persilatan yang kenal namanya, Dulu ayahku pernah bertemu satu kali dengan beliau dan beruntung mendapat ajaran sejurus ilmu pukulan dari beliau. Yah, 16, 32, 48, ya benar, kejadian itu sudah 48 tahun yang lalu.”

Yo Ko merasa sangsi. “48 tahun yang lalu?“ Dia menegas.

“Benar,” jawab Oey Yong, “Usia Sin-ni itu mungkin kini sudah dekat satu abad. Menurut cerita ayahku, tiap 16 tahun sekali ia datang ke Tionggoan. Celakalah orang jahat yang kepergok olehnya, tapi beruntunglah orang baik yang bertemu dengan beliau. Nona cantik seperti adik Liong itu pasti sangat disukai oleh Sin-ni, maka bisa jadi sudah menerimanya sebagai murid dan dibawa ke Lam-hay.”

“Setiap 16 tahun satu kali?” Yo Ko menggumam. Mendadak dia berpaling kepada It-teng Taysu dan bertanya: “Apakah betul begitu, Taysu?”

Belum lagi It-teng menjawab, cepat Oey Yong menimbrung: “Meski agamanya tinggi, tapi tabiat Sin-ni ini rada aneh. Apakah Taysu juga pernah bertemu dengan beliau?”

“Oh, sayang, belum pernah kulihat dia,” jawab It-teng singkat.

“Sungguh orang tua yang agak kurang bijaksana,” kata Oey Youg pula. “Masa orang muda yang baru bersuami isteri diharuskan berpisah 16 tahun lamanya, bukankah terlalu kejam? Padahal ilmu silat adik Liong sudah sedemikian tinggi, kalau belajar lagi 16 tahun, supaya dia dapat mengatasi dan menundukkan sang suami? Ha-ha-ha!”

“Ahh, kukira bukan begitu, Kwe-pekbo,” kata Yo Ko.

“Bagaimana?” tanya Oey Yong.

Yo Ko lantas mengulangi kembali cerita mengenai Siao-liong-li yang sedang mengadakan penyembuhan luka dalamnya dan mendadak terkena jarum berbisa yang disambitkan Kwe Hu sehingga racun terseret ke dalam jantung, akhirnya ia berkata:

“Jika benar Liong-ji mendapatkan perhatian Sin-ni, maka dalam 16 tahun ini Sin-ni pasti akan menggunakan kesaktiannya untuk menguras racun yang terkumpul dalam tubuh Liong-ji. Tadinya kukira dia... dia pasti tak dapat disembuhkan lagi.”

“Tentang secara semberono anak Hu mencelakai adik Liong juga baru kudengar dari anak Hu semalam,” tutur Oey Yong. “Ko-ji, apa yang kau duga barusan ini memang masuk di akal. Kukira untuk menyembuhkan adik Liong memang sukar dilaksanakan dalam waktu singkat biar pun Sin-ni memiliki obat mujarab. Jadi kita berharap saja semoga Sin-ni menaruh belas kasihan dan dapat mengirim kembali adik Liong padamu sebelum waktu yang ditentukan.”

Selamanya Yo Ko belum penuh mendengar tokoh sakti bernama ‘Lam-hay Sin-ni’ segala, hatinya menjadi ragu-ragu. Hendak tidak percaya, tetapi bunga ditemukannya dan tulisan juga terukir jelas, semua itu adalah bukti nyata yang tak dapat dibantah. Jika Siao-liong-li mengalami sesuatu, mengapa dia menjanjikan pertemuan 16 tahun kelak? Sesudah berpikir sejenak, tiba-tiba dia tanya Oey Yong:

“Kwe-pekbo, dari mana engkau mengetahui Liong-ji dibawa pergi Lam-hay Sin-ni? Sebab apa pula dia tidak menuliskan kejadian yang sebenarnya agar aku tidak kuatir baginya?”

“KesimpuIanku ini kutarik dari kalimat ‘16 tahun lagi’ itu,” tutur Oey Yong, “Kutahu setiap 16 tahun sekali Lam-hay Sin-ni pasti datang ke Tionggoan, kecuali dia rasanya tiada orang kosen lain yang mempunyai kebiasaan aneh begitu. It-teng Taysu, apakah engkau teringat ada orang kosen lain lagi?”

It-teng menggeleng dan menyatakan tidak ada. Maka Oey Yong berkata pula: “Malahan Nikoh sakti itu pun merasa sungkan namanya disebut-sebut orang, dengan sendirinya dia tidak mengijinkan adik Liong menulis namanya di atas batu. Cuma sayang Toan-jong-cau ini entah dapat menawarkan racun dalam tubuh atau tidak. Jika... jika tidak, aih, 16 tahun kemudian adik Liong akan pulang dan bila tidak dapat bertemu lagi dengan kau, mungkin dia pun tidak ingin hidup lagi.”

Air mata Yo Ko berlinang-linang pada kelopak matanya sehingga pandangannya menjadi samar-samar. Lapat-lapat seperti dilihatnya ada bayangan putih di seberang sana, seolah-olah 16 tahun sudah lewat dan Siao-liong-li sedang mencarinya di situ, tapi tidak bertemu sehingga sangat kecewa dan berduka.


KEMBALI KEPADA RAJAWALI SAKTI

Angin dingin bertiup membuat Yo Ko menggigil. Segera ia berkata dengan tegas: “Kwe-pekbo, biarlah aku pergi ke Lam-hay untuk mencari Liong-ji, entah Sin-ni berdiam di mana?”

“Ko-ji,” jawab Oey Yong dengan suara lembut. “Kau jangan berpikir begitu. Tay-ti-to yang menjadi pulau kediaman Lam-hay Sin-ni itu mana boleh diinjak orang luar. Bahkan setiap lelaki yang berani mendekati pulau itu akibatnya akan binasa. Dahulu ayahku sudah mendapat anugerah beliau, tetapi ayah juga belum pernah berkunjung ke sana. Kalau adik Liong sudah diterima oleh Sin-ni, janji bertemu 16 tahun kelak dengan cepat akan berlalu, mengapa engkau mesti tergesa-gesa mencarinya?”

Dengan mata membelalak Yo Ko menatap tajam Oey Yong dan menegas: “Ucapan Kwe- pekbo ini sesungguhnya betul atau tidak?”

“Terserah kau mau percaya atau tidak,” jawab Oey Yong.

“Boleh kau periksa lagi ukiran tulisan di dinding sana, kalau bukan tulisan tangan adik Liong, maka apa yang kukatakan mungkin juga tidak betul.”

“Gaya tulisan itu memang benar tulisan tangan Liong-ji,” ujar Yo Ko. “Setiap kali menulis huruf Yo, pada titik kanan itu selalu dia tarik agak panjang, hal ini tak mungkin dipalsukan orang.”

“Bagus kalau begitu,” seru Oey Yong sambil keplok. “Terus terang kukatakan, aku sendiri merasa kejadian ini teramat kebetulan dan semula aku pun mencurigai Cu-toako yang sengaja mengatur sandiwara ini untuk mengelabui kau.”

Yo Ko termenung sejenak, katanya kemudian: “Baiklah aku akan coba-coba minum Toan-jong-cau ini. Jika tidak berhasil, 16 tahun yang akan datang tolong Kwe-pekbo memberi-tahukan kejadian ini kepada isteriku yang bernasib buruk.” Lalu ia berpaling dan tanya Cu Cu-liu: “Cu-toasiok, bagaimana caranya minum obat rumput ini?”

Cu Cu-liu sendiri hanya tahu Toan-jong-cau itu mengandung racun yang keras, akan tetapi dia belum pernah mendengar bagaimana cara menggunakan racunnya untuk mengobati racun. Terpaksa ia bertanya kepada It-teng:

“Suhu, soal ini harus minta petunjuk engkau.”

It-teng Taysu segera menggunakan It-yang-ci dan menotok empat Hiat-to di bagian yang berhubungan dengan ulu hati, serentak Yo Ko merasakan hawa hangat menyalur ke dada, rasa sesak tadi lantas longgar.

“Karena racun bunga cinta ini berhubungan dengan hati dan perasaan, maka waktu Toan-jong-cau menawarkan racunnya pasti juga akan menyerang bagian hati, sebab itulah aku menotok empat Hiat-to untuk melindungi urat nadi jantung hati. Sekarang kau boleh coba minum satu tangkai dulu rumput rantas usus itu,” demikian kata It-teng.

Yo Ko lantas mengucapkan terima kasih. Pada waktu mendengar paderi Hindu itu dibinasakan oleh Li Bok-chiu, ia merasa putuslah harapannya dalam usaha menyembuhkan Siao-liong-li, maka ia sendiri pun bertekad akan mati saja bersama sang isteri. Kini dia dijanjikan bertemu lagi 16 tahun kemudian, segera hasrat ingin hidupnya berkobar kembali. Cepat ia keluarkan setangkai Toan-jong-cau atau rumput rantas usus itu dan terus saja dikunyahnya.

Ia merasa pahitnya luar biasa melebihi bratawali. Tapi baik airnya mau pun ampasnya Yo Ko telan mentah-mentah. Kalau sebelum ini ia tidak ingin hidup sendirian tanpa Siao-liong-li, sekarang dia kuatir akan mati lebih dulu sehingga 16 tahun kemudian Siao-liong-li tak dapat menemukannya di puncak gunung ini. Ia lantas duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalam untuk melindungi urat nadi jantung hati. Selang tak lama mendadak perutnya mulas, menyusul kesakitan seperti di-iris-iris dan laksana dicocok beribu-ribu jarum sekaligus, tetapi dia bertahan sekuatnya tanpa merintih sedikit pun. Selang tak lama rasa sakit itu hampir merata di seluruh badan, ruas tulang se-akan terlepas semuanya.

Rasa sakit itu berlangsung lama, kemudian mulai berkurang dan hanya di bagian perut saja yang masih mulas. Mendadak Yo Ko menumpahkan darah merah segar seperti darah orang sehat. Thia Eng dan Bu-siang menjerit kaget melihat anak muda ini tumpah darah. Tapi It-teng tampak girang dan menggumam perlahan:

“Wah Sute, meski sudah wafat engkau tetap meninggalkan pahala.”

Serentak Yo Ko melompat bangun dan berseru: “Jiwaku ini adalah pertolongan dari paderi Thian-tiok, It-teng Taysu dan Kwe-pekbo bertiga.”

“He, apakah kadar racun dalam tubuhmu sudah punah seluruhnya?” Bu-siang bertanya dengan girang.

“Mana bisa begitu cepat?” ujar Yo Ko. “Cuma sekarang sudah jelas kemanjuran obat ini, asalkan setiap hari minum satu tangkai tentu kadar racun akan semakin berkurang.”

“Tetapi kalau tidak dapat diketahui kapan lenyapnya racun dalam tubuhmu, kalau engkau masih terus makan rumput rantas usus itu, jangan-jangan isi perutmu ikut hancur,” kata Bu-siang.

“Hal ini tentu dapat kurasakan sendiri,” kata Yo Ko. “Jika kadar racun belum bersih, bila timbul... timbul rasa cintaku, segera dadaku akan kesakitan.”

“Semoga engkau jangan banyak pikir dulu,” ujar Bu-siang.

Sejak tadi Kwe Hu hanya mendengarkan saja, sekarang mendadak ia menimbrung: “Hm, yang dipikirkan Yo-toako tentulah Liong-cici, masa dia memikirkan dirimu?”

Cepat Oey Yong membentaknya: “Kau mengoceh apa, anak Hu?!”

Muka Bu-siang menjadi merah. Malahan Kwe Hu terus menambahkan lagi: “16 tahun lagi Liong-cici pasti akan pulang, sebaiknya kau jangan sembarang mimpi.”

Bu-siang tidak tahan lagi. “Srettt...!”

Mendadak dia melolos goloknya terus membentak sambil menuding Kwe Hu: “Jika bukan gara-garamu, masa Yo-toako sampai harus terpisah selama 16 tahun dengan Liong-cici? Coba renungkan, betapa hebat kau membikin susah Yo-toako!”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar