Sabtu, 09 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 157

“Tampaknya Susiok mendadak meninggal sehingga sama sekali tidak menderita,” ujar Bu Sam-thong.

Cu Cu-liu berpikir sejenak, lalu berkata, “Waktu itu Susiok sedang mencari rumput yang dapat memunahkan racun bunga cinta.”

Sementara itu Oey Yong dan It-teng Taysu juga sudah menyusul tiba. Demi mendengar ucapan Cu Cu-liu itu, Oey Yong memeriksa sekitar jenazah paderi Hindu, tetapi tidak menemukan sesuatu yang aneh. Dia coba meraba baju paderi itu namun tetap tiada menemukan sesuatu benda.

“Apakah susiok-mu tidak meninggalkan sesuatu pesan?” tanyanya kepada Cu-liu.

“Tidak,” jawab Cu-Jiu, “Kami keluar dari rumah omprongan dan tidak menyangka akan disergap musuh secara mendadak.”

Tiba-tiba Oey Yong melihat air muka paderi Hindu yang mengulum senyum. Pikirannya tergerak, cepat dia memeriksa tangan paderi itu. Tampaklah kedua jari tangan kanannya memegang setangkai kecil rumput warna ungu. Perlahan Oey Yong mementang jarinya dan rumput kecil itu diambilnya, lalu bertanya:

“Rumput apa ini?”

Cu-liu menggeleng karena tidak tahu. Oey Yong coba mengendus rumput itu, terasa bau busuk dan memuakkan.

“Awas, Kwe-hujin, itu Toan-jong-cau (rumput perantas usus) yang mengandung racun hebat,” cepat It-teng berseru.

Oey Yong melengak dan sangat kecewa oleh keterangan itu. Sementara dua saudara Bu sudah tiba sambil menggiring Li Bok-chiu. Mendengar rumput itu beracun, Bu Siu-bun berkata kepada Oey Yong:

“Sunio (ibu guru), suruh iblis maha jahat ini makan rumput itu saja.”

“Aih, anak kecil jangan berpikiran buruk begitu,” ujar It-teng.

“Cosu-yaya (kakek guru), terhadap manusia jahat seperti ini kenapa kasihan?” ujar Siu-bun.

Dalam pada itu pepohonan di sebelah sana sudah terjilat api dan menerbitkan suara pletak pletok yang keras, hawa panas juga semakin hebat. Cepat Oey Yong berkata:

“Marilah kita mundur ke atas bukit bukit di sebelah timur sana.”

Mereka berlari ke lereng bukit, terlihatlah bangunan yang ber-deret itu dalam waktu singkat musnah ditelan lautan api. Karena Hiat-to-nya tertotok, meski pun dapat berjalan tapi ilmu silat Li Bok-chiu tak dapat digunakan sama sekali. Diam-diam dia mengerahkan tenaga dalam, maksudnya hendak melancarkan Hiat-to yang tertotok itu supaya dapat meloloskan diri kalau penjagaan agak lengah. Tak terduga begitu ia mengerahkan tenaga, seketika dada dan perutnya kesakitan bukan main, tak tahan lagi ia menjerit. Rupanya racun bunga cinta yang mengeram dalam tubuhnya semula terbendung oleh tenaga murninya. Kini tenaga murninya dipergunakan untuk menembus Hiat-to yang tertotok hingga tenaganya terpencar, maka racun lantas bekerja dengan ganasnya.

Dalam keadaan dada dan perut kesakitan hebat, dari jauh dilihatnya Yo Ko dan Siao-liong-li berjalan mendatangi, yang satu pemuda cakap ganteng, yang lain nona cantik molek. Pandangannya seketika menjadi kabur, samar-samar kedua muda-mudi yang dilihatnya seakan-akan Liok Tian-goan yang dirindukannya selama hidup ini beserta isterinya, yaitu Ho Wan-kun, tanpa terasa ia berteriak:

“Tian-goan, kejam benar kau! Dalam keadaan begini tega benar kau menemui aku?”

Karena rangsangan cintanya itu, racun bunga semakin hebat menyiksanya hingga sekujur badan gemetar, kulit daging mukanya berkerut-kerut kejang. Melihat sikapnya yang menakutkan seperti orang gila, tanpa terasa semua orang melangkah mundur. Selamanya Li Bok-chiu berwatak angkuh dan tidak pernah mau tunduk kepada orang lain. Kini hatinya terasa pedih dan tubuhnya menderita, saking tidak tahan dia berteriak-teriak:

“Aduh, sakit! Tolong...! Lekas tolong...!”

“Sebenarnya Susiok-ku dapat menolong kau, namun kau sudah membunuhnya,” kata Cu Cu-liu sambil menunjuk jenazah paderi Hindu.

Sambil mengertak gigi Li Bok-chiu menjawab: “Benar, memang akulah yang membunuh dia. Setiap manusia di dunia ini, baik atau buruk pasti akan kubunuh. Aku akan mati, ya, aku akan mati! Untuk apa kalian hidup? Aku ingin mati bersama kalian.”

Saking tidak tahan sakitnya, mendadak dia menubruk ke ujung pedang yang dipegang Bu Tun-si. Setiap hari Bu Tun-si berusaha menuntut balas dan ingin membunuh musuh besar ini, tapi sekarang mendadak musuh menubruk ke ujung pedangnya, ia malah menjadi terkejut dan tanpa terasa ia menarik kembali pedangnya, Li Bok-chiu menubruk tempat kosong, ia tergelincir ke bawah bukit terus terguling ke tengah lautan api.

Semua orang menjerit kaget. Dari atas mereka dapat melihat dalam sekejap saja Li Bok-chiu terbungkus kobaran api, tapi dia merangkak bangun lalu berdiri tegak tanpa bergerak lagi dan sama sekali tak menghiraukan tubuhnya yang terbakar. Teringat hubungan saudara seperguruan, Siao-liong-li merasa tidak tega, cepat ia berseru:

“Suci, lekas lari keluar, lekas!”

Namun Li Bok-chiu tetap berdiri tegak di tengah api yang berkobar-kobar itu, dalam waktu singkat saja tubuhnya berubah menjadi sepotong tonggak hitam dan akhirnya roboh. Siao-liong-li memegangi lengan Yo Ko sambil menutupi mukanya serta meneteskan air mata. Selama ini Thia Eng dan Liok Bu-siang tak pernah melupakan sakit hati atas terbunuhnya ayah bunda mereka dan segenap anggota keluarga. Tetapi melihat nasib Li Bok-chiu yang berakhir mengenaskan, meski pun sekarang dendam itu sudah terbalas, namun sedikit pun mereka tidak gembira menyaksikan kematian Li Bok-chiu.

Oey Yong memondong Kwe Siang. Teringat kepada kejahatan yang pernah diperbuat Li Bok-chiu, iblis itu juga pernah melakukan kebaikan, merawat Kwe Siang selama beberapa hari. Oey Yong lantas pegang kedua tangan Kwe Siang dan memberi hormat ke arah api sebagai tanda terima kasih kepada Li Bok-chiu.

Semula Yo Ko bermaksud menyelamatkan jenazah Kongsun Lik-oh juga. Tapi api terlihat berkobar dengan amat hebatnya, segenap bangunan telah tenggelam di tengah lautan api sehingga tidak berdaya lagi. Diam-diam Yo Ko merasa sedih, ia menghela napas panjang sambil memandang kobaran api dengan kesima. Pada saat itu se-konyong-konyong di atas gunung sebelah timur-laut ada suara tertawa melengking aneh laksana bunyi burung hantu, suaranya amat menusuk telinga walau pun berkumandang dari jarak yang cukup jauh, maka dapat dibayangkan tenaga dalamnya sangat hebat.

“ltu suara Kiu Jian-jio!” kata Yo Ko. “Kenapa dia bisa berada di puncak gunung sana?”



Tergerak hati Siao-liong-li, katanya: “Coba kita ke sana untuk menanyai dia apakah masih menyimpan Coat-ceng-tan.”

“Liong-ji, masa sampai sekarang kau masih memikirkan hal itu?” ujar Yo Ko tersenyum getir.

Maksud kedatangan Oey Yong, Bu Sam-thong, Thia Eng dan lain-lain ke Coat-ceng-kok mencarikan obat bagi Yo Ko, maka mereka menyetujui usul Siao-liong-li. Mereka pikir kalau dari Kiu Jian-jio bisa dimintakan Coat-ceng-tan lagi pasti Yo Ko akan dipaksa meminumnya dan takkan membiarkan pemuda itu membuang obatnya lagi secara sia-sia. Karena pikiran mereka sama, berbareng mereka berseru:

“Mari kita pergi ke sana.” Segera Bu Sam-thong bersama kedua puteranya serta Yalu Ce dan Wanyen Peng mendahului berlari ke sana.

Yo Ko menghela napas dan menggeleng kepala, pikirnya: “Apa gunanya usaha kalian ini kecuali kalian dapat mencarikan obat mujijat yang mampu menghidupkan jiwa kami suami isteri sekaligus?”

Sejak tadi Thia Eng hanya memandangi Yo Ko dengan diam-diam, kini mendadak berkata:

“Yo-toako, janganlah engkau mengecewakan maksud baik orang banyak, Mari kita juga pergi ke sana.”

Selama ini Thia Eng sangat baik kepada Yo Ko, dalam hati anak muda ini pun sangat berterima kasih. Walau pun cintanya sudah dicurahkan kepada Siao-liong-li dan tidak mungkin bergeser lagi, tapi terhadap nona yang berpribadi halus budi ini biasanya ia sangat menghormat. Sejak kenal Yo Ko juga Thia Eng tidak pernah memohon sesuatu, kini mendadak mengutarakan itu, betapa pun Yo Ko sukar menolaknya. Terpaksa ia mengangguk dan berkata:

“Baiklah, kita lihat nenek itu main gila apa lagi di puncak gunung sana.”

Begitulah mereka berlari ke atas gunung menurut arah datangnya suara tawa Kiu Jian-jio tadi. Yo Ko sudah pernah melihat pepohonan di atas gunung ini, jelas ini adalah tempat yang pernah dilaluinya ketika dia dan Kongsun Lik-oh serta Kiu Jian-jio lolos dari goa di bawah tanah. Sekarang pemandangan alam masih tetap begitu, tetapi Kongsun Lik-oh sudah tidak ada, dirinya sendiri juga tidak lama lagi tinggal di dunia fana ini. Teringat semua itu, ia menjadi terharu.

Kira-kira beberapa ratus meter di bawah puncak gunung, rombongan melihat jelas Kiu Jian-jio duduk sendirian di kursi dan sedang tertawa menengadah seperti orang gila.

“Dia tertawa sendirian di situ, mungkin otaknya kurang waras,” ujar Bu-siang.

“Kita jangan mendekatinya,” kata Oey Yong “Orang ini sangat kejam dan keji, kita harus waspada kalau-kalau dia mengatur tipu muslihat untuk menjebak kita. Kukira dia tidak gila sungguhan.”

Karena jeri terhadap senjata rahasia nenek gundul yang amat lihay, mereka berhenti di kejauhan. Oey Yong hendak menegur, tiba-tiba terlihat seseorang muncul dari balik karang di depan sana, siapa lagi kalau bukan Kongsun Ci. Mendadak Kongsun Ci menanggalkan jubahnya terus diputar dan dikebaskan hingga lurus dan mengencang. Begitu indah dan kuat gerakannya, sungguh lihay luar biasa. Diam-diam semua orang memuji kehebatan tenaga dalam Kongsun Ci itu. Terdengar dia membentak sambil menyeringai:

“Hm, nenek jahat dan keji, dengan apimu sekaligus kau sudah memusnahkan perkampunganku yang dibangun leluhur kami. Hari ini jiwamu tidak mungkin dapat lolos dari tanganku!” ia berlari ke arah Kiu-Jian-jio sambil memutar jubahnya.

“Serrr...!”

Terdengar suara mendesir keras satu kali, dari mulut Kiu Jian-jio tersembur satu biji buah kurma ke arah Kongsun Ci. Suara desiran itu berkumandang dari puncak gunung, jarak sambaran senjata rahasia itu pun cukup jauh, suaranya menjadi lebih nyaring dan tajam. Kelihatan Kongsun Ci mengebaskan jubahnya, buah kurma itu kena dilibatnya. Tadinya Kongsun Ci tidak yakin jubahnya dapat menahan senjata rahasia yang lihay. Akan tetapi dia amat murka, pula melihat Kiu Jian-jio duduk sendirian di puncak gunung tanpa bala bantuan, ia pikir inilah kesempatan bagus untuk membinasakan bekas isterinya itu. Dengan menyerempet bahaya dia terus menerjang ke situ, apa lagi setelah jelas senjata rahasia isterinya tak dapat melukainya, segera dia menerjang lebih cepat lagi ke depan. Melihat Kongsun Ci sudah dekat sekali, Kiu Jian-jio terlihat ketakutan dan berteriak-teriak:

“Wah, celaka! Tolong...! Tolong...!”

“Nenek itu hendak dibunuhnya, ibu,” kata Kwe Hu kepada Oey Yong.

Oey Yong merasa tidak paham, sebab jelas dilihatnya Kiu Jian-jio masih waras dan segar bugar, mengapa sengaja bergelak tertawa dan memancing kedatangan bekas sang suami itu? Dalam pada itu Kiu Jian-jio telah menyemprotkan dua biji paku buah kurma lagi. Karena jaraknya sudah dekat, daya sambaran senjata rahasia itu lebih keras. Cepat Kongsun Ci putar jubahnya untuk menghalau. Tapi mendadak ia menjerit satu kali, tubuhnya menghilang kejeblos ke bawah tanah dan Kiu Jian-jio bergelak tertawa pula. Namun suara tawanya cuma terdengar “ha-ha...” dua kali saja, sekejap itu dari bawah tanah menyambar keluar kain panjang yang melibat kaki kursi yang diduduki Kiu Jian-jio itu sehingga kursi dan orangnya ikut terseret ke dalam tanah.

Suara tawa Kiu Jian-jio mendadak berubah menjadi jeritan melengking tercampur teriakan ngeri Kongsun Ci berkumandang dari bawah tanah. Suara itu berkumandang sampai lama untuk kemudian mendadak lenyap, lalu keadaan menjadi sunyi kembali. Dari kejauhan semua orang dapat menyaksikan dan mendengar kejadian itu dengan jelas. Mereka saling pandang karena tidak paham sebab musababnya, hanya Yo Ko saja yang tahu jelas seluk-beluk kedua suami isteri itu. Segera mereka berlari ke atas puncak, nampaklah empat pelayan perempuan tergeletak tak bernyawa di situ. Di samping ada sebuah lubang besar, waktu mereka melongok ke bawah, keadaan gelap gulita dan tidak kelihatan apa pun.

Kiranya Kiu Jian-jio yang pernah tersiksa begitu lamanya di goa bawah tanah itu kadung teramat sakit hati dan benci kepada Kongsun Ci. Lebih dulu perkampungan keluarga Kongsun yang bersejarah be-ratus tahun itu dibakarnya habis, kemudian dia menyuruh empat pelayan menggotongnya ke puncak gunung. Melalui lubang goa di puncak inilah tempo hari dia diselamatkan dari goa bawah tanah oleh Yo Ko dan Kongsun Lik-oh. Ia perintahkan pelayan itu mengumpulkan ranting kayu, rumput kering dan sebagainya untuk menutup lubang goa, lalu pelayan-pelayan itu dibinasakannya. Kemudian ia sengaja bergelak tertawa untuk memancing kedatangan Konsun Ci. Ia menyemprotkan paku buah kurma serta menjerit minta tolong, semua ini cuma pura-pura saja agar Kongsun Ci tidak curiga.

Kongsun Ci tidak tahu bahwa di puncak gunung terpencil ini ada lubang goa sedalam itu, tanpa pikir ia menerjang ke arah Kiu Jian-jio dan akhirnya kejeblos. Akan tetapi pada detik terakhir ia masih berusaha mencari hidup, maka sekuatnya ia ayunkan jubahnya untuk membelit kaki kursi Kiu Jian-jio agar dia dapat meloncat ke atas kembali, siapa tahu sekali tarik justru keduanya malah terjerumus ke bawah. Lubang di bawah tanah itu dalamnya ber-puluh meter, keruan tubuh sepasang suami-isteri itu hancur lebur menjadi bakso dan saling lengket tak terpisahkan lagi. Tak disangka semasa hidupnya pasangan yang saling dendam dan benci itu akhirnya mati berbareng pada hari dan detik yang sama, terkubur pada tempat dan liang yang sama pula.

Sesudah Yo Ko menceritakan seluk-beluk kehidupan Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio, semua orang menghela napas gegetun. Yalu Ce dan anak-anak muda lain lantas menggali liang untuk mengubur keempat pelayan itu. Melihat api masih berkobar dengan hebatnya di lembah sana dan jelas tidak ada tempat tinggal lagi, apa lagi setelah menyaksikan korban sebanyak ini, semua orang berharap selekasnya dapat meninggalkan Coat-ceng-kok.

“Penyakit adik Yo Ko masih perlu disembuhkan. Kita harus lekas mencarikan tabib sakti untuk mengobatinya,” ujar Cu Cu-liu.

Semua orang membenarkan usul itu. Tetapi Oey Yong berkata: “Tidak, hari ini kita belum boleh berangkat.”

“Apa Kwe-hujin ada usul lain?” tanya Cu Cu-liu.

Oey Yong mengerutkan kening, jawabnya. “Bahuku terluka dan terasa kesakitan. Kuharap malam ini kalian sudi tinggal lagi di sini, kita berangkat besok saja.”

Bahwa kesehatan Oey Yong terganggu, semua orang menurut untuk bermalam di situ. Mereka lantas pergi mencari goa dan tempat meneduh lain dan sebagainya. Siao-liong-li dan Yo Ko hendak melangkah pergi. Tiba-tiba Oey Yong berseru:

“Liong-moaymoay, coba kemari, ingin kubicarakan sesuatu padamu.” Lalu ia menyerahkan Kwe Siang kepada Kwe Hu dan mendekati Siao-liong-li, katanya kepada Yo Ko dengan tersenyum. “Jangan kuatir, Ko-ji, dia sudah menikah dengan kau, takkan kuhasut untuk minta cerai.”

Yo Ko tersenyum, jawabnya: “Boleh saja kau coba menghasutnya.” Dalam hati ia sangat heran apakah yang hendak dibicarakan sang bibi dengan Siao-liong-li.

Terlihat mereka menuju ke sana lalu duduk di bawah sebatang pohon besar. Meski penuh rasa ingin tahu, namun tidak enak untuk mendekati mereka. Segera terpikir pula olehnya: ”Betapa pun Liong-ji pasti takkan merahasiakan padaku, dia akan memberi-tahukan apa yang dikatakan bibi Kwe.”

Setelah duduk di bawah pohon, Oey Yong berkata: “Adik Liong, sungguh aku sangat menyesal puteriku yang ceroboh dan sembrono itu banyak membikin susah kau dan Ko-ji.”

“Ahh, tidak apa-apa,” ujar Siao-liong-li dengan tersenyum. Tapi dalam hati dia pikir dengan sebuah jarum berbisa puterimu telah mencelakai aku hingga tak dapat disembuhkan lagi, sekali pun kau menyesal seribu kali juga tiada gunanya.

Oey Yong melihat Siao-liong-li bertambah muram. Ia belum tahu bahwa sebuah jarum yang disambitkan Kwe Hu itu sesungguhnya telah menamatkan riwayat Siao-liong-li. Disangkanya racun jarum itu tidaklah sukar disembuhkan seperti Bu Sam-thong dahulu. Yo Ko dan lain-lainnya juga pernah terkena jarum berbisa itu akan tetapi semuanya dapat disembuhkan. Dia tidak tahu bahwa ketika terkena jarum berbisa itu, Siao-liong-li sedang memutar balik jalan darahnya menurut ajaran Yo Ko sehingga keadaannya sama sekali berbeda.


JANJI ENAM BELAS TAHUN

Tetapi karena waktu itu Oey Yong sendiri tidak ikut masuk ke kuburan kuno, maka dia tidak tahu duduknya perkara. Segera ia berkata lagi:

“Ada sesuatu yang ingin kumintakan penjelasanmu. Dengan susah payah adik berhasil merebut Coat-ceng-tan, tapi Ko-ji tidak mau meminumnya, bahkan dibuang ke jurang, Apa sebabnya dia berbuat begitu?”

Siao-liong-li menghela napas perlahan. Dia tahu betapa cintanya Yo Ko dan tidak mau hidup sendiri, tetapi urusan sudah kadung begini, buat apa dibicarakan lagi sehingga menimbulkan gara? Maka dia menjawab:

“Mungkin sifatnya memang aneh.”

“Ko-ji adalah seorang yang berperasaan dan berbudi, mungkin dia melihat nona Kongsun rela mengorbankan jiwa sendiri demi mendapatkan obat itu, maka dia pun tidak tega dan tidak ingin minum obat untuk membalas kebaikan nona cantik itu. Adik Liong, memang jalan pikiran Ko-ji itu harus dipuji, orang mati tidak dapat hidup kembali, pendiriannya yang kepala batu itu justru malah berlawanan dengan tujuan pengorbanan nona Kongsun.”

Siao-liong-li mengangguk dan tidak mau menanggapi. Lalu Oey Yong beikata lagi: “Padahal dengan mati-matian adik Liong menempur Kongsun Ci di tebing curam tidak menghiraukan mati hidupnya sendiri? Di dunia ini Ko-ji hanya menurut pada perkataanmu, kuharap engkau suka menasehati dia agar berpikir panjang.”

“Seumpama dia mau menurut perkataanku, tetapi di dunia ini mana ada Coat-ceng-tan lagi?” ujar Siao-Liong-li dengan pilu.

“Meski pun Coat-ceng-tan tidak ada lagi, namun racun dalam tubuhnya bisa jadi dapat disembuhkan, yang sulit adalah karena dia tidak mau minum obat,” kata Oey Yong.

Siao-liong-li terkejut girang, cepat ia berdiri dan bertanya: “Setiap orang suka memuji Kwe-hujin banyak akalnya, nyatanya memang bukan omong kosong. Jadi engkau maksudkan ada obat lain yang dapat menyembuhkan Ko-ji?”

Oey Yong memegang tangan Siao-liong-li, katanya: “Duduklah kau.” Lalu ia mengeluarkan setangkai kecil rumput warna ungu dan berkata: “Rumput ini disebut Toan-jong-cau. Sebelum menghembuskan napasnya, paderi Hindu itu memegangi rumput kecil ini. Dari Cu-susiok kudengar waktu itu mereka sedang mencari obat penawar racun bunga cinta dan mendadak disergap hingga binasa oleh jarum berbisa Li Bok-chiu. Bukankah engkau melihat air muka paderi itu menguIum senyum meski pun orangnya telah meninggal? Aku yakin waktu itu beliau sedang girang karena berhasil menemukan rumput ini. Guruku Ang Chit-kong juga pernah bercerita padaku, katanya di mana ular berbisa suka berkeliaran di situ pula pasti tumbuh obatnya yang dapat memunahkan racun ular, demikian pula dengan makhluk-makhluk berbisa lainnya, itu hukum alam, sedangkan Toan-jong-cau ini kebetulan ditemukan di bawah semak-semak bunga cinta. Biar pun rumput ini terkenal berbisa, namun setelah kurenungkan berulang-ulang, aku yakin dengan rumput ini dapat digunakan sebagai obat racun menyerang racun. Jadi rumput ini adalah obat anti racun dari bunga cinta itu.”

Uraian Oey Yong ini membuat Siao-liong-li manggut-manggut berulang-ulang. Kemudian Oey Yong menyambung kembali:

“Sudah tentu minum rumput berbisa ini harus menyerempet bahaya, tetapi mau apa lagi? Tiada obat lain yang dapat menolongnya. Betapa pun juga kita harus mencoba. Menurut pikiranku, besar kemungkinan khasiat rumput ini dapat menyembuhkannya.”

Siao-liong-li tahu Oey Yong memang pintar dan banyak tipu dayanya. Kalau dia berkata secara begitu meyakinkan, maka urusannya pasti tak akan salah, apa lagi memang tiada jalan lain kecuali itu. Setelah membulatkan tekad, kemudian ia menjawab:

“Baiklah, akan kuminta dia minum obat ini.”

Segera Oey Yong mengeluarkan lagi segenggam Toan-jong-cau dan diserahkan kepada Siao-liong-li. Katanya:

“Sepanjang jalan kupetik sebanyak ini, kukira sudah cukup. Untuk permulaan boleh kau suruh dia makan sedikit saja. Suruh dia mengerahkan hawa murni untuk melindungi jantung dan lihat dulu bagaimana kerjanya rumput ini, kemudian barulah ditambah atau dikurangi.”

Siao-liong-li simpan rumput itu dan menyembah kepada Oey Yong, katanya dengan suara rada tersendat:

“Kwe-hujin, selama hidupnya Ko-ji kenyang duka derita, tindak-tanduknya memang rada kepala batu, tapi sudilah engkau suka menjaganya dengan baik.”

Cepat Oey Yong membangunkan Siao-liong-li, katanya dengan tertawa: “Kalau kau yang menjaganya akan berpuluh kali lebih baik dari padaku. Kelak kalau kepungan musuh atas Siang-yang sudah reda, biarlah kita berkunjung ke Tho-hoa-to untuk beristirahat beberapa lamanya di sana.”

Betapa pun pintarnya Oey Yong juga tidak menduga bahwa jiwa Siao-liong-li tidak lama lagi. Ucapannya tentang menjaga Yo Ko tadi benar-benar permohonannya dengan setulus hati. Waktu ia berpaling, dilihatnya Yo Ko berdiri jauh di situ sedang memandangi Siao-liong-li walau pun apa yang mereka bicarakan sama sekali tidak dapat didengarnya.

Sementara itu semua orang telah mengatur tempat bermalam masing-masing, ada yang menemukan goa, ada yang di bawah pohon. Melihat Oey Yong pergi setelah bicara, Yo Ko cepat-cepat mendekati Siao-liong-li. Dengan tersenyum Siao-liong-li berdiri memapaknya dan berkata:

“Sesudah kita melihat kejadian yang mengenaskan tadi, hari kita sendiri pun bersisa tidak banyak lagi, Ko-ji, kini urusan orang lain sama sekali tidak akan kita urus. Marilah kau mengawani aku berjalan-jalan.”

“Benar, aku pun berpikir demikian,” jawab Yo Ko.

Keduanya lantas bergandengan tangan dan berjalan melintasi lereng. Tidak lama kemudian tampaklah sepasang muda-mudi duduk berdampingan di atas batu sedang asyik bicara dengan perlahan, mereka adalah Bu Tun-si dan Yalu Yen. Yo Ko tersenyum saja dan mempercepat langkah melewati kedua anak muda itu. Belum jauh, tiba-tiba di tengah semak-semak pohon sana ada suara orang mengikik tawa. Wanyen Peng kelihatan berlari keluar dan di belakangnya mengejar seseorang sambil berseru:

“Hayo, hendak lari ke mana kau?”

Kepergok oleh Yo Ko dan Siao-liong-li, air muka Wanyen Peng menjadi merah dan cepat menyapa:

“Yo-toako dan Liong-cici.”

Cepat dia berlari masuk ke dalam hutan, menyusul Bu Siu-bun muncul dari semak-semak pohon terus mengejar ke dalam hutan.

“Oh, dunia, apakah cinta itu?” demikian Yo Ko berguman perlahan. Sejenak kemudian dia pun berkata: “Belum lama berselang kedua saudara Bu itu saling labrak mati-matian demi memperebutkan nona Kwe, tetapi hanya sekejap saja cinta keduanya sudah berganti sasaran. Ada orang yang selama hidupnya cuma mencintai satu orang, tapi juga ada orang yang sukar diketahui cintanya murni atau palsu. Oh dunia, apakah cinta itu? Pertanyaan ini memang pantas dikemukakan.”

Sejak tadi Siao-liong-li hanya menunduk termenung tanpa bersuara. Keduanya berjalan perlahan hingga di kaki gunung. Waktu menengadah, sang surya di waktu senja sedang memancarkan sinarnya yang cemerlang, salju di puncak gunung kemilauan oleh cahaya matahari menambah keindahan alam yang sulit dilukiskan. Teringat bahwa hidup mereka bersisa tidak lama lagi, kedua orang menjadi tambah kesemsem dengan pemandangan permai itu. Setelah termangu-mangu sekian lama, tiba-tiba Siao-liong-li berkata:

“Ko-ji, konon orang mati akan menuju ke akhirat, apakah benar ada akhirat dan rajanya?”

“Semoga begitu hendaknya. Kalau tiada akhirat, ke mana kita akan menuju dan tentu tak akan berkumpul dan bertemu lagi,” ujar Yo Ko.

Siao-liong-li sudah biasa mengekang perasaan sendiri, walau pun sedih akan tetapi nada ucapannya tetap tenang dan biasa saja. Sebaliknya Yo Ko tidak tahan lagi, ia berpaling ke sana dan meneteskan air mata.

“Ah, soal akhirat masih tanda tanya, jika bisa terhindar dari mati, tentunya lebih baik,” kata Siao-liong-li sambil menghela napas. “Eh, Ko-ji, lihatlah betapa indahnya bunga itu!”

Yo Ko memandang ke arah yang ditunjuk. Tampak di tepi jalan sana tumbuh setangkai bunga warna merah tua, kelopak bunganya amat lebar hingga hampir sebesar mangkuk, bentuknya seperti bunga mawar dan juga mirip bunga peoni.

“Sungguh jarang sekali ada bunga semacam ini, entah apa namanya bunga yang mekar di musim dingin ini? Biarlah kuberi nama Liong-li-hoa (bunga puteri Liong) saja,” kata Yo Ko sambil mendekat dan memetik bunga itu serta menyuntingkannya di belakang telinga Siao-liong-li.

“Terima kasih, sudah kau hadiahi bunga bagus, diberi nama bagus pula,” kata Siao-liong-li tertawa.

Mereka melanjutkan perjalanan sejenak lagi, kemudian mereka duduk di tanah berumput.

“Apakah kau masih ingat waktu kau menyembah dan mengangkat guru padaku dahulu?” tanya Siao-liong-li tiba-tiba.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar