Rabu, 06 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 153

“Ah, Li-sumoay salah memahami maksudku.” Cepat Kongsun Ci menjelaskan. “Maksudku hanya sekedar berbuat sesuatu bagimu, mana aku berani mengancam segala. Cuma untuk merebut obat itu rasanya harus mengorbankan jiwa puteri kandungku, sebab itulah mungkin ucapanku menjadi rada kaku.”

Tergetar hati Kongsun Lik-oh ketika mendengar kalimat ‘harus mengorbankan jiwa puteri kandungku’!

Li Bok-chiu juga merasa heran, maka ia menegas: “Memangnya obat penawar itu berada di tangan puterimu?”

“Tidak, biarlah kukatakan terus terang kepadamu,” jawab Kongsun Ci. “Watak perempuan jahat itu sangat keras dan pemberang, obat penawar itu tentu disimpannya di tempat yang dirahasiakan. Untuk memaksa dia menyerahkan obatnya jelas sukar, jalan satu-satunya harus dipancing dengan akal. Terhadap siapa pun dia tak mengenal ampun, hanya puteri satu-satunya itu yang masih dapat mempengaruhi pikirannya. Maka nanti akan kupancing puteriku si Lik-oh ke sini, dan mendadak kau menawannya lantas lemparkan ke semak bunga cinta. Dengan begitu terpaksa perempuan jahat itu harus mengeluarkan obat untuk menolong jiwa puterinya, kesempatan itu kita gunakan untuk merebut obatnya.” Sejenak kemudian ia menambahkan: “Cuma sayang obatku hanya sisa satu biji saja, kalau sudah diberikan padamu berarti jiwa puteriku takkan tertolong.” Berkata sampai di sini tiba-tiba suaranya menjadi parau dan mengucurkan air mata.

“Demi menyelamatkan jiwaku harus mengorbankan puterimu, kukira batalkan saja urusan ini,” kata Li Bok-chiu.

“Tidak, tidak, meski aku sayang mengorbankan dia, tetapi aku lebih-lebih berat kehilangan kau,” kata Kongsun Ci cepat.

Li Bok-chiu terdiam. Dia merasa selain cara yang diusulkan Kongsun Ci ini memang tiada jalan lain lagi.

“Kita tunggu saja di sini, lewat tengah malam nanti akan kupanggil puteriku keluar. Betapa pun pintarnya tentu dia takkan menduga akan tipu muslihat ayahnya,” kata Kongsun Ci pula.

Percakapan mereka dengan jelas dapat didengar oleh Kongsun Lik-oh, makin mendengar semakin takutlah hatinya. Tempo hari Kongsun Ci pernah menjebloskan dia dan Yo Ko ke kolam buaya, maka dia sudah tahu sang ayah sama sekali tidak memiliki kasih sayang kepada puterinya sendiri. Dan kini secara licik malah berkomplot dengan seorang perempuan yang baru dikenalnya untuk mencelakai puterinya sendiri, betapa keji hatinya sungguh melebihi binatang.

Memang Lik-oh sudah putus asa dan tidak ingin hidup lagi, tapi demi mendengar muslihat keji yang tengah direncanakan kedua orang itu, dengan sendirinya timbul pikirannya untuk melarikan diri. Untunglah sekitarnya batu karang belaka, per-lahan dia lantas melangkah mundur di bawah aling batu karang, sesudah agak jauh barulah ia mempercepat tindakan kakinya. Sesudah jauh meninggalkan Coat-ceng hong, ia tahu tidak lama lagi ayahnya akan datang mencarinya, maka ia tidak berani pulang ke kamarnya, tetapi duduk dengan sedih di atas batu karang. Bulan sabit mengintip di tengah cakrawala, angin malam meniup sepoi-sepoi, ia merasa hampa dan hdup ini sama sekali tidak ada artinya.

Gumamnya sendiri: “Memang aku tidak ingin hidup lagi, mengapa engkau merencanakan akal keji itu untuk mencelakai diriku? Baiklah, jika kau ingin membunuh diriku boleh bunuh saja. Tapi aneh juga, buat apa aku melarikan diri?”

Sekonyong-konyong terkilas suatu pikiran dalam benaknya: “Meski rencana ayah ini keji sekali, tapi akalnya ini juga sangat bagus. Aku memang sudah bertekad akan membunuh diri, lantas mengapa akal ini tidak kupergunakan untuk menipu obat dari tangan ibu buat menyelamatkan jiwa Yo-toako? Kalau mereka suami-isteri dapat diselamatkan dan hidup bahagia, betapa pun mereka pasti akan berterima kasih kepadaku si nona yang mencintai dia dengan setulus hati dan bernasib malang ini.”

Berpikir sampai di sini ia menjadi girang dan berduka pula, namun semangatnya bangkit. Ia memandang sekelilingnya untuk mengetahui lebih jelas dirinya berada di mana, lalu ia melangkah menuju ke kamar tidur sang ibu. Ketika lewat di semak-semak bunga cinta, dengan hati-hati ia memetik dua tangkai besar bunga itu lalu dibungkus dengan ikat pinggangnya agar duri bunga cinta tidak mencocok tangannya. Setiba di luar kamar ibunya dengan suara perlahan ia memanggil:

“lbu, apakah engkau sudah tidur?”

“Ada urusan apa?” jawab Kiu Jian-jio dari dalam kamarnya.

“lbu, oh, ibu, aku... aku sudah luka tercocok duri bunga cinta!” seru Lik-oh dengan suara tergagap sambil merangkul tangkai bunga yang dibawanya.

Tanpa ampun lagi beribu-ribu duri bunga itu tercocok ke dalam kulit dagingnya. Keruan sakitnya tidak kepalang, tapi sekuatnya dia bertahan dan melepaskan ikat pinggang yang membungkus tangkai bunga itu, lalu memanggil lagi:

“Oh, ibu! Ibu...!”

Kiu Jian-jio terkejut mendengar suara keluhan Lik-oh, cepat ia menyuruh pelayan agar membuka kamar dan memayang Lik-oh ke dalam.

“Di tubuhku masih ada duri bunga, kalian jangan mendekat,” seru Lik-oh.

Kedua pelayan menjadi kaget dan membiarkan Lik-oh masuk sendiri ke dalam kamar. Kiu Jian-jio terkejut juga melihat wajah Lik-oh yang pucat, badannya gemetar dan dua tangkai bunga bergantungan di dadanya. Cepat dia bertanya:

“Kenapa kau?”

“Ayah... ayah...” seru Lik-oh terputus-putus. Ia tahu sinar mata sang ibu amat lihay, maka ia menunduk dan tak berani beradu pandang.

“Kau masih memanggilnya ayah? Kenapa bangsat tua itu?” kata Kiu Jian-jio dengan gusar.

“Dia... dia...”

“Coba angkat kepalamu!” bentak Kiu Jian-jio.

Pada waktu Lik-oh mengangkat kepalanya dan melihat sorot mata ibunya yang kereng itu, tanpa terasa ia bergidik. Katanya dengan tergagap:



“Tanpa sengaja kupergoki... kupergoki dia sedang bicara dengan... dengan To-koh cantik yang siang tadi mengacau di sini, kudengar... kudengar...” sampai di sini ia menjadi ragu untuk meneruskan. Maklumlah dia tak pernah berdusta. Karena kuatir isi hatinya diketahui sang ibu, kembali ia menunduk lagi.


TULEN DAN PALSU

“Apa yang dibicarakan mereka?” Kiu Jian-jio menegas dengan tak sabar.

“Katanya mereka se... senasib dan sepenanggungan, sama-sama... sama-sama bermata satu dan... dan karena ibu maka matanya buta sebelah. Mereka... mereka sama memaki ibu sebagai... sebagai perempuan jahat dan macam-macam lagi, sungguh anak sangat... sangat gemas...” sampai di sini dia menangis terguguk.

“Jangan menangis!” kata Kiu Jian-jio dengar geregetan. ”Kemudian apa lagi yang mereka katakan?”

“Tanpa sengaja anak menerbitkan suara sedikit dan diketahui mereka,” tutur Lik-oh lebih lanjut. “To-koh... To-koh itu menangkap diriku dan didorong ke semak bunga cinta.”

Karena merasa suara Lik-oh rada kurang mantap, segera Kiu Jian-jio membentak: “Tidak benar! Kau berdusta! Sesungguhnya bagaimana? Jangan kau membohongi aku.”

Lik-oh berkeringat dingin, cepat ia menjawab: “Anak tidak berdusta, bukankah tubuhku ini tercocok duri bunga?”

“Nada ucapanmu tadi tidak tepat, semenjak kecil kau pun begini bicaranya dan tidak bisa berdusta, masa ibumu tidak kenal watakmu?”

Seketika tergerak pikiran Lik-oh, dengan nekat dia berkata pula: “Ya ibu, memang benar aku telah berdusta padamu. Yang betul ayahlah yang mendorong diriku ke semak-semak bunga. Dia marah padaku, katanya aku mengeloni engkau, membantu kau melawan dia. Katanya aku lebih condong kepada ibu dan tidak sayang kepada ayah.”

Sebenarnya kata-kata ini hanya karangan Lik-oh sendiri, namun Kiu Jian-jio sudah kadung sangat benci pada suaminya, maka ucapan Lik-oh itu masuk di akal atau tidak bukan soal baginya, yang penting adalah hal ini dengan jitu mengenai lubuk hatinya. Cepat ia pegang tangan anak perempuannya dan menghibur:

“Jangan susah, biarlah nanti ibu yang melayani bangsat tua itu dan pasti akan melampiaskan dendam kita ini.”

Lalu dia suruh pelayan mengambilkan gunting dan capitan untuk membuang tangkai bunga serta mengeluarkan duri-duri kecil yang masih melekat di tubuh Lik-oh.

“lbu, sekali ini anak pasti takkan hidup Iagi,” kata Lik-oh dengan menangis sedih.

“Jangan,” ujar Kiu Jian-jio, “Kita masih menyimpan setengah biji Coat-ceng-tan dan untung belum diberikan kepada bangsat cilik she Yo yang tidak berbudi itu. Sesudah kau minum setengah biji obat ini, meski pun racun bunga tidak dapat ditawarkan seluruhnya, asalkan selanjutnya kau mendampingi ibumu dengan prihatin dan tidak menggubris laki-laki busuk mana pun juga, tidak sekali-sekali memikirkan mereka, maka selamanya kau pun takkan menderita apa-apa.”

Kiu Jian-jio sudah sakit hati kepada suaminya, Yo Ko juga tak mau menjadi menantunya, sebab itulah dia membenci setiap lelaki. Jika puterinya tidak menikah selama hidup malah akan kebetulan baginya. Lik-oh mengerutkan kening dan tidak menanggapi, maka Kiu Jian-jio lantas bertanya pula:

“Sekarang bangsat tua dan To-koh itu berada di mana?”

“Waktu anak merangkak keluar dari semak bunga, lalu lari ke sini tanpa menoleh, bisa jadi mereka masih berada di sana,” kata Lik-oh.

Diam-diam Kiu Jian-jio memperkirakan Kongsun Ci pasti akan datang merebut Coat-ceng-kok setelah mendapatkan bala bantuan Li Bok-chiu. Anak murid di lembah ini sebagian besar juga orang kepercayaannya, tapi bila keadaan mendesak mungkin anak muridnya akan berpihak pula kepada Kongsun Ci. Sedangkan dirinya sendiri lumpuh, yang lihay dan diandalkan cuma senjata rahasianya melulu, yakni biji kurma. Akan tetapi kalau Kongsun Ci sudah siap siaga, mungkin semprotan biji kurma sukar lagi melukai dia. Kalau dia membawa perisai, malahan senjata rahasia sendiri akan mati kutu dan tak dapat berbuat apa pun.

Melihat ibunya termenung dengan sinar mata berkilau, Lik-oh menyangka ibunya sedang menimbang ucapannya tadi benar atau tidak. Dia amat kuatir rahasianya akan terbongkar sehingga selain dirinya akan tersiksa, usahanya untuk menolong Yo Ko juga akan sia-sia belaka. Teringat kepada Yo Ko, seketika dadanya menjadi sakit, racun bunga cinta bekerja, tanpa terasa dia menjerit. Cepat Kiu Jian-jio membelai rambutnya dan berkata:

“Baiklah, mari kita pergi mengambil Coat-ceng-tan.” Segera dia tepuk tangan, empat pelayan menggotongnya dengan kursi keluar kamar.

Sejak perginya Yo Ko, Kongsun Lik-oh ingin sekali mengetahui di mana ibunya menyimpan setengah biji Coat-ceng-tan itu. Menurut dugaannya, ibunya yang lumpuh dan tidak leluasa gerak-geriknya itu tentu tidak mungkin menyimpan obat di tempat-tempat yang sukar didatangi, maka besar kemungkinan disimpan di dalam rumah. Tapi menurut pengamatannya selama belasan hari ini, rasanya semua tempat sudah pernah ditelitinya dan tiada sesuatu tanda yang dapat ditemukan. Maka dia menjadi heran ketika mendengar ibunya memerintahkan pelayan membawanya ke ruang pendopo.

Padahal ruangan besar itu adalah tempat yang terbuka dan sukar untuk menyembunyikan sesuatu, apa lagi sekarang musuh tangguh semua berkumpul di sana dan tujuan mereka pun justru ingin mendapatkan setengah obat biji itu. Mungkinkah obat itu sengaja ditaruh di depan mata musuh dan membiarkan mereka mengambilnya begitu saja?

Sementara itu pintu muka dan belakang ruangan pendopo tertutup rapat sambil dijaga anak murid berseragam hijau dengan jaring berkait. Begitu melihat kedatangan Kiu Jian-jio, serentak mereka memberi hormat. Murid yang menjadi pemimpin barisan segera melapor:

“Musuh tidak kelihatan bergerak, agaknya mereka sudah mati kutu dan segera dapat ditawan.”

Kiu Jian-jio hanya mendengus saja dan anggap ucapan anak buahnya itu terlalu gegabah. Musuh tangguh yang terkurung di ruangan itu adalah tokoh kelas tinggi, mana mungkin mereka menyerah begitu saja untuk ditawan? Segera dia memerintahkan pintu dibuka. Berbondong-bondong rombongan Kiu Jian-jio lantas masuk ke dalam sambil dilindungi dua barisan jaring berkait di kanan kiri. Terlihatlah It-teng Taysu, Oey Yong, Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain sama berduduk di pojok ruangan sana sedang bersemadi. Sesudah kursinya diturunkan, Kiu Jian-jio berseru:

“Kecuali Oey Yong dan anak-anaknya bertiga, yang lain takkan kuusut kesalahannya karena telah berani menerobos ke lembah ini. Nah, kalian boleh pergi.”

“Kiu-kokcu,” kata Oey Yong sambil tersenyum. “Engkau sendiri sedang terancam bahaya, tetapi engkau tidak lekas mencari jalan untuk menyelamatkan diri malah omong besar. Sungguh lucu.”

Kiu Jian-jio terkesiap. Ia heran dari mana Oey Yong mengetahui dirinya sedang terancam bahaya? Apakah bangsat tua itu sudah pulang lagi ke sini dan diketahui olehnya? Akan tetapi dia tenang-tenang saja dan menjawab:

“Ada bencana atau ada rejeki sukarlah diketahui sebelum tiba saatnya. Apa lagi diriku telah cacat begini. kenapa aku harus takut?”

Padahal Oey Yong tidak tahu tentang Kongsun Ci, hanya dari gerak-gerik serta air muka Kiu Jian-jio dapat dilihat ada sesuatu urusan genting yang sedang dihadapinya, maka dia menduga di lembah ini pasti sedang terjadi keributan. Bantahan Kiu Jian-jio itu semakin memperkuat dugaannya. Segera dia berkata:

“Kiu-kokcu, kakakmu meninggal akibat terperosok sendiri ke dalam jurang ketika menunggang rajawali piaraanku dan sama sekali bukan aku yang membunuhnya. Tetapi jika kau tetap mendendam mengenai hal ini, baiklah, aku akan menerima balas dendammu, silakan kau menimpuk diriku dengan tiga biji kurma dan sama sekali aku tak akan menghindar. Cuma setelah seranganmu nanti, apakah aku akan mati atau tetap hidup, engkau harus berjanji memberikan obat penawar untuk menyembuhkan Yo Ko. Kalau beruntung aku tidak mati, maka bereslah segala urusan, andaikan mati, maka kawan-kawan yang hadir di sini juga takkan merasa menyesal dan dendam, mereka tetap akan membantu kau mengatasi kesukaranmu menghadapi musuh dari dalam. Nah, bagaimana usulku ini, kau mau terima atau tidak?”

Syarat yang dikemukakan Oey Yong ini boleh dikatakan sangat menguntungkan Kiu Jian-jio. Maklumlah, selain senjata rahasia biji kurma yang diandalkan itu, sebetulnya Kiu Jian-jio tidak mempunyai kemampuan lain untuk menghadapi musuh, sedangkan ‘musuh dari dalam’ yang dikatakan Oey Yong lebih-lebih kena di hatinya. Maka dia lantas menjawab:

“Sebagai ketua Kay-pang. tentu ucapanmu bisa dipercaya. Jadi kau rela kuserang dengan tiga biji kurma tanpa mengelak dan menghindar serta tidak akan menangkisnya dengan senjata, begitu bukan?”

Belum lagi Oey Yong menjawab, cepat Kwe Hu menyela: “lbuku cuma menyatakan tidak akan mengelak dan menghindar tapi tidak pernah mengatakan takkan menangkis dengan senjata.”

Akan tetapi Oey Yong lantas menyambung lagi sambil tersenyum: “Agar Kiu-kokcu dapat melampiaskan rasa dendamnya, biarlah aku pun takkan menangkis dengan senjata.”

“Mana boleh jadi, ibu!” seru Kwe Hu.

Rupanya dia benar-benar sudah merasakan betapa lihaynya semprotan biji kurma nenek itu ketika pedangnya disemprot patah tadi. Kalau ibunya benar-benar tidak mengelak dan tidak menghindar, tubuhnya yang terdiri dari kulit-daging itu masa sanggup menahannya? Tapi Oey Yong menganggap jasa Yo Ko sangat besar bagi keluarga Kwe. Sekarang anak muda itu keracunan dan sukar disembuhkan, kalau tidak berdaya agar nenek she Kiu ini menyerahkan obat penawarnya, maka selama hidup berarti keluarga Kwe tetap berutang budi kepada Yo Ko.

Biji kurma si nenek ini adalah senjata rahasia maha lihay di dunia ini, sudah tentu sangat berbahaya jika membiarkan tubuh sendiri diserang tiga kali, sedikit meleng saja jiwa pasti melayang. Tetapi kalau tidak berani menyerempet bahaya, bagaimana nenek ini mau memberikan obatnya?

Perlu diketahui bahwa ketika Oey Yong mengemukakan usulnya itu sebelumnya dia telah menimbang dengan masak-masak keadaan Kiu Jian-jio serta sifat-sifatnya. Selain harus melenyapkan dendam kesumat nenek itu, diberi janji lagi akan membantu dia mengatasi ancaman bahaya dari dalam, sedangkan serangan tiga biji kurma adalah ilmu khas satu-satunya yang bisa digunakannya membinasakan lawan, sekali pun Kiu Jian-jio sendiri juga tidak dapat mengemukakan cara yang lebih baik dari pada usul Oey Yong ini.

Tetapi dasar Kiu Jian-jio memang suka curiga. Dia merasa tawaran Oey Yong ini teramat menguntungkan pihaknya dan rasanya tidak masuk akal, karena itu dengan suara parau dia menegas:

“Kau adalah musuhku, tetapi kau bersedia kuserang dengan tiga biji kurma, sebenarnya ada tipu muslihat apa di balik usulmu ini?”

Oey Yong sengaja mendekati dan membisiki: “Di sini banyak orang, mungkin tidak sedikit orang yang bermaksud jahat padamu, betapa pun kau harus berjaga-jaga.”

Tanpa terasa Kiu Jian-jio mengerling kepada anak buahnya. Dia pikir orang-orang ini memang sebagian besar adalah orangnya tua bangka Kongsun Ci, maka harus waspada terhadap segala kemungkinan. Karena itu dia pun mengangguk atas bisikan Oey Yong itu. Kemudian Oey Yong mendesis lagi:

“Sebentar lagi lawanmu akan turun tangan, aku sendiri pun menyadari berada di tempat yang berbahaya, karena itu sengketa kita harus cepat diselesaikan, tak peduli aku akan mati atau hidup yang terang nanti beramai-ramai kita dapat menghadapi musuh bersama. Selain itu si Yo Ko sudah banyak menanam budi padaku, maka sekali pun jiwaku melayang baginya harus kudapatkan Coat-ceng-tan. Orang hidup harus tahu membalas budi, jika tidak, lalu apa bedanya manusia dan binatang?”

Habis berkata dia terus melangkah mundur kembali dan mengawasi gerak-gerik Kiu Jian-jio. Betapa pun tipis budi Kiu Jian-jio, namun ucapan Yo Ko tentang ‘manusia yang tidak tahu balas budi tiada bedanya seperti binatang’ mau tidak mau menyentuh juga hati nuraninya. Pikirnya: “Memang benar juga, kalau saja aku tidak ditolong si Yo Ko, saat ini aku pasti masih terasing dan tersiksa di kolam buaya bawah tanah itu.” Tetapi pikiran itu hanya timbul sekilas saja lantas lenyap pula, serentak timbul lagi pikiran jahatnya. Katanya dengan dingin:

“Hmm, betapa pun kau putar lidah takkan mampu mempengaruhi hati nenekmu yang yang sekeras baja ini. Hayo semua menyingkir duIu, dia harus rasakan tiga biji buah kurmaku.”

“Baiklah, akan kuterima seranganmu tiga kali, mati pun aku takkan menyesal,” kata Oey Yong sambil menggeser ke tengah ruangan hingga berjarak sepuluh meter dari Kiu Jian-jio. “Nah, silakan mulai!”

Meski Bu Sam-thong dan lain-lain cukup kenal kepintaran Oey Yong banyak tipu akalnya, tapi betapa lihaynya senjata rahasia Kiu Jian-jio sudah mereka saksikan sendiri. Kini tanpa senjata Oey Yong hanya berdiri menunggu serangan saja, betapa pun juga hal ini membuat mereka ikut kebat-kebit. Yang merasa paling kuatir adalah Kwe Hu. Dia coba menarik lengan baju sang ibu lantas membisikinya:

“lbu, kita cari dulu tempat yang sepi sehingga engkau bisa memakai kaos kutang duri landak yang kupakai ini, dengan demikian tentu takkan takut lagi kepada senjata rahasia musuh.”

“Jangan kuatir, boleh kau saksikan kelihayan ibumu,” ujar Oey Yong tersenyum.

“Awas...!” mendadak Kiu Jian-jio membentak.

Belum lenyap suaranya, secepat kilat satu biji kurma menyambar ke arah perut Oey Yong. Biji buah kurma itu sangat kecil, tapi daya sambarnya begitu keras dan membawa suara mendenging. Kontan Oey Yong menjerit satu kali sambil memegangi perutnya dan setengah menungging. Keruan Bu Sam-thong, Kwe Hu dan lain-lainnya sangat terkejut. Sebelum mereka sempat bertindak, suara mendenging bangkit Iagi, biji kurma kedua menyambar ke dada Oey Yong. Kembali Oey Yong menjerit sambil mundur beberapa tindak dengan terhuyung seakan-akan roboh.

Melihat Oey Yong benar-benar menepati janji dan tidak berkelit serta menghindar, kedua biji kurma yang disemburkan juga tepat mengenai bagian mematikan pada tubuh sasarannya, begitu keras tenaga semprotan biji kurma itu sehingga biasanya batu karang yang keras juga dapat ditembusnya, apa lagi kalau cuma tubuh manusia, namun ternyata Oey Yong hanya sempoyongan saja meski jelas sudah terluka, tampaknya sekuatnya ingin bertahan agar mampu diserang lagi satu kali, diam-diam Kiu Jian-jio terkesiap.

Baru sekarang ia mengakui bahwa Oey Yong yang tampaknya lemah gemulai itu ternyata memiliki kepandaian sejati dan benar-benar seorang tokoh persilatan terkemuka. Namun ia pun girang melihat sasarannya terkena dua biji buah kurma dan jiwanya pasti sukar dipertahankan. Itu berarti sakit hati kematian kakaknya akan terbalas. Segera biji buah kurma ketiga tersembur lagi dari mulutnya. Sekali ini yang diarah adalah tenggorokan Oey Yong, asalkan kena sasarannya, seketika musuh akan binasa. Bahwa perut dan dada Oey Yong jelas sudah terkena biji buah kurma yang disemprotkan Kiu Jian-jio itu, apakah benar Oey Yong yang pintar dan cerdik itu bisa dilukai begitu saja?

Rupanya persoalannya tidak begitu sederhana! Sebelumnya Oey Yong sudah mempunyai daya upaya ketika menyatakan siap diserang tiga kali dengan biji kurma. Kiranya secara diam-diam Oey Yong sudah menyembunyikan pedang patah Kwe Hu di dalam lengan bajunya dan ketika biji kurma musuh tiba, sedikit angkat lengannya dapatlah dia menutupi tempat yang diarah biji kurma dengan ujung pedang patah.

Cuma untuk melenyapkan suara benturan, maka ia sengaja menjerit agar orang lain tidak memperhatikan suara benturan biji kurma dengan pedang patah. Ternyata akal Oey Yong benar-benar dapat mengelabui Kiu Jian-jio, bahkan juga Bu Sam-thong dan lain-lain. Tapi sebabnya Oey Yong tidak sampai terluka sebenarnya sebagian besar juga adalah berkat kepandaian ilmu silatnya di samping sebagian kemujurannya. Cuma dia sengaja berlagak terluka parah, dengan demikian dapatlah mengurangi rasa marah Kiu Jian-jio di samping menjaga kehormatannya sebagai Kokcu.

Tapi sekarang biji kurma ketiga menyambar tenggorokannya. Kalau angkat lengan baju lantas menangkisnya dengan kutungan pedang yang tersembunyi di balik lengan baju itu tentu rahasianya akan diketahui Kiu Jian-jio dan itu berarti dirinya melanggar janji. Dalam keadaan kepepet terpaksa ia menyerempet bahaya, kedua dengkul sedikit ditekuk sehingga biji kurma yang menyambar tiba itu tepat tertuju mulutnya. Sekuatnya Oey Yong menghimpun tenaga murni di dalam perut, sekali mulutnya terbuka, segera ia mendahului menyemburkan hawa murni.

Ia tahu sambaran biji kurma lawan yang hebat itu juga bergantung pada hawa murni yang disemburkan Kiu Jian-jio. Kalau hawa lawan hawa, jarak musuh lebih jauh dan dirinya lebih dekat, hal ini justru sangat menguntungkan pihaknya, sekali pun biji kurma itu tidak disembur jatuh sedikitnya juga akan mengurangi daya luncurnya. Tak tahunya selama bertahun-tahun Kiu Jian-jio terkurung di goa bawah tanah itu, karena kelumpuhan anggota badan setiap hari dia cuma berlatih ilmu menyembur biji kurma itu tanpa terganggu urusan lain, maka daya bidiknya menjadi kuat luar biasa.

Sementara Oey Yong sudah cukup sering melahirkan, mesti melayani suami dan mendidik murid, dengan sendirinya kekuatannya tidak sehebat Kiu Jian-jio. Oleh karena itu, ketika hawa murni disemburkan, daya luncur biji kurma itu memang terhalang sedikit sehingga rada lambat, namun kekuatan menyambarnya masih tetap dahsyat.
Keruan Oey Yong terkesiap. Dalam pada itu biji kurma telah menyambar tiba di depan bibirnya, dalam detik yang menentukan ini tiada jalan lain terpaksa ia membuka mulut, biji kurma itu digigitnya mentah-mentah. Tentu saja giginya tergetar kesakitan dan tubuhnya tergetar mundur dua-tiga tindak. Kalau tadi dia berpura-pura tergetar mundur, sekali ini dia benar tergetar mundur karena daya luncur senjata rahasia yang dahsyat itu. Untung juga dia dapat bertindak menurut keadaan dan cepat luar biasa, jika tidak beberapa giginya pasti akan rontok tergetar oleh biji kurma yang lihay itu. Semua orang menjerit dan serentak mereka pun merubung maju. Ketika Oey Yong mendongak.

“Berrr...!” biji kurma yang digigitnya itu disemprotkan ke atas dan menancap di belandar.

Kemudian dia berkata dengan mengernyit kening: “Kiu-kokcu, sesudah menerima tiga kali seranganmu ini, jiwaku sudah mendekati ajal, maka hendaklah kau menepati janji dan memberi obatnya.”

Kiu Jian-jio juga kaget melihat Oey Yong mampu mengigit biji kurmanya yang menyambar dengan dahsyat itu. Ia melirik Lik-oh dan membatin: “Anakku sendiri terkena racun bunga cinta. Jangankan si Yo Ko menolak mengawini anakku, sekali pun dia benar menjadi menantuku setengah biji obat ini takkan kuberikan padanya.”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar