Kamis, 07 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 156

Akan tetapi cepatnya Thia Eng ternyata masih kalah cepat dari pada Yo Ko. Tiba-tiba saja Thia Eng merasa pinggangnya mengencang, Yo Ko sudah membelit pinggangnya dengan lengan baju yang kosong serta ditariknya kembali, malahan terdengar Yo Ko berbisik di telinganya:

“Apa artinya diriku ini, kenapa engkau perlu berbuat begini?”

Wajah Thia Eng menjadi merah dan tidak sanggup bicara. Pada saat itulah suara Siao-liong-li berkata:

“Tolong pinjam sebentar pedangmu!”

Tiba-tiba sesosok bayangan melayang lewat di samping Bu Tun-si dan Wanyen Peng dan tahu-tahu pedang mereka sudah dilolos orang. Gerakan itu sungguh secepat kilat. Ketika Bu Tun-si dan Wanyen Peng masih melengak bingung, Siao-liong-li sudah melayang ke atas jembatan batu dan mendekati Kongsun Ci. Terkejut juga Kongsun Ci melihat Siao-liong-li berani mendekat ke tempat berbahaya itu. Segera ia melangkah maju dan menghadang di ujung jembatan batu sebelum Siao-liong-li menyeberang ke tempatnya. Bentaknya:

“Apakah kau ingin mampus?!”

Sambil menghunus sepasang pedang, Siao-liong-li berdoa dalam hati semoga berhasil merebut kembali Coat-ceng-tan, untuk ini mati pun ia rela. Dengan suara lembut ia lantas berkata:

“Kongsun-siansing, engkau pernah menyelamatkan jiwaku, lantaran perempuan yang bernasib malang seperti diriku ini kau telah ikut menderita, sungguh aku amat sedih dan menyesal. Kedatanganku sekarang ini sama sekali bukan ingin mengadu jiwa dengan kau.”

“Habis kau mau apa?” tanya Kongcun Ci.

“Kumohon engkau suka memberi obat untuk menolong suamiku, obat itu tak ada gunanya bagimu, kalau suka dihadiahkan kepadaku, sungguh takkan kulupakan budi kebaikanmu,” tutur Siao-liong-li.

“Lekas kembali, Liong-ji!” demikian Yo Ko berseru di seberang sana, “Setengah biji obat takkan menolong jiwa kita berdua, apa guna kau memintanya?”

Melihat perawakan Siao-liong-li yang cantik dan lemah gemulai menggiurkan, mana Li Bok-chiu dapat menandinginya biar pun cuma tiga bagiannya? Matanya yang tinggal satu mengincar dengan terkesima. Tiba-tiba timbul lagi pikiran jahat Kongsun Ci, dia bertanya:

“Kau panggil bocah she Yo itu suamiku?”

“Ya, kan dia sudah menikah dengan aku,” jawab Siao-liong-li.

“Asalkan kau menyanggupi permintaanku, segera obat ini kuberikan,” kata Kongsun Ci.

Melihat sorot mata tunggal orang yang licin itu, Siao-liong-li tahu maksudnya, katanya sambil menggeleng: “Sekarang aku sudah bersuami, mana boleh kunikahi kau lagi? Kongsun-siansing, kau tetap kesemsem padaku, namun aku sudah ada yang punya, terpaksa mengecewakan maksud baikmu.”

Mata Kongsun Ci yang aneh itu mendelik, bentaknya: “Kalau begitu lekas kau mundur ke sana. Kalau kau tetap memusuhiku, terpaksa aku tidak kenal ampun lagi.”

“Kan sia-sia belaka perkenalan kita ini jika sampai bergebrak dan bermusuhan?” ujar Siao-liong-li, suaranya sangat halus, dalam hati ia benar-benar masih merasa utang budi kepada Kongsun Ci.

“Hm,” jengek Kongsun Ci. “Aku justru ingin menyaksikan bocah she Yo itu merintih-rintih akibat racun dalam tubuhnya, ingin melihat ia sekarat menghadapi elmaut, ingin tahu betapa cantiknya isteri setia seperti kau ini akhirnya menjadi janda muda belia yang berkabung.” Makin bicara makin keji kata-katanya dengan menyeringai dan mengertak gigi.

Siao-liong-li menyambut dengan tersenyum pedih, jawabnya: “Coba kau dengar, bukankah dia sedang memanggilku kembali? Begitu kasih sayangnya padaku, betapa pun dia tak menghiraukan apakah racun dalam tubuhnya akan kumat atau tidak.”

Benar juga terdengar Yo Ko berseru, katanya: “Liong-ji, lekas kembali, buat apa banyak bicara dengan orang macam begitu?” Kalau saja jembatan batu itu tak terlalu sempit dan sukar dipijak dua orang, tentu sejak tadi dia telah berlari dan menarik kembali isterinya.

Pada saat itu jarak Kongsun Ci dengan Siao-liong-li hanya satu-dua meter saja, asalkan melangkah maju satu tindak pasti sudah dapat meraihnya. Cuma tempatnya teramat berbahaya, apa bila nona itu sedikit meronta saja maka keduanya pasti akan tergelincir ke dalam jurang dan hancur lebur. Kongsun Ci menjadi serba susah. Kalau tidak menawan Siao-liong-li sebagai sandera, lalu cara bagaimana dirinya dapat lolos dari tebing yang buntu ini. Pihak lawan hanya Yo Ko seorang saja yang lihay, apa bila dirinya menerjang mati-matian mungkin anak muda itu pun tak dapat menghalanginya, tapi paling baik kalau Siao-liong-li mau mundur sesuai seruan Yo Ko, lalu dirinya ikut menyeberang ke sana dan menawannya, kemudian bergabung dengan Li Bok-chiu. Sesudah ambil keputusan demikian, segera Kongsun Ci membentur pedang dan goloknya hingga menerbitkan suara mendering, bentaknya:

“Lekas mundur!” Berbareng pedangnya menusuk.

Di luar dugaan, sejak Siao-liong-li belajar ilmu berkelahi dua tangan dengan dua cara dari Ciu Pek-thong, kepandaiannya bertambah satu kali lipat, kalau pun tubuh mengidap racun dan tenaga dalamnya banyak berkurang, tapi betapa hebat Giok-li-kiam-hoat yang dimainkannya dengan kedua tangan sekaligus mana bisa ditandingi golok dan pedang Kongsun Ci. Dalam sekejap sepasang pedang yang diputar Siao-liong-li berubah menjadi dua gulung sinar putih, bila yang kiri bertahan, yang kanan menyerang dan begitu seterusnya secara bergantian. Keruan Kongsun Ci menjadi kelabakan dan terdesak.
Makin lama makin heran dan gelisah hati Kongsun Ci. Diam-diam dia menyesal, kalau tadi mengetahui orang telah berhasil meyakinkan ilmu pedang selihay ini, tentu dia tidak akan bergebrak. Masih untung baginya karena sedikit pun Siao-liong-li tidak berniat membunuhnya, maka untuk sekian lama Kongsun Ci masih sanggup bertahan. Begitulah mereka bertempur dengan sengitnya di tebing yang curam, tidak lama It-teng Taysu, Oey Yong, Kwe Hu, Yalu Ce dan Yalu Yen tiba dan semua terperanjat menyaksikan pertarungan sengit mereka di tempat yang amat berbahaya itu.



Kwe Hu berkata kepada Yalu Ce: “Lekas kita maju membantu, sendirian mana Liong-cici mampu mengalahkan dia?”

Biar pun watak Kwe Hu rada sembrono dan sejak kecil selalu dimanjakan sang ibu, tetapi pada dasarnya berhati bajik. Ia sendiri pun pernah bergebrak dengan Kongsun Ci dan diketahuinya kepandaian kakek bermata satu itu sangat lihay, bahkan ibunya juga bukan tandingannya, apa lagi sekarang Siao-liong-li menempurnya sendirian. Ketika menyaksikan keadaan Siao-liong-li sangat berbahaya, saking cemasnya terpaksa ia berseru:

“Lekas mencari akal untuk membantu Liong-cici, ibu!”

Tapi Yalu Ce mengatakan jembatan batu itu tak muat lagi untuk orang lain, hal ini memang nyata. Padahal tanpa seruan Kwe Hu, setiap orang juga berharap bisa membantu Siao-liong-li meninggalkan tempat berbahaya itu, tapi apa daya, andai kata bisa terbang ke sana juga tiada tempat untuk berpijak.

Terdengar suara bentakan Kongsun Ci, golok dan pedangnya menyerang serabutan. Kedua pedang Siao-liong-li menyambar kian kemari dengan lemasnya seperti kekurangan tenaga, kalau berlangsung lama tampaknya dia pasti akan celaka di tangan Kongsun Ci. Hanya Yo Ko, Oey Yong dan It-teng Taysu saja yang dapat melihat dengan jelas bahwa sesungguhnya Siao-liong-li yang lebih unggul. Sejenak puIa, dapatlah Oey Yong melihat cara bertempur Siao-liong-li itu ternyata adalah ilmu berkelahi dengan dua tangan dan dua cara. Kepandaian ini di seluruh jagat tidak ada orang ketiga yang paham selain Ciu Pek-thong dan Kwe Ceng, maka jelaslah kepandaian Siao-liong-li ini pasti ajaran Ciu Pek-thong.

Dilihatnya Kungfu yang dimainkan Kongsun Ci sesungguhnya teramat lihay, sedangkan Siao-liong-li habis luka berat dan keracunan, tenaga dalamnya banyak susut, meski jurus serangannya lebih unggul tapi dalam waktu ratusan jurus masih sukar menundukkan Kongsun Ci. Tiba-tiba teringat satu akal oleh Oey Yong, maka segera dia berkata:

“Ko-ji, kau dan aku berbareng bicara pada Kongsun Ci, kau menggertak dan me-nakuti dia, sebaliknya aku membuatnya gembira, supaya dia lengah dan perhatiannya terpencar.” dia lantas mendahului berteriak: “Hai, Kongsun-siansing, ini kabar baik bagimu, perempuan jahat Kiu Jian-jio sudah kubunuh!”

Tergetar juga hati Kongsun Ci mendengar kata-kata itu. Dia menjadi ragu-ragu, setengah percaya setengah sangsi. Segera Yo Ko ikut berseru:

“Kongsun Ci, Li Bok-chiu menganggap kau ingkar janji karena tidak membawakan obat padanya, maka dia datang hendak membikin perhitungan dengan kau.”

“Tidak, tidak!” cepat Oey Yong menambahkan. “Kata Li Bok-chiu, asalkan kau sanggup menyembuhkan racun dalam tubuhnya, maka dia rela menjadi isterimu.”

“Ahh, mustahil kami mau tinggal diam saja!” seru Yo Ko pula. “Kami pasti akan berusaha menggagalkan angan-anganmu. Jika kau tertangkap kami, kami juga akan menyiksa kau dengan duri bunga cinta supaya kau juga tahu rasa.”

“Persengketaan kita dapat didamaikan, tidak perlu kau kuatir, bagaimana kalau sekarang juga kita mulai berunding?” seru Oey Yong.

“He, celaka! Pelayanmu yang kau bunuh dahulu itu sudah menjadi hantu dan kini muncul hendak menagih jiwa padamu!” teriak Yo Ko. “Nah, nah, itu dia! Awas, dia berdiri tepat di belakangmu, wah, kukunya panjang dan tampaknya kau akan diterkam.”

Demikianlah Oey Yong dan Yo Ko berseru bergantian, kata-kata mereka sebentar membikin takut hati Kongsun Ci dan lain saat membuatnya senang. Tentu saja Siao-liong-li juga dapat mendengar semua perkataan itu, cuma lantaran urusan ini tidak menyangkut kepentingannya, pula dia dapat membagi pikirannya dan dilakukan dengan dua tangan, serangannya sedikit pun tidak menjadi kendur. Sebaliknya Kongsun Ci memang sudah terdesak, karena pengacauan ucapan Yo Ko dan Oey Yong, pikirannya semakin kacau. Akhirnya ia menjadi gemas dan membentak:

“Kalian mengoceh apa? Lekas tutup mulut!”

“He, awas, Kongsun Ci!” teriak Yo Ko, “Siapa itu nona yang berambut semerawut di belakang? Lidahnya menjulur panjang sekali, mukanya penuh darah. Ahh, dia hendak mencengkeram lehermu, awas! Wah, celaka!”

Meski Kongsun Ci tahu anak muda itu sengaja hendak mengacaukan pikirannya, namun teriakan-teriakan ngeri itu membuatnya merinding juga dan tanpa terasa ia melirik sekejap ke belakang. Kesempatan itu tidak disia-siakan Siao-Iiongli, pedangnya menyambar, dengan tepat pergelangan tangan kiri Kongsun Ci tertusuk. Dengan sendirinya pegangan Kongsun Ci menjadi kendur, golok emasnya mencelat jatuh ke jurang, sampai lama sekali barulah terdengar kumandang suara perlahan seperti suara tercebur dalam air, agaknya di bawah jurang itu adalah sebuah kolam atau sungai.

Semua orang saling pandang dengan melongo, begitu lama golok itu terjatuh ke bawah barulah menerbitkan suara, maka betapa dalamnya jurang itu sungguh sukar diukur. Begitu kehilangan goloknya, jangankan menyerang lagi, bahkan untuk bertahan saja sulit bagi Kongsun Ci. Sebaliknya serangan Siao-liong-li semakin lancar dan gencar, berturut-turut ia menusuk lagi empat kali ke kanan dan ke kiri. Tubuh Kongsun Ci tergeliat, pedang hitamnya kembali terjatuh lagi ke jurang dan mati kutulah dia. Sambil mengancam dada dan perut lawan dengan sepasang pedangnya, Siao-liong-li lalu berkata:

“Kongsun-siansing, silakan kau menyerahkan Coat-ceng-tan dan jiwamu takkan kuganggu.”

“Tapi bagaimana dengan orang-orang itu?” tanya Kongsun Ci dengan suara gemetar.

“Kujamin takkan membikin susah kau,” jawab Siao-liong-li.

Dalam keadaan demikian yang dipikir Kongsun Ci hanya menyelamatkan jiwanya belaka. Segera ia mengeluarkan botol kecil itu dan disodorkan. Sambil tetap mengancam dada lawan dengan satu pedang, tangan Siao-liong-Ii yang lain menerima botol itu dengan perasaan girang dan pedih pula, pikirnya: “Meski pun aku sendiri tak dapat hidup lama, akhirnya Coat-ceng-tan ini dapat kurampas untuk menolong Ko-ji.” Segera ia berlari balik.

Meski sebelumnya Bu Sam-thong, Cu Cu-liu dan lain-lain sudah tahu ilmu silat Siao-liong-li sangat lihay, tapi sama sekali tidak menduga dia memiliki kepandaian sesakti ini, dapat sekaligus memainkan dua pedang dengan cara yang berlainan. Mereka pernah mendengar bahwa Ciu Pek-thong dan Kwe Ceng mahir memainkan dua cara bertempur yang berbeda dengan kedua tangan, tetapi mereka cuma mendengar saja dan belum pernah menyaksikan sendiri. Sekarang mereka dapat melihat betapa lihaynya kepandaian Siao-liong-li, mereka menjadi kagum tak terhingga.

Tentu saja Yalu Ce, Yalu Yen, Thia Eng, Kwe Hu dan yang lain-lainnya tak kepalang kagumnya menyaksikan betapa lihay ilmu silat Siao-liong-li, padahal usianya sebaya dengan mereka, malahan kelihatan lemah gemulai, kalau tidak menyaksikan sendiri tentu orang takkan percaya.

Sementara itu dengan gaya indah laksana bidadari turun dari kahyangan Siao-liong-li melayang balik dari jembatan batu. Serentak semua orang bersorak gembira dan memuji. Segera Yo Ko memburu maju dan memegangi tangan sang isteri, semua orang juga lantas merubungnya untuk bertanya. Cepat Siao-liong-li membuka botol porselen itu dan menuang keluar setengah butir pil, katanya dengan tersenyum simpul:

“Ko-ji, obat ini tulen, bukan?”

Tetapi Yo Ko memandang obat itu dengan tak acuh, jawabnya: “Memang tulen, Liong-ji, bagaimana keadaanmu? Kenapa kau begini pucat? Coba kau mengatur pernapasanmu.”

Tapi Siao-liong-li hanya tersenyum saja. Pada waktu berlari balik tadi memang dia sudah merasakan darahnya se-olah bergolak dalam rongga dadanya, rasanya muak dan ingin muntah, tetapi sekuatnya ia bertahan. Ia tahu racun yang diidapnya itu terlalu dalam, untunglah dia sudah berhasil merebut setengah biji Coat-ceng-tan, lebih dari itu tak terpikir lagi olehnya.

Sambil menggenggam tangan Siao-liong-li yang terasa semakin dingin, dengan cemas Yo Ko bertanya:

“He, Liong-ji, bagaimana perasaanmu?”

“Ahh, tidak apa-apa, lekas kau minum obat ini,” ujar Siao-liong-li.

“Liong-ji,” kata Yo Ko dengan suara gemetar, “setengah biji obat ini sukar menyelamatkan jiwa dua orang, untuk apa lagi? Oh, Liong-ji, masa kau belum tahu perasaanku? Kalau engkau mati, masa aku dapat hidup sendirian?” Berkata sampai di sini, rasa dukanya tak tertahan lagi, mendadak ia rampas botol beserta obatnya terus dilemparkan. Ternyata setengah biji obat, satu-satunya obat yang dapat menyembuhkan racun yang diidapnya dibuang ke jurang yang tak terhingga dalamnya. Kejadian ini benar-benar di luar dugaan siapa pun, serentak semua orang melengak dan berseru kaget.

Siao-liong-li tahu bahwa Yo Ko bertekad hendak sehidup semati dengannya, hatinya menjadi pedih, duka tercampur terima kasih. Sehabis bertempur sengit, racun di dalam tubuhnya kembali bekerja. Ia tidak tahan lagi, ia tergeliat terus jatuh pingsan dalam pelukan Yo Ko.


TAMATNYA RIWAYAT COAT-CENG-KOK

Dua saudara Bu, Kwe Hu, Wanyen Peng dan anak-anak muda lain tidak paham duduknya perkara, maka beramai-ramai mereka bertanya dan membicarakan kejadian ini. Tiba-tiba Bu Sam-thong membentak:

“Li Bok-chiu, sekali ini jangan kau harap dapat lolos lagi!” Ia memburu ke lereng gunung sebelah sana.

Waktu semua orang memandang ke sana, tampaklah Kongsun Ci sedang berlari secepat terbang dengan Ginkang-nya yang sangat tinggi. Di tanjakan lereng gunung sana tiba-tiba berkumandang suara tertawa orang tua, menyusul seseorang muncul dengan memanggul sebuah peti besar, kiranya Lo-wan-tong Ciu Pek-thong, si Anak Tua Nakal.

“He, Lo-wan-tong, lekas giring To-koh jubah kuning itu ke sini!” seru Oey Yong.

“Baik, boleh kalian saksikan kepandaian Lo-wan-tong!” seru Ciu Pek-thong lalu membuka tutup peti, kedua tangannya ber-gerak, seketika segerombolan tawon madu menyambar keluar terus menerjang ke arah Li Bok-chiu.

Ketika pasukan Mongol membumi-hanguskan Cong-lam-san, kawanan Tosu dari Coan-cin-kau sempat meninggalkan gunung dengan membawa kitab agama dan benda-benda berharga lain, tapi yang dibawa Cui Pek-thong adalah sebuah peti yang berisi sekawanan tawon putih piaraan Siao-liong-li dahulu. Meski sifatnya jenaka dan tingkah lakunya ugal-ugalan, tapi bakat Ciu Pek-thong sebenarnya amat pintar. Tanpa kenal lelah ia terus mempelajari cara memimpin kawanan tawon putih itu, akhirnya dia berhasil juga menemukan kuncinya. Sekarang dia diminta Oey Yong menggiring Li Bok-chiu, kebetulan baginya untuk pamer kepandaian yang baru berhasil dipelajarinya itu.

Begitulah Kongsun Ci menjadi kaget melihat kawanan tawon itu. Ia tidak berani mendekati Li Bok-chiu melainkan terus menyelusup ke semak-semak. Li Bok-chiu juga kelabakan melihat terjangan kawanan tawon itu, terpaksa dia berlari mengikuti jalanan pegunungan itu. Segera Bu Sam-thong didahului kedua puteranya serta Liok Bu-siang dan Thia Eng memapak dengan senjata terhunus. Mendadak Yalu Ce berteriak:

“Lihay benar engkau, Suhu! Lekas engkau simpan kembali kawanan tawon itu ke dalam kandang!”

Segera Ciu Pek-thong ber-kaok-kaok menggiring kawanan tawon itu kembali ke dalam peti. Tetapi di tengah ribut-ribut, mana kawanan tawon mau menuruti perintahnya? Sambil tetap men-dengung gerombolan tawon putih itu tetap mengejar ke arah Li Bok-chiu. Kuatir Li Bok-chiu kabur lagi, tanpa menghiraukan sengatan tawon, segera Bu Sam-thong mengudak ke sana.

“Liong-ji...! Liong-ji...!” Yo Ko merangkul Siao-liong-li dan memanggilnya perlahan.

Siao-liong-li membuka matanya sedikit, telinganya mendengar suara mendengung tawon hingga rasanya seperti sudah berada di kediaman lama di Cong-lam-san, hatinya menjadi girang dan bertanya:

“Apakah kita sudah berada di rumah?” Tetapi setelah tenangkan diri baru ingat apa yang terjadi tadi.

Segera dia bersiul perlahan beberapa kali, lantas membentak pula beberapa kali. Seketika kawanan tawon putih itu ber-putar di sekeliling Li-Bok-chiu dan tidak terbang serabutan lagi.

“Suci,” katanya, “selama hidupmu engkau telah banyak dosa, apakah sekarang kau tidak menyesal?”

Wajah Li Bok-chiu pucat seperti mayat, jawabnya: “Mana Coat-ceng-tan?”

Siao-liong-li tersenyum pedih, lalu berkata: “Coat-ceng-tan sudah dilempar ke dalam jurang. Kenapa kau membunuh paderi Hindu itu? Kalau dia tidak mati, bisa jadi jiwaku dan jiwa Ko-ji dapat tertolong, bahkan kau pun dapat diselamatkan.”

Mendelong perasaan Li Bok-chiu. Dia tahu Sumoay-nya ini selamanya tidak suka omong kosong. Diam-diam ia merasa menyesal bahwa jarumnya telah menewaskan paderi Hindu itu sehingga dirinya sendiri juga ikut celaka. Sementara itu Bu Sam-thong dan lain-lainnya sudah merubung maju, sedangkan Ciu Pek-thong masih sibuk berteriak-teriak dan berjingkrakan ingin memanggil kawanan tawon.

“Kakek Ciu, begini caranya,” seru Siao-liong-li, lalu ia bersuit dan membentak seperti tadi.

Ciu Pek-thong menirukan bersuit dan membentak. Benar juga, beribu-ribu tawon putih itu terbang menyusul kembali ke dalam peti. Keruan ia girang sekali, serunya:

“Terima kasih, nona Liong.”

“Saudara Pek-thong, sudah lama tidak berjumpa, kau ternyata sehat-sehat saja seperti dulu,” dengan tersenyum It-teng Taysu menyapa.

Untuk sejenak Ciu Pek-thong melengak karena tak disangkanya It-teng Taysu juga berada di situ. Cepat dia menutup peti dan berkata:

“Ya, aku sehat, kau pun sehat, semua juga sehat!” Dia panggul petinya terus mengeluyur pergi tanpa berpaling lagi.

Melihat keadaan di sekelilingnya, Li Bok-chiu menyadari kedudukannya yang sulit. Oey Yong, Yo Ko atau Siao-liong-li salah seorang saja sudah sukar dilawan, apa lagi jika sekarang main kerubut. Dia menjadi nekat, teriaknya:

“Hm, percuma kalian menganggap diri sebagai kaum pendekar, tahunya, he-he, kalian pun suka main keroyok. Siau-sumoay, sebagai anak murid Ko-bong-pay, betapa pun aku tidak boleh mati di tangan orang luar, Nah, silakan kau maju saja!” dia menyodorkan gagang pedang ke depan dan ujung pedang mengarah ke dadanya sendiri.

Tetapi Siao-liong-li hanya menggeleng, katanya: “Urusan sudah terlanjur begini, untuk apa kubunuh kau?”

“Li Bok-chiu!” bentak Sam-thong mendadak. “Sekarang hendak kutanya kau, jenazah Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun telah kau bawa ke mana?”

Mendengar nama Liok Tian-goan dan Ho Wan-kun mendadak disebut, tubuh Li Bok-chiu gemetar, mukanya ber kerut, lalu menjawab:

“Sudah kubakar menjadi abu. Abu tulang yang seorang kutebarkan di puncak Hoa-san, abu tulang yang Iainnya kubuang ke lautan timur, supaya mereka berdua takkan menjelma kembali dan tak pernah berkumpul lagi.”

Melihat cara mengucap Li Bok-chiu yang geregetan dan penuh dendam itu, semua orang terkesiap dan gegetun. Segera Bu-siang berkata:

“Liong-cici adalah orang baik dan dia tidak tega membunuh kau. Tapi segenap keluargaku sudah kau bunuh semua, hanya tersisa aku saja seorang, maka hari ini aku harus menuntut balas. Piauci, hayo kita maju!”

“Kau sudah membunuh ibuku, betapa pun kami tidak dapat mengampuni kau!” seru kedua saudara Bu.

“Orang yang tewas di bawah kebut dan jarumku tak terhitung banyaknya, jika semua ingin menuntut balas padaku, dari mana aku mempunyai nyawa cadangan sebanyak itu? Bagaimana pun juga jiwaku cuma satu,” ujar Li Bok-chiu tak acuh.

“Jika begitu terlampau murah bagimu,” seru Bu-siang dan Siu-bun berbareng, dan segera menubruk maju dengan senjata masing-masing. Mendadak Li Bok-chiu mengangkat pedangnya.

“Pletak!” tahu-tahu pedangnya tergetar patah.

Sambil tersenyum mengejek Li Bok-chiu bersikap menghina. Ia hanya berdiri diam tanpa melawan. Ia tunggu serangan kedua anak muda itu dan tamatlah riwayatnya. Pada saat itulah mendadak di sebelah timur nampak ada asap tebal mengepul dan api berkobar dengan hebatnya.

“Hah, perkampungan disana terbakar!” seru Oey Yong.

“Tunda dulu membunuhnya, lebih penting menyelamatkan jenazah Susiok,” kata Cu Cu-liu sambil melompat maju, sekaligus dia totok tiga Hiat-to penting di tubuh Li Bok-chiu agar tidak dapat kabur lagi.

“Juga jenazah nona Kongsun,” demikian Thia Eng menambahkan.

Semua orang membenarkan dan mereka berlari ke arah datangnya tadi. Kedua saudara Bu cilik menggiring Li Bok-chiu, sedangkan Yo Ko, Siao-liong-li, Oey Yong dan It-teng Taysu menyusul dari belakang dengan perlahan.

Walau pun masih cukup jauh dari perkampungan kediaman Kongsun Ci, hawa panas sudah menyerang dengan ganasnya. Terdengar suara jeritan dan teriakan ngeri disertai suara gemuruh ambruknya atap dan belandar rumah.

“Keparat Kongsun Ci benar-benar terlalu jahat, nona Liong seharusnya membinasakan dia saja,” ujar Bu Sam-thong.

“Besar kemungkinan api ini bukan dikobarkan oleh Kongsun Ci, kukira ini perbuatan nenek gundul Kiu Jian-jio itu,” kata Cu Cu-liu.

“Perbuatan Kiu Jian-jio katamu?” Segera Bu Sam-thong melengong bingung. “Untuk apa dia membakar kediaman sendiri yang sukar dibangun ini?”

Sembari berlari ke depan Cu Cu-liu menjawab: “Sebagian besar anak murid Kongsun Ci tidak mau tunduk padanya, sekali pun kita membunuh Kongsun Ci nenek gundul itu tidak dapat berdiam aman tenteram. Kulihat nenek itu berjiwa sempit dan...” tengah berkata tibalah mereka di dekat semak-semak bunga cinta yang rada jauh dari kobaran api.

Tampaklah jenazah paderi Hindu itu masih menggeletak di sana dengan wajah tersenyum simpul seperti orang hidup, agaknya sebelum ajalnya paderi itu menemukan sesuatu yang membuatnya kegirangan.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar