Jumat, 01 Oktober 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 149

Tanpa bicara lagi kedua Bu cilik lantas menusuk dengan pedang mereka, menyusul Liok Bu-siang dan Thia Eng menubruk maju dari samping kiri. Bu Sam-thong, Yalu Ce dan lain-lain juga tidak mau ketinggalan, serentak mereka menyerang. Mereka sudah menyaksikan Li Bok-chiu membinasakan muridnya dengan keji, karena itu mereka sama benci dan murka, maka serangan mereka sama sekali tidak kenal ampun lagi. Bahkan orang alim seperti It-teng Taysu juga merasa iblis perempuan itu memang pantas dimatikan dari pada hidupnya akan mencelakai orang lain.

Terdengarlah suara gemerantang beradunya senjata, betapa pun tinggi kepandaian Li Bok-chiu tidak mampu menghadapi kerubutan orang banyak dan tampaknya sekejap saja tubuhnya pasti akan dicincang berbagai senjata itu. Pada saat itulah mendadak Li Bok-chiu mengayunkan tangan kirinya sambil menggertak:

“Awas senjata rahasia!”

Setiap orang cukup kenal betapa lihaynya Peng-pok-gin-ciam, jarum berbisa andalan Li Bok-chiu, karena itu serentak mereka terkesiap. Pada saat itu tahu-tahu Li Bok-chiu telah melompat ke atas untuk kemudian turun kembali di balik semak-semak bunga cinta sana. Dalam kaget dan marahnya, semua orang berteriak kuatir. Rupanya dalam keadaan kepepet, Li Bok-chiu ingat bahwa dirinya sudah tercocok oleh duri bunga cinta. Kalau duri itu berbisa, meski pun tercocok lebih banyak lagi sama saja. Jadi masuk kembalinya dia ke tengah semak bunga itu juga tak terduga oleh orang cerdik seperti Oey Yong dan Yo Ko. Terlihat Li Bok-chiu menyusuri semak bunga itu dan menerobos ke pepohonan.

“Mari kita kejar!” seru Siu-bun sambil mendahului berlari ke sana.

Tetapi jalanan di tengah hutan itu ternyata berliku-liku, hanya belasan tombak jauhnya dia sudah berhadapan dengan jalan simpang tiga sehingga dia bingung ke arah mana harus ditelusurinya. Selagi bersangsi, mendadak dari depan muncul lima gadis jelita berbaju hijau dan orang yang paling depan membawa sebuah keranjang bunga, empat kawannya yang ikut di belakang membawa pedang. Gadis yang berada di depan itu lantas bertanya:

“Kokcu menanyakan kedatangan kalian ini entah ada keperluan apa?”

Dari jauh Yo Ko mengenali gadis itu, maka cepat dia berseru: “Nona Kongsun, kami yang datang!”

Kiranya gadis jelita itu adalah Kongsun Lik-oh. Begitu mendengar suara Yo Ko seketika sikapnya berubah, dengan tingkah cepat ia mendekat anak muda itu dan menyapa:

“Ahh, kiranya Yo-toako sudah kembali, tentu engkau telah berhasil dengan baik? Mari lekas menjumpai ibu!”

“Nona Kongsun, marilah kuperkenalkan beberapa Cianpwe ini,” kata Yo Ko, kemudian dia memperkenalkan It-teng Taysu, Cu-in dan Oey Yong.

Kongsun Lik-oh tidak tahu bahwa Hwesio baju hitam di depannya ini adalah Kuku (paman adik ibu) sendiri, ia hanya memberi hormat sekadarnya dan tidak menaruh perhatian apa-apa, Tapi ketika mendengar Yo Ko menyebut Oey Yong sebagai nyonya Kwe, segera ia tahu inilah musuh besar sang ibu yang ingin dibunuhnya. Ternyata Yo Ko tidak membunuhnya, bahkan membawanya ke sini, maka mau tidak mau dia menjadi ragu dan curiga. Tanpa terasa dia mundur dua tiga tindak dan tidak memberi hormat lagi, lalu berkata:

“Ibuku menyilakan para tamu ke ruangan tamu untuk minum.”

Sesudah semua orang dibawa ke ruangan besar, tampak Kiu Jian-jio duduk di kursi di tengah ruangan, dan berkata:

“Perempuan loyo dan cacad tidak dapat menyambut tetamu secara wajar, harap dimaafkan.”

Dalam ingatan Cu-in, adik perempuannya yang menikah dengan Kongsun Ci adalah nona jelita berusia 18 tahun, tetapi siapa tahu sekarang yang dihadapinya ternyata seorang nenek buruk rupa dan sudah botak. Terkenang pada kisah hidup masa lampau, seketika pikiran Cu-in menjadi kacau.

PERTEMUAN DUA SAUDARA

Melihat sorot mata muridnya tiba-tiba berubah aneh, It-teng menjadi kuatir. Sudah banyak It-teng menuntun orang ke jalan yang baik, hanya muridnya inilah yang sukar diinsafkan dari kejahatannya di masa lalu. Soalnya ilmu silat Cu-in teramat tinggi, dahulu dia adalah seorang pemimpin besar organisasi terkenal, seorang tokoh dunia persilatan yang amat disegani, maka maklumlah kalau lebih sulit memperbaiki wataknya dari pada orang biasa. Apa lagi sekarang ia kembali menjelajah Kangouw, setiap langkahnya selalu menimbulkan kenangan masa lampaunya dan sukar menahan gejolak perasaannya.

Kiu Jian-jio sangat ter-heran-heran melihat Yo Ko muncul lagi dalam keadaan sehat walafiat setelah lewat waktu yang ditentukan dan datang kembali. Tadinya dia menyangka anak muda itu sudah mampus oleh racun bunga cinta yang jahat.

“Kiranya kau belum mampus?” demikian ia tanya.

“Aku sudah minum obat penawar racun dan sudah sembuh,” jawab Yo Ko tertawa.

Mau tak mau Kiu Jian-jio sangat heran di dunia ini ternyata ada obat penawar lain yang dapat menyembuhkan racun bunga cinta ini. Tapi tiba-tiba saja pikirannya tergerak, maka segera ia mendengus:

“Hm, kau tidak perlu berdusta. Kalau kau mendapatkan obat penawar yang mujarab, lalu untuk apa Hwesio Hindu dan orang she Cu itu menyelinap ke sini?”

“Kiu-cianpwe,” kata Yo Ko. “Di manakah kau menyekap paderi Hindu dan Cu-locianpwe? Sudilah engkau membebaskan mereka.”

“Hm, menangkap harimau itu gampang, melepaskannya sulit...” jengek Kiu Jian-jio.

Ucapan ini beralasan juga. Maklumlah anggota badannya cacat, bahwa paderi Hindu dan Cu Cu-liu dapat ditawannya adalah berkat pesawat rahasia yang teratur di Coat-ceng-kok ini. Kalau kedua tawanan itu dibebaskan, paderi Hindu itu tak menjadi soal karena tidak mahir ilmu silat, tapi Cu Cu-liu tentu sakit hati dan akan menuntut balas, padahal tiada seorang pun anak murid Coat-ceng-kok mampu menandingi Cu Cu-liu yang lihay.

Yo Ko pikir kalau nenek itu sudah bicara langsung dengan kakak kandungnya, mengingat hubungan baik sesama saudara, mungkin segala urusan dapat diselesaikan dengan baik. Maka dengan tersenyum dia berkata:

“Kiu-cianpwe, harap kau melihat dengan jelas, siapakah yang kubawa ke sini? Tentu engkau akan girang jika mengenalinya.”

Namun mereka kakak beradik sudah berpisah berpuluh tahun, kini Cu-in sudah memakai jubah paderi. Meski Kiu Jian-jio tahu sang kakak telah menjadi Hwesio, tetapi dalam ingatannya kakaknya adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, maka mana bisa dia mengenali paderi tua berjubah hitam ini. Hanya dari Kongsun Lik-oh telah didapatkan laporan bahwa Oey Yong juga datang, maka sorot matanya memandang tiap orang dan akhirnya mendelik pada Oey Yong.



“Bagus! Ini Oey Yong, bukan? Kau yang membunuh Toako-ku?” Mendadak dia berkata dengan mengertak gigi penuh rasa dendam.

Yo Ko terkejut. Tujuannya hendak mempertemukan mereka kakak beradik, tapi Kiu Jian-jio ternyata mengenali musuhnya lebih dulu, cepat ia menyela:

“Kiu-locianpwe, persoalan ini ditunda dulu, lihatlah lagi siapa ini yang datang!”

“Memangnya Kwe Ceng juga datang?!” bentak Kiu Jian-jio. “Bagus! Bagus! Mana dia?”

Kemudian dia memandang Bu Sam-thong dan mengamati Yalu Ce. Dia merasa yang seorang terlampau tua dan yang lain masih muda, semuanya tidak mirip Kwe Ceng. Dia menjadi bingung dan berusaha menemukan Kwe Ceng di antara orang banyak. Sekonyong-konyong sinar matanya bentrok dengan Cu-in, seketika hati masing-masing lantas tersentuh. Cu-in terus melompat maju sambil berseru:

“Sam-moay (adik ketiga)!”

Kiu Jian-jio juga segera berteriak: “Jiko (kakak kedua)!”

Serentak keduanya terdiam dan sukar mengutarakan perasaan masing-masing. Sejenak barulah Kiu Jian-jio bertanya:

“Jiko, mengapa engkau menjadi Hwesio?”

“Kaki tanganmu mengapa cacat, Sam-moay?” jawab Cu-in.

“terjebak oleh akal keji bangsat Kongsun Ci,” tutur Kiu Jian-jio.

“Kongsun Ci siapa?” Cu-in menegas. “Apakah Moay-tiang (adik ipar) maksudmu? Di mana dia sekarang?”

“Tidak perlu lagi kau menyebutnya Moay-tiang segala!” kata Kiu Jian-jio dengan gregetan. “Keparat itu hakekatnya adalah manusia yang berhati binatang. Dia telah mencelakai dan menyiksa diriku hingga demikian ini.”

Cu-in tidak dapat menahan rasa murkanya, teriaknya: “Ke mana perginya jahanam itu?! Akan kucincang dia hingga hancur lebur untuk melampiaskan dendammu.”

“Meski aku terperangkap, untung tidak mati, sedangkan Toako kita malah sudah tewas,” kata Kiu Jian-jio dengan dingin.

“Ya,” jawab Cu-in dengan muram.

“Dan mengapa kau diam saja?!” bentak Kiu Jian-jio mendadak. “Percuma kau mempunyai ilmu silat setinggi itu, mengapa sampai sekarang tidak menuntut balas bagi Toako? Di mana letak kecintaanmu kepada saudara sendiri?”

Cu-in melengak kaget dan bergumam: “Menuntut balas bagi Toako...”

“Saat ini juga perempuan hina Oey Yong berada di sini, lekas kau bunuh dia, habis itu cari lagi Kwe Ceng dan binasakan dia!” bentak Kiu Jian-jio pula.

Dengan bingung Cu-in memandang Oey Yong, sorot matanya mendadak berubah aneh. Cepat It-teng mendekatinya dan berkata dengan suara halus:

“Cu-in, Cut-keh-lang (orang yang sudah meninggalkan rumah) mana boleh timbul lagi pikiran membunuh? Apa lagi kematian kakakmu juga akibat perbuatan sendiri dan tidak bisa menyalahkan orang.”

Cu-in menunduk, setelah termenung sejenak lalu berkata: “Ucapan Suhu memang benar, Sam-moay, sakit hati ini tidak dapat dibalas.”

Mendadak sambil melotot Kiu Jian-jio mendamperat It-teng: “Hweshio tua suka mengaco-belo. Jiko, keluarga Kiu terkenal gagah perwira, tetapi Toako dibunuh orang dan kau hanya tinggal diam, lalu terhitung ksatria macam apakah kau ini?”

Pikiran Cu-in menjadi kacau, ia bergumam puIa: “Terhitung ksatria macam apa diriku...?”

“Ya, begitulah!” seru Kiu Jian-jio pula. “Dahulu kau malang melintang di dunia Kangouw, betapa disegani namamu sebagai Tiat-ciang-cui-siang-biau. Tak tersangka setelah usiamu lanjut, kau berubah menjadi pengecut. Kiu Jian-yim, dengarlah perkataanku ini. Jika kau tidak mau menuntut balas bagi Toako, maka kau pun jangan mengakui diriku sebagai adikmu.”

Melihat semakin hebat desakan Kiu Jian-yim, secara diam-diam semua orang mengakui kelihayan nenek botak itu. Dahulu Oey Yong pernah merasakan sekali pukulan Kiu Jian-yim yang kini bernama Cu-in Hwesio itu. Untung dia ditolong It-teng Taysu hingga lolos dari renggutan elmaut. Dengan sendirinya dia cukup kenal betapa lihaynya bekas ketua Tiat-ciang-pang ini. Maka sejak tadi dia sudah memperhitungkan beberapa jalan cara menyelamatkan diri apa bila musuh menyerang mendadak. Ternyata Kwe Hu tidak dapat menahan perasaannya lagi, segera ia berteriak:

“Ayah ibuku hanya tidak ingin banyak urusan, memang kau kira beliau itu takut pada nenek reyot macammu ini. Kalau banyak cingcong lagi, jangan salahkan nonamu ini jika aku bertindak kasar padamu.”

Mestinya Oey Yong hendak mencegah sikap Kwe Hu itu, namun segera terpikir olehnya bahwa tindakan puterinya itu paling tidak akan memencarkan perhatian Cu-in yang hampir terpengaruh hasutan Kiu Jian-jio itu. Melihat sang ibu tidak mencegahnya, Kwe Hu berseru kembali:

“Setidaknya kami ini tamu, kau tidak menyambut secara hormat tapi malah bersikap kurang sopan, hm, malahan kau berani membual tentang keluarga ksatria segala?”

Dengan dingin Kiu Jian-jio memandang Kwe Hu dan bertanya: “Kau puterinya Kwe Ceng dan Oey Yong?”

“Benar,” jawab Kwe Hu. ”Jika kau mampu, kau sendiri boleh turun tangan untuk menuntut balas. Sekarang kakakmu telah menjadi Hwesio, mana boleh timbul lagi pikiran yang tak senonoh?”

Seperti bergumam Kiu Jian-jio berkata: “Bagus, jadi kau ini puterinya Kwe Ceng dan Oey Yong... kau puterinya Kwe Ceng dan...” belum lagi selesai ucapannya, se-konyong-konyong...

“Berrrrr...!” satu biji kurma tersembur dari mulutnya dan menyembur ke batok kepala Kwe Hu dengan cepat dan tepat.

Sudah tentu semua orang tak menyangka bahwa selagi nenek botak itu bicara mendadak bisa mengeluarkan senjata rahasia dengan mulutnya. Karena tidak terduga-duga, dan lagi ilmu menyembur biji kurma itu memang kepandaian khasnya yang maha sakti, bahkan tokoh macam Kongsun Ci juga kena dibutakan sebelah matanya, apa lagi sekarang Kwe Hu, jangankan hendak menangkis, ingin menghindar pun tidak sempat terpikir olehnya.

Di antara para hadirin itu hanya Yo Ko dan Siao-liong-li saja yang tahu kepandaian khas Kiu Jian-jio itu, tapi dasar pikiran Siao-liong-li sederhana dan polos, sama sekali tak terpikir olehnya bahwa si nenek bisa mendadak menyerang orang. Hanya Yo Ko saja yang senantiasa waspada, pandangannya tidak pernah bergeser dari wajah Kiu Jian-jio. Begitu melihat bibirnya bergerak, segera dia melompat maju dan secepat kilat ia loloskan pedang di pinggang Kwe Hu terus disampukkan.

“Trangg...! Crengg...!”

Biji kurma tersampok jatuh, tetapi pedang itu juga patah menjadi dua. Keruan semua orang menjerit kaget, saking terkejutnya bahkan muka Oey Yong dan Kwe Hu menjadi pucat. Diam-diam Oey Yong mawas diri:

“Sudah kuduga dia pasti mempunyai cara keji, tetapi sama sekali tidak menduga bahwa tanpa menggerakkan anggota badan sedikit pun, tahu-tahu dia dapat melancarkan serangan senjata rahasia sekeji itu.”

Kiu Jian-jio mendelik kepada Yo Ko, tak diduganya bahwa anak muda itu berani menolong si Kwe Hu. Segera dia menjengek:

“Tadi kau terkena racun bunga cinta lagi, biar pun sekarang racunnya belum bekerja, rasanya kau pun takkan bertahan lebih lama dari pada tiga hari saja. Sekarang obat yang bisa menolong jiwamu cuma bersisa setengah biji saja, masa kau tidak percaya?”

Waktu menolong Kwe Hu, dalam sekejap itu tentu tak sempat terpikirkan hal itu dalam benak Yo Ko. Kini mendengar ucapan Kiu Jian-jio, seketika ia menjadi lemas. Ia lantas memberi hormat dan menjawab:

“Kiu-locianpwe, Wanpwe sendiri tidak bersalah apa pun padamu, jika kau sudi memberi obat, sungguh kebaikan ini takkan kulupakan selamanya.”

“Ya, dapatnya aku melihat dunia ini lagi boleh dikatakan berkat pertolonganmu,” jawab Kiu Jian-jio. “Tapi aku si nenek Kiu ini pada asasnya kalau sakit hati pasti menuntut balas dan kalau utang belum tentu kubayar. Kau sudah berjanji akan mengambil kepala Kwe Ceng dan Oey Yong ke sini, untuk itu akan kuberikan obat kepadamu. Siapa duga janji tidak kau tepati, sebaliknya kau malah menyelamatkan musuhku, lalu apa yang perlu dikatakan lagi?”

Melihat urusan bisa menjadi runyam, segera Kongsun Lik-oh ikut berbicara: “Ibu, dendam Kuku kan tiada sangkut-pautnya dengan Yo-toako. Harap engkau suka... suka menaruh belas kasihan.”

“Tapi separoh obat ini hanya akan kuberikan kepada mantuku dan tak akan kuberikan begitu saja kepada orang luar,” jawab Kiu Jian-jio.

Keruan Kongsun Lik-oh menjadi malu dan gelisah, mukanya berubah merah. Setelah beruIang-ulang ditolong Yo Ko, baru sekarang Kwe Hu percaya bahwa jiwa Yo Ko sebetulnya memang luhur dan sama sekali tiada maksud memperalat adik perempuannya untuk menukar obat. Teringat kepada tindakan sendiri yang beberapa kali membikin celaka anak muda itu, dan sebaliknya orang selalu membalas sakit hati dengan kebaikan, maka mau tak mau Kwe Hu menyesali dirinya sendiri dan berterima kasih kepada anak muda ini. Maka segera dia berseru:

“Yo-toako, segala perbuatan siaumoay di waktu yang lalu memang salah semua, mohon engkau suka memberi maaf.”

Yo Ko hanya tersenyum, senyuman getir. Pikirnya: “Mengaku salah dan minta maaf adalah paling gampang, tapi tahukah kau betapa aku dan Liong-ji sudah menderita akibat perbuatanmu?”

Dalam pada itu dilihatnya Kiu Jian-jio sedang melotot kepadanya, jelas kalau dirinya tidak menyanggupi untuk menikahi puterinya, tentu si nenek takkan memberi setengah biji obat penolong jiwa itu. Apa bila suasana begini berlangsung terus, yang serba susah tentulah Kongsun Lik-oh dan Siao-liong-li. Maka dengan lantang dan tegas dia berkata:

“Aku sudah memperisteri nona Liong, sekali pun Yo Ko harus mati, mana boleh aku jadi manusia yang tak berbudi dan tidak setia?”

Habis berkata dia lantas putar tubuh dan berjalan pergi sambil menggandeng tangan Siao-liong-li. Pikirnya: biarkan mereka ribut di sini, kesempatan ini akan aku pergunakan untuk menolong paderi Hindu dan paman Cu. Ucapan Yo Ko tidak saja membikin melengak Kiu Jian-jio, bahkan hati Thia Eng, Liok Bu-siang, Kongsun Lik-oh dan lain-lain juga tergetar.

“Hm, bagus, bagus! Jika kau ingin mampus, peduli apa dengan aku?” jengek Kiu Jian-jio, lalu dia berpaling dan berkata kepada Cu-in: “Jiko, kabarnya Oey Yong adalah ketua Kay-pang. Jadi Tiat-ciang-pang kita tidak berani melawannya?”

“Tiat-ciang-pang?” Cu-in menegas, “Ah, sudah lama bubar, masa kau sebut Tiat-ciang-pang lagi.”

“Oh, pantas, pantas!” kata Kiu Jian-jio. “Lantaran sekarang sudah tidak punya sandaran, maka nyalimu menjadi kecil.”

Demikianlah Kiu Jian-jio terus berusaha menghasut, sedangkan Kongsun Lik-oh tidak lagi mendengarkan perkataan sang ibu, pandangannya mengikuti langkah Yo Ko yang sedang berjalan keluar. Mendadak dia berlari maju sambil berteriak:

“Yo Ko, kau manusia yang tidak setia dan tak berbudi, anggaplah mataku ini yang buta.”

Yo Ko tertegun bingung. Dia heran nona yang biasanya sabar dan pendiam itu mengapa sekarang kehilangan akal sehatnya? Apakah karena mendengar pernikahanku dengan Liong-ji, lalu dia menjadi putus asa dan murka? Dengan rasa menyesal ia lantas berpaling dan berkata:

“Nona Kongsun...”

Tiba-tiba Kongsun Lik-oh memaki: “Bangsat keparat, akan kubikin kau datang mudah dan pergi sukar...” meski mulutnya memaki tetapi air mukanya ramah tamah dan ber-ulang mengedip mata memberi isyarat.

Melihat itu Yo Ko tahu pasti ada sebab-sebabnya, maka ia pun segera balas membentak:

“Memangnya aku kenapa?! Betapa pun Coat-ceng-kokmu ini takkan mampu mempersulit diriku.”

Ketika itu dia menghadap ke dalam sehingga dapat diIihat Kiu Jian-jio dengan jelas, maka sama sekali dia tidak berani memperlihatkan air muka yang mencurigakan. Kongsun Lik-oh lantas memaki lagi:

“Bangsat cilik, betapa benciku padamu, ingin sekali aku memotong kau menjadi dua dan mengorek keluar hatimu...”

Mendadak mulutnya menyemprot, sebuah biji kurma manyambar ke arah Yo Ko. Sebelumnya Yo Ko sudah bersiap, segera ia menangkap benda kecil itu dan mendengus:

“Hmm, lekas kau kembali sana dan takkan kuganggu kau, hanya sedikit kepandaianmu ini kau kira dapat menahan diriku?”

Kembali Kongsun Lik-oh mengedipi agar anak muda itu lekas pergi, habis itu tiba-tiba dia menutupi mukanya sendiri sambil menjerit:

“Oh, ibu! Dia... dia menghina anak!”

Segera ia berlari balik ke arah sang ibu sambil menangis pedih, cintanya hanya bertepuk sebelah tangan, impiannya sudah buyar, dengan sendirinya rasa dukanya itu benar-benar timbul dari lubuk hatinya dan bukan pura-pura. MeIihat air mata puterinya berlinang-linang, Kiu Jian-jio langsung membentak:

“Anak Oh, apa-apaan kau ini? Jiwa bocah itu sendiri takkan tahan beberapa hari saja, mengapa kau menangis baginya?”

Kongsun Lik-oh terus mendekap di atas lutut sang ibu sambil menangis dengan sedihnya. Sandiwara nona Kongsun ini ternyata dapat mengelabui semua orang kecuali Oey Yong. Diam-diam nyonya cerdik itu merasa geli. Pikirnya: “Rupanya dia pura-pura benci dan memaki Yo Ko supaya ibunya tidak curiga, dengan begitu dia akan mencari kesempatan mencuri obat. Sungguh tidak nyana bocah Yo Ko ini selalu menimbulkan kisah cinta di mana-mana sehingga nona cantik sebanyak ini tergila-gila padanya.” Berpikir sampai di sini, tanpa terasa ia memandang ke arah Thia Eng dan Liok Bu-siang.

Setelah menangkap biji kurma yang disemburkan oleh Kongsun Lik-oh tadi, segera Yo Ko melangkah pergi bersama dengan Siao-liong-li sambil merenungkan ucapan Kongsun Lik-oh yang aneh tadi, ia tidak paham apa maksudnya. Siao-liong-li juga melihat air muka dan isyarat Konsun Lik-oh. Ia tahu sikap nona itu cuma pura-pura saja, segera ia membisiki Yo Ko:

“Ko-ji, dia pura-pura marah padamu, mungkin supaya ibunya tidak curiga agar memudahkan dia mencuri obat.”

“Semoga begitulah hendaknya,” jawab Yo Ko.

Setelah kedua orang membelok, melihat sekitarnya tiada orang lain, cepat Yo Ko memeriksa biji kurma yang digenggamnya. Ternyata itu bukan biji kurma melainkan biji kanah. Waktu dipencet biji kanah itu lantas pecah menjadi dua, dan kiranya di dalamnya tersimpan secarik kertas kecil.

“Ha-ha-ha, ucapan nona Kongsun tadi ternyata mengandung teka-teki,” ujar Siao-liong-li dengan tertawa. “Dia bilang ingin kupotong kau menjadi dua dan mengorek keluar hatimu segala, kiranya demikian artinya.”

Cepat Yo Ko membentang kertas itu kemudian dibaca bersama, ternyata di situ tertulis:

‘Setengah biji obat itu tersimpan rapi oleh ibu, tentu akan kuupayakan untuk mencarinya dan kuserahkan padamu. Paderi Hindu dan Cu-cianpwe terkurung di Hwe-wan-sit (kamar panggang)’, lalu di samping tulisan itu ada terlukis sebuah sketsa peta yang menunjukkan tempat yang dimaksud.

Yo Ko sangat girang, segera ia berkata: “Mari kita lekas pergi ke sana, kebetulan tiada orang yang akan merintangi.”

Coat-ceng-kok itu sangat luas dan dikitari bukit. Selama turun temurun leluhur Kongsun Ci sudah membangun lembah ini dengan berbagai macam pesawat rahasia yang mukjijat, ketika sampai di tangan Kongsun Ci dan Kiu Jian-jio bahkan telah banyak diperbaiki dan ditambah lagi dengan jalanan yang berliku-liku dan sukar diterobos.

Namun Yo Ko dan Siao-liong-Ii dapat menggunakan Ginkang mereka menuju ke tempat tujuan menurut petunjuk Kongsun Lik-oh dalam petanya. Tidak lama sampailah mereka di tempat yang rindang oleh belasan pohon raksasa, di bawah rumpun pohon itu adalah sebuah omprongan besar, yaitu bangunan yang biasa digunakan untuk membakar genting dan bata. MenuruI peta Kongsun Lik-oh, di tempat inilah paderi Hindu dan Cu Cu-liu terkurung.

Dengan ragu Yo Ko minta Siao-liong-li menunggu di luar, dia sendiri lalu menerobos ke dalam omprongan itu. Tetapi baru melangkah masuk pintu omprongan yang sempit itu, serentak hawa panas menyerang mukanya disusul dengan suara bentakan orang:

“Siapa itu?!”

“Kokcu memerintahkan agar tawanan dibawa ke sana,” jawab Yo Ko.

Orang itu lantas muncul dari balik dinding bata, kemudian menegur dengan heran: “He, kau?”

Yo Ko melihat orang berseragam hijau, segera dia menjawab pula: “Ya, Kokcu menyuruh aku membawa Hwesio dan orang she Cu ini.”

Murid Coat-ceng-kok itu tahu bahwa Yo Ko pernah menolong jiwa sang Kokcu sekarang, hubungan Lik-oh dengan dia juga amat erat, dan besar kemungkinan anak muda ini kelak akan menggantikan sebagai Kokcu baru, karena itu dia tidak berani bersikap kasar. Maka dengan hormat ia bertanya:

“Tapi... tapi adakah tanda perintah dari Kokcu?”

Tanpa menjawab Yo Ko hanya berkata: “Ada, bahwa aku melihat mereka dahulu!”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar