Rabu, 29 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 146

Cu-in merasa ucapan Yo Ko itu sangat tepat, perlahan-lahan dia menurunkan tangannya yang siap menghantam. Tapi segera teringat olehnya bahwa dulu dirinya juga pernah bekerja bagi kerajaan Kim, malah pernah membantu bangsa asing itu menjajah negerinya sendiri, jadi ucapan Yo Ko itu tidak ada ubahnya seperti mencaci maki kesalahannya. Mendadak pukulannya dilancarkan ke arah Yo Ko sambil membentak:

“Kau mengaco-balo apa, binatang cilik?”

Tadinya Yo Ko menyangka ucapannya tadi telah membangunkan hati nurani Cu-in, siapa duga mendadak orang malah melancarkan serangan maut, serangan yang cepat lagi keji itu dalam sekejap saja sudah sampai di depan dadanya. Dalam keadaan gawat dia tidak sempat menangkisnya, terpaksa dia ikuti daya pukulan musuh dengan melompat mundur.

“Blang! Blang!” dinding papan rumah ambrol dan tubuh Yo Ko mencelat keluar rumah.

It-teng Taysu terkejut, pikirnya: “Apakah pemuda ini akan binasa begitu saja? Tampaknya ilmu silatnya juga tidak rendah.”

Pada saat lain mendadak api unggun yang berkobar di dalam rumah itu menyurut gelap, lubang dinding yang ambrol itu dihembus angin keras, tahu-tahu Yo Ko melayang masuk lagi sambil menusukkan pedangnya ke arah Cu-in dengan membentak:

“Baiklah, hari ini boleh kita coba-coba ukur tenaga.”

Rupanya Yo Ko tadi dapat mundur lebih cepat dari pada tenaga pukulan musuh, dengan menumbuk ambrol dinding rumah dapatlah dia terhindar dari pukulan maut itu. Sekarang pedangnya menusuk lurus ke depan dengan kekuatan yang dahsyat dan sukar ditahan.

Cu-in memukulkan tangannya agar tenaga pukulan dapat mengguncang pergi daya tusuk Yo Ko. Tidak disangkanya bahwa ilmu pedang Yo Ko ini adalah ajaran Tokko Kiu-pay yang tiada tandingannya, apa lagi sudah digembleng di tengah air bah dengan tambahan tenaga dari buah merah, dibantu pula oleh rajawali sakti. Kini ilmu pedang yang dikuasai Yo Ko sudah tiada ubahnya seperti kesaktian Tokko Kiu-pay dulu, maka tenaga pukulan Cu-in itu hampir tiada artinya bagi Yo Ko, karena itu pedang anak muda itu masih tetap nyelonong ke depan. Keruan Cu-in kaget, cepat mengelak agar tubuhnya tidak tertembus.

Setelah bergebrak barulah sama-sama mengetahui bahwa ilmu silat pihak lawan memang amat lihay dan tidak berani lagi meremehkan musuh. It-teng terheran-heran menyaksikan semua itu. Dia pikir usia anak muda ini paling-paling baru Iikuran, tapi ternyata mampu menandingi ilmu pukulan tangan besi Kiu Jian-yim yang pernah menggetarkan dunia kangouw di masa lampau, malahan gaya ilmu pedang anak muda ini tidak diketahui berasal dari aliran mana meski pun pengalaman sendiri tergolong amat luas, lebih-lebih pedangnya yang hitam berat itu jelas merupakan senjata yang aneh pula.

Bahkan Siao-liong-li yang cantik molek itu mengikuti pertarungan itu dari samping dengan tenang-tenang saja, diam-diam dia pun yakin nona ini pasti juga tokoh yang lain dari pada yang lain. Ketika dia mengawasi lebih teliti, dilihatnya di antara dahi si nona samar-samar bersemu hitam, tanpa terasa dia bersuara kaget.

Siao-liong-li tersenyum melihat sikap It-teng Taysu itu, katanya: “Oh, kau sudah tahu?”

Dalam pertarungan itu Yo Ko lebih beruntung dalam hal senjata, sebaliknya Cu-in lebih banyak sebuah lengan, jadinya pertempuran mereka menjadi seimbang.

“Blangg...!” terdengar suara keras, papan kayu jebol sebuah.

“Krekk!” menyusul tiang rumah patah sebuah.

Padahal luas rumah itu sudah kecil, bangunannya kurang kokoh pula, betapa pun juga tak mungkin digunakan sebagai arena pertarungan dua tokoh kelas wahid, ke mana serangan mereka tiba, di situ papan kayu bertebaran. Akhirnya terdengarlah suara gemuruh, sebuah tiang patah lagi serentak atap rumah lantas ambruk.



Segera Siao-liong-li pondong Kwe Siang lantas menerobos keluar melalui jendela. Di luar salju masih turun dengan lebatnya dengan angin yang menderu, Yo Ko dan Cu-in sudah mengobrak-abrik kedua rumah gubuk itu, tapi pertandingan tetap berlangsung dengan sengitnya di bawah badai salju. Sudah belasan tahun Cu-in tidak pernah bertempur sesengit ini dengan orang, saking bersemangatnya pukulan telapak besinya yang dahsyat itu disertai pula dengan raungan yang keras. Tetapi setelah ratusan jurus tenaga pedang pusaka Yo Ko itu terasa semakin berat, karena usia Cu-in memang sudah lanjut, maka lambat-laun dia kewalahan untuk menahannya.

Pada waktu Yo Ko menusuk lagi dari depan, Cu-in lantas menggeser ke samping. Tetapi pedang Yo Ko menyapu hingga menimbulkan angin keras dengan hamburan salju menyambar ke muka Cu-in. Karena matanya tertutup bunga salju, cepat Cu-in mengusap mukanya. Pada saat itulah pedang Yo Ko terus memutar dari atas lalu menempel di atas pundak Cu-in.

Seketika Cu in merasa seperti ditindih oleh benda yang beribu kati beratnya hingga tidak sanggup berdiri tegak, dia pun jatuh telentang. Ujung pedang Yo Ko terus mengancam di dada lawan, biar pun ujung pedang itu tidak tajam tetapi beratnya tak terperikan sehingga Cu-in merasa sesak napas.


MENUJU KE COAT-CENG-KOK

Pada saat demikian sekilas terbayang ‘mati’ di dalam benak Cu-in. Semenjak dia menjadi gembong Tiat-ciang-pang dan malang melintang di dunia Kangouw, selamanya dia hanya membunuh dan mencelakai orang, jarang sekali mengalami kekalahan. Walau pun pernah dikalahkan Ciu Pek-thong dan lari ke wilayah barat, akhirnya dapat juga dia menggertak lari si Anak Tua Nakal itu. Sekarang dia merasakan ajalnya sudah dekat pintu gerbang neraka, ini belum pernah dialaminya selama hidup, maka mau tak mau timbul rasa penyesalannya. Jika riwayatnya tamat begini saja, dia merasakan segala dosa yang pernah diperbuatnya menjadi tak bisa ditebus lagi.

Selama ini kuliah It-teng Taysu tidak dapat membuka pikirannya yang gelap, kini ancaman pedang Yo Ko ternyata merupakan bunyi guntur yang bisa memecahkan segala persoalan dan seketika membuatnya teringat, ternyata begini mengenaskan bila dibunuh orang, jika begitu orang-orang yang pernah kubunuh dahulu tentu juga mengenaskan seperti ini.

Diam-diam It-teng sangat kagum menyaksikan Yo Ko dapat menaklukkan Cu-in, segera dia melangkah maju, jarinya menyelentik perlahan pada batang pedang. Seketika Yo Ko merasa lengan kiri kesemutan, pedang bergetar ke samping. Serentak Cu-in melompat bangun lantas menjura kepada It-teng sambil berseru:

“Suhu, dosa Tecu pantas dihukum mati!”

It-teng tersenyum kemudian meraba punggungnya, katanya: “Tidaklah mudah kau menginsafl segalanya, kau harus berterima kasih kepada anak muda ini.”

Tadinya Yo Ko sangsi kalau Hwesio tua beralis putih ini adalah It-teng Taysu. Sesudah pedangnya terselentik ke samping, dia tidak sangsi lagi akan dugaannya, sebab soal tenaga jari sakti pada jaman ini selain Oey Yok-su hanya It-yang-ci saja yang dapat mengimbanginya dan tokoh nomor satu It-yang-ci tiada lain adalah It-teng Taysu. Segera dia pun menyembah dan berkata:

“Tecu Yo Ko memberi salam hormat kepada Taysu.”

Dilihatnya pula Cu-in mendekati dan menjura padanya. Cepat ia membalas hormat dan berkata:

“Wah, mana aku berani menerima penghormatan sebesar ini, Locianpwe,” lalu ia menuding Siao-liong-li dan menambahkan pula: “lni adalah isteriku she Liong. Ehh, Liong-ji, lekas memberi hormat kepada Taysu.”

Dengan bergegas Siao-liong-li melangkah maju sambil memondong Kwe Siang, kemudian memberi hormat.

“Kedua rumah ini sungguh malang sehingga kita pun tidak punya tempat duduk untuk ber-bincang,” kata It-teng tertawa.

“Tadi pikiran Tecu menjadi gelap dan hilang akal, apakah luka Suhu berbahaya?” tanya Cu-in.

“Kau sendiri apakah sudah sehat?” tanya It-teng sambil tersenyum.

Cu-in merasa menyesal bukan main dan tidak tahu apa yang harus diucapkan. Dia coba menegakkan tiang rumah gubuk itu, lalu dinding papan juga dibetulkan sehingga dapatlah sebuah gubuk didirikan kembali sekedarnya sebagai tempat bernaung. Sementara itu Yo Ko sedang menceritakan pengalamannya berkenalan dengan Bu Sam-thong dan Cu Cu-liu serta terkena racun di Coat-ceng-kok, lalu Paderi Hindu dan Cu Cu-liu berusaha mencarikan obat baginya.

“Kedatangan kami berdua ini justru hendak pergi ke Coat-ceng-kok,” tutur It-teng Taysu, “Apakah kau tahu hubungan antara Cu-in Hwesio ini dengan penguasa wanita Coat-ceng-kok?”

Karena beberapa kali mendengar Peng-tianglo dan Cu-in menyebut ‘Kiu-pangcu’, maka Yo Ko lantas bertanya:

“Apakah asalnya Cu-in Taysu she Kiu, yaitu Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang dahulu?” Setelah dilihatnya Cu-in mengangguk perlahan, dia lalu berkata padanya: “Jika begitu penguasa wanita Coat-ceng-kok adalah adik perempuanmu.”

“Benar,” jawab Cu-in. “Apakah adik perempuanku baik-baik saja?”

Yo Ko merasa sukar untuk menjawabnya. Kaki dan tangan Kiu Jian-jio telah dibikin cacat oleh sang suami, jadi bagaimana pun tak dapat dikatakan ‘baik’.

Melihat anak muda itu ragu-ragu menjawab, Cu-in berkata: “Adik perempuanku itu suka menuruti adatnya sendiri, karena itu kalau dia mengalami sesuatu tidak perlu diherankan.”

“Adikmu cacat tangan dan kaki, badannya sih sehat,” kata Yo Ko.

Cu-in menghela napas, katanya: “Selang sekian tahun, semua sudah tua... biasanya dia hanya akur dengan Toako kami saja...” sampai di sini dia lantas ter-mangu mengenang masa lampau.

It-teng Taysu tahu pikiran Cu-in belum bersih dari urusan kehidupan manusia. Kalau tadi dia menyesal dan insaf adalah karena sedang menghadapi detik antara mati dan hidup, maka pikiran jahatnya mendadak Ienyap, padahal pikiran jahat di dalam benaknya belum hilang sampai ke akarnya, kelak kalau terpengaruh lagi daya kuat dari luar mungkin penyakitnya akan kambuh kembali dan sukarlah dibayangkan apakah kelak akan mampu mengatasinya atau tidak.

Melihat It-teng memandangi Cu-in dengan sorot mata yang penuh rasa kasihan, tiba-tiba Yo Ko merasa tindakannya tadi bisa jadi malah membikin urusan semakin runyam, maka ia bertanya:

“Taysu, tindakanku yang bodoh tadi apakah salah, mohon Taysu suka memberi petunjuk.”

“Hati orang sukar dijajaki, seumpama aku tadi dihantam mati olehnya belum tentu dia akan sadar dan mungkin malah kejeblos lebih dalam,” jawab It-teng. “Yang jelas kau telah menyelamatkan jiwaku, mana bisa salah? Sungguh aku sangat berterima kasih padamu.” Lalu dia berpaling kepada Siao-liong-li dan bertanya: “Cara bagaimana nyonya ini terkena racun?”

Mendengar pertanyaan itu, seketika Yo Ko seperti melihat setitik sinar harapan di dalam kegelapan, maka ia cepat-cepat menjawab:

“Dia terluka dan ketika aku sedang berusaha melancarkan urat nadinya, tanpa terduga saat yang gawat itu terserang senjata rahasia beracun. Apakah Taysu sudi menaruh belas kasihan dan menolong jiwanya?” Habis berkata tanpa terasa ia berlutut lagi di hadapan It-teng Taysu.

It-teng membangunkan anak muda itu kemudian berkata: “Cara bagaimana penyembuhan dengan melancarkan urat nadi itu dilakukan?”

“Dia mengerahkan tenaga dalam secara terbalik sambil berbaring di dipan kemala dingin dan ditambah bantuanku,” tutur Yo Ko serta menceritakan secara ringkas apa saja yang telah dilakukannya.

Maka pahamlah It-teng. Berulang ia menyatakan rasa herannya, ia coba memegang nadi pergelangan Siao-liong-li, lalu kelihatan sedih tanpa memberi keterangan.

Dengan termangu-mangu Yo Ko memandangi It-teng. Hatinya penuh harapan bahwa dari mulut Hwesio agung itu akan bercetus ucapan: “Dapat ditolong!”

Sedangkan pandangan Siao-liong-li terarah pada Yo Ko. Sudah sejak semula tidak pernah terpikir olehnya bahwa jiwanya dapat bertahan sampai sekarang, maka ia coba menghibur Yo Ko yang kelihatan menanggung sedih tak terkatakan itu.

“Ko-ji, hidup atau mati sudah ditakdirkan, mana bisa hal ini dimohon secara paksa. Untuk ini hendaklah kau dapat berpikir panjang dan jangan terlalu merisaukannya.”

Baru pertama kali ini It-teng Taysu mendengar Siao-liong-li buka suara, sama sekali tak terpikirkan olehnya bahwa perempuan muda seperti ini bisa bicara seterang itu. Biasanya setiap orang pasti cemas dan sedih menghadapi persoalan mati hidupnya, tapi ucapan Siao-liong-li tadi se-akan seorang alim yang sudah tinggi ibadatnya, mati se-olah pulang saja. Diam-diam It-teng memuji sepasang muda-mudi ini benar-benar manusia luar biasa, yang lelaki sangat hebat ilmu silatnya, yang perempuan mempunyai ketinggian batin yang tiada bandingannya. Cuma sayang, karena racunnya sudah merasuk terlalu dalam, aku sendiri pun terluka sehingga tidak dapat menggunakan ilmu jari sakti It-yang-ci. Setelah berpikir sejenak, lalu ia berkata:

“Meski pun usia kalian berdua masih muda tetapi sudah memiliki kebatinan yang tinggi, biarlah kukatakan terus terang saja...”

Mendengar sampai di sini, hati Yo Ko serasa tertekan, kedua tangannya terasa dingin.

“Racun di tubuh nyonya memang telah mendalam,” demikian It-teng menyambung, “kalau saja aku tidak terluka, aku bisa membantu menghentikan bekerjanya racun dengan lt-yang ci, habis itu berusaha mencarikan obat mujarab baginya. Tapi sekarang, untunglah lwekang nyonya sudah terlatih amat tinggi. Akan kuberi satu biji obat ini, setelah diminum dapat dijamin selama tujuh hari tujuh malam takkan terjadi halangan apa pun, kita segera berangkat ke Coat-ceng-kok untuk mencari Sute-ku.”

“Benar.” seru Yo Ko sambil berdiri. “Memang kepandaian mengobati keracunan rahib sakti Hindu itu maha hebat, beliau pasti mempunyai cara pengobatannya.”

“Andaikan Sute-ku tak mampu menolongnya, maka anggaplah hal ini memang sudah takdir,” kata It-teng. “Di dunia banyak anak-anak yang belum lama dilahirkan sudah mati, sedangkan nyonya sesudah menikah barulah mengalami kejadian ini sehingga tidak dapat dikatakan pendek umur.”

Selesai berkata It-teng lantas termenung. Ia teringat kepada anak yang dilahirkan selirnya yaitu Lau-kuihui, hasil hubungan gelap selir itu dengan Ciu Pek-thong. Akibat dendam dan cemburu dirinya berkeras tidak mau mengobati anak itu dengan It-yang-ci, akhirnya bocah itu pun meninggal sedangkan orang yang menyerang anak itu bukan lain dari pada Cu-in Hwesio ini.

Dahulu It-teng juga tidak tahu bahwa Cu-in yang memukul anak itu, baru diketahui setelah Kiu Jian-yim alias Cu-in mengangkat dia sebagai gurunya serta mengakui semua dosa yang pernah diperbuatnya. Akan tetapi satu kata pun It-teng tidak menyesali Cu-in, cuma dalam lubuk hatinya tak urung timbul semacam perasaan bahwa nasib jelek sendiri adalah karena gara-gara perbuatan Cu-in.

Begitulah dengan mata terbelalak Yo Ko memandangi It-teng Taysu, pikirnya: “Dapat tidak mengobati Liong-ji belum bisa dipastikan, tapi mengapa kau sama sekali tidak menghibur sepatah kata pun.”

Dalam pada itu Siao-liong-li hanya tersenyum tawar saja dan mengiyakan setiap ucapan It-teng Taysu. Mendadak It-teng mengeluarkan sebutir telur ayam lalu diserahkan kepada Siao-liong-li, katanya:

“Coba katakan, ada ayam lebih dulu atau telur ada lebih dulu.”

Ini memang teka-teki yang belum bisa terpecahkan. Yo Ko menjadi heran dalam keadaan begini si Hwesio tua ini sempat bertanya soal yang tidak penting ini. Siao-liong-li menerima telur ayam itu, sesudah diperiksa ternyata bukan telur ayam biasa melainkan tiruan yang terbuat dari porselen, baik warna mau pun besarnya serupa benar dengan telur asli. Sesudah berpikir sejenak Siao-liong-li lantas tahu maksud orang, katanya:

“Telur menetaskan ayam dan ayam besar bertelur, jika ada kelahiran tentu juga ada kematian.”

Segera dia pencet telur itu dan tampaklah satu biji obat warna kuning di dalamnya mirip kuning telur.

“Lekas diminum,” kata lt-eng Taysu.

Tanpa pikir Siao-liong-li memasukkan obat itu ke mulut, ia tahu obat itu pasti sangat berharga.

**** 146 ****





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar