Rabu, 06 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 152

Beramai-ramai anak buah Kiu Jian-jio juga menyebar dan siap siaga, asalkan sang Kokcu memberi aba-aba, serentak mereka akan menyerbu. Hanya It-teng Taysu saja yang tetap duduk bersila di tengah ruangan dan anggap tidak mendengar dan tidak melihat apa yang terjadi di sekitarnya, dia tetap mengucapkan doa, meski tidak keras suaranya tapi cukup jelas terdengar. Tiba-tiba Cu-in mengangkat tinggi Kwe Siang dan berteriak:

“lni puteri Kwe Ceng dan Oey Yong. Setelah kubunuh anak ini barulah kubinasakan kedua orang tuanya.”

Dengan girang Kiu Jian-jio menanggapi: “Bagus, Jiko yang baik, begitulah baru benar-benar ketua Tiat-ciang-pang yang tiada bandingannya.”

Dalam keadaan demikian jangankan seorang pun yang hadir ini mampu mengalahkan Cu-in, sekali pun ada yang berkepandaian lebih tinggi dari dia akan mati kutu dan sukar menyelamatkan Kwe Siang dari tangan orang yang sudah kalap.

“Yo toako! Yo-toako! Di manakah engkau? Lekas ke mari menolong adikku!” sekonyong-konyong Kwe Hu berseru.

Menghadapi bahaya begini tiba-tiba ia ingat kepada Yo Ko. Maklumlah, beberapa kali Kwe Hu mengalami kesukaran dan setiap kali Yo Ko yang berhasil menyelamatkannya di luar dugaan. Sekarang adiknya terancam dan tampaknya tiada seorang pun yang mampu bertindak, secara otomatis timbul harapannya agar Yo Ko datang menolong. Akan tetapi saat itu Yo Ko sedang bergandengan tangan dengan Siao-liong-li menikmati pemandangan senja indah pegunungan ini, sama sekali tidak terpikir olehnya di ruangan besar sedang timbul adegan yang mendebarkan.

Begitulah dengan tangan kanan mengangkat Kwe Siang ke atas dan tangan kiri siap-siap membela diri, Cu-in mengejek seruan Kwe Hu tadi:

“Huh, Yo Ko apa? Siapakah Yo Ko itu? Saat ini walau pun Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong datang ke sini sekaligus paling jiwaku Kiu Jian-yim saja yang bisa diganggunya, jangan harap akan dapat menolong anak dara cilik ini.”

Perlahan It-teng mengangkat kepalanya dan menatap Cu-in, terlihat kedua mata muridnya merah membara penuh napsu membunuh, segera ia berkata:

“Cu-in kau hendak menuntut balas pada orang, kalau orang pun hendak menuntut balas padamu, lalu bagaimana?”

“Siapa yang berani boleh coba maju!” bentak Cu-in.

Sementara itu hari sudah dekat magrib, cuaca mulai remang-remang dan air muka Cu-in tampak semakin seram. Pada saat itulah mendadak Oey Yong bergelak tawa, suara tawanya mendadak meninggi dan di lain saat merendah laksana suara tawa orang gila. Begitu seram suara tertawanya hingga membikin orang merinding.

“lbu!” seru Kwe Hu kuatir.

Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain juga serentak memanggil: “Kwe-hujin!”

Semua orang merasa kuatir. Jangan-jangan akibat terlampau memikirkan anaknya dalam cengkeraman musuh, mendadak pikiran Oey Yong menjadi tidak waras. Terlihat Oey Yong membuang pentung bambu, kemudian melangkah maju dengan rambut terurai serawutan, suara tertawanya melengking tajam dan menyeramkan, berbeda sama sekali dari pada sikapnya yang ramah se hari-hari.

“lbu!” seru Kwe Hu sambil menarik lengan Oey Yong.

Tapi sekali mengibas, Kwe Hu terpelanting jatuh, Oey Yong terus pentang kedua tangan hendak merangkul tubuh Cu in dengan terbahak-bahak.


SEMUA INGIN OBAT PENAWAR

Kejadian ini juga sama sekali di luar dugaan Kiu Jian-jio. Dia mengawasi tingkah laku Oey Yong dengan mata mendelik dan sangsi.

“Jangan kuatir, Kwe-hujin, kita pasti dapat merampas kembali puterimu,” seru Bu Sam-thong.

Tapi Oey Yong tidak menggubrisnya, kedua tangan tetap terpentang sembari melototi Cu-in, katanya:

“Lekas kau cekik mati anak itu! Cekik lehernya yang keras, jangan kendur!”

Wajah Cu-in tampak pucat sekali bagaikan mayat. Sambil merangkul Kwe Siang dalam pangkuannya, Cu-in berkata dengan tergagap:

“Sia... siapa kau?”

Mendadak Oey Yong tertawa terkekeh-kekeh terus menubruk maju. Meski pun tangan kiri Cu-in sudah bersiap namun sebegitu jauh tidak berani menyerang, dia hanya menggeser ke samping menghindari tubrukan Oey Yong, lalu ia bertanya laGI:

“Kau... kau siapa?”

“Apakah kau sudah lupa semuanya?” jawab Oey Yong dengan suara seram, “Malam itu di atas istana kerajaan Tayli kau memegang seorang anak... ya, ya, persis seperti ini kau memegangnya. Bocah itu kau siksa sampai setengah mati hingga akhirnya jiwanya sukar tertolong lagi, dan aku... aku adalah ibu bocah itu, Nah, lekas kau mencekik mampus dia, lekas, kenapa tidak lekas kau lakukan?”

Mendengar sampai di sini, sekujur badan Cu-in menggigil. Kejadian beberapa puluh tahun yang lalu mendadak terbayang olehnya, Tatkala itu dia sengaja melukai putera Lau-kuihui, yaitu selir kesayangan Lam-te (raja di selatan) Toan-hongya yang kini berjuluk It-teng Taysu, tujuannya supaya Toan-hongya mau mengorbankan tenaga dalamnya yang dipupuk selama berpuluh tahun untuk menyelamatkan jiwa anaknya (yang sebenarnya adalah hasil hubungan gelap antara Lau-kuihui alias Eng-koh dengan Ciu Pek-thong, si Anak Tua Nakal), namun Toan-hongya tega benar tidak mau mengobati anak itu sehingga anak itu akhirnya meninggal.

Kemudian beberapa kali Eng-koh bertemu dengan Cu-in dan secara kalap melabraknya, kalau perlu siap untuk gugur bersama. Dalam keadaan begitu, walau pun ilmu silat Cu-in jauh lebih tinggi dari pada Eng-koh juga merasa jeri. Maklumlah, karena merasa berdosa maka tidak berani melawan dan lebih suka kabur saja.



Oey Yong tahu itulah kelemahan terbesar selama hidup Cu-in. Tadi dilihatnya cara Cu-in mengawasi Kwe Siang mirip benar kejadian dahulu, maka dia menjatuhkan taruhan yang terakhir dengan sengaja menyerukan Cu-in agar mencekik mati Kwe Siang saja. Tentu saja Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lainnya tidak tahu maksud tujuan Oey Yong, mereka menyangka ketua Kay-pang itu mendadak gila sehingga ucapannya tidak keruan juntrungannya. Padahal tindakan Oey Yong ini sesungguhnya teramat cerdik dan berani, biar pun kaum lelaki belum tentu sanggup bertindak demikian. Dia telah mengetahui benar kelemahan musuh, inilah kecerdikannya, dia pun berani menyuruh orang mencekik anaknya, inilah keberaniannya yang luar biasa.

Begitulah seketika Cu-in menjadi ragu-ragu. Dipandangnya Oey Yong, lantas memandang It-teng Taysu, kemudian mengamat-amati anak yang dipegangnya. Sekonyong-konyong dia tidak mampu menahan rasa penyesalannya sendiri. Tiba-tiba dia berteriak:

“Mati, sudah mati! Aih, anak baik-baik begini telah kucekik mati.”

Perlahan ia mendekati Oey Yong dan menyodorkan bayi itu sambil berkata: “Akulah yang membikin mati anak ini, boleh kau membinasakan diriku sebagai pengganti jiwanya.”

Girang Oey Yong tidak terhingga, segera dia hendak menerima kembali anaknya. Namun tiba-tiba terdengar It-teng membentak:

“Balas membalas, tuntut menuntut, sampai kapan berakhirnya? Golok jagal di tangan, kapan akan kau lemparkan?”

Cu-in terkejut, pegangannya jadi kendur, Kwe Siang terjatuh ke lantai. Namun Oey Yong amat cekatan. Sebelum tubuh anak bayi itu menyentuh lantai, sebelah kakinya tahu-tahu sudah diayunkan dan tepat mengenai tubuh Kwe Siang sehingga mencelat ke sana, berbareng itu Oey Yong lantas berteriak dan ter-kekeh:

“Ahh, anak ini telah dibunuh olehmu. Bagus, bagus sekali!”

Meski tendangannya tampak agak keras, padahal sesungguhnya cuma punggung kakinya saja yang menjungkit perlahan punggung anak itu terus dengan enteng ditolak ke sana. Dia tahu keselamatan anak bayi itu bergantung dalam sedetik itu saja, kalau dia berjongkok menyambar anak itu bisa jadi pikiran Cu-in mendadak berubah lagi dan meraih kembali si Kwe Siang. Tubuh Kwe Siang mencelat dengan anteng ke arah Yalu Ce, maka dengan tepat anak muda itu dapat menangkapnya. Dilihatnya sepasang biji mata Kwe Siang yang hitam itu terbelalak, mulutnya terbuka hendak menangis, keadaannya segar bugar tanpa cidera apa pun.

Yalu Ce paham Oey Yong sengaja mengirim Kwe Siang ke arahnya adalah karena watak Kwe Hu suka gegabah, maka sang ibu tidak berani menyuruhnya menerima bayi itu. Cepat Yalu Ce mendekap mulut Kwe Siang untuk mencegah tangisnya, berbareng ia pun berteriak-teriak:

“Wah, anak ini telah dibinasakan Hwesio itu!”

Muka Cu-in pucat seperti mayat, seketika dia sadar dan bebas, cepat ia memberi hormat kepada It-teng dan berkata:

“Terima kasih banyak atas bantuan Suhu!”

It-teng membalas hormat dan menjawab: “Selamat! Kau telah mencapai kesempurnaan!”

Kedua orang berhadapan dengan tertawa, lalu Cu-in melangkah pergi. Cepat Kiu Jian-jio berseru:

“He, Jiko, kembali...”

Cu-in menoleh dan berkata: “Kau suruh aku kembali, tetapi aku justru hendak menyuruh kau kembali juga.” Habis itu ia bertindak pergi tanpa berpaling lagi.

“Bagus, bagus!” berulang-ulang It-teng menyatakan syukurnya, lalu ia mengundurkan diri ke sudut ruangan dan duduk semadi tanpa bicara lagi.

Oey Yong mengikat kembali rambutnya yang kusut tadi. Dari Yalu Ce ia terima si Kwe Siang. Cepat Kwe Hu merangkul sang ibu, serunya dengan kejut girang:

“Kukira ibu benar-benar sudah kurang waras!”

Oey Yong mendekati It-teng Taysu dan memberi hormat, katanya: “Taysu, karena kepepet sehingga Siautit terpaksa mengungkat kejadian masa lampau, mohon Taysu sudi memaafkan.”

“Yong-ji..., Yong-ji..., kau benar-benar Khong Beng-nya kaum wanita,” ujar It-teng dengan tersenyum.

Di antara hadirin hanya Bu Sam-thong saja yang lapat-lapat mengetahui kejadian dulu, orang lain sama melongo heran karena tidak tahu apa yang dimaksudkan percakapan It-teng dan Oey Yong. Bahwa keadaan akhirnya menjadi begini, hal ini pun di luar dugaan Kiu Jian-jio. Dia tahu, sekali kakaknya pergi selanjutnya sukar bertemu lagi. Melihat bayangan Cu-in sudah lenyap, perasaannya menjadi pilu, tetapi terasa bimbang dan menyesal ketika ingat ucapan Cu-in sebelum pergi tadi:

‘Kau suruh aku kembali, tetapi aku justru hendak menyuruh kau kembali juga’.

Jelas ucapan itu bernada memberi nasehat agar lekas menahan diri dan kembali ke jalan yang baik. Akan tetapi rasa menyesal itu hanya sekilas saja lantas lenyap, dengan angkuh dia berkata:

“Silakan kalian duduk saja di sini, aku tidak dapat menemani lama-lama.”

“Nanti dulu!” seru Oey Yong tiba-tiba. “Kunjungan kami ini adalah untuk memohon Coat-ceng-tan.”

Kiu Jian-jio mengangguk kepada murid-muridnya. Serentak anak murid seragam hijau itu bersuit, kemudian dari setiap sudut muncullah empat orang berseragam hijau yang membawa jaring ikan berkait dan menghadang jalan ke luar semua orang. Dalam pada itu empat pelayan lantas angkat kursi yang diduduki Kiu Jian-jio dan dibawa masuk ke ruangan dalam.

Melihat kelihayan barisan jaring berkait itu, diam-diam Bu Sam-thong, Yalu Ce dan yang lain-lain sama terkejut. Mereka menjadi bingung cara bagaimana membobol barisan jaring musuh. Karena sedikit ragu itulah, tahu-tahu pintu depan dan belakang ruangan pendopo berkeriutan dan merapat, semua orang berseragam hijau lantas menyelinap ke luar lebih dulu. Cepat kedua saudara Bu cilik menerjang keluar dengan pedang terhunus, namun terlambat.

“Blangg...!”

Pintu sudah merapat, kedua batang pedang Bu Tun-si dan Bu Siu-bun yang tadi sempat diselipkan ke tengah daun pintu patah terjepit. Tampaknya daun pintu besar itu terbuat dari baja yang kuat.

“Tidak perlu kuatir,” cepat Oey Yong mendesis. “Untuk keluar dari sini tidaklah sulit, cuma kita harus memikirkan akal cara bagaimana membobol barisan jaring musuh yang berkait itu dan cara bagaimana mencuri obat untuk menyelamatkan kawan kita.”

Sementara itu Kongsun Lik-oh juga ikut sang ibu masuk ke ruangan dalam, dan di situ ia bertanya tindakan apa lagi yang akan dilakukan ibunya. Kiu Jian-jio sendiri merasa sulit dengan perginya sang kakak, namun musuh pembunuh kakak kini sudah berada di depan matanya, betapa pun ia tidak dapat tinggal diam. Sesudah berpikir sejenak, kemudian dia berkata kepada Lik-oh:

“Coba kau pergi ke sana, awasi apa yang dilakukan Yo Ko dan ketiga anak dara itu.”

Perintah sang ibu sesuai benar dengan keinginan Lik-oh, maka segera dia mengangguk dan berlari ke rumah garangan. Sampai di tengah jalan tiba-tiba didengarnya ada suara orang berbicara di depan sana, suaranya Yo Ko, menyusul terdengar suara jawaban Siao-liong-li dan lapat-lapat seperti menyebut ‘nona Kongsun’.

Waktu itu hari sudah gelap, cepat Lik-oh menyelinap ke semak pohon, ia ingin tahu apa yang sedang dibicarakan kedua muda-mudi itu tentang dirinya. Dengan langkah perlahan dia lantas merunduk maju, dilihatnya Yo Ko dan Siao-liong-li berdiri berendeng di sana. Terdengar Yo Ko berkata:

“Kau bilang kita harus berterima kasih pada nona Kongsun, kukira memang benar. Semoga paderi sakti ini lekas siuman, permusuhan ini selekasnya dapat diakhiri, sisa racun dapat dibasmi seluruhnya, bukankah bagus begitu? Aduuhh...!”

Jeritan mengaduh secara mendadak ini membikin Lik-oh kaget karena tidak diketahui apa yang mengakibatkan Yo Ko menjerit. Ia mengintip dari tempat sembunyinya, samar-samar dilihatnya Yo Ko tergeletak di tanah dan Siao-liong-li memegangi lengannya. Bagian punggung Yo Ko seperti kejang dan tampaknya sangat sakit. Terdengar Siao-liong-li bertanya padanya:

“Apakah racun bunga cinta kambuh lagi?”

“Iy... iyaa...” sahut Yo Ko dengan gigi berkeretukan.

Pedih hati Kongsun Lik-oh dan kasihan melihat penderitaan Yo Ko. Pikirnya: “Dia sudah minum separoh Coat-ceng-tan, jika separohnya dimakan lagi tentu racunnya akan punah, separoh obat yang tersisa itu betapa pun harus kumintakan kepada ibu.”

Selang sejenak, perlahan Yo Ko bangkit dan menghela napas panjang.

“Ko-ji, kumatnya penyakitmu semakin kerap dan jaraknya juga semakin pendek, malahan kelihatan tambah parah,” kata Siao-liong-li. “Padahal sehari lagi barulah paderi Hindu itu siuman, seumpama dia dapat meracik obat penawar, rasanya juga tidak... tidak akan mengurangi penderitaanmu ini.” Sebenarnya dia hendak mengatakan 'juga tidak keburu lagi menolong kau', tapi akhirnya ia ubah ucapannya itu.

Dengan tersenyum getir Yo Ko menjawab: “Nenek Kongsun itu kepala batu, obat penawarnya juga tersimpan dengan rapat, kalau dia tidak suka rela memberikan obatnya padaku, biar pun senjata mengancam di lehernya belum tentu dia mau menyerah dan memberikan obatnya.”

“Aku mempunyai akal,” ujar Siao-liong-li.

Yo Ko dapat meraba jalan pikiran isterinya itu, katanya: “Liong-ji, jangan lagi kau mengemukakan kehendakmu. Kita suami-isteri saling mencintai dengan segenap jiwa raga, kita akan bersyukur kalau kita dapat hidup sampai kakek-kakek dan nenek-nenak, kalau tidak dapat, ya anggaplah memang sudah takdir, di antara kita berdua sekali-sekali tidak boleh diselingi orang ketiga.”

Dengan suara terguguk Siao-liong-li berkata: “Tapi... tapi kulihat pribadi nona Kongsun itu sangat baik, hendaklah kau menurut perkataanku.”

Tergerak hati Kongsun Lik-oh mendengar percakapan mereka. Dia tahu Siao-liong-li sedang menganjurkan Yo Ko agar menikahi dirinya untuk mendapatkan obat penawar. Segera terdengar Yo Ko berseru lantang:

“Liong-ji, nona Kongsun itu memang orang baik. Sesungguhnya di dunia ini memang banyak nona yang baik, misalnya nona Thia Eng, nona Liok Bu-siang, semuanya juga gadis yang baik budi dan setia kawan. Namun kita berdua sudah saling cinta mencintai, mana boleh timbul lagi pikiran lain. Umpamanya kau sendiri, jika ada seorang laki-laki yang sanggup menyembuhkan racun dalam tubuhmu dengan syarat kau harus menjadi isterinya, apakah kau juga mau?”

“Aku kan perempuan, sudah tentu lain soalnya,” jawab Siao-liong-li.

“Ha-ha, orang lain berat lelaki dan enteng perempuan, aku Yo Ko justru berat perempuan dan enteng lelaki,” kata Yo Ko tertawa.

Sampai di sini tiba-tiba saja terdengar suara kresekan di semak pohon sana. Cepat Yo Ko berseru:

“Siapa itu?!”

Lik-oh tahu jejaknya sudah diketahui orang. Baru saja mau menjawab, tiba-tiba terdengar suara lain menjawab:

“Aku, ToloI!”

Menyusul Liok Bu-siang bersama Thia Eng muncul dari semak-semak pohon sana. Kiranya tidak cuma Kongsun Lik-oh saja yang mengintip di sana, Bu-siang dan Thia Eng juga berada di dekat sana. Kesempatan ini cepat digunakan Lik-oh untuk menyingkir, pikirannya bergolak tak menentu: “Jangankan dibandingkan nona Liong, meski pun nona Liok dan Thia saja juga sukar bagiku untuk menandinginya, baik ilmu silat mau pun lahiriah, apa lagi bicara mengenai hubungan baiknya dengan Yo-kongcu.”

Sejak kenal Yo Ko, tanpa kuasa Kongsun Lik-oh kesemsem kepada pemuda itu, meski sejak mula ia pun tahu Yo Ko sangat mencintai Siao-liong-li, tetapi selalu diharapkannya semoga dapat bertemu sekali lagi dengan dia, sebab itulah ia terus menanti di Coat-ceng-kok. Sekarang setelah mendengar percakapan mereka, ia menjadi lebih tahu bahwa cinta dirinya cuma bertepuk sebelah tangan dan tidak mungkin terkabul. Kedua orang tuanya adalah manusia-manusia culas yang sulit bergaul dengan orang luar, sebab itulah sejak kecil Kongsun Lik-oh menjadi sangat pendiam dan tersiksa batin. Kini hancur pula segala harapannya, ia bertekad takkan hidup lagi, dengan langkah limbung ia berjalan ke sana.

Dengan pikiran melayang, jalannya menjadi tanpa arah tujuan dan tidak menyadari dirinya berada di mana, cuma dia cukup hafal jalanan sekitar situ, maka biar pun di malam gelap tidak sampai terperosok ke jurang atau jatuh ke sungai. Sebuah suara seakan-akan mengiang dalam benaknya:

“Aku tak ingin hidup lagi, aku tidak ingin hidup lagi...!”

Begitulah ia terus berjalan tanpa tujuan, entah sudah berapa Iama. Tiba-tiba didengarnya di balik dinding karang sayup-sayup ada suara orang sedang bicara. Waktu ia memperhatikan keadaan lebih cermat, ia menjadi terkejut sekali. Kiranya dalam keadaan ling-lung, tanpa terasa ia berada di tempat di sebelah barat lembah yang jarang dikunjungi manusia. Waktu dia menengadah, tampak sebuah puncak gunung menjulang tinggi di depan. Itulah Coat-ceng-hong (puncak putus cinta) yang sangat curam di lembah ini.

Pada pinggang Coat-ceng-hong itu adalah sebuah tebing yang menyerupai dinding dan entah sejak kapan ada orang mengukir tiga huruf besar di situ, bunyinya ‘Toan-jong-khe’ (tebing putus usus). Tebing itu halus licin dan selalu dikelilingi awan dan kabut, sekali pun burung sukar hinggap di puncak gunung itu. Di bawah puncak adalah jurang yang dalamnya tak terperikan dengan tumbuh-tumbuhan yang lebat. Walau pun pemandangan alam di situ sangat indah permai, namun karena curamnya dan mungkin akan terjerumus ke dalam jurang jika kurang berhati-hati, maka penduduk setempat jarang yang datang ke situ, sekali pun anak buah Kongsun Ci yang memiliki ilmu silat tinggi juga jarang menginjak tempat itu. Tapi sekarang ternyata ada orang bicara disitu, entah siapa gerangan?

Selain ingin mati saja, memang Kongsun Lik-oh tidak mempunyai kehendak lain lagi. Tetapi sekarang timbul rasa ingin tahunya. Segera dia menempel di belakang batu karang dan mendengarkan dengan cermat. Tapi setelah mengenali suara orang yang bicara, hatinya berdebar-debar. Kiranya pembicara itu ayahnya! Meski ayahnya berbuat salah terhadap ibunya dan juga tidak sayang kepadanya, namun ibunya telah membutakan sebelah matanya dengan sempritan biji kurma serta telah mengusirnya pergi dari Coat-ceng-kok, betapa pun Lik-oh masih menaruh belas kasihan seorang anak terhadap ayah. Dia menjadi heran setelah mendengar suara sang ayah, kiranya ayahnya tidak meninggalkan Coat-ceng-kok melainkan masih sembunyi di tempat yang jarang didatangi manusia. Terdengar ayahnya betkata:

“Matamu diciderai si bangsat cilik Yo Ko, boleh dikatakan mataku juga buta akibat perbuatan bangsat cilik itu, jadi bolehlah kita dikatakan se... senasib dan setanggungan, he-he-he!” Meski dia terkekeh, namun orang yang diajak bicara itu ternyata tidak menanggapinya.

Lik-oh menjadi heran, siapakah gerangan yang diajak bicara sang ayah? Seketika dia pun tidak ingat siapakah yang matanya pernah diciderai Yo Ko, sedangkan nada ucapan sang ayah terdengar rada bangor. Apakah lawan bicaranya seorang perempuan? Didengarnya Kongsun Ci berkata kembali:

“Kita bertemu di sini boleh dikatakan jodoh, bukan saja senasib dan setanggungan, bahkan juga... juga sama-sama bermata... bermata...”

“Huh, kau mentertawakan aku ini buruk rupa bukan?” tiba-tiba terdengar seorang perempuan mendamperat.

“O, walah, janganlah kau marah, bukan begitu maksudku,” jawab Kongsun Ci cepat. “Aku justru sangat senang bertemu dengan kau.”

“Aku sudah terluka oleh bunga cinta dan kau sama sekali tidak menghiraukan, malah kau menggoda diriku,” omel perempuan itu.

Baru sekarang Kongsun Lik-oh ingat siapa orang ini, kiranya Li Bok-chiu. Dia pun heran bahwa mata Li Bok-chiu diciderai oleh Yo Ko. Memang benar lawan bicara Kongsun Ci itu adalah Li Bok-chiu. Dia terkena racun bunga cinta dan ingin mendapatkan obat penawarnya, tetapi jalanan di Coat-ceng-kok berliku-liku dan ruwet, dia kesasar kian kemari dan akhirnya sampai di tebing curam itu dan kebetulan memergoki Kongsun Ci. Dengan sembunyi di situ Kongsun Ci sedang menanti kesempatan agar dapat membunuh Kiu Jian-jio untuk merebut kembali kedudukan Kokcu, sedangkan kedatangan Li Bok-chiu ke situ hanya kebetulan.

Keduanya pernah saling bergebrak dan sama-sama tahu lihaynya, maka pertemuan ini segera menimbulkan pikiran yang sama, yakni akan bergabung untuk tujuan bersama. Sesudah bicara sebentar ternyata kedua orang merasa cocok satu sama lain. Usia Li Bok-chiu sesungguhnya tidak muda lagi, tapi semenjak kecil dia berlatih Iwekang sehingga wajahnya masih halus dan cantik. Kongsun Ci gagal mengawini Siao-liong-li, kemudian gagal pula menculik Wanyen Peng, kini bertemu dengan Li Bok-chiu, kembali timbul pikirannya: “Setelah kubunuh perempuan jahat she Kiu itu, biarlah kunikahi nona ini saja. Baik wajahnya mau pun ilmu silatnya adalah kelas pilihan, meski buta sebelah tetapi sangat setimpal menjadi jodohku.”

Tak tahunya bahwa jiwa Li Bok-chiu yang jahat itu ternyata juga disertai cinta yang suci. Sebabnya ia banyak berbuat kejahatan juga akibat gagalnya percintaan. Kini didengarnya cara bicara Kongsun Ci semakin tidak senonoh, ia menjadi marah. Tapi mengingat masih perlu mendapat obat penawar, terpaksa ia melayani percakapan orang sekedarnya. Begitulah Kongsun Ci lantas berkata lagi:

“Aku adalah Kokcu di sini, cara membuat obat penawar bunga cinta tidak diketahui orang lain kecuali diriku. Cuma saja membuatnya memerlukan waktu, air di tempat jauh tidak dapat memadamkan api di dekat sini. Untung obat itu masih tersisa satu biji di tempat kediamanku, tetapi sekarang sudah dikangkangi perempuan jahat itu, maka terpaksa kita harus membinasakannya, habis itu apa pun juga adalah milikmu.”

Kalimat ucapannya yang terakhir itu mengandung makna berganda, artinya tidak hanya obat penawar saja akan kuberikan padamu, bahkan kedudukan nyonya rumah Coat-ceng-kok ini pun akan menjadi bagianmu. Bahwa di dunia ini hanya Kongsun Ci sendiri saja yang tahu cara membuat obat penawar, hal ini memang tak keliru. Bahkan resep obat itu dari ayah hanya diturunkan kepada anak dan tak mungkin diajarkan kepada orang luar, maka sekali pun Kiu Jian-jio tidak tahu tentang resep obat itu. Ia mengira obat itu adalah simpanan dari leluhur keluarga Kongsun dan tidak tahu kalau Kongsun Ci masih menyimpan resepnya, sebaliknya mengenai sisa obat yang tinggal setengah biji pada Kiu Jian-jio itu Kongsun Ci juga tidak tahu, dikiranya masih satu biji.

Begitulah Li Bok-chiu menjadi ragu-ragu, katanya kemudian: “Kalau begitu, percuma saja omonganmu ini. Obat penawar berada di tangan isterimu dan isterimu menjadi musuhmu. Umpama tidak sulit bagimu untuk membunuhnya, tapi cara bagaimana kau dapat memperoleh obatnya?”

Kongsun Ci terdiam sejenak, lalu berkata: “Li-sumoay, baru kenal kita lantas cocok, demi menolongmu biar mati bagiku juga tidak sayang.”

“Wah, aku harus berterima kasih padamu,” ujar Li Bok-chiu hambar.

“Aku mempunyai akal untuk merebut obat dari tangan perempuan jahat itu,” kata Kongsun Ci. “Cuma kuharap engkau menyanggupi permintaanku.”

Dengan suara tegas Li Bok-chiu menjawab: “Selama mengembara kian kemari di dunia Kangouw belum pernah kuterima ancaman orang dengan persyaratan apa pun juga. Tidak menjadi soal. Aku Li Bok-chiu bukanlah manusia yang sudi mohon belas kasihan orang lain.”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar