Selasa, 05 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 151

ANTARA TOBAT DAN DENDAM

Sementara itu suasana di ruangan besar Coat-ceng-kok sudah lain lagi. Berulang-ulang Kiu-Jian-jio berusaha memancing dan menghasut sang kakak dengan nada yang semakin keras dan mendesak. It-teng Taysu diam saja dan menyerahkan kepada keputusan Cu-in sendiri, ada pun Cu-in tampak bingung, sebentar dia pandang adik perempuannya, lain saat dipandangnya sang guru, kemudian memandang pula kepada Oey Yong.

Yang satu saudara sekandung, seorang lagi gurunya yang berbudi, sementara yang seorang lain lagi musuh pembunuh kakaknya. Seketika pikirannya menjadi kacau dan terjadi pertentangan batin yang hebat. Menyaksikan sikap Cu-in yang aneh, sebentar bimbang dan lain saat beringas, diam-diam Liok Bu-siang menjadi kuatir. Dilihatnya Yo Ko sejak tadi keluar dan sampai sekian lama belum kembali. Perlahan dia lantas menarik tangan Thia Eng dan diajak keluar.

“Piauci, ke mana perginya si Tolol itu?” tanya Bu-siang sesudah di luar.

Namun Thia Eng tidak menjawab melainkan berkata: “Dia terkena racun bunga yang jahat, entah bagaimana keadaannya.”

“Ya,” Bu-siang ikut kuatir juga. Mendadak ia menambahkan: “Sungguh tak nyana akhirnya dia dan gurunya...”

“Tetapi nona Liong itu memang cantik molek, orangnya juga baik, hanya gadis seperti dia yang setimpal menjadi jodoh Yo-toako,” ujar Thia Eng dengan muram.

“Dari mana engkau mengetahui kalau nona Liong itu orang baik? Bicara dengan dia saja kau belum pernah,” kata Bu-siang.

Tiba-tiba terdengar suara seorang perempuan menjengek di belakangnya: “Hm, kakinya kan tidak pincang, dengan sendirinya dia orang baik.”

Cepat Bu-siang membalikkan tubuh sambil melolos goloknya, dilihatnya yang bicara adalah Kwe Hu. Melihat Bu-siang telah melolos golok, segera Kwe Hu juga melolos pedang yang tergantung di pinggang Yalu Ce yang berdiri di sampingnya, lalu dengan mata melotot ia menantang:

“Hm, kau ingin bergebrak denganku?”

Mendadak Bu-siang berkata dengan tertawa,: “Hi-hi-hi, mengapa kau tidak menggunakan pedangmu sendiri?”

Perlu diketahui bahwa semenjak kakinya cacat, Bu-siang amat menyesal terhadap cirinya itu, orang lain pun tidak ada yang pernah menyinggung di hadapannya. Sekarang dia bertengkar dengan Kwe Hu dan beberapa kali nona itu selalu menyindir kakinya yang pincang, tentu saja dia sangat marah, maka kontan dia balas menyindir pedang Kwe Hu yang dipatahkan oleh semprotan biji kurma Kiu Jian-jio.

Kwe Hu menjadi marah juga, balasnya: “Biar pun dengan pedang pinjaman dapat juga aku melabrak kau.” Habis berkata pedangnya terus diobat-abitkan hingga mengeluarkan suara mendengung.

“Nah, tidak peduli tua atau muda, rupanya anak keluarga Kwe memang tidak kenal sopan santun dan menghormati orang tua,” jengek Bu-siang. “Baiklah, biar kuajar adat padamu agar kau mengerti cara bagaimana harus menghormati orang tua.”

“Huh, memangnya kau ini orang tua macam apa?” omel Kwe Hu dengan mendongkol.

“Ha-ha-ha, sungguh bocah yang tak tahu adat!” Bu-siang mengolok-olok dengan tertawa, “Piauci-ku adalah Susiok-mu, maka kalau kau tidak memanggil tante padaku harus memanggil bibi. Jika tidak percaya boleh kau tanya Piauci-ku ini.” Lalu dia pun menuding Thia Eng,

Pada saat Thia Eng bertemu Oey Yong, memang benar Kwe Hu juga mendengar ibunya menyebut nona itu sebagai Sumoay, namun dalam hati dia merasa penasaran dan menganggap sang kakek bertindak agak keterlaluan, masa sembarangan memungut murid yang muda belia begitu? Apa lagi dilihatnya usia Thia Eng sebaya dengan dirinya, rasanya juga tidak mempunyai kepandaian yang berarti. Kini dia diolok-olok Liok Bu-siang, dengan gemas dia lantas menjawab:

“Hm, memangnya siapa yang berani menjamin tulen atau palsunya? Gwakong (kakek luar) termashur, siapa yang tidak kenal nama beliau? Dan tentunya banyak juga manusia yang tidak tahu malu kepingin mengaku sebagai anak-cucu murid beliau.”

Walau pun pembawaan Thia Eng berbudi halus dan pendiam, mau tidak mau dia merasa keki juga mendengar ucapan Kwe Hu. Tapi saat ini perhatiannya hanya tertuju kepada keselamatan Yo Ko, ia tidak ingin bertengkar mengenai urusan tetek bengek, segera ia berkata:

“Piaumoay, marilah kita pergi mencari Yo toako saja.”

Bu-siang mengangguk, katanya pula kepada Kwe Hu: “Nah, kau dengar sendiri, bukan? Ia menyebut diriku sebagai Piaumoay! Memang nama Kwe-tayhiap dan Oey-pangcu juga termashur di seluruh jagat, tentunya tidak sedikit pula manusia tidak tahu malu yang ingin menjadi putera-puteri beliau itu.” ia sengaja mencibir, lalu melangkah pergi.

Sejenak Kwe Hu melengak, ia tidak paham siapakah yang ingin mengaku sebagai putera-puteri ayah-bundanya? Tetapi segera ia dapat menangkap ucapan Liok Bu-siang itu, jelas secara tidak langsung orang hendak memaki dia sebagai anak haram, menganggap dia bukan anak kandung ayah-ibunya. Sebenarnya kata-kata Bu-siang ini pun rada keji, sedangkan watak Kwe Hu juga memang pemberang, maka begitu mengetahui arti ucapan Bu-siang, ia tidak tahan lagi. Segera ia memburu maju, tanpa bicara pedangnya menusuk ke punggung lawan. Mendengar ada angin tajam menyambar dari belakang, cepat Bu-siang memutar goloknya menangkis.

“Trangg...!” lengan Bu-siang terasa kesemutan.

“Hmm, kau berani memaki aku anak liar?” bentak Kwe Hu murka, kembali dia menyerang ber-tubi-tubi.

Sambil menangkis Liok Bu-siang menjengek: “Hmm, Kwe-tayhiap adalah orang yang berbudi luhur, ada pun Oey-pangcu puteri kesayangan Tho-hoa-tocu, maka betapa tinggi budi pekerti kedua beliau itu.”

“Memang masih perlu kau jelaskan? Tidak perlu kau memuji ayah-bundaku untuk membaiki aku,” dengus Kwe Hu. Dikiranya Bu-siang memuji ayah-ibunya dengan setulus hati, maka daya serangannya menjadi rada kendur.



Tak tahunya Bu-siang lantas menyambung: “Tetapi bagaimana dengan kau sendiri? Huh, kau telah membuntungi lengan Yo-toako, tanpa mencari keterangan lebih dulu lantas memfitnah orang, tindak-tanduk cara begini mana ada kemiripan dengan kepribadian Kwe-tayhiap dan Oey-pangcu, betapa pun orang merasa sangsi.”

“Sangsi apa?” tanya Kwe Hu.

“Hm, boleh kau pikir sendiri, buat apa tanya?” jengek Bu-siang ketus.

Pertengkaran kedua nona itu disaksikan Yalu Ce. Dia tahu watak Kwe Hu lebih lugu dan tidak secerdik Bu-siang, bila adu mulut pasti akan kalah, maka ia lantas menyela:

“Nona Kwe, jangan bicara lebih banyak lagi dengan dia.”

Dalam marahnya Kwe Hu ternyata tidak paham maksud anak muda itu, dia menjawab: “Kau jangan ikut campur, aku justru ingin tanya dia lebih jelas.”

Bu-siang juga melotot kepada Yalu Ce dan berkata: “Huh, kelak baru kau tahu rasa.”

Muka Yalu Ce menjadi merah. Ia tahu arti ucapan Bu-siang itu, jelas si nona dapat melihat dia sudah jatuh cinta kepada Kwe Hu, maka Bu-siang sengaja berolok-olok, maksudnya jika mendapat isteri yang galak dan warok begitu kelak pasti akan banyak mendatangkan kesukaran bagimu. Melihat air muka Yalu Ce mendadak berubah merah, Kwe Hu menjadi curiga dan segera bertanya:

“Apakah kau juga menyangsikan aku ini bukan anak kandung ayah-ibuku?”

“Tidak, tidak,” cepat Yalu Ce menjawab. “Mari kita pergi saja, jangan urus dia.”

Tetapi Bu-siang lantas menanggapi “Sudah tentu dia merasa sangsi, kalau tidak mengapa dia mengajak kau pergi?”

Muka Kwe Hu berubah menjadi merah padam. Tangannya memegang pedang tetapi tidak dapat mendebatnya. Yalu Ce kuatir si nona salah paham, terpaksa dia bicara lebih gamblang, katanya:

“Cara bicara nona ini amat tajam dan menusuk perasaan. Jika mau bertanding boleh bertanding saja, tapi jangan banyak omong.”

“Nah, kau mengerti tidak? Maksudnya kau tidak pintar omong dan bodoh bicara, semakin banyak bicara semakin memalukan saja,” sela Bu-siang.

Dalam hati Kwe Hu sekarang memang sudah timbul perasaan aneh terhadap Yalu Ce. Anak dara yang baru merasakan madunya cinta selalu timbul perasaan kuatir dan cemas, setiap ucapan orang lain yang menyangkut sang kekasih, biar pun tidak beralasan sama sekali, tentu akan dipikirkannya secara boIak-balik serta dimamah dan dirasakannya.

Apa lagi semenjak kecil Kwe Hu selalu dimanjakan orang tua, kedua teman ciliknya, saudara Bu juga sangat penurut padanya, kecuali Yo Ko yang kadang-kadang suka melawannya, hampir tak pernah dia bertengkar dengan siapa pun. Tapi kini mendadak menghadapi seorang lawan yang pintar putar lidah, seketika dia terdesak. Ia tahu kalau bicara lagi tentu dirinya akan lebih banyak diolok-olok, dengan marah dia lantas memaki:

“Perempuan dingklang, kalau sebelah kakimu tidak kubacok pincang, biarlah aku tidak she Kwe.”

“Hmm, tidak perlu kau membacok kakiku juga kau tidak she Kwe lagi, siapa tahu kau ini she Li atau she Ong,” jawab Bu-siang. Secara tidak langsung gadis ini selalu memaki Kwe Hu sebagai ‘anak haram’.

Keruan Kwe Hu menjadi tidak tahan lagi, segera ia melancarkan serangan dan terjadilah pertarungan sengit. Kepandaian yang diajarkan Kwe Ceng dan Oey Yong kepada kesayangannya ini adalah ilmu pilihan kelas wahid. Cuma ilmu silat yang hebat ini harus dimulai dengan memupuk dasar dan latihan yang tekun, sedangkan bakat pembawaan Kwe Hu lebih banyak menuruni sang ayah dari pada sang ibu, sebab itulah kemajuan ilmu silat yang dilatihnya agak lamban, banyak jurus-jurus serangan lihay belum dapat digunakannya dengan baik.

Sungguh pun begitu Liok Bu-siang tetap bukan tandingannya, ditambah lagi sebelah kakinya pincang, gerak geriknya jadi tak leluasa, sedangkan Kwe Hu menyerang dengan beringas, pedangnya selalu mengincar bagian bawah dan ingin menusuk lagi sebelah kaki lawan.

Diam-diam Thia Eng mengerutkan alis menyaksikan pertarungan mereka, pikirnya: “Meski pun cara berolok-olok Piaumoay agak tajam, tapi nona Kwe ini juga terlalu garang, pantas saja lengan Yo-toako tertebas buntung olehnya. Jika berlangsung lebih lama lagi mungkin sekali kaki Piaumoay juga sukar diselamatkan.”

Dilihatnya Bu-siang terus terdesak mundur sementara Kwe Hu menyerang makin gencar.

“Brett!”

Tiba-tiba gaun Bu-siang terobek, menyusul dia menjerit perlahan sambil mundur dengan sempoyongan dan muka pucat. Kwe Hu terus melangkah maju, kakinya lantas menyapu, dia sengaja hendak membikin Bu-siang terjungkal untuk melampiaskan rasa gemasnya. Melihat keadaan itu, terpaksa Thia Eng bertindak. Dia melompat maju dan menghadang di depan Kwe Hu sambil berseru:

“Harap berhenti, nona Kwe!”

Waktu Kwe Hu mengangkat pedangnya dan tampak ada setitik darah, tahulah dia kaki Bu-siang telah dilukainya. Dengan berseri-seri ia lantas tuding nona itu dan berolok:

“Nah, nonamu sengaja memberi ajaran kepadamu supaya selanjutnya kau jangan sembarangan mengoceh!”

Padahal Bu-siang adalah nona yang berwatak keras, kepala batu, tidak takut kepada apa pun juga, bahkan Li Bok-chiu yang begitu kejam tidak membuatnya jera, malahan dia berani kabur dengan mencuri kitab pusaka sang guru. Sekarang meski dikalahkan Kwe Hu dan darah merembes membasahi gaunnya, ia tidak menjadi jeri, sebaliknya ia tambah marah dan berteriak:

“Huh, hanya pedangmu saja apa mampu menyumbat mulut orang seluruh jagat?”

Dia tahu Kwe Hu suka membanggakan ayah-ibunya, maka dia sengaja mengolok-oloknya sebagai ‘anak haram’ dan bukan puteri kandung kedua orang tuanya itu.

“Kau mengoceh apa lagi?” bentak Kwe Hu dengan gusar sambil kakinya melangkah maju dan pedangnya didorongkan ke depan dada orang.

Kini Thia Eng berdiri di tengah mereka. Melihat ujung pedang menyeleweng tiba, segera ia gunakan jarinya menahan batang pedang Kwe Hu terus didorong perlahan ke samping sambil melerai:

“Piau-moay, nona Kwe, kita berada di tempat yang berbahaya, janganlah kita cecok urusan tak berarti ini.”

Kwe Hu terkejut dan marah sekali karena dengan enteng pedangnya didorong ke samping oleh tangan Thia Eng. Segera ia pun membentak:

“Hm, kau hendak membela dia, bukan? Baik kalian boleh maju bersama, aku tidak takut meski pun satu lawan dua. Hayolah lolos senjatamu!”

Habis berkata ujung pedangnya diacungkan ke dada Thia Eng dan menantikan lawan melolos seruling kemala yang terselip di pinggangnya. Tetapi Thia Eng hanya tersenyum hambar saja, katanya:

“Aku melerai perkelahian kalian, masa aku sendiri ikut bertengkar? Yalu-heng, hendaklah kau pun melerai nona Kwe.”

“Benar, nona Kwe,” ucap Yalu Ce. “Kita berada di wilayah musuh, kita harus waspada dan hati-hati.”

“Bagus, kau tidak bantu diriku, sebaliknya kau membela orang lain,” seru Kwe Hu mendongkol. Ia lihat Thia Eng cukup cantik dan manis, tiba-tiba timbul pikirannya jangan-jangan anak muda itu menyukai nona ini.

Sedikit pun Yalu Ce tidak dapat menangkap jalan pikiran Kwe Hu, ia lalu menyambung kata-katanya tadi:

“Cu-in Hwesio itu rada aneh sikapnya, lekas kita ke sana untuk melihat ibumu.”

Namun Liok Bu-siang teramat cerdik dan pintar, sepatah kata dan sedikit tingkah Kwe Hu saja segera dapatlah diterka isi hatinya, cepat ia berkata puIa: “Nah, Piauci-ku ini jauh lebih cantik dari padamu, pribadinya juga halus budi, bahkan ilmu silatnya lebih tinggi, jadi hendaklah kau berhati-hati sedikit!”

Setiap kalimat Bu-siang itu cukup menusuk perasaan Kwe Hu, keruan ia menjadi murka, tapi ia lantas terdiam, pikirnya: “Aku harus berhati-hati apa?”

“Huh, masa aku tidak memilih Piauci-ku malah sebaliknya menyukai kau? Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali aku ini orang tolol,” jengek Bu-siang.

Ucapan ini jauh dari jelas dan gamblang, maka tentu saja Kwe Hu tidak tahan lagi. Begitu pedangnya bergerak, segera dia menusuk ke iga Bu-siang dengan mengitar ke samping Thia Eng. Diam-diam Thia Eng mengerut kening melihat serangan Kwe Hu yang ganas. Dia pikir biar pun ucapan Piaumoay itu menyinggung perasaanmu, betapa pun juga kita kan bukan musuh, mengapa tanpa kenal ampun kau melancarkan serangan mematikan sekeji ini? Dengan secepat kilat Thia Eng menghimpun tenaga pada jarinya. Begitu pedang Kwe Hu menyelinap lewat dan sebelum mencapai sasarannya, secepat kilat ia terus menyelentik.

“Crengg...!” kontan pedang Kwe Hu terlepas dan jatuh ke tanah.

Selentikan Thia Eng tadi adalah ilmu jari sakti ajaran Oey Yok-su. Karena kekuatan Thia Eng cuma setingkat dengan Kwe Hu, maka cara menyelentiknya itu dilakukan mendadak, begitu pedang orang terlepas, langkah selanjutnya juga sudah diperhitungkan olehnya. Segera ia melangkah maju, pedang itu diinjak, seruling kemala terus dikeluarkan dan ujungnya ditotokkan ke Hiat-to di tubuh Kwe Hu.

Karena didahului orang, keadaan Kwe Hu menjadi serba salah. Kalau ia berjongkok untuk merebut pedangnya, beberapa Hiat-to itu pasti akan tertotok, sebaliknya kalau melompat mundur untuk menghindar, maka pedang itu berarti dirampas lawan. Karena kurang pengalaman Kwe Hu menjadi serba runyam, mukanya menjadi merah dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

“Nona Thia, kenapa kau menginjak pedangku?” tiba-tiba Yalu Ce membentak, berbareng dia menubruk maju hendak mencengkeram seruling orang.

Namun Thia Eng sempat menyurutkan tangannya, dia membalik tubuh dan cepat menarik Bu-siang terus diajak pergi. Cepat Kwe Hu jemput kembali pedangnya dan berteriak:

“Nanti dulu! Mari kita bertanding dengan baik!”

“Ha-ha-ha, masih mau bertanding...” sebelum Bu-siang mengolok-olok lebih lanjut, cepat sekali Thia Eng menyeretnya melompat ke depan, hanya sekejap mereka telah berada jauh di sana.

Yalu Ce segera menghibur Kwe Hu, katanya: “Nona Kwe, hanya kebetulan saja dia dapat menjatuhkan pedangmu, sebenarnya kalah menang kalian belum jelas.”

“Memang begitu,” kata Kwe Hu dengan penasaran. “Tadi pedangku sedang mengincar si pincang, namun mendadak dia turun tangan. Tampaknya saja dia ramah tamah, ternyata bertindak licik.”

Yalu Ce mengiyakan saja. Wataknya jujur, dia tak biasa menyanjung puji orang, katanya:

“Kepandaian nona Thia itu tidak lemah, lain kali bila bergebrak lagi hendaklah kau jangan meremehkannya.”

Kwe Hu kurang senang mendengar pujian Yalu Ce kepada Thia Eng, tanpa pikir dia lantas bertanya:

“Kau bilang ilmu silatnya bagus?”

“Ya,” jawab Yalu Ce.

“Baiklah, kalau begitu jangan kau hiraukan diriku lagi dan berbaik saja dengan dia,” kata Kwe Hu dengan marah sambil melengos.

“Heii, maksudku agar kau jangan meremehkan dia, supaya kau berhati-hati, itu tandanya kubela kau atau membantu dia?” cepat Yalu Ce menjelaskan.

Kwe Hu pikir arti ucapan anak muda itu memang benar membela dirinya, maka giranglah hatinya. Segera Yalu Ce berkata pula.

“Malah tadi aku pun sudah membantumu merebut kembali pedangmu, masa kau masih marah padaku?”

“Ya, aku marah padamu!” omel Kwe Hu sambil berpaling kembali, namun dengan tertawa gembira.

Yalu Ce menjadi girang. Pada saat itulah dari ruangan pendopo berkumandang suara orang me-raung disertai suara nyaring benturan senjata.

“Ai, lekas kita melihat ke sana!” seru Kwe Hu.

Tadi dia merasa sebal oleh ocehan Kiu Jian-jio mengenai kejadian di masa lalu, dia tidak tahu bahwa setiap kata nenek itu mengandung ancaman bahaya maut bagi ibunya, maka dia lantas geluyur keluar dan tanpa sebab bertengkar dengan Bu-siang dan Thia Eng. Kini dia menjadi kuatir bagi sang ibu demi mendengar suara ribut itu, maka cepat dia berlari kembali ke sana.

Begitu dia masuk, dilihatnya It-teng Taysu sedang duduk di tengah ruangan, tangannya meraba-raba tasbih dan mulut mengucap Budha, air mukanya agung dan welas-asih, ada pun Cu-in Hwesio sedang berlari-larian mengitari ruangan besar sambil mengeluarkan suara raungan buas, belenggu pada tangannya telah terbetot putus dan kini saling bentur dengan suara gemerincing. Kiu Jian-jio kelihatan duduk di tempatnya tadi dengan wajah membesi, mukanya memang buruk, kini menjadi tambah bengis dan menakutkan. Sementara itu Oey Yong, Bu Sam-thong dan lain-lain berada di pojok sana sambil mengawal gerak-gerik Cu-in.

Setelah ber-lari sekian lama, dahi Cu-in tampak berkeringat, ubun-ubunnya mengepulkan uap putih tipis dan makin lama semakin tebal, lari Cu-in itu pun semakin cepat. Tiba-tiba It-teng Taysu membentak lantang:

“Cu-in, wahai, Cu-in! sampai kini apakah kau masih belum menyadari perbedaan antara bajik dan jahat?”

Cu-in tampak melengak, uap putih di atas kepalanya tiba-tiba lenyap, tubuhnya tergeliat, lalu jatuh terjungkal.

“Anak Oh, lekas bangunkan Kuku!” bentak Kiu Jian-jio.

Buru-buru Kongsun Lik-oh berlari maju untuk membangunkan sang paman. Ketika Cu-in membuka mata, dilihatnya wajah si nona hanya belasan senti di depan matanya, samar-samar terlihat alis yang lentik dan mulut yang mungil, wajah yang cantik molek itu mirip benar dengan adik perempuannya dahulu. Tiba-tiba saja dia berseru:

“Sam-moay, berada di manakah aku ini?”

“Kuku! Kuku! Aku Lik-oh!” ucap Lik-oh.

“Kuku? Siapa Kuku-mu?” demikian Cu-in berguman, “Kau memanggil siapa?”

“Jiko, dia adalah puteri adikmu!” teriak Kiu Jian-jio, “dia minta kau membawanya menemui Kuku tertua.”

Cu-in terkejut mendadak, katanya: “O, Kuku tertua? Kakakku? Ahh, kau tak dapat melihat dia lagi, dia sudah terjatuh hancur lebur ke jurang Tiat-ciang-hong.”

Teringat kepada kejadian masa Iampau, seketika mukanya menjadi beringas, ia melompat bangun, Oey Yong ditudingnya dan membentak:

“Oey Yong, kau yang membunuh Toako-ku. Kau... kau harus mengganti jiwanya!”

Setelah masuk lagi ke ruangan situ, Kwe Hu berdiri di samping sang ibu dan memondong adik perempuannya. Ketika mendadak melihat Cu-in mencaci-maki ibunya secara bengis, dia orang pertama yang tidak tahan, segera ia melangkah maju beberapa tindak dan balas mendamperat:

“Kau jangan kasar kepada ibuku, Hwesio. Nonamu ini takkan membiarkan kau main gila.”

Kiu Jian-jio lantas menjengek: “Hm, berani benar anak perempuan ini...”

“Siapa kau?” segera Cu-in bertanya.

“Sudah kukatakan sejak tadi, apa kau tuli?” jawab Kwe Hu. “Kwe-tayhiap adalah ayahku, Oey-pangcu ibuku.”

“Hm, jadi Kwe Ceng dan Oey Yong malah sudah memiliki dua anak!” teriak Cu-in dengan beringas.

Mendengar nadanya berubah buas, Oey Yong menjadi kuatir, cepat ia menyuruh Kwe Hu mundur. Akan tetapi Kwe Hu mengira Cu-in gentar kepada ibunya, terbukti sejak tadi tidak berani menyerang. Maka tanpa pikir ia malah melangkah maju dan mengejek:

“Huh, kalau kau memang mampu bolehlah lekas kau menuntut balas, jika tidak becus, sebaiknya kau tutup mulut saja!”

“Bagus ucapanmu, kalau memang mampu bolehlah lekas menuntut balas!” bentak Cu-in dengan suara menggelegar sehingga cangkir sama bergetar di atas meja.

Sama sekali Kwe Hu tidak menyangka bahwa seorang Hwesio dapat mengeluarkan suara yang sekeras itu, ia menjadi terkejut dan kebingungan. Pada saat itulah telapak tangan kiri Cu-in telah memukul, tangan kanan mencengkeram sekaligus. Dua rangkum tenaga maha dahyat membanjir, pikir Kwe Hu hendak menghindar ke samping, akan tetapi sudah kasip. Tanpa berjanji Oey Yong, Bu Sam-thong dan Yalu Ce melompat maju berbareng. Pandangan mereka cukup tajam, mereka tahu bahwa cengkeraman tangan kanan Cu-in tampaknya ganas, tetapi tidak selihay pukulan tangan kiri yang mematikan, sebab itulah tangan mereka memapak bersama.

“Blangg...!” Tiga arus tenaga dahsyat menyentak tangan kiri Cu-in.

Terdengar Cu-in bersuara tertahan dan tetap berdiri di tempatnya, sebaliknya Oey Yong bertiga tergetar mundur beberapa langkah. Kekuatan Yalu Ce paling cetek, dia tergentak mundur paling jauh, berikutnya adalah Oey Yong. Sebelum berdiri tegak dia mengawasi puterinya lebih dulu, dilihatnya Kwe Siang telah dicengkeram oleh Cu-in, sedangkan Kwe Hu berdiri mematung, rupanya saking kagetnya hingga lupa menghindar. Oey Yong menjadi kuatir kalau-kalau Kwe Hu sudah dilukai tenaga pukulan lawan. Cepat dia melompat maju lantas menarik mundur anak gadisnya sembari mengeluarkan pentung penggebuk anjing untuk membela diri. Sekali pentung pusakanya itu sudah siap, betapa pun dahsyat tenaga pukulan Cu-in takkan melukainya lagi.

Sesungguhnya Kwe Hu tidak terluka sedikit pun, cuma pikirannya menjadi kacau. Ia baru sempat menjerit kaget setelah bersandar sang ibu, sementara kedua saudara Bu, Yalu Yen, Wanyen Peng dan lain-lainnya segera meloIos senjata ketika melihat Cu-in akhirnya melancarkan serangan.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar