Rabu, 06 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 154

Padahal dengan jelas kedua biji buah kurma yang disemburkan itu tepat mengenai tubuh Oey Yong, mengapa dia tidak roboh? Tapi janji sudah diberikan dan didengar oleh orang banyak, betapa pun juga dirinya tidak boleh ingkar janji. Tetapi segera dia mendapat akal, katanya:

“Kwe-hujin, meski kita berdua sama-sama perempuan, setiap tindakan kita harus bisa dipercaya sebagaimana kaum lelaki. Kau telah menerima tiga kali seranganku, sungguh aku amat kagum. Obat akan kuberikan kepadamu, cuma sebentar aku ada urusan lagi, mohon kalian suka memberi bantuan.”

Kwe Hu mengira ibunya benar-benar terkena senjata rahasia orang, segera dia berteriak: ”Jika ibuku terluka, kami semua pasti akan melabrak kau.” Habis ini dia terus bertanya kepada ibunya: “Bagaimana tubuh ibu yang terkena serangan itu?”

Oey Yong tak menjawab, sebaliknya ia berkata kepada Kiu Jian-jio: “Ucapan anak muda, hendaknya tidak usah Kokcu hiraukan. Betapa pun siaumoay pasti akan pegang janji dan tentu akan membantu Kokcu menghalau musuh, sekarang mohon memberikan obatnya.”

Suara Oey Yong amat nyaring dan bertenaga, sama sekali tidak menyerupai orang yang terluka dalam, maka legalah hati Bu Sam-thong dan lain-lain. Hal ini juga dapat dilihat Kiu Jian-jio, dia menjadi ragu-ragu. Pikirnya: “Dia memiliki kemampuan sehebat ini, andaikan aku hendak ingkar janji juga tidak mudah, terpaksa harus kuhadapi dengan muslihat.”

“Baiklah,” demikian kata Kiu Jian-jio kemudian. Ia lalu berpaling dan memanggil puterinya: “Nak, coba sini, ingin kukatakan sesuatu.”

Selama hidup Oey Yong sudah banyak menghadapi manusia-manusia licik dan licin, sorot mata Kiu Jian-jio yang bertingkah itu tentu saja tak terlolos dari pengamatannya. Dia tahu orang pasti tidak mau menyerahkan obatnya begitu saja, cuma seketika dia belum dapat menerka cara bagaimana orang akan memberi alasan. Didengarnya Kiu Jian-jio sedang berkata kepada Lik-Oh:

“Coba buka ubin di depan sana, ubin ke lima dihitung mulai dari depanku.”

Lik-oh menjadi heran sekali. Apakah mungkin Coat-ceng-tan itu disembunyikan di bawah ubin? Oey Yong lantas paham urusannya dan diam-diam memuji kecerdikan Kiu Jian-jio, Betapa berharganya Coat-ceng-tan itu sudah jelas karena tidak sedikit orang yang mengincarnya. Jika obat itu disembunyikan di tempat yang setiap hari didatangi orang, hal ini justru tidak akan terduga oleh siapa pun juga. Selain itu obat yang disimpan di bawah ubin ini pastilah obat tulen. Tidak mungkin Kiu Jian-jio menyembunyikan obat palsu di situ sebab sebelum ini dia tidak tahu bahwa persoalannya akan berkembang seperti sekarang ini.

Apa bila Kiu Jian-jio menyuruh orang mengambil obat ke kamarnya, betapa pun juga Oey Yong sukar memastikan apakah obat itu memang tulen atau palsu. Tapi sekarang obat itu dikeluarkan di depan orang banyak, maka ketulenan obat itu tidak perlu disangsikan lagi. Begitulah setelah menghitung sampai ubin ke lima, Lik-oh lalu mengeluarkan sebilah belati dan menyungkil ubin tersebut. Di bawah ubin hanya pasir campur kapur belaka dan tiada sesuatu tanda yang aneh.

“Tempat penyimpanan obat itu sangat dirahasiakan dan tidak boleh diketahui orang luar. Anak Oh, coba kemari, ingin kubisiki kau,” kata Kiu Jian-jio pula.

Segera Oey Yong mengetahui akal bulus Kiu Jian-jio itu, tentu ada sesuatu muslihat yang akan diaturnya. Segera ia berlagak menjerit sakit sambil menungging, ia pura-pura kesakitan untuk mengurangi kewaspadaan Kiu Jian-jio, dengan begitu akan mudah meraba maksud tujuan yang sesungguhnya. Tak terduga bahwa Kiu Jian-jio juga sudah memikirkan hal ini. Dia sengaja membisiki Lik-oh dengan suara lirih, walau pun Oey Yong mengikuti dengan penuh perhatian cuma terdengar kata-kata,

“Coat-ceng-tan berada di bawah ubin...”, selain itu tiada terdengar apa-apa lagi.

Sudah tentu kata-kata yang didengarnya itu tidak mengherankan dia karena sebelumnya sudah diketahui tempat penyimpanan obat itu, cuma sesudah kalimat itu, kemudian bibir Kiu Jian-jio hanya kelihatan bergerak sedikit, suaranya teramat lirih dan tidak terdengar. Tampak Lik-oh mengernyitkan kening dan berulang-ulang mengangguk. Selagi gelisah menghadapi detik yang gawat ini, tiba-tiba terdengar It-teng Taysu berseru:

“Coba ke sini, Yong-ji, ingin kuperiksa keadaan lukamu!”

Waktu Oey Yong berpaling, dilihatnya It-teng duduk di pojok sana dengan wajah penuh prihatin. Ia pikir setelah paderi agung itu memegang nadinya tentu akan tahu dirinya sama sekali tidak terluka. Segera ia mendekat ke sana dan mengulurkan tangannya. Sambil memegang nadi Oey Yong, perlahan It-teng Taysu menyebut:

“O-mi-to-hud... kata si nenek O-mi-to-hud ... bahwa di situ ada dua botol... O-mi-to-hud... botol sebelah timur berisi obat tulen... O-mi-to-hud... botol sebelah barat berisi obat palsu dan O-mi-to-hud... ia suruh puterinya mengambil obat palsu untukmu... O-mi-to-hud...”

Waktu menyebut “O-mi-to-hud” suaranya sengaja dikeraskan, tapi pada saat mengatakan soal obat itu suaranya sengaja dilirihkan sehingga hampir tak terdengar. Betapa cerdiknya Oey Yong, begitu mendengar kalimat “kata si nenek” segera ia paham maksudnya. Rupanya Iwekang It-teng Taysu sudah mencapai tingkatan tertinggi, mata telinganya jauh lebih tajam dari pada orang lain, maka kata-kata Kiu Jian-jio yang dibisikkan kepada puterinya dapat diikuti It-teng Taysu dengan jelas. Ia tahu obat itu menyangkut keselamatan jiwa Yo Ko, maka lantas diberi-tahukannya kepada Oey Yong.

Sudah tentu Kiu Jian-jio tidak menduga bahwa rahasianya dapat diketahui lawan, disangkanya Hwesio tua itu benar-benar sedang memeriksa keadaan luka Oey Yong. Dalam pada itu, setelah mendengarkan pesan sang ibu, kemudian Kongsun Lik-oh mulai mengeruk tanah di bawah ubin yang dicungkilnya tadi. Benar saja, tangannya menyentuh dua buah botol kecil di situ. Lik-oh merasa sedih sekali. Dia sudah bertekad akan mengambil obat yang tulen untuk menolong Yo Ko, hanya usahanya yang baik ini entah diketahui tidak oleh anak muda itu. Segera dia keluarkan botol obat yang sebelah kanan dan berseru.

“lnilah Coat-ceng-tan, ibu!” Karena dia yang merogoh tanah di bawah ubin itu maka hanya dia sendiri yang tahu bahwa yang diambilnya itu adalah botol sebelah kanan yang berisi obat tulen, sedangkan Kiu Jian-jio dan Oey Yong mengira botol yang dikeluarkan itu adalah botol sebelah kiri.

Kedua botol yang berisi obat tulen mau pun botol yang berisi obat palsu, baik bentuk dan warnanya sama, yaitu terbuat dari porselen berwarna putih. Setengah biji obat yang terisi itu juga serupa, bila Kiu Jian-jio tidak mencobanya dengan lidah juga sukar membedakan tulen atau palsu. Kiu Jian-jio yakin sekali, betapa pun Kongsun Lik-oh pasti akan mengeluarkan botol berisi obat palsu untuk Yo Ko, ada pun obat yang tulen akan ditinggalkan untuk menyelamatkan diri sendiri. Karena jiwanya yang jahat, ia menilai orang lain seperti dirinya sendiri. Sama sekali tidak dipahaminya bahwa di dunia ini ada orang yang rela mengorbankan diri sendiri untuk menolong orang lain.

“Berikan obat itu kepada Kwe-hujin,” demikian kata Kiu-jian-jio.

Kongsun Lik-oh mengiyakan sambil mendekati Oey Yong. Lebih dulu Oey Yong memberi hormat kepada Kiu-Jian-jio dan mengucapkan terima kasih. Dalam hati dia pikir setelah mengetahui tempat obat tulen itu disimpan, tentu tidak sukar untuk mencurinya nanti. Selagi dia hendak menerima botol obat dari Lik-oh, sekonyong-konyong dari atap rumah bangkit suara gemuruh disertai hamburan debu pasir, seketika atap rumah berlubang dan dari atas udara melompat turun seseorang, serentak botol obat yang dipegang Kongsun Lik-oh direbutnya.

“Ayah!” Lik-oh menjerit kaget laksana orang melihat hantu di siang bolong.

Melihat perubahan air muka Kongsun Lik-oh yang tampak kaget dan cemas itu, Oey Yong menjadi terkesiap, pikirnya: “Jelas obat yang direbut Kongsun Ci itu adalah palsu, kenapa anak ini merasa cemas?”

Pada saat itulah pintu gerbang ruangan pendopo mendadak bergemuruh didobrak orang hingga api lilin ikut bergetar dan menambah seramnya suasana.

“Blang! Blang!”

Terdengar dua kali suara, palang pintu tiba-tiba patah dan terpental hingga merusak dua buah bangku porselen, menyusul daun pintu lantas terbentang dan masuklah seorang lelaki bersama 3 orang perempuan. Yang lelaki adalah Yo Ko dan yang perempuan adalah Siao-liong-li, Thia Eng dan Liok Bu-siang.

“Yo-toako...” tanpa terasa Lik-oh berseru menyongsong kedatangan Yo Ko, tapi segera ia merasa tindakannya itu kurang pantas dan urung bicara lebih lanjut, langkahnya terhenti.



Sejak tadi Oey Yong terus memperhatikan sikap serta mimik wajah Kongsun Lik-oh. Dari tatapan si nona terhadap Yo Ko yang penuh rasa cinta serta kuatir, segera hati Oey Yong tergerak, pahamlah dia duduknya perkara. Pikirnya: “Ai, sudah menjadi ibu tiga anak masa aku belum memahami perasaan anak gadis? Ibu nona Kongsun itu menyuruh dia memberikan obat palsu kepadaku, tapi dia kesemsem pada Ko ji, maka obat yang dia serahkan ini adalah obat tulen, Jadi obat yang baru direbut si tua bangka Kongsun Ci itu adalah Coat-ceng-tan asli, tentu saja nona itu sangat cemas dan bingung.”

Ternyata waktu Yo Ko dan Siao-liong-li hendak kembali ke ruang pendopo, mendadak bertemu dengan Thia Eng dan Liok Bu-siang. Melihat Thia Eng yang manis itu sangat lemah Iembut, Siao-liong-li menjadi sangat suka padanya. Segera mereka terlibat dalam percakapan yang mengasyikkan, sedangkan Liok Bu-siang lantas ngobrol dengan Yo Ko tentang pertarungannya dengan Kwe Hu tadi serta bercerita cara bagaimana dia telah mengolok-olok Kwe Hu dan Thia Eng telah mengalahkannya.


DEMI WANITA LAIN

Sifat Liok Bu-siang periang dan lincah, semenjak kenal Yo Ko, walau pun diam-diam benih cintanya bersemi, tapi mulutnya selalu menyebut Yo Ko sebagai ‘si Tolol’. Sebaliknya Yo Ko juga senang berkelakar, dia pun tetap menggoda Bu-siang dengan sebutan ‘bini cilik’. Mereka mengobrol dengan gembira, sedangkan Siao-liong-li dan Thia Eng yang memang pendiam hanya bicara sebentar saja lantas kehabisan bahan cerita.

“Yo-toako, bagaimana keadaanmu sekarang?” sela Thia Eng suatu ketika.

“Oh, aku tidak apa-apa,” jawab Yo Ko. “Kwe-hujin banyak tipu akalnya, tentu beliau dapat mencarikan obat mujarab bagiku. Yang kukuatirkan justru adalah lukanya,” sambil berkata ia pun menuding Siao-liong-li.

Thia Eng dan Bu-siang terkejut dan berbareng mereka bertanya: “He, jadi Liong-cici juga terluka? Mengapa kami tidak melihat sesuatu tanda apa-apa?”

“Ah, aku tidak apa-apa,” ujar Siao-liong-li dengan tersenyum. “Dengan tenaga dalam kadar racunnya dapat kutahan agar tidak bekerja, dalam beberapa hari ke depan kukira tak akan berhalangan.”

“Racun apakah? Racun bunga cinta juga?” tanya Bu-siang.

“Bukan,” jawab Siao iiong-li, “racun Peng-pok-gin-ciam Li-suciku.”

“Oh, kiranya perbuatan iblis Li Bok-chiu lagi,” kata Bu-siang. “Yo-toako, bukankah engkau pernah membaca kitab pusaka mengenai lima macam racun paling jahat itu? Biar pun lihay racun jarumnya kan tidak sulit untuk disembuhkan?”

Yo Ko menghela napas, katanya: “Kadar racun jarum itu sudah meresap ke ulu hati sehingga sukar disembuhkan dengan pengobatan biasa.” Lalu dia pun menceritakan cara bagaimana dia sedang mengobati Siao-liong-li dan mendadak Kwe Hu datang dan keliru menyerangnya dengan jarum berbisa itu.

Dengan gemas Bu-siang menghantam batu dengan telapak tangannya kemudian berseru:

“Lagi-lagi perbuatan anak she Kwe yang selalu ingin menang sendiri itu. Piauci, betapa pun kita harus bikin perhitungan dengan dia. Memang mengapa kalau ayah ibunya adalah pendekar besar?”

“Urusan ini tidak dapat menyalahkan dia, berbeda sekali dengan terbuntung lengannya,” kata Siao-liong-li. “Nanti bila paderi sakti Thian-tiok itu telah sadar, beliau pasti mampu mengobati diriku.”

“Siapakah paderi Thian-tiok yang kau maksudkan itu? Mengapa mesti menunggu dia sadar? Apakah dia sedang tidur?” tanya Bu-siang heran.

“Ya, katakanlah dia sedang tidur, tidur tiga hari tiga malam,” ujar Yo Ko dengan tersenyum. Dia kuatir rahasia paderi Thian-tiok yang menggunakan tubuhnya sebagai kelinci percobaan untuk menyelidiki kadar racun bunga cinta akan didengar musuh, maka dia pikir urusan ini belum perlu diceritakan kepada Bu-siang.

Pada saat itulah dari kejauhan tiba-tiba ada suara tindakan orang. Cepat Yo Ko mendesis:

“Ssst, jangan bersuara ada orang datang.”

Ucapan Yo Ko sangat lirih, tetapi pendengaran orang di kejauhan itu agaknya sangat tajam, seketika langkahnya berhenti. Selang sejenak barulah terdengar suara tindaknya, cuma sekarang telah berubah arah, yang dituju tempat sembunyi paderi Thian-tiok dan Cu Cu-liu.

“Wah, celaka! Ada orang hendak merunduk Cu-susiok berdua,” kata Siao-liong-li dengan suara tertahan.

“Ssst, jangan bersuara!” desis Yo Ko. “Coba kita kuntit dia.”

Pada saat itu juga tiba-tiba semak-semak pohon di belakang mereka kresekan perlahan, agaknya ada orang sedang bersembunyi di situ.

“Kenapa di mana-mana ada tikus dan celurut?” ujar Bu-siang sambil memungut sepotong batu kecil terus disambitkan ke tempat suara berkeresekan itu. Tanpa terduga batu yang jatuh ke tengah-tengah semak pohon itu ternyata tidak menerbitkan suara, jelas karena ditangkap orang.

“Piauci, coba kita periksa siapa yang sembunyi di situ,” ajak Bu-siang.

Sementara itu Yo Ko dan Siao-liong-li sudah jauh berlari ke sana. Cepat Thia Eng menarik Bu-siang dan mendesis:

“Mari ikuti Yo-toako saja, jalanan di sini sangat ruwet, jangan sampai kita terpencar.”

Segera Bu-siang percepat langkahnya sambil berbisik: “Yang sembunyi di semak-semak sana jangan-jangan Li Bok-chiu.”

“Dari mana kau tahu?” tanya Thia Eng.

“Sejak kecil aku tinggal bersama dia, aku kenal baunya,” tutur Bu-siang.

Thia Eng terkejut dan melangkah lebih cepat. Dia tahu mereka berdua sama sekali bukan tandingan Li Bok-chiu, tapi iblis itu sudah keracunan duri bunga cinta, diharap saja ajalnya sudah dekat. Kaki Bu-siang pincang sebelah, kepandaian larinya jauh dibandingkan sang Piauci, berkat bantuan Thia Eng barulah dia dapat menyusul di belakang Yo Ko dan Siao-liong-li. Di bawah cahaya bulan sabit yang remang, tampaknya Yo Ko berdua sedang menguntit seseorang. Orang itu berjalan melingkar ke sana dan membelok ke situ, agaknya amat hafal dengan jalanan di Coat-ceng-kok ini. Setelah berputar beberapa kali, mendadak orang itu lenyap entah ke mana.

Yo Ko berdua lantas berhenti dan menunggu Thia Eng dan Bu-siang. Setelah dekat, anak muda itu memberi-tahu:

“Kongsun Ci telah pulang kembali ke sini, entah muslihat keji apa yang hendak dilakukannya?”

Thia Eng berdua belum pernah kenal Kongsun Ci, maka keduanya tidak tahu seluk beluk orang, sedangkan pikiran Siao-liong-li polos dan sederhana, ia pun tak dapat menerka apa maksud tujuan manusia licin macam Kongsun Ci. Setelah berpikir sejenak, kemudian Yo Ko berkata:

“Entah bagaimana Kwe-hujin dan It-teng Taysu sedang menghadapi Hwesio gila itu, mari kita ke sana melihatnya.”

Begitulah mereka lantas mencari jalan kembali ke pendopo itu. Kira-kira belasan tombak, di luar pendopo, tiba-tiba terlihat bayangan orang berkelebat di atas wuwungan, menyusul terdengar suara gemuruh yang keras, Kongsun Ci telah membobol atap rumah dan melompat ke bawah.

“Celaka!” keluh Yo Ko.

Yo Ko kuatir di bawah lubang atap yang bobol itu oleh Kongsun Ci telah dipasang jaring berkait untuk memancing dirinya masuk ke sana. Karena itulah dia lantas keluarkan Hian-tiat-pokiam kemudian membobol pintu pendopo dan menerjang masuk. Begitu berada di dalam, dilihatnya tangan kiri Kongsun Ci sudah memegang sebuah botol porselen kecil, tangan lainnya memutar golok menghadapi kerubutan orang dengan sikap jumawa. Rupanya Kongsun Ci girang telah berhasil merebut Coat-ceng-tan, kerubutan orang banyak itu dianggapnya soal kecil, andaikan nanti kewalahan juga dia yakin mampu melarikan diri.

Tapi sebelum ia angkat kaki, mendadak dilihatnya Yo Ko membobol pintu dan menerjang masuk, betapa lihaynya sungguh jauh berbeda dari pada ketika saling bergebrak sebulan yang lalu. Ia tidak berani menghadapi anak muda itu, segera ia meloncat ke atas dengan maksud menerobos keluar melalui lubang atap yang dibobolnya tadi. Ia pikir urusan paling penting sekarang adalah mengantar Coat-ceng-tan kepada Li Bok-chiu, soal membunuh Kiu Jian-jio serta merebut kembali Coat-ceng-kok adalah urusan lain hari dan tidak perlu dilakukan tergesa-gesa.

Tetapi baru tubuhnya mengapung ke atas, tahu-tahu Oey Yong telah menyambar dengan pentung bambunya yang dibuang tadi terus ikut meloncat ke atas. Sekali pentungnya berputar, segera dia sabet kedua kaki orang. Kiu Jian-jio juga tidak tinggal diam.

“Bangsat!” bentaknya murka.

“Serrr...! Serrr...!”

Susul menyusul dua biji buah kurma disemburkan mengarah perut Kongsun Ci. Waktu Kongsun Ci melompat ke atas dia pun sudah menduga bekas isterinya itu pasti akan menyerangnya, maka cepat goloknya menyampuk jatuh satu biji buah kurma dan daya loncatnya tetap mengapung ke atas. Dalam pada itu dilihatnya biji buah kurma yang ke dua sudah menyambar pula, sedangkan goloknya sudah disampukkan dan belum sempat ditarik kembali untuk menangkis lagi.

Sebagian besar kepandaian Kongsun Ci adalah hasil ajaran Kiu Jian-jio, apa lagi sebelah matanya belum lama ini dibutakan isterinya itu, tentu saja ia terkejut melihat serangan tiba pula. Dalam keadaan kepepet, agar perutnya tidak berlubang, terpaksa ia miringkan tubuh dan membiarkan pahanya tersambit jika memang sukar dihindarkan lagi. Tak terduga cara Kiu Jian-jio menyemburkan biji kurmanya selain membawa gaya yang indah juga tujuannya sangat keji. Tampaknya biji kurma itu menuju Kongsun Ci, tapi ketika sudah dekat mendadak biji kurma itu malah berganti haluan dan menyambar ke arah Oey Yong.

Sudah tentu siapa pun tidak menyangka senjata rahasia yang sudah jelas menyambar ke arah Kongsun Ci itu mendadak berubah sasaran, sampai orang yang maha cerdik seperti Oey Yong sama sekali tidak menduganya. Ketika tahu apa yang terjadi dan ingin mengelak, namun sudah terlambat. Untung juga Oey Yong dapat memberi reaksi yang amat cepat. Waktu itu ia pun terapung di udara, maka sekuatnya ia bikin berat tubuhnya dan anjlok ke bawah, tetapi tak urung biji kurma itu pun menancap pada bahu kanannya. Meski berhasil mengelakkan tempat yang mematikan namun kekuatan sambitan Kiu Jian-jio sungguh dahsyat. Oey Yong merasakan sekujur badannya tergetar, tangannya menjadi lemas, pentung bambu itu pun jatuh ke lantai.

Sejak dia menjabat ketua Kay-pang dan menerima pentung penggebuk anjing itu dari Ang Chit-kong, biar pun tidak setiap pertempuran dimenangkan olehnya, tapi boleh dikatakan baru pertama kali ini terjadi pentung itu sampai terlepas dari cekalan. Melihat Oey Yong rada sempoyongan seperti terluka, Bu Sam-thong, Kwe Hu dan lain-nya mengira dia sengaja berbuat demikian, maka tidak menjadi kuatir seperti tadi waktu dia pura-pura terluka.

Akan tetapi Yo Ko dapat menyaksikan apa yang terjadi sesungguhnya. Cepat ia memburu maju dan mengambilkan pentung bambu kemudian diserahkan kembali kepada Oey Yong, berbareng pedangnya yang berat itu menebas ke kiri membawa sambaran angin yang dahsyat. Belum lagi Kongsun Ci sempat menggunakan goloknya, lebih dulu ia telah tergetar mundur tiga tindak. Keruan Kongsun Ci terkejut. Tak terpikir olehnya bahwa selang sebulan lebih bocah she Yo ini sudah buntung sebelah tangannya, tapi ilmu silatnya ternyata bertambah sepesat ini. Sewaktu dia melirik ke sana, dilihatnya air muka Kiu Jian-jio putih pucat, jelas bekas isterinya itu pun melengak kaget melihat ilmu silat Yo Ko yang hebat itu.

Sementara itu Kongsun Lik-oh berdiri di antara ayah dan ibunya. Biasanya dia sangat takut kepada sang ayah, selamanya dia tidak berani membantah sepatah katapun. Tapi sejak mendengar percakapan sang ayah dengan Li Bok-chiu di puncak gunung itu, diam-diam ia merasa sakit hati. Dia pikir betapa pun buasnya binatang tidak akan makan anaknya sendiri, namun sang ayah ternyata sampai hati mencelakai puterinya sendiri demi seorang perempuan yang baru dikenalnya, terang tiada lagi perasaan kasih sayang seorang ayah kepada anaknya. Mengingat dirinya sudah bertekad untuk mati, rasa takutnya seketika lenyap. Segera dia mendekati Kongsun Ci satu langkah dan berseru:

“Ayah, dulu kau sudah membikin cacat dan menjebloskan ibu ke dalam goa bawah tanah, kekejian itu jarang ada bandingannya di dunia ini. Malam ini di Coat-ceng-hong engkau bicara apa dengan Li Bok-chiu?”

Kongsun Ci terkesiap. Dia bicara dengan Li Bok-chiu di tempat terpencil dan sunyi sepi, sama sekali tak tersangka ada orang dapat mendengarnya. Biar pun dia orang yang keji dan kejam, tetapi merencanakan kejahatan terhadap puterinya, betapa pun membuatnya kikuk, apa lagi Lik-oh membongkar rahasianya itu di hadapan umum, keruan air mukanya berubah. Ia menjawab dengan tergagap:

“Aku... aku tidak bicara apa-apa.”

“Engkau hendak mencelakai puteri sendiri untuk seorang wanita yang baru kau kenal,” kata Lik-oh hambar, “Sebagai puterimu, apa bila engkau menghendaki kematianku sebetulnya tak akan kulawan. Tapi Coat-ceng-tan yang kau ambil itu sudah dijanjikan ibu akan diberikan padaku, sekarang kembalikan saja padaku.” Berbareng dia melangkah maju sambil menyodorkan tangannya.

Cepat Kongsun Ci menarik tangan dan memasukkan botol kecil itu ke dalam bajunya, lalu menjengek

“Hmm, kalian ibu dan anak lebih suka membela orang luar, yang satu durhaka kepada suami, yang lain mengkhianati ayah sendiri, semuanya bukan manusia baik-baik. Biarlah sekarang takkan kurecoki kalian, tapi kelak bila datang ganjaran setimpal barulah kalian tahu rasa.”

Habis berkata demikian, begitu golok dan pedangnya saling bentur hingga mengeluarkan suara mendengung, segera dia menerjang keluar dengan langkah Iebar. Yo Ko tidak paham seIuk beluk damperatan Kongsun Lik-oh kepada ayahnya tadi, tetapi segera dia menghadang kepergian Kongsun Ci, kemudian berkata kepada Lik-oh:

“Nona Kongsun, aku ingin bertanya sesuatu padamu.”

Mendengar ucapan anak muda ilu, serentak timbul rasa duka dan sesal diri dalam benak Kongsun Lik-oh, pikirnya: “Soal usahaku dengan mati-matian mengambilkan obat baginya jangan sampai diketahui olehnya. Kelak namanya akan termashur di dunia ini dan pasti takkan ingat lagi pada perempuan macam diriku yang bernasib malang ini, buat apa membikin dia menyesal atas tindakanku ini?”

Maka dengan suara perlahan ia menjawab: “Apa yang hendak ditanyakan Yo-toako?”

“Baru saja kau mengatakan ayahmu hendak mencelakakan kau demi seorang perempuan yang baru dikenalnya, siapakah gerangan perempuan itu? Kenapa bisa terjadi begitu, sudikah kau menjelaskan?” kata Yo Ko.

“Perempuan itu adalah Li Bok-chiu, mengenai duduk perkaranya...” Lik-oh merandek, lalu menyambung: “Meski pun aku diperlakukan secara begini oleh ayah, betapa pun juga dia adalah ayahku sendiri, urusan ini tidak pantas kuceritakan...”

“Anak Oh, hayo bicaralah!” tiba-tiba Kiu Jian-jio berteriak. “Kalau berani berbuat, mengapa kau tidak berani bicara?”

Lik-oh menggeleng dan berkata dengan suara lemah: “Yo-toako. setengah biji Coat-ceng-tan itu berada di botol yang direbut ayahku. Oh, aku... aku adalah anak yang tak berbakti kepada orang tua.”

Sampai di sini ia tidak tahan lagi. Ia membalik tubuh sambil menangis dan berlari ke arah Kiu Jian-jio seraya berseru:

“O, ibu...!”

Bagi pendengaran Kiu Jian-jio, ucapan ‘aku adalah anak yang tak berbakti kepada orang tua’ seakan-akan Lik-oh merasa berani membangkang dan melawan sang ayah, padahal yang dimaksud Lik-oh sesungguhnya adalah karena dia tidak taat kepada perintah sang ibu. Semua orang dapat dikelabui oleh ucapan Lik-oh itu, hanya Oey Yong seorang saja yang paham arti sesungguhnya.

Dalam pada itu diam-diam Kongsun Ci bersyukur bahwa Oey Yong telah kena serangan biji kurma Kiu Jian-jio. Dia berharap kedua pihak akan terjadi pertarungan sengit, dengan begitu dirinya dapat menarik keuntungan dan sempat meloloskan diri. Dengan lagak tertawa dia lantas berseru:

“Bagus, bagus! Tidak percuma ayah sayang kepadamu, puteriku sayang! Kau dan ibumu jaga saja di situ, kita harus melabrak semua orang yang berani menerobos ke Coat-ceng-kok kita ini, seorang pun tidak boleh kabur.” Habis berkata mendadak ia menerjang ke arah Oey Yong yang bersandar pada kursi.

Cepat Kwe Hu mengacungkan pedangnya membela sang ibu. Yalu Ce telah berdiri di sampingnya, pedangnya sudah dipinjamkan kepada Kwe Hu, segera ia menyerang dari samping dengan tangan kosong. Kongsun Ci melirik sekejap dan membatin: “Busyet, sudah bosan hidup barang kali bocah ini, berani menempur aku dengan bertangan kosong?” Sekali goloknya menebas, ia desak mundur Yalu Ce, pedangnya yang lentik berwarna hitam menusuk tenggorokan Kwe Hu. Tanpa pikir Kwe Hu menangkis dengan pedangnya.

“Awas, anak Hu!” seru Oey Yong kuatir.

“Crengg...!”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar