Kamis, 30 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 148

KEKEJIAN SANG GURU

It-teng Taysu dan Cu-in tidak begitu heran menyaksikan keadaan itu karena mereka tidak tahu betapa lihaynya bunga cinta, akan tetapi Yo Ko dan Siao-liong-li telah merasakan siksaan bunga itu, maka begitu melihat mereka kuatir bagi keempat perempuan itu.

“Kiranya Suci adanya,” kata Siao-liong-li kemudian. “Dia datang lebih dulu dari pada kita.”

Kiranya dua di antara keempat perempuan itu memang Li Bok-chiu dan muridnya, Ang Ling-po. Mereka sama-sama bersenjatakan pedang, mungkin setelah kebutnya patah di kuburan kuno Li Bok-chiu belum sempat membuat kebut baru, sedangkan kedua perempuan yang menjadi lawan mereka masing-masing menggunakan senjata Liu-yap-to (golok panjang: sempit) dan seorang lagi memegang sebangsa seruling. Potongan tubuh keduanya sama-sama langsing, langkah mereka cepat dan gesit, tampaknya ilmu silat mereka tidak lemah walau pun jelas bukan tandingan Li Bok-chiu.

“Kiranya kedua saudara misan,” Yo Ko membatin sesudah mengenali kedua orang yang bukan lain dari pada Thia Eng dan Liok Bu-siang.

Bertempur di tengah arena yang cuma tiga-empat meter luasnya memerlukan kecermatan yang luar biasa, sedikit pun tidak boleh salah langkah, dengan demikian bagi yang lemah ilmu silatnya menjadi kerepotan.

Untungnya Li Bok-chiu kurang leluasa menggunakan pedangnya yang bukan senjatanya sehari-hari, sedangkan Thia Eng sejak mendapatkan didikan langsung dari Oey Yok-su, sebagian kepandaiannya yang bagus itu juga telah diajarkan kepada Liok Bu-siang, maka selama beberapa bulan ini mereka sudah maju pesat. Ditambah lagi Ang Ling-po merasa kasihan pada Bu-siang yang pernah belajar bersama di bawah pimpinan Li Bok-chiu. Dia tidak tega melancarkan serangan maut, karena itu Bu-siang dan Thia Eng masih sanggup bertahan meski keadaan mereka mulai payah.

“Tanpa sebab apa-apa kenapa mereka berempat bisa menerobos ke tengah pagar bunga cinta dan bertempur di situ?” tanya Yo Ko kepada orang berbaju hijau.

Orang itu amat bangga dan bercerita dengan pongahnya: “lni perangkap rahasia yang diatur oleh Kongsun-kokcu, sekali musuh menyusup ke tengah pagar bunga cinta, begitu kami tutup jalan masuknya, maka semua jalan menjadi buntu dan tak mungkin bisa keluar lagi.”

“Apakah mereka sudah terkena racun bunga cinta?” tanya Yo Ko kuatir.

“Seumpama belum kena, kukira cuma soal waktu saja, sebentar lagi,” kata orang itu.

Yo Ko menjadi heran cara bagaimana orang-orang ini mampu memancing atau memaksa Li Bok-chiu ke dalam pagar bunga cinta itu. Akhirnya dia ingat, pasti orang-orang berbaju hijau ini telah menggunakan barisan berpisau yang lihay. Dia menjadi kuatir kalau Thia Eng dan Bu-siang terkena racun bunga cinta, maka di dunia ini tiada obat lagi yang dapat menyembuhkan mereka. Dengan suara lantang dia lantas berseru:

“Thia-cici dan Liok-cici, ini aku Yo Ko berada di sini. Kalian harus hati-hati terhadap bunga-bunga berduri di sekitar kalian, racun bunga itu tidak kepalang lihaynya, awas jangan sampai tertusuk!”

Li Bok-chiu yang cerdik sejak semula sudah menduga pasti ada sesuatu pada bunga cinta itu. Kalau musuh mengurung mereka dengan tumbuh-tumbuhan berduri itu tentu ada sebabnya, maka diam-diam ia teIah membisiki Ang Ling-po agar ber-hati-hati dan sebisanya menjauhi bunga berduri itu.

Thia Eng dan Liok Bu-siang juga bukan nona bodoh, tentu saja mereka pun bisa melihat keadaan yang tidak beres itu, mereka bertempur dengan amat waspada dan menghindari sentuhan pada tetumbuhan itu. Sekarang mendengar peringatan Yo Ko, di antara keempat orang itu dua orang merasa terkejut dan dua orang girang, tapi mereka pun bertambah was-was terhadap tetumbuhan di sekitar mereka, pertarungan pun bertambah sengit mencari selamat sendiri.

Bahwasanya Thia Eng dan Liok Bu-siang bertempur demi menuntut balas atas kematian keluarga mereka, maka mereka sudah tidak memikirkan keselamatan sendiri asalkan bisa membinasakan musuh. Sebaliknya Li Bok-chiu berhasrat membunuh kedua nona itu supaya dapat digunakan sebagai batu loncatan untuk melompat dari kepungan pagar bunga cinta.

Kedatangan Siao-liong-li dan Yo Ko sebetulnya membikin Li Bok-chiu menjadi kuatir, tetapi untunglah mereka terhalang oleh pagar bunga cinta sehingga tidak dapat memberi bantuan. Segera ia membentak:

“Ling-po, lekas menyerang jika kau tidak ingin mati di sini.”

Sejak kecil Ang-Ling-po sangat takut kepada sang guru, maka cepat dia mengiyakan dan pedangnya menusuk ke arah Thia Eng. Tekanan terhadap Liok Bu-siang menjadi kendur, tapi Thia Eng terancam bahaya. Ketika Thia Eng angkat serulingnya menangkis serangan Ang Ling-po dari belakang itu, mendadak secepat kilat pedang Li Bok-chiu menyerang ke tenggorokannya. Dengan sendirinya Bu-siang tidak tinggal diam, segera goloknya menangkis.

Namun Li Bok-chiu angkat pedangnya berbareng sebelah kakinya menendang pergelangan tangan Bu-siang sehingga goloknya terlepas dari pegangan kemudian jatuh ke tengah bunga cinta. Menyusul pedang Li Bok-chiu bergerak pula, berturut-turut dia menusuk tiga kali sehingga Thia Eng tidak mampu menangkisnya dan terpaksa mundur ke belakang, kalau dia mundur lagi selangkah tentu akan menginjak bunga berduri itu.

“Awas, Eng-ci, jangan mundur lagi!” seru Bu-siang kuatir.

“Tidak mau mundur boleh maju saja!” jengek Li Bok-chiu sambil melangkah mundur satu tindak.

Thia Eng tahu orang pasti tidak bermaksud baik, tapi tempat berdirinya memang amat berbahaya, maka tanpa pikir ia lantas melangkah maju.

“Hm, berani amat kau!” jengek Li Bok-chiu, pedangnya bergerak, serentak sinar pedang mengurung rapat tubuh Thia Eng bagian atas.

Dari jauh Yo Ko dapat menyaksikan permainan ilmu pedang Li Bok-chiu yang amat lihay. Apa bila tidak memahami gaya serangan itu, kebanyakan orang tentu akan berusaha melindungi tubuh sendiri bagian atas, karena itu bagian perut menjadi tidak terjaga dan pasti akan terserang. Tanpa ayal lagi Yo Ko cepat memungut sepotong batu kecil dan mendadak diselentikkan.

Begitu cepat batu itu meluncur ke depan mengarah mata Li Bok-chiu yang tinggal satu, padahal saat itu pula ujung pedang Li Bok-chiu sedang menyerang bagian perut Thia Eng. Ketika tiba-tiba mendapat serangan batu, kalau serangan pada Thia Eng diteruskan dan dapat membinasakan gadis itu, matanya juga sukar diselamatkan. Terpaksa ia menarik kembali pedangnya untuk menyampuk batu itu.

“Trangg...!” batu itu tersampuk jauh.

Sambitan batu Yo Ko adalah ilmu jari sakti ajaran Oey Yok-su, cuma belum sempurna dilatihnya, maka ia hanya bisa menggunakannya untuk menggertak musuh dan menolong teman. Untunglah sejak sebelah mata Li Bok-chiu buta, sisa mata satu-satunya itu selalu dijaga dengan baik, jika tidak mungkin ia berani mengambil risiko membinasakan Thia Eng lebih dulu, baru berusaha menundukkan kepala untuk menghindari sambitan batu.



Bila serangan itu dilakukan oleh Oey Yok-su tentu batu itu akan menggetar jatuh pedang Li Bok-chiu atau sedikitnya membuat pedang itu terpental. Walau pun tidak sehebat Oey Yok-su, namun sedikit ilmu ajarannya itu juga sudah berhasil menyelamatkan jiwa murid kesayangannya. Sesudah lolos dari renggutan sang maut, wajah Thia Eng yang memang putih itu menjadi semakin pucat. Melihat itu segera Li Bok-chiu membentak:

“Awas, datang lagi!”

Pedangnya bergerak, serangan seperti tadi kembali dilancarkan lagi. Thia Eng sudah mendapatkan pengalaman tadi dan ia tahu sasaran musuh adalah bagian perutnya, maka serulingnya lebih diutamakan melindungi bagian tubuh tersebut. Di luar dugaan serangan Li Bok-chiu ternyata beraneka macam perubahan. Ujung pedangnya benar-benar menusuk ke perut Thia Eng, namun berbareng itu dia pun menubruk maju dan jarinya berhasil menotok ‘Giok-tong-hiat’ di dada nona itu. Ketika Thia Eng melenggong, segera kaki Li Bok-chiu menyapu hingga Liok Bu-siang dapat didepak jatuh, menyusul ujung kakinya menendang pula Hiat-to pada bagian dengkul Thia Eng.

Beberapa gerakan itu berlangsung dengan cepat luar biasa, dalam sekejap Thia Eng dan Liok Bu-siang kena dirobohkan, meski Yo Ko hendak menolong tidak keburu lagi.

“Suhu!” seru Ang Ling-po kuatir.

Tapi Li Bok-chiu lantas cengkeram punggung Thia Eng dan dilempar ke sana, menyusul Bu-siang juga dilemparkannya sambil berkata:

“Ling-po, cepat melompat keluar dengan menginjak tubuh mereka.” belum habis ucapannya, mendadak Yo Ko melompat maju dan menangkap tubuh Thia Eng sebelum nona itu terjatuh ke tengah bunga cinta, lantas melompat maju lagi.

Meski Hiat-to bagian dada dan kaki tertotok, tetapi kedua tangan Thia Eng masih dapat bergerak. Segera dia merangkul Liok Bu-siang yang saat itu sedang melayang ke arahnya sambil berseru:

“Yo-toako, engkau...”

Seketika darah bergolak dalam dadanya. Memang dia sudah jatuh cinta pada Yo Ko, dan kini pemuda itu menerjang ke tengah bunga cinta untuk menoIongnya tanpa memikirkan keselamatan sendiri, sungguh ia menjadi sangat terharu dan terima kasih tak terhingga.

Rupanya waktu melihat Thia Eng dan Liok Bu-siang dilemparkan Li Bok-chiu, sejak mula Yo Ko dapat meraba maksud keji Li Bok-chiu yang hendak menggunakan kedua nona itu sebagai batu loncatan untuk keluar dari kepungan pagar bunga cinta, maka tanpa pikir dia menerjang maju untuk menolong kedua nona itu. Sesudah berhasil menangkap tubuh keduanya, cepat ia melompat mundur menurunkan mereka.

Kaki Thia Eng tertotok sehingga tak dapat berdiri, cepat Siao-liong-li membuka Hiat-to yang tertotok. Ketiga nona memandangi Yo Ko, tampak kaki celananya sudah robek akibat terkena duri, kakinya juga berlumuran darah, entah berapa banyak duri bunga berbisa telah melukainya. Thia Eng mengembeng air mata dan tidak sanggup membuka suara, Liok Bu-siang juga cemas dan berkata:

“Mestinya engkau... tak perlu menolong diriku. Mengapa... mengapa engkau bertindak begini?”

Dengan tertawa Yo Ko menjawab: “Aku sudah terkena racun bunga itu, kalau tercocok lagi tidak ada bedanya.”

Sudah tentu semua orang tahu bahwa banyak dan sedikit terkena racun bunga itu besar sekali perbedaannya. Ucapannya itu jelas hanya untuk menghibur ketiga nona ini saja. Tiba-tiba Liok Bu-siang berseru:

“He, Tolol, ken... kenapa lengan kananmu? Kenapa bisa buntung?”

Siao-liong-li tidak kenal Thia Eng dan Bu-siang, tapi melihat mereka cantik manis, dalam hatinya timbul rasa suka, apa lagi melihat mereka sangat memperhatikan Yo Ko, sekejap ia anggap mereka sebagai teman karib. Dengan tersenyum ia lantas bertanya:

“Mengapa engkau memanggilnya ‘tolol’? Dia sama sekali tidak tolol.”

“Ahh, maaf, karena sudah terbiasa memanggilnya begitu,” jawab Bu-siang. Dia saling pandang sekejap dengan Thia Eng, lalu bertanya: “Cici ini apakah...”

“Dia adalah...” belum selesai Yo Ko menerangkan, cepat Thia Eng menyambung:

“Tentu Siao-liong-li Cianpwe bukan?”

“Ya, memang sudah kuduga, sungguh cantik laksana bidadari,” demikian Bu-siang lantas menambahkan.

Rasa cemburu pasti ada pada setiap orang, apa lagi perempuan. Dahulu, ketika melihat Yo Ko sangat mencintai Siao-liong-li, betapa pun timbul rasa cemburu dalam hati Thia Eng dan Bu-siang, tetapi sekarang setelah bertemu, makin dipandang makin terasa Siao-liong-li memang cantik molek dan sederhana, lain dari pada yang lain, tanpa terasa timbul pikiran rendah dirinya, keduanya sama membatin: “Memang diriku tak dapat dibandingkan dengan dia.”

Liok Bu siang yang berwatak tak sabaran itu segera bertanya: ”Yo-toako, sebab apakah lenganmu kutung? Apalah lukanya sudah sembuh?”

“Sudah lama sembuh,“ jawab Yo Ko. “Putus karena dikutungi orang.”

“Jahanam keparat!” omel Bu-siang. “Bangsat manakah yang pantas mampus itu? Tentu ia menggunakan akal licik dan keji, bukan? Apakah perbuatan iblis perempuan yang jahat itu?”

Tiba-tiba suara seseorang mendengus di belakangnya: “Hm, apakah tidak rendah caramu memaki di luar tahu orangnya?”

Bu-siang dan Thia Eng terkejut, cepat mereka berpaling, yang bicara itu adalah seorang nona cantik, siapa lagi kalau bukan Kwe Hu. Dengan tangan memegang garan pedang air muka Kwe Hu tampak marah, di sebelahnya berdiri beberapa orang, baik lelaki mau pun perempuan.

Dengan heran Bu-siang lantas menjawab: “He, kan bukan kau yang kumaki, yang kumaki adalah bangsat keparat yg membuntungi lengan Yo-toako.”

“Srettt!” mendadak Kwe Hu melolos pedangnya sebagian dan berkata dengan marah: “Akulah yang mengutungi lengannya. Aku sudah minta maaf, aku pun sudah kenyang didamperat ayah ibu, tapi di belakangku kalian masih memakiku secara keji...” sampai di sini matanya menjadi berambang merah penuh rasa penasaran.

Kiranya rombongan Bu Sam-thong, Kwe Hu, Yalu Ce serta kedua saudara Bu kemudian bergabung kembali dengan Oey Yong, Wanyen Peng dan Yalu Yen, lalu mereka segera menuju ke Coat-ceng-kok. Karena Bu Sam-thong sudah tahu jalannya, maka rombongan mereka tiba lebih dini setengah hari dari pada rombongan It-teng dan Yo Ko. Cuma saja rombongan Oey Yong lebih dulu berusaha mencari paderi Hindu dan Cu Cu-liu, tapi tidak ketemu, maka banyak waktu yang terbuang sia-sia.

Mengenai Li Bok-chiu dan Ang Ling-po di Coat-ceng-kok, begitu pula Thia Eng dan Liok Bu-siang, keadaan mereka sebaliknya ber-beda. Li Bok-chiu berdua datang ke situ tanpa sengaja karena mereka mengikuti tanda-tanda petunjuk jalan yang ditinggalkan Bu Sam-thong, sedangkan kedatangan Thia Eng berdua karena terpancing oleh kejahilan Ciu Pek-thong.

BegituIah Oey Yong, Bu Sam-thong dan lain-lain memberi hormat kepada It-teng Taysu, kemudian diperkenalkan pula kepada lain-lainnya. Thia Eng belum pernah bertemu dengan Oey Yong yang merupakan kakak seperguruannya ini, namun namanya sudah lama didengar serta dikaguminya, maka dengan sangat hormat ia lantas menyembah kepada Oey Yong sambil memanggil:

“Suci!”

Dari Yo Ko memang Oey Yong pernah mendengar bahwa akhir-akhir ini ayahnya menerima lagi seorang murid perempuan. Kini melihat sang Sumoay cukup cantik, dia menyukainya dan bertanya tentang keadaan ayahnya.

Sementara itu beberapa orang baju hijau lantas kabur untuk melaporkan kedatangan musuh kepada Kiu Jian-jio. Kwe Hu dan Liok Bu-siang masih saling melotot, meski tidak berkelahi, tetapi sama-sama merasa benci. Terlebih lagi oleh ibunya Kwe Hu disuruh memberi hormat serta memanggil ‘Susiok’ kepada Thia Eng, tentu saja dia kurang senang, suara panggilannya juga sangat kaku.

Sedangkan Yo Ko dan Siao-liong-li bergandengan tangan berdiri rada jauh. Melihat Kwe Siang dalam pondongan Siao-liong-li, ia lantas berkata:

“Liong-ji, kembalikan saja anak ini kepada ibunya.”

Siao-liong-li setuju. Dia menciumi dulu pipi mungil anak bayi itu, lalu mendekati Oey Yong dan berkata:

“Kwe-hujin, terimalah anakmu ini.”

Dengan girang sekali Oey Yong menerimanya. Sejak dilahirkan baru sekarang Kwe Siang berada dalam pangkuan sang ibu, sungguh rasa girang Oey Yong sukar dilukiskan.

“Nona Kwe,” dengan suara lantang Yo Ko berkata kepada Kwe Hu, “dia adikmu dalam keadaan sehat wal’afiat tanpa kurang suatu apa pun, sama sekali aku tidak menggunakan dia untuk menukar obat bagiku.”

“lbuku sudah datang, dengan sendirinya kau tidak berani,” jawab Kwe Hu dengan marah. “Kalau kau tidak bermaksud begitu, untuk apa kau membawa lari adikku ke sini?”

Kalau menurut watak Yo Ko biasanya tentu kontan dia balas mengejek, tapi beberapa bulan terakhir ini dia telah banyak mengalami gemblengan lahir batin, pertengkaran mulut begitu sudah tidak menarik baginya, maka ia hanya tersenyum tawar saja, lalu menyingkir dengan menggandeng tangan Siao-liong-li.

Bu-siang memandang sekejap ke arah Kwe Siang, lalu berkata kepada Thia Eng: “Inikah puteri bungsu Suci-mu? Semoga setelah dia besar kelak tidak terlalu galak dan warok!”

Sudah tentu Kwe Hu dapat merasakan ucapan yang menyindirnya itu, maka cepat-cepat dia menanggapi:

“Adikku akan galak dan warok atau tidak, sangkut paut apa dengan kau? Apa maksud ucapanmu ini?”

“Aku tidak bicara dengan kau,” jawab Bu-siang. “Orang jahat dan galak, setiap orang di dunia ini boleh ikut urus, mengapa kau bilang tiada sangkut paut denganku?”

Jiwa Bu-siang pernah diselamatkan Yo Ko, dalam lubuk hati nona itu hanya anak muda itulah yang selalu dipikirkan olehnya, misalnya waktu sama-sama terancam bahaya, Bu-siang rela menyerahkan setengah potong sapu tangan wasiat kepadanya, itu pertanda dia rela mengorbankan jiwanya demi keselamatan Yo Ko. Kini setelah mendengar anak muda itu dikutungi Kwe Hu, tentu saja ia ikut sakit hati dan marah. Wataknya memang tidak sabaran seperti Thia Eng, meski di depan orang banyak ia pun tidak dapat menahan perasaannya itu.

Begitulah dengan murkanya Kwe Hu balas mendamprat: “Keparat! Kau perempuan pincang...”

“Hu-ji! jangan kurang ajar!” bentak Oey Yong cepat.

Pada saat itulah tiba-tiba terdengar suara orang menjerit di sebelah sana. Semua orang memandang, tampaklah di tengah lingkaran semak-semak bunga cinta Li Bok-chiu mengangkat tubuh Ang Ling-po, jeritan itu adalah suara Ang Ling-po yang ketakutan. Rupanya It-teng, Oey Yong, Thia Eng dan lain-lain asyik bercengkerama sehingga melupakan Li Bok-chiu dan muridnya.

“Celaka, Suhu hendak menggunakan Suci sebagai batu loncatan!” seru Bu-siang kuatir.

Sejak kecil dia tinggal bersama Li Bok-chiu, maka dia cukup kenal watak sang guru yang keji dan ganas. Biar pun Ang Ling-po orang yang paling dekat dengannya, tapi kalau terancam bahaya, sang guru tak segan-segan mengorbankan jiwa muridnya demi keselamatannya sendiri.

Selagi semua orang melengak kaget, tampak Li Bok-chiu melemparkan Ang Ling-po ke semak-semak bunga cinta yang berduri, menyusul ia sendiri melompat ke sana. Sekali kakinya menutul tubuh Ang Ling-po, serentak dia melompat sekuatnya ke depan sambil tangan menarik Ang Ling-po, kemudian dilemparkan lagi dan digunakan lagi sebagai batu loncatan. Dengan begitu, tiga kali lompatan saja dia akan dapat keluar dari kurungan semak-semak bunga. Li Bok-chiu kuatir juga akan dicegat Oey Yong dan rombongannya, maka arah yang dia ambil adalah berlawanan dengan tempat berdirinya rombongan Oey Yong.

Di luar dugaan, ketika untuk kedua kalinya ia hendak melompat lagi ke depan, mendadak Ang Ling-po berteriak keras-keras dan turut melompat juga ke atas terus merangkul erat-erat paha kiri Li Bok-chiu. Seketika tubuh Li Bok-chiu tertarik ke bawah, dalam keadaan terapung tiada jalan lain bagi Li Bok-chiu kecuali mengayun kakinya yang lain.

“Blukk!”

Dengan keras dada Ang Ling-po tertendang hingga isi perutnya tergetar hancur dan binasa seketika. Namun demikian, tangan Ang Ling-po masih merangkul sekencang-kencangnya sehingga kedua orang terbanting jatuh ke semak-semak bunga. Walau pun tempatnya hanya dua-tiga kaki saja dari tepi semak-semak, tapi selisih jarak sekian itu pun telah membikin Li Bok-chiu ikut merasakan siksaan beribu-ribu duri bunga yang berbisa itu.

Perubahan itu mula-mula sama sekali tak terduga oleh siapa pun, dan berakhirnya secara mengerikan pula, maka semua orang menyaksikan dengan melongo dan berdebar. Dalam pada itu Li Bok-chiu telah berjongkok sambil mementang tangan Ang Ling-po yang masih merangkul erat kakinya. Dilihat muridnya sudah mati, tapi matanya tetap melotot penuh benci dan dendam. Li Bok-chiu tahu bahwa dirinya telah keracunan bunga berduri, untuk itu harus mencari obat penawarnya di lembah ini. Selagi dia hendak melangkah pergi, mendadak terdengar Oey Yong berseru:

“Li-cici, coba kemari, ingin kukatakan sesuatu padamu...”

Dengan rada sangsi Li Bok-chiu mendekati Oey Yong, lalu bertanya: “Ada apa?”

Diam-diam dia berharap maksud Oey Yong memanggilnya hendak memberi obat atau paling tidak akan memberi petunjuk ke mana harus mencari obat penawar. Maka berkatalah Oey Yong,

“Untuk keluar dari kurungan semak bunga sebenarnya kau tidak perlu mengorbankan jiwa muridmu.”

“Hm, jadi kau hendak mengguruiku?” jengek Li Bok-chiu.

“Aihh, mana aku berani,” jawab Oey Yong dengan tertawa. “Aku cuma ingin mengajarkan sesuatu akal padamu. Mestinya cukup kau menggali tanah dan membungkusnya dengan bajumu menjadi dua karung, lalu dilemparkan ke semak-semak bunga itu, bukankah akan merupakan batu loncatan yang sangat bagus? Kau dapat keluar dengan baik dan jiwa muridmu tidak perlu melayang.”

Muka Li Bok-chiu menjadi merah dan lain saat berubah pucat penuh rasa menyesal. Apa yang diucapkan Oey Yong sesungguhnya tidak sulit dilakukan, dia terburu napsu dan tidak memikirkannya tadi sehingga satu-satunya orang yang paling dekat telah menjadi korban dan ia sendiri pun belum terhindar dari bencana. Maka dengan gemas ia menjawab:

“Sudah tertambat kalau dibicarakan sekarang!”

“Ya, memang benar sudah terlambat,” ujar Oey Yong, “Padahal terkena racun bunga itu atau tidak bagimu tiada bedanya.”

Dengan marah Li Bok-chiu mendelik pada Oey Yong karena tidak paham apa arti ucapan itu.

“Sebenarnya sudah jelas kau terkena racun patah hatimu, akibatnya kau berbuat sesuka hati, mencelakai orang lain dan membikin susah sendiri puIa, sampai saat ini memang sudah sangat tertambat bagimu,” kata Oey Yong dengan gegetun.

Serentak timbul pula rasa angkuh Li Bok-chiu, jawabnya: “Nyawa muridku akulah yang menyelamatkannya, bila aku tidak membesarkan dia, mungkin sejak dulu dia telah mati, jadi dia hidup dariku dan mati pula bagiku, ini kan maha adil.”

“Setiap orang tentu terlahir dari ibu dan ayah, sekali pun ayah-ibu takkan membunuh putera puteri sendiri, apa lagi orang luar,” kata Oey Yong.

Segera Bu Siu-bun melangkah maju dengan pedang terhunus dan membentak: “Li Bok-chiu, kejahatanmu sudah kelewat takaran, sekarang ajalmu sudah tiba, maka terima saja kematianmu dan tidak perlu banyak bacot.”

Menyusul Bu Tun-si, Bu Sam-thong serta Yalu Ce, Yalu Yen, Wanyen Peng dan Kwe Hu berenam serentak mendesak maju dari kanan dan kiri. Sorot mata Li Bok-chiu menyapu sekeliling lawannya, jelas semua orang penuh rasa benci padanya. Ia pikir seorang Oey Yong saja sukar dilawan, apa lagi masih ada Yo Ko dan Siao-liong-li. Dilihatnya Liok Bu-siang beserta Thia Eng juga lantas melangkah maju dengan senjata masing-masing.

“Orang she Li, secara keji kau telah membunuh segenap keluargaku, jika sekarang hanya jiwamu sendiri saja yang harus membayar utangmu, masih terlalu murah bagimu!” seru Bu-siang. “Kalau bicara kejahatanmu, caramu membunuh Ang-suci barusan, kematianmu saja tidak cukup untuk menebus dosamu.”

Dalam keadaan demikian ternyata Kwe Hu masih sempat melirik pada Liok Bu-siang dan mengejeknya:

“Hm, itu perbuatan gurumu yang baik itu!”

Bu-siang balas melotot, jawabnya: “Segala perbuatan harus ditanggung sendiri dosanya, yang benar jangan kau meniru tingkah-lakunya.”

Li Bok-chiu berseru: “Siau-sumoay, apakah sama sekali kau tidak memikirkan hubungan baik saudara seperguruan lagi?”

Selama hidupnya malang melintang di dunia Kangouw tanpa kenal belas kasihan kepada siapa pun, sekarang dia sendiri malah memohon kebaikan hati Siao-liong-li, nyata karena dia merasa terdesak dan keadaan sangat gawat baginya, selain itu mau tak mau hatinya merasa menyesal juga sesudah membinasakan Ang Ling-po tadi sehingga membuatnya patah semangat. Selagi Siao-liong-li hendak menjawab, tiba-tiba Yo Ko menanggapi dengan suara lantang:

“Kau telah mengkhianati perguruan dan membunuh muridmu sendiri, masa kau masih berani bicara tentang seperguruan segala?”

“Baik!” seru Li Bok-chiu sambil menghela napas, pedangnya bergerak dan menambahkan: “Nah, majulah kalian semua, semakin banyak semakin baik.”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar