Kamis, 07 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 155

Maka terdengarlah suara keras, pedang Kwe Hu terkutung, malahan pedang Kongsun Ci itu tidak lantas berhenti melainkan terus memotong ke leher Kwe Hu. Oey Yong menjadi cemas, ia tahu sampai di mana kepandaian puterinya. Menghadapi detik berbahaya begini percumalah tipu akal yang dimilikinya, sama sekali ia tak berdaya menolongnya. Pada saat itulah se-konyong-konyong Liok Bu-siang berteriak:

“Tangkis dengan tangan kanan!”

Karena jiwanya terancam, serangan musuh begitu cepat datangnya dan sukar mengelak, Kwe Hu tidak sempat membedakan lagi suara siapa yang berteriak kepadanya itu. Tanpa terasa ia menurut dan mengangkat lengan kanan untuk menangkis serangan maut itu.

“Piaumoay, mengapa kau...” bentak Thia Eng.

Ia tahu Bu-siang benci sekali pada Kwe Hu yang telah membuntungi lengan Yo Ko, maka sekarang ia sengaja hendak membingungkan Kwe Hu agar menangkis serangan Kongsun Ci dengan sebelah lengannya juga.

Thia Eng berbudi halus. Meski dia pun sangat sedih karena buntungnya lengan Yo Ko dan menganggap perbuatan Kwe Hu keterlaluan, tapi sama sekali tak pernah timbul pikirannya agar Kwe Hu menebus dosanya dengan sebelah lengannya. Sebab itu ia merasa maksud tujuan seruan Bu-siang tadi terlalu kejam dan cepat berseru mencegahnya. Namun sudah terlambat, pedang Kongsun Ci sudah menyambar ke lengan Kwe Hu.

“Crettt!”

Lengan baju Kwe Hu tergores robek panjang, berbareng itu ia pun tergetar sempoyongan dan jatuh ke samping. Tetapi aneh juga, lengannya ternyata tidak tertebas putus, bahkan setetes darah pun tak mengucur. Keruan Thia Eng dan Bu-siang melongo heran, bahkan Kiu Jian-jio dan Kongsun Ci juga terperanjat. Segera Kwe Hu dapat berdiri tegak lagi, dia sangat berterima kasih kepada Liok Bu-siang. Dasarnya dia memang seorang nona yang berpikir sederhana, dia mengira seruan Bu-siang tadi bermaksud baik untuk menolongnya, maka tanpa pikir dia berkata:

“Terima kasih atas petunjuk Cici, cuma dari mana engkau tahu...”

Yo Ko pernah tinggal di Tho-hoa-to, ia tahu Oey Yong mempunyai jaket pusaka ‘Nui-wi-kah’ (jaket duri landak) yang tidak mempan ditebas senjata tajam, maka dia tahu bisanya Kwe Hu menyelamatkan lengannya adalah berkat jaket pusakanya. Dia mendengar nona itu bertanya 'dari mana engkau tahu...’ dan seterusnya tentu adalah ‘aku memakai jaket pusaka?’, tapi jika kata-kata itu diucapkan berarti rahasia jaket pusaka itu akan diketahui oleh Kongsun Ci. Padahal ketika itu kelihatan Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio saling pandang sekejap dengan heran dan terperanjat. Maka cepat dia berkata:

“He-he, Kongsun-siansing, masa kau tidak kenal nona kita ini?”

Sudah tentu Kongsun Ci sudah diberi-tahu sekadarnya oleh Li Bok-chiu mengenai orang-orang yang menyatroni Coat-ceng-kok ini. Meski sudah tahu siapa Kwe Hu, tetapi ia tidak mau kalah pamor, dengan dingin ia sengaja menjawab:

“Huh, anak dara sekecil itu mana kutahu dia siapa?”

“Nona kita ini adalah puteri kesayangan Kwe Ceng, Kwe-thayhiap, cucu perempuan Tho-hoa-tocu Oey Yok-su. Dia mempunyai ilmu kekebalan khas ajaran keluarganya yang tidak mempan dibacok segala macam senjata tajam, maka pedangmu yang mirip besi tua itu tentu saja tidak dapat melukainya.”

“Huh, tadi aku tidak menyerang sungguh-sungguh, memang kau kira aku tidak mampu melukai dia?” jawab Kongsun Ci dengan marah, pedangnya yang hitam lalu disendalnya perlahan hingga mengeluarkan suara mendengung.

Setelah lolos dari serangan maut, Kwe Hu berterima kasih pada Bu-siang. Ia pikir untung Liok-cici ini memperingatkan, kalau tidak mungkin jiwaku sudah melayang, tampaknya hati Liok-cici ini sebenarnya baik walau pun kata-katanya amat tajam dan suka menyindir Dilihatnya Kongsun Ci sedang menjawab ucapan Yo Ko tadi dan sikapnya amat meremehkan dirinya, maka segera timbul lagi kecerobohannya. Pikirnya: “Kalau aku tidak takut kepada senjatanya, asal kuterjang dan serang dia, jelas aku pasti akan menang dan tiada kalahnya, mengapa aku tidak melakukan hal ini?”

Karena pikiran itu segera ia berseru kepada Bu Siu-bun: “Kakak Bu cilik, harap pinjamkan pedangmu padaku. Tua bangka Kongsun ini tidak percaya ilmu sakti keluarga Tho-hoa-to, maka biarlah kuperlihatkan sedikit padanya.”

Tanpa bicara Bu Siu-bun menyodorkan pedangnya yang segera diterima Kwe Hu. Nona itu memutar pedangnya satu kali lalu berkata:

“Nah, si tua Kongsun, silakan maju!”

Melihat lagaknya yang mentang-mentang tanpa gentar sedikit pun, sungguh mirip benar seorang jagoan tulen yang menghadapi anak kecil saja. Sudah tentu Kongsun Ci dapat menilai anak dara ini hanya dari gerakan pedangnya saja, segera ia membentak:

“Baik, akan kubelajar kenal lagi dengan kepandaianmu.” Berbareng goloknya membacok ke muka lawan.

Cepat Kwe Hu mengelak sambil balas menusuk dengan pedangnya, namun pedang hitam Kongsun Ci mendadak melingkar tiba dan menyabet pedang Kwe Hu. Tentu saja Kwe Hu tidak berani mengadu senjata, cepat dia tarik kembali pedangnya. Mendadak Kongsun Ci memegang golok dan pedang di tangan kanan, sedangkan tangan kiri menghantam. Diam-diam Kwe Hu girang, dia pikir kalau tangan orang menggablok duri landak jaket pusakanya itu maka celakalah musuh. Tapi kuatir tenaga pukulan lawan terlalu lihay, bisa jadi dia sendiri akan terluka dalam, maka dia sedikit miringkan tubuh untuk mengelakkan sebagian tenaga pukulan musuh dan membiarkan pukulan itu tetap mengenai tubuhnya. Di luar dugaan, belum lagi pukulan Kongsun Ci itu mencapai sasaran, mendadak dia melompat mundur sambil berteriak:

“Budak hina, menyerang orang secara menggelap!”

Tentu saja Kwe Hu bingung, katanya: “Sama sekali aku tidak melukai kau!”

Ia menjadi heran bukan main. Apakah jaket pusakanya begitu lihay, belum tangan musuh menyentuhnya sudah dapat dilukainya? Dia tidak tahu bahwa sebenarnya itulah akal licik Kongsun Ci, maka dia sengaja pura-pura terluka dan melompat mundur dengan sempoyongan terus berlari ke ruangan belakang. Rupanya dalam waktu yang singkat ia sudah memperhitungkan keadaan pihak lawan. Di depan sana ada Yo Ko, Oey Yong dan lain-lain serta si paderi tua beralis putih, maka dia sengaja meloloskan diri melalui pintu belakang. Saat itu Kongsun Lik-oh berdiri di sebelah ibunya. Melihat Kongsun Ci akan kabur dengan membawa obat, cepat ia memburu maju sambil berteriak:



“Tunggu dulu, ayah!”

Pada saat itulah terdengar suara mendenging, dua biji buah kurma menyambar ke arah Kongsun Ci. Rupanya Kiu Jian-jio kuatir senjata rahasianya itu salah mengenai puterinya sendiri, maka semburan biji buah kurma itu ditinggikan sedikit dan mengarah belakang kepala Kongsun Ci. Namun dengan gesit sekali Kongsun Ci segera menundukkan kepala sehingga kedua biji kurma itu menyambar lewat dan menancap di dinding.

“Minggir!” bentaknya sembari menerjang ke depan.

“Tinggalkan Coat-ceng-tan...”

Belum habis ucapan Kongsun Lik-oh, tahu-tahu Kongsun Ci sudah menubruk, sekali pegang urat nadi pergelangan gadis itu dicengkeramnya, menyusul tubuh berputar, Lik-oh digunakan sebagai tameng di depan, lalu Kongsun Ci membentak:

“Perempuan bejat, apakah kau ingin mengadu jiwa? Baiklah kita gugur bersama semua!”

Sesungguhnya biji kurma Kiu Jian-jio akan disemburkan kembali. Ketika mendadak nampak keadaan berubah dan untuk menahan semprotan juga tidak keburu lagi, terpaksa ia miringkan kepala dan menyemburkan senjata rahasianya ke samping. Dalam keadaan terpaksa, yang diharapkan Kiu Jian-jio asalkan tidak tersemprot ke arah anak perempuan, sama sekali tak terpikir olehnya siapa yang menjadi sasarannya lagi. Maka terdengarlah suara jeritan dua kali, dua anak muridnya menggeletak binasa dengan kepala pecah dan yang lain dada berlubang.

Kongsun Ci menyadari kalau hendak merebut kembali Coat-Ceng-kok, selain memerlukan bantuan Li Bok-chiu juga anak buahnya harus dipulihkan dahulu kesetiaannya. Apa yang terjadi sekarang jelas adalah kesempatan baik untuk menarik simpatik anak buahnya, segera ia berseru:

“Perempuan jahat, teganya kau membunuh anak muridku, pasti akan kubinasakan kau!”

Karena bicara dan sedikit merandek inilah tahu-tahu Yo Ko sudah menghadang jalan larinya.

“Kongsun-siansing, urusan kita perlu diselesaikan dahulu, jangan terburu-buru pergi,” kata Yo Ko.

Kongsun Ci mengangkat tubuh Lik-oh ke atas, katanya dengan menyeringai: “Kau berani merintangi aku?” Ia ber-putar2 dengan tungkak kaki sehingga makin mendekati Yo Ko.

Karena Kongsun Ci berputar sambil mengangkat tubuh Lik-oh, kalau Yo Ko merintanginya atau Kiu Jian-jio menyerang kembali dengan biji kurma, tentu yang akan terluka adalah Kongsun Lik-oh. Yo Ko tak berani sembarangan bertindak, betapa pun ia tidak mau mengorbankan jiwa nona itu demi merebut obat bagi kepentingannya sendiri. Dalam pada itu Kongsun Ci sudah menggeser maju lagi dengan memutar tubuh Kongsun Lik-oh, terpaksa Yo Ko menyingkir ke samping.

Sama sekali Lik-oh tak bisa berkutik dalam cengkeraman sang ayah. Pada waktu memutar ke sini dan mendadak dilihatnya Yo Ko menyingkir memberi jalan bagi ayahnya dengan mata penuh prihatin, hati Lik-oh tergetar, pikirnya: “Demi keselamatanku ternyata dia rela mengorbankan obat yang dapat menyembuhkannya.”

Walau pun kaki dan tangannya tak bisa bergerak, akan tetapi kepala dan lehernya dapat berputar. Mendadak ia menjerit tertahan:

“Oh, Yo-toako!”

Tiba-tiba batok kepalanya ditumbukkan ke ujung pedang hitam yang dipegang Kongsun Ci. Pedang itu sangat tajam, keruan tanpa ampun jiwa Kongsun Lik-oh melayang, tewas di tangan ayahnya sendiri.

“Hayaaa...!” teriak Yo Ko kaget, tapi sudah kasip meski bermaksud menubruk maju untuk menolong.

Kongsun Ci juga terkejut dan hati terasa pedih sedikit, namun ia pun tahu keadaan sangat berbahaya, segera pihak lawan pasti akan menggempurnya dengan mati-matian. Didengarnya suara orang menggeram marah dan secepat kilat tiga biji buah kurma menyambar. Tanpa pikir segera dia lemparkan mayat puterinya ke belakang sehingga ketiga biji kurma itu seluruhnya mengenai tubuh Lik-oh yang sudah tak bernyawa.

Menyaksikan kekejaman Kongsun Ci, semua orang sangat murka dan benci padanya, serentak mereka melolos senjata dan segera hendak mengerubut maju. Segera Kongsun Ci berseru:

“Wahai para anak murid! Perempuan jahat itu bersekongkol dengan orang luar dan ingin membunuh segenap penghuni Coat-ceng-kok kita ini. Hayo kalian lekas maju dengan barisan jaring berkait kalian!”

Sejak dia kecil anak muridnya itu memuja laksana malaikat dewata. Tetapi tempo hari Kongsun Ci terpaksa melarikan diri sesudah sebelah matanya dibutakan oleh Kiu Jian-jio. Dalam keadaan kosong pimpinan, terpaksa mereka tunduk kepada perintah Kiu Jian-jio. Kini seruan Kongsun Ci membangkitkan kembali ketaatan mereka, serentak mereka merubung maju dengan membentangkan jaring berkait. Setiap jaring itu lebarnya lima-enam meter dan penuh kaitan serta pisau kecil yang tajam. Walau pun kepandaian Bu Sam-tbong, Yalu Ce dan lain-lain cukup tinggi tidak tahu cara bagaimana menghadapinya. Kalau jaring itu mengurung rapat, bukan mustahil tubuh mereka akan babak belur.

Tetapi karena kepungan barisan jaring itu, Kiu Jian-jio sendiri pun kini terkurung di tengah. Segera ia berteriak-teriak:

“Jangan tunduk pada ocehan bangsat tua itu. Para anak murid, lekas berhenti, lekas kalian mundur!”

Akan tetapi para anak murid berseragam itu anggap tidak mendengar. Bahkan Kongsun Ci terus membentak lagi memberi perintah cara bagaimana barisan jaring itu harus bekerja, Anak buahnya ternyata mengikuti perintahnya dan mereka mendesak maju dengan jaring terbentang.


PERJUANGAN YANG SIA-SIA

Bahu kanan Oey Yong telah terluka, terpaksa ia gunakan tangan kiri merogoh segenggam jarum terus ditaburkan. Berpuluh jarum menyambar ke sebelah sana. Walau pun tenaga tangan kirinya tidak sekuat tangan kanan, tapi karena jaraknya cukup dekat, lagi pula jumlah jarum cukup banyak, sedikitnya beberapa orang berseragam hijau akan terluka, dan jika barisan jaring itu kebobolan segera mereka dapat menerjang keluar. Namun tidak tahunya di atas jaring ikan itu banyak terikat batu semberani kecil yang bisa digunakan menyedot senjata rahasia musuh. Maka terdengarlah suara gemerincing nyaring, berpuluh jarum Oey Yong serta paku lembut yang disemburkan Kiu Jian-jio lengket pada jaring ikan.

“Celaka!” keluh Oey Yong. Segera ia membentak: “Anak Hu, jaga kepalamu dengan pedang dan terjang maju bobolkan jaring musuh!”

Di antara rombongan hanya Kwe Hu saja yang memakai jaket pusaka sehingga tidak usah takut dilukai kaitan tajam di atas jaring itu, maka Oey Yong menyerukan puterinya menerjang musuh. Tanpa pikir Kwe Hu memutar pedangnya dan menerjang ke sebelah kanan. Empat orang berseragam hijau segera membentang jaring terus dilemparkan ke arahnya, tetapi begitu pisau kecil dan kaitan di atas jaring mengenai tubuh Kwe Hu, kaitan jaring itu terpental balik. Tapi ber-turut-turut barisan jaring itu menubruk maju lagi dari kanan-kiri. Jika kepungan semakin mendesak, betapa pun sukar bagi Kwe Hu untuk membobolnya sekali pun dia memakai jaket pusaka yang kebal senjata tajam.

Melihat keadaan berbahaya, Yo Ko tidak tinggal diam, segera putar pedangnya yang maha berat itu. Sekali tebas, kontan sebuah jaring terobek menjadi dua. Jaring ini terbentang dipegangi empat orang di kanan kiri, maka keempat orang itu jatuh terjungkal. Suasana menjadi kacau, mendadak dari luar berlari masuk dua orang kejar mengejar. Semua orang terkesiap demi nampak yang muncul adalah Li Bok-chiu dan Cu Cu-liu.

Kiranya Li Bok-chiu telah lama menunggu di puncak Coat-ceng-hong, tapi belum nampak Kongsun Ci kembali dengan obat yang dijanjikan, maka diam-diam ia mendongkol dan menyangka Kongsun Ci sudah menipunya. Akhirnya dia turun dari puncak gunung itu dan mencari jalan kembali ke Coat-ceng-kok dengan tujuan mencari kesempatan merebut obat penawar racun bunga cinta. Karena tidak hafal jalanan, akhirnya Li Bok-chiu kesasar ke tempat yang penuh tumbuh bunga cinta yang melukainya itu. Pada saat itulah tiba-tiba didengarnya ada suara orang berjalan mendatangi. Cepat ia bersembunyi di baiik batu karang di samping semak-semak bunga.

Li Bok-chiu mengintip, dilihatnya kedua orang itu yang satu berdandan sebagai sastrawan dan yang lain adalah Hwesio negeri asing. Kiranya mereka itu adalah Cu Cu-liu dan paderi Hindu. Tadinya Cu Cu-liu menunggui paman gurunya yang belum siuman. Sesudah siuman kembali, paderi Hindu lantas mengajak Cu Cu-liu ke tempat tumbuhnya bunga cinta untuk menyelidiki lebih lanjut. Setiba di semak-semak bunga, paderi Hindu berjongkok dan mulai meraba serta meneliti rumput di sekitar dan di bawah bunga cinta itu. Maklumlah, suatu benda biasanya menjadi penangkal benda yang Iain. Tempat di mana ular berbisa berkeliaran, di situ pasti tumbuh tanaman yang menjadi obat penawarnya. Obat bunga cinta itu juga pasti tumbuh di bawah atau di sekitar bunga itu.

Tentu saja tak diketahuinya bahwa Li Bok-chiu justru sembunyi di balik batu karang. Ketika nampak paderi itu merunduk-runduk semakin mendekat, tanpa bicara lagi Li Bok-chiu menyerangnya dengan sebuah jarum berbisa. Orang yang memiliki kepandaian silat saja sulit untuk mengelakkan serangan gelap Li Bok-chiu, apa lagi paderi Hindu sama sekali tidak mengerti ilmu silat, jarum itu menancap di dadanya dan binasa. Cu Cu-liu mendengar suara mendesis perlahan, lalu paman gurunya menggeletak tak bergerak lagi, segera ia tahu apa yang terjadi. Hanya tak diketahuinya bahwa paderi Hindu sudah mati, tanpa pikir ia memburu maju untuk menolongnya.

Kesempatan baik itu tidak disia-siakan Li Bok-chiu. Dia menubruk keluar dari tempat sembunyinya dan pedangnya menusuk punggung Cu Cu-liu. Karena tidak menduga musuh sembunyi di balik batu, sukarlah bagi Cu Cu-liu menghindari sergapan itu. Sedapatnya dia miringkan tubuh, ujung pedang Li Bok-chiu hanya melukai bahunya saja dan tidak parah. Segera Cu Cu-liu menggeser ke samping dan membalik, ia balas menotok dengan It-yang-ci. Li Bok-chiu pernah merasakan It-yang-ci yang dimainkan oleh Bu Sam-thong, sekarang ilmu jari sakti Cu Cu-liu ini ternyata lebih lihay, diam-diam Li Bok-chiu terkesiap dan tidak berani gegabah. Sesudah bergebrak beberapa jurus, Cu Cu-liu melihat sang Susiok sama sekali tidak bergerak, cepat ia berseru:

“Susiok! Susiok!” Tapi sang paman guru tidak menjawab.

“He-he-he, jika kau ingin jawabannya, boleh kau ikut ke akhirat!” ejek Li Bok-chiu sambil menyerang kembali lebih gencar. Ia pikir kalau lawan berduka karena paman gurunya sudah mati, tentu pikirannya kacau dan mudah dikalahkan.

Tak tahunya rasa duka Cu Cu-liu justru menambah sakit hatinya kepada musuh, maka serangannya malah bertambah lihay tanpa kendur sedikit pun. Di bawah sinar bulan sabit yang remang Li Bok-chiu melihat wajah Cu Cu-liu berubah beringas, matanya membara, serangannya tambah kalap seakan-akan tidak segan untuk gugur bersama bila perlu, diam-diam Li Bok-chiu menjadi takut sendiri. Setelah bergebrak lagi beberapa jurus, mendadak ia membalik tubuh terus angkat langkah seribu alias kabur. Cepat Cu Cu-liu memeriksa keadaan sang Susiok, ternyata sudah tidak bernapas lagi. Sekali bersiul penuh duka, segera dia mengudak ke arah Li Bok-chiu dan begitulah susul menyusul mereka masuk ke ruangan pendopo.

“Susiok telah terbunuh oleh iblis ini, Suhu!” seru Cu Cu-liu begitu melihat It-teng Taysu.

Melihat datangnya Li Bok-chiu, Kongsun Ci kaget dan girang, segera dia berseru: “Ke sini saja Li-sumoay!” Berbareng dia pun menyongsong ke sana.

Meski terluka, namun pikiran Oey Yong cukup jernih. Melihat sikap Kongsun Ci itu segera dia dapat menerka hubungannya dengan Li Bok-chiu. Cepat dia berseru:

“Ko-ji, pisahkan kedua iblis itu, jangan sampai mereka bergabung!”

Tapi Yo Ko sudah putus asa mendengar berita kematian paderi Hindu itu, sekarang semuanya tidak berarti lagi baginya, sisa Coat-ceng-tan telah diambil Kongsun Ci atau tidak sama sekali tak dipikirkan lagi olehnya. Maka seruan Oey Yong hanya disambut dengan tersenyum dan tidak ikut turun tangan. Cepat Yalu Ce jemput setengah jaring yang dirobek oleh pedang Yo Ko tadi dan berseru:

“Bu-suheng, cepat pegang ujung sana!”

Be-ramai Bu Tun-si, Wanyen Peng dan Yalu Yen memegangi ujung jaring itu dan menghadang di antara Li Bok-chiu dan Kongsun Ci. Jaring itu tidak berhasil mengurung musuh, kini malah berbalik kena diperalat oleh musuh untuk merintangi dia sendiri. Benar-benar senjata makan tuan! Sementara itu suasana di ruangan itu menjadi gaduh, karena sebagian jaring bobol, anak buah Kongsun Ci menjadi kacau. Kesempatan ini digunakan Kiu Jian-jio untuk menyemburkan senjata rahasianya. Maka terdengarlah jeritan serta teriakan di sana sini, berturut-turut lima enam orang roboh binasa, barisan jaring kacau balau dan buyar.

Dengan gusar Kongsun Ci ayunkan goloknya membacok Yalu Yen, tetapi Thia Eng mendahului menotoknya dengan seruling kumalanya. Maka terpaksa Kongsun Ci menarik kembali goloknya, diam-diam ia sangat terkejut oleh kelihayan Thia Eng. Berturut-turut dia menusuk dua kali dengan pedangnya dan semuanya dapat dipatahkan Thia Eng. Cepat Bu-siang memutar golok sabitnya mengerubut maju. Percuma saja Kongsun Ci menerjang kian kemari, maksudnya hendak bergabung dengan Li Bok-chiu, tapi selalu dirintangi beberapa anak muda itu, malah kadang ia harus waspada terhadap semburan senjata rahasia Kiu Jian-jio. Dia pikir agar dapat bergabung dengan leluasa harus menerjang dulu keluar. Maka sambil memutar senjatanya ia lantas berseru:

“Li-suamoay, terjang keluar, kita bertemu di tempat tadi!”

Berbareng kedua orang lantas bersuit dan melompat ke kanan kiri, melayang lewat samping Yo Ko dan Siao-liong-li terus menerobos keluar rumah. Kalau Yo Ko dan Siao-liong-li mau turun tangan, tentu kedua orang itu dapat dicegah. Tapi tangan kiri Yo Ko menggenggam kencang tangan kanan Siao-liong-li sambil melangkah keluar dengan perlahan, biar pun tahu jelas Kongsun Ci dan Li Bok-chiu lewat di sebelah mereka tidak ambil pusing. Cepat Oey Yong berteriak:

“Cegat Kongsun Ci, Liong-sumoay! Coat-ceng-tan berada padanya!”

Siao-liong-li terkejut. Dia pikir kalau paderi Hindu itu sudah mati, maka racun dalam tubuh Ko-ji hanya dapat ditolong dengan sisa Coat-ceng-tan itu. Maka segera dia melepaskan gandengan tangan Yo Ko dan memburu ke sana.

“Biarkan saja, Liong-ji!” seru Yo Ko.

“Mana boleh dibiarkan dia pergi?” ujar Siao-liong-li.

Melihat Siao-liong-li tetap mengejar dengan cepat terpaksa Yo Ko menyusulnya. Kongsun Ci dan Li Bok-chiu berlari ke jurusan yang berlawanan, maka semua orang mengejar dengan terbagi menjadi dua rombongan. Siao-liong-li, Yo Ko, Thia Eng dan Liok Bu-siang mengejar Kongsun Ci, sedangkan Bu Sam-thong dan kedua Bu cilik, Cu Cu-liu dan Wanyen Peng mengudak Li Bok-chiu. Yalu Ce, Yalu Yen dan Kwe Hu tinggal di sana mendampingi Oey Yong untuk mengawasi Kiu Jian-jio agar tidak melakukan kekejaman lain.

Di antara rombongan Bu Sam-thong, ilmu silat Cu Cu-liu terhitung paling tinggi, namun bahunya terluka. Setelah berlari-lari sekian lama, akhirnya dia merasa tidak tahan. Waktu semua orang berhenti dan memandang pada Cu Cu-liu, sedikit merandek saja bayangan Li Bok-chiu tidak kelihatan lagi.

“Jika iblis itu sampai lolos, sungguh kita berdosa terhadap Susiok,” ujar Cu Cu-liu dengan gregetan, Mereka terus mencari kian kemari di semak-semak pohon dan batu karang, tapi jejak Li Bok-chiu menghiIang.

“Tadi Kongsun Ci berseru padanya agar bertemu lagi di tempat semuIa,” kata Cu-liu. “Kita tidak tahu tempat mana yang dimaksudkan, tapi asalkan kita mengikuti Kongsun Ci, pasti akhirnya iblis perempuan ini akan ditemukan.”

“Benar ucapan Sute,” ujar Bu Sam-thong. “Mari kita lekas menguntit Kongsun Ci saja.”

Begitulah mereka lantas putar balik ke arah larinya Kongsun Ci. Tidak lama, benarlah di depan sana terdengar suara teriakan dan bentakan orang. Bu Sam-thong memayang Cu Cu-liu agar dapat berlari lebih cepat. Namun suara bentakan dan teriakan itu sebentar mendekat dan di lain saat menjauh kembali, sekejap kemudian lantas lenyap sehingga keadaan sunyi senyap.

Ribut semalam suntuk, fajar hampir menyingsing, cuaca mulai remang-remang. Mendadak di depan terlihat ada jalan simpang empat, mereka menjadi bingung jurusan mana yang harus dituju? Mata Wanyen Peng lebih jeli, tiba-tiba ia menuding sebatang pohon kecil di tepi jalan yang kedua sana dan berseru:

“He, Cu-cianpwe, coba lihat, batang pohon itu baru saja dibacok orang.”

“Benar!” seru Cu-liu dengan girang. “Mari kita mengambil jalan ini.”

Cepat mereka berlari ke sana. Sesudah membelok ke sana kemari, terlihat batang pohon di tepi jalan ada lagi bekas bacokan. Semangat mereka bangkit, menyusur ke sana lebih cepat, pepohonan di tepi jalan makin lama makin lebat, jalanan juga semakin rusak dan sukar ditempuh, untunglah pada setiap belokan atau lintasan jalan selalu ada tanda-tanda bacokan golok di atas pohon atau di tanah.

Kiranya tanda-tanda bacokan itu adalah perbuatan Liok Bu-siang atas perintah Thia Eng. Dua nona itu mengikuti Yo Ko dan Siao-liong-li mengejar Kongsun Ci, karena orang yang menjadi sasarannya lari berputar kian kemari menyesatkan dan kuatir kesasar, maka Thia Eng menyuruh Bu-siang meninggalkan tanda di sepanjang jalan. Tak terduga tanda-tanda itu akhirnya menjadi petunjuk jalan bagi rombongan Cu Cu-liu. Begitulah setelah berlari-lari sekian lama, hari pun terang, namun pepohonan lebat di sekitar mereka menambah suasana menjadi suram. Jalanan menanjak dan terjal, maka terpaksa mereka melambatkan langkah.

Tengah berjalan, tiba-tiba terdengar suara orang tertawa panjang di bagian atas, suaranya melengking tajam laksana burung hantu. Serentak mereka pun berhenti dan menengadah, tampaklah di tebing yang curam di depan sana berdiri seseorang mendongak sambil tertawa, Siapa lagi dia kalau bukan Kongsun Ci. Di bawah tebing curam itu adalah jurang yang dalamnya tak terkira, sedangkan di atasnya adalah puncak gunung yang menjulang tinggi menembus awan.

Melihat keadaan Kongsun Ci yang menyerupai orang gila itu, diam-diam Cu Cu-liu merasa amat kuatir:

“Kalau dia terpeleset dan jatuh ke jurang, mampusnya sih tidak perlu disayangkan, tapi Coat-ceng-tan yang dibawanya akan ikut lenyap juga.”

Segera ia memburu ke sana secepat terbang. Setelah membelok satu tikungan, dilihatnya Yo Ko, Siao-liong-li, Thia Eng dan Liok Bu-siang telah berdiri di tepi tebing sana dan sedang menengadah memandangi Kongsun Ci. Begitu melihat kedatangan Cu Cu-liu, dengan suara perlahan Siao-liong-li berkata:

“Cu-toasiok, lekas engkau mencari akal untuk memancing dia turun.”

Cu Cu-liu coba mengamat-amati keadaan sekitar situ. Dilihatnya tempat berdiri Kongsun Ci itu hanya dihubungkan oleh sebatang balok batu yang lebarnya tak lebih dari 30 senti, jembatan dan tebing gunung sana penuh berlumut hijau, berdiri sendirian di sana saja tak bisa bergerak dengan leluasa, apa lagi kalau dua orang berdesakan di sana. Maka selain memancing turun Kongsun Ci rasanya memang tiada jalan lain. Tapi Kongsun Ci adalah manusia licin dan licik, mana bisa dia diakali? Persoalan ini betul-betul rumit. Teringat akan budi kebaikan Yo Ko yang telah menyelamatkan jiwa kedua keponakannya dan kini mati-hidup Yo Ko bergantung pada obat yang berada di tangan Kongsun Ci, dia merasa sekarang inilah saatnya membalas budi Yo Ko. Segera dia menyingsing lengan baju dan berkata:

“Biar aku pergi ke sana untuk menyeretnya ke sini.”

Baru saja dia melangkah, tiba-tiba bayangan orang berkelebat, Thia Eng sudah mendahului di depannya dan berkata:

“Aku saja yang ke sana!” Cepat sekali Thia Eng terus melangkah ke jembatan batu yang sempit itu.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar