Selasa, 28 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 145

PEK-BI-CENG DAN HEK-IH-CENG

Tadinya Peng-tianglo duduk di bangku, tiba-tiba dia melompat bangun sambil siap melolos senjata. Tapi Hwesio jubah hitam tidak menggubrisnya.

“Krek...! Krek...!” benda hitam itu telah digembokkan pada kakinya sendiri, kiranya benda itu adalah sepasang belenggu besi. Sepasang belenggu lainnya lantas dipasangkan pula pada kedua tangannya.

Tentu saja Yo Ko dan Peng-tianglo amat heran dan tidak dapat menerka apa maksud dan artinya perbuatan Hwesio itu membelenggu kaki dan tangan sendiri Tapi dengan demikian rasa was-was mereka berkurang beberapa bagian.

Paderi alis putih tampaknya menaruh perhatian kepada kawannya, dengan suara perlahan ia bertanya:

“Apakah hari ini waktunya?”

“Di sepanjang jalan Tecu sudah merasakan gelagat tidak enak, bisa jadi hari ini,” jawab si Hwesio jubah hitam. Mendadak dia terus berlutut, kedua tangan terangkap di depan dada serta berdoa: “Mohon pertolongan Budha yang maha welas asih.”

Habis berkata begitu, Hwesio baju hitam itu lantas menunduk dan meringkukkan tubuhnya tanpa bergerak. Selang sejenak kemudian bagian atas tubuhnya rada gemetar, napasnya pun mulai terengah-engah, makin lama makin ngos-ngosan, akhirnya suara napasnya menjadi seperti raungan kerbau yang sekarat, hingga rumah papan itu bergetar oleh suara raungannya dan bunga salju di atas atap rontok.

Tidak hanya Peng-tianglo saja yang terkejut dan kebat-kebit hatinya, tapi Yo Ko dan Siao-liong-li juga saling pandang dengan hati bingung, mereka tidak paham apa yang dilakukan Hwesio baju hitam itu. Dari suara raungannya tampak dia sedang menderita siksaan yang maha hebat.

Tadinya Yo Ko berprasangka buruk terhadap Hwesio baju hitam itu, sekarang mau tidak mau timbul rasa kasihan, pikirnya:

“Entah penyakit aneh apa yang dideritanya, kenapa Hwesio alis putih itu tidak ambil pusing, bahkan anggap tidak tahu dan tidak melihat suara napasnya yang keras itu?”

Selang sebentar kemudian, suara napas Hwesio baju hitam semakin memburu. Dengan suara perlahan Hwesio alis putih berkata:

“Yang tidak seharusnya diperbuat tapi telah diperbuatnya, yang seharusnya diperbuat malah tidak diperbuatnya, terbakar oleh mengamuknya api penyesalan, terjerumuslah ke jalan sesat di jelmaan mendatang...”

Kalimat sabda Budha itu diucapkan Hwesio itu dengan suara perlahan, tapi ternyata dapat terdengar dengan jelas di tengah suara napas Hwesio baju hitam yang gemuruh. Yo Ko terkejut akan Iwekang si Hwesio tua yang hebat itu, rasanya pada jaman ini jarang ada bandingannya. Terdengar Hwesio alis putih meneruskan membaca weda Budha:

“Kalau orang berdosa mau menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya, dengan begitu hati pun tenteram, tidak perlu lagi memikirkannya pula, jangan karena rasa penyesalannya itu, tidak melakukan apa-apa yang seharusnya dilakukannya, kejahatan yang sudah diperbuatnya, tidak mungkin ditariknya kembali.”

Lambat laun napas Hwesio baju hitam menjadi perlahan hingga akhirnya berhenti. Sambil merenung ia pun menggumam:

“Kalau orang berdosa mau menyadari dosanya, sesudah sadar tidak lagi meresahkannya. Suhu, Tecu menyadari macam perbuatan di masa lalu itu berdosa, Tecu sangat menyesal dan hampir tidak dapat mengatasi perasaan berdosa sendiri ini. Yang Tecu pikirkan adalah, kejahatan yang sudah diperbuatnya, tidak dapat ditarik kembali. Karena itu hati Tecu jadi tidak tenang dan gembira, bagaimana sebaiknya ini?”

“Berbuat salah kemudian mau menyesalinya, biasanya sangat sukar terjadi,” ujar Hwesio alis putih, “Manusia bukan Nabi, mana bisa tanpa berbuat salah. Berbuat salah dan mau memperbaikinya, itulah yang maha muIia.”

Sampai di sini tiba-tiba saja Yo Ko teringat kepada namanya sendiri, yakni ‘Ko’ (salah). Menurut ibunya dia juga mempunyai nama alias ‘Kay-ci’ (perbaikilah), jadi persis seperti apa yang diucapkan Hwesio alis pulih tadi. Ia menjadi ragu apakah pendeta tua ini seorang maha sakti yang sengaja datang buat membuka pikirannya? Mau tak mau timbul rasa kagum dan hormatnya kepada pendeta yang ucapannya penuh filsafat hidup ini. Terdengar Hwesio baju hitam berkata pula:

“Akar kejahatan Tecu sulit dilenyapkan. Pada sepuluh tahun yang lalu Tecu sudah lama mengikuti ajaran Suhu, namun tetap saja Tecu menewaskan jiwa tiga orang. Sekarang darah Tecu terasa bergolak hingga sukar diatasi, mungkin sekali Tecu akan berbuat dosa lagi, Untuk ini mohon welas asih Suhu, sukalah potong saja kedua tangan Tecu ini.”

“Syahdu! Syahdu! Biar pun aku dapat memotong kedua tanganmu, tetapi pikiran jahat di dalam hatimu harus kau babat sendiri. Apa bila pikiran jahat belum lenyap, meski kaki dan tanganmu putus juga percuma saja, Coba kau dengarkan, akan kuceritakan sebuah kisah ‘Induk menjangan dan si pemburu’, bagimu.”

“Tecu siap mendengarkan,” jawab si baju hitam sambil duduk bersila.

Di balik kamar sana Yo Ko dan Siao-liong-li juga lantas duduk tenang ikut mendengarkan cerita pendeta itu.

“Ada seekor induk menjangan dengan dua ekor anak menjangan...” demikian Hwesio alis putih mulai berkisah.

“Malang bagi induk menjangan itu karena dia tertangkap oleh seorang pemburu. Pemburu akan membunuh induk menjangan, dan dengan sangat induk menjangan minta dikasihani, katanya: ‘Aku memiliki dua anak, masih kecil dan lemah, belum mahir mencari makan dan minum. Mohon diberi kelonggaran sementara waktu supaya dapat mengajarkan cara mencari makan bagi anakku, habis itu pasti aku datang kembali buat menyerahkan diri’. Pemburu tidak mengijinkan, induk menjangan memohon pula dengan memelas.

Akhirnya hati pemburu terharu dan meluluskannya. Induk menjangan menemui kedua anaknya, lalu saling bermesraan dengan girang dan sedih pula induk menjangan menceritakan nasibnya yang malang dan berharap kedua anaknya menjaga diri. Tentu saja anak menjangan yang masih kecil itu tidak paham maksud sang induk. Lalu induk menjangan membawa kedua anaknya ke tempat yang banyak rumput dan sumber air. Setelah memberi petunjuk cara-cara mencari hidup, dengan berlinang air mata kemudian induk menjangan lantas mohon diri.”

Mendengar sampai di sini, Siao-liong-li jadi teringat kepada jiwa sendiri yang sudah dekat ajalnya, tanpa terasa ia pun mencucurkan air mata. Biar pun tahu cerita Hwesio itu cuma dongeng belaka, tapi cinta kasih ibu dan anak dalam cerita itu sangat mengharukan hati Yo Ko.

Dalam pada itu Hwesio alis putih melanjutkan ceritanya: “Sehabis memberi pesan, induk menjangan segera melangkah pergi. Kedua anak menjangan menangis sedih dan terus mengikutinya dari belakang. Walau pun masih kecil dan lemah, larinya lambat dan jatuh bangun, namun tetap tidak mau berpisah dengan sang induk. Induk menjangan lantas berhenti dan menoleh, katanya:

‘Oh, anakku, janganlah kalian ikut. Kalau dilihat pemburu itu, tentu jiwa kita akan tamat semuanya. Ibu rela mati, cuma kalian yang masih kecil dan lemah tidak boleh ikut mati. Di dunia ini memang tidak ada sesuatu yang abadi, setelah berkumpul akhirnya juga akan berpisah. Nasibku yang jelek sehingga membuat kalian kehilangan ibu semenjak kecil’. Habis berkata ia terus berlari ke tempat si pemburu.



Kedua anak menjangan itu sangat menginginkan kasih sang induk, tanpa gentar kepada panah si pemburu mereka pun mencari sampai di sana. Melihat induk menjangan benar menepati janji dan rela untuk mati, kejujuran dan kesetiaannya sukar dibandingi manusia, dilihatnya pula antara induk dengan anak menjangan itu merasa berduka dan berat untuk berpisah, si pemburu merasa tidak tega dan akhirnya membebaskan induk menjangan.”

Habis mendengar cerita itu, air mata bercucuran memenuhi muka si Hwesio jubah hitam, katanya:

“Menjangan saja mengutamakan janji, induknya baik hati dan anaknya berbakti, betapa pun Tecu tak dapat meniru mereka.”

“Asal timbul perasaan kasih, seketika napsu membunuh akan lenyap,” kata Hwesio alis putih sembari memandang sekejap ke arah Peng-tianglo.

Sambil bersujud Hwesio baju hitam mengiyakan. Lalu Hwesio alis putih berkata pula: “Jika ingin menebus kesalahan, jalan satu-satunya adalah berbuat amal. Dari pada menyesali perbuatan masa lalu, lebih baik kalau selanjutnya lebih banyak berbuat sesuatu yang harus dikerjakan.”

Habis ini dia menghela napas perlahan lantas menambahkan: “Sekali pun aku sendiri selama ini juga banyak berbuat kesalahan.” Lalu dia memejamkankan mata seperti orang semedi.

Sesudah mendengarkan cerita sang guru, Hwesio baju hitam seperti mulai sadar, namun gejolak perasaannya selalu di atasi. Sewaktu dia mengangkat kepalanya, dilihat Peng-tianglo sedang memandangnya dengan tersenyum simpul, ada pun kedua matanya menyorotkan cahaya yang sangat tajam dan kuat. Hwesio baju hitam terkesiap. Dia merasa sudah pernah bertemu dengan orang ini, terasa pula sorot mata orang menimbulkan perasaan sangat tidak enak, cepat dia berpaling ke arah lain, tapi hanya sejenak kembali dia menoleh ke sana.

“Wah, lebat sekali salju yang turun ini,” kata Peng-tianglo dengan tertawa.

“Ya, ya, lebat sekali,” jawab Hwesio baju hitam.

“Mari kita pergi melihat pemandangan hujan salju ini,” Peng-tianglo berkata sambil membuka pintu.

“Baiklah, kita pergi melihat pemandangan hujan salju,” jawab si Hwesio sambil bangkit dan berdiri di luar pintu di samping Peng-tianglo.

Dari balik dinding Yo Ko juga merasakan sorot mata Peng-tianglo yang aneh itu, samar-samar dia merasakan sesuatu alamat yang tidak enak.

“Ucapan gurumu sangat tepat, jangan sekali-kali membunuh orang, tapi seluruh tubuhmu penuh tenaga yang meluap, apa bila tidak bergebrak dengan orang rasanya tidak tahan, begitu bukan?” demikian Peng-tianglo berkata dengan tertawa.

Secara samar-samar si Hwesio baju hitam mengiyakan. Peng-tianglo lantas berkata pula: “Boleh coba kau hantam orang salju ini, pukul saja, kan tidak berdosa.”

Hwesio baju hitam memandang orang salju itu lantas mengangkat tangannya, hasratnya ingin sekali melancarkan pukulan. Sementara itu tubuh si pengemis kurus sudah teruruk lagi oleh bunga-bunga salju yang bertebaran sejak tadi, maka kedua matanya tertutup oleh salju.

“HayoIah, pukul saja dengan kedua tanganmu, hantam orang salju ini! Pukul, hayo pukul!” demikian Peng-tiangIo menganjurkan, suaranya halus tapi penuh daya memikat.

“Baiklah, akan kupukul dia,” kata si Hwesio baju hitam sambil mengumpulkan tenaga pada tangannya.

Si Hwesio alis putih mengangkat kepala dan menghela napas panjang, dengan perlahan ia menggumam:

“Sekali napsu membunuh timbul, seketika terjadi mala petaka.”

“Blangg...!”

Segera terdengar suara yang keras, kedua tangan Hek-ih-ceng (Hwesio baju hitam) telah menghantam sekaligus. Salju berhamburan diiringi jeritan mengerikan pengemis kurus. Rupanya Hiat-to yang tertutup tergetar lantas terbuka akibat terkena pukulan Hek-ih-ceng. Jeritan itu sangat ngeri dan menyeramkan, juga berkumandang hingga jauh menggema angkasa pegunungan itu. Siao-liong-li juga bersuara kaget dan memegangi tangan Yo Ko dengan erat.

“Ha, di dalam salju ada orang!” teriak Hek-ih-ceng kaget.

Cepat Pek-bi-ceng (Hwesio alis putih) berlari keluar lalu memeriksa keadaan sang korban. Ternyata pengemis kurus itu telah binasa terkena pukulan tangan besi yang maha sakti si Hek-ih-ceng. Seketika Hwesio baju hitam ini melongo dengan bingung, sedangkan Peng-tianglo berlagak kaget dan berseru:

“He, benar-benar aneh, untuk apa orang ini sembunyi di gundukan salju? Ehh, mengapa dia membawa senjata?”

Karena dengan Liap-hun-tay-hoat-nya dia telah berhasil mempengaruhi Hek-ih-ceng untuk membinasakan si pengemis kurus, sudah tentu dia sangat senang, tetapi dia pun merasa heran pula kenapa si kurus sanggup bertahan tanpa bergerak selama sembunyi di gundukan salju dan tidak mendengar suaraku menyuruh orang menghantamnya?

“Suhu... Suhu!” dengan melongo bingung ber-ulang Hek-ih-ceng memanggil sang guru.

“Karma! karma!” ucap Pek-bi-ceng, “Orang ini tidak dibunuh olehmu, tetapi juga kau yang membunuhnya.”

Hek-ih-ceng mendekam di atas tanah salju dan bertanya dengan suara gemetar: “Tecu tidak paham artinya.”

“Kau mengira hanya orang salju belaka dan hatimu tiada bermaksud mencelakai orang,” kata Pek-bi-ceng. “Tetapi tenaga pukulanmu maha dahsyat waktu melancarkan serangan, masa sama sekali tiada pikiranmu hendak membunuh orang?”

“Sesungguhnya Tecu memang berkehendak membunuh orang,” jawab Hek-ih-ceng.

Pek-bi-ceng lantas memandangi Peng-tianglo, sorot matanya halus penuh welas asih. Namun hanya sekali pandang saja, Liap-hun-tay-hoat yang menggetar sukma orang, ilmu andalan Peng-tianglo lantas sirna tanpa bekas.

Mendadak Hek-ih ceng berteriak: “He... kau... kau adalah Tianglo di Kay-pang dahulu itu, ya, ya, betul ingatlah aku sekarang!”

Seketika wajah asli Peng-tianglo timbul dari balik sikapnya yang selalu ramah tamah dan tersenyum simpul itu, air mukanya lantas penuh rasa pertentangan batin, katanya:

“Ahh, engkau adalah Kiu-pangcu dari Tiat-ciang-pang, mengapa engkau menjadi Hwesio?”

Kiranya Hwesio baju hitam ini memang betul adalah Kiu Jian-yim, ketua Tiat-ciang-pang. Setelah terjadi pertandingan di puncak Hoa-san dulu, dia telah menyadari segala dosanya di masa lampau, lalu mengangkat It-teng Taysu sebagai guru dan ia pun menjadi Hwesio. Dan Pek-bi-ceng atau Hwesio alis putih ini bukan lain adalah It-teng Taysu yang namanya sejajar dengan Ong Tiang-yang, Oey Yok-su, Auyang Hong dan Ang Chit-kong.

Sesudah menerima agama Budha, Kiu Jian-yim mendapatkan nama agama sebagai Cu-in. Dengan giat dia mempelajari agamanya dan telah memperoleh kemajuan pesat. Cuma dulu dia sudah terlampau banyak berdosa, akar kejahatannya sukar dibasmi seluruhnya, apa bila menemukan daya pikat yang kuat dari luar terkadang dia masih suka mengumbar kemurkaannya dan mencelakai orang. Oleh karena itulah dia telah membuat dua pasang belenggu besi. Bila pikirannya sedang judek dia lantas membelenggu kaki tangannya untuk mengekang tindak jahatnya.

Pada suatu hari It-teng Taysu menerima berita minta tolong dari muridnya, yaitu Cu Cu-liu, maka dari negeri Tayli It-teng Taysu lantas membawa Cu-in berangkat ke Coat-ceng-kok. Tak disangka-sangka di pegunungan sunyi ini mereka berjumpa dengan Peng-tianglo dan tanpa sengaja Cu-in telah membunuh satu orang pula. Sejak menjadi Hwesio, selama belasan tahun baru pertama kali ini dia membunuh orang meski ada juga pelanggaran lain yang diperbuatnya. Seketika hatinya menjadi bimbang, ia merasa latihannya selama belasan tahun sudah hanyut ke laut seluruhnya. Dengan per-lahan ia menoleh dan memandang Peng-tianglo dengan mata berapi.

It-teng Taysu tahu saatnya sangat gawat. Kalau menghalangi dia dengan kekerasan tentu pikiran jahatnya akan semakin menumpuk dan pada suatu hari pasti akan meluap laksana air bah yang tidak terbendung. Hanya dengan jalan menimbulkan rasa welas-asih kepada sesamanya barulah pikiran jahatnya dapat dilenyapkan dan menuju ke jalan yang bersih. Begitulah sambil berdiri di samping Cu-in, perlahan It-teng Taysu menyebut:

“O-mi-to-hud!”

Sampai hampir ratusan kali ia menyebut nama Budha barulah sorot mata Cu-in perlahan-lahan mulai meninggalkan tubuh Peng-tianglo, kemudian duduk di tanah dan napasnya terengah-engah.

Sudah sejak dulu Peng-tianglo tahu ilmu silat Kiu Jian-yim maha hebat, tapi jika ia dapat dipengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, maka dapatlah dia peralat sesukanya. Siapa tahu ketika sinar mata It-teng Taysu menyorot, perasaannya seperti tertekan oleh sesuatu yang maha berat sehingga sukar lagi mengeluarkan ilmunya.

Maklumlah, Liap-hun-tay-hoat ini kira-kira serupa dengan sebangsa ilmu hipnotis atau telepati pada jaman kini, dengan kekuatan batin untuk mengendalikan pihak lawan, tetapi apa bila kekuatan batin lawan lebih kuat dari pada dirinya maka ilmu itu tidak akan berhasil sama sekali. Dalam hal ini pikiran It-teng ternyata lebih kuat dari pada Peng-tianglo sehingga sukarlah dipengaruhinya.

Kini Peng-tianglo telah menginsyafi keadaannya yang berbahaya. ia pikir Hwesio tua yang senantiasa menganjurkan orang berbuat bajik ini semoga dapat mempengaruhi Kiu Jian-yim. Kalau dirinya melarikan diri sekarang, betapa pun juga pasti sukar lolos dari kejaran Kiu Jian-yim yang Ginkang-nya terkenal maha hebat. Terpaksa dia meringkuk di pojok rumah dengan hati kebat-kebit, pandangannya sekejap saja tidak berani meninggalkan gerak-gerik Kiu Jian-yim.

Tidak lama kemudian suara napas Cu-in semakin memburu, mendadak dia berseru: “Suhu, pembawaanku memang orang jahat, dan agaknya Thian tidak berkenan menerima penyesalanku, meski aku tidak sengaja membunuh orang, akhirnya mencelakai juga jiwa orang. Aku tidak mau menjadi Hwesio lagi.”

“Ampun! Ampun...! Akan kuceritakan pula sebuah kisah padamu,” kata It-teng.

Mendadak Cu-in berteriak dengan suara keras: “Kisah apa lagi? Sudah belasan tahun kau menipu diriku, aku tak percaya lagi padamu.”

“Krak! Krek!” tahu-tahu belenggu pada kaki dan tangannya retak dan terlepas.

Dengan suara halus It-teng berkata pula: “Jika perbuatan yang sudah terlanjur terjadi tidak perlu dirisaukan, jangan kau sesalkan lagi.”

Tetapi Cu-in lantas bangkit, ia menggeleng-geleng kepada It-teng, habis itu ia memutar tubuh dan menghantamkan kedua tangannya.

“Blam...!”

Tahu-tahu tubuh Peng-tianglo mencelat dan menumbuk dinding gubuk terus melayang keluar. Di bawah pukulan telapak tangan besi yang maha dahsyat itu jelas otot tulangnya pasti hancur, biar pun jiwanya rangkap sepuluh pasti tamat riwayatnya.

Yo Ko dan Siao-liong-li juga kaget mendengar suara gedubrakan yang keras itu. Mereka cepat memburu keluar dari ruangan dalam, terlihat kedua tangan Cu-in terangkat ke atas, dengan sorot mata bengis dia membentak mereka berdua:

“Apa yang kalian pandang? Satu tidak berbuat, dua tidak berhenti (artinya apa bila sudah telanjur berbuat, ya sekalian kerjakan saja), hari ini sengaja kuIanggar pantangan membunuh!” Habis berkata, tenaga yang sudah terkumpul pada kedua tangannya segera akan dihantamkan.

Dengan tenang It-teng Taysu melangkah maju dan menghadang di depan Yo Ko berdua, di situ dia duduk dan mengucap Budha, air mukanya kereng, katanya:

“Belum jauh kau tersesat, masih sempat kembali jika kau mau. Cu-in, apakah benar kau ingin terjerumus ke alam yang tak tertolong lagi?”

Wajah Cu-in sebentar merah sebentar pucat, pikirannya kusut bukan main, dan terjadilah pertentangan batin antara baik dengan jahat. Rupanya pikiran jahatnya akhirnya berkobar lebih hebat, mendadak sebelah tangannya menghantam ke arah It-teng Taysu. Dengan satu tangan terangkat di depan dada It-teng menahan serangan itu dengan tubuh rada tergeliat.

“Bagus, jadi kau benar-benar ingin memusuhi aku?” teriak Cu-in dengan gusar, menyusul tangan kiri lantas menghantam lagi.

It-teng Taysu tetap menangkis saja tanpa balas menyerang. Dengan marah Cu-in lantas mendamperat:

“Hmm, untuk apa kau mengalah? Hayolah membalas! Mengapa kau tidak balas seranganku? Huh apanya yang hebat antara kalian Tang-sia, Se-tok, Lam-te, Pak-kay dan Tiong-sin-thong? Belum tentu kalian mampu menandingi telapak tangan besi orang she Kiu ini. Hayolah balas, kalau kau tidak balas menyerang maka jangan kau penasaran jika jiwamu melayang percuma.”

Meski pikiran Cu-in dalam keadaan kacau tapi kata-katanya juga tidak salah, ilmu pukulan telapak tangan besinya boleh dikatakan mempunyai keunggulannya sendiri dibandingkan It-yang-ci yang menjadi andalan It-teng Taysu. Dalam hal ajaran agama memang It-teng jauh lebih dari pada cukup untuk menjadi guru Cu-in, tapi bicara tentang ilmu silat, kalau bertempur sekuat tenaga mungkin It-teng lebih unggul setingkat, tapi kalau melulu dihantam tanpa membalas, lama-lama juga pasti akan terluka parah sekali pun jiwanya tidak melayang.

Akan tetapi It-teng sudah bertekad lebih suka mengorbankan diri untuk menolong orang lain, lebih suka binasa kena pukulan tangan besi itu dari pada balas menyerang dengan harapan Cu-in akhirnya dapat diinsafkan. Jadinya sekarang mereka tidak lagi bertanding iimu silat atau tenaga dalam, tetapi lebih tepat dikatakan pertarungan antara pikiran bajik dan pikiran jahat.

Yo Ko dan Siao-liong-li menyaksikan pukulan sakti Cu-in itu terus menerus dilontarkan ke arah It-teng, sampai pada pukulan ke-14, tumpahlah darah segar dari mulut It-teng.

“Apakah kau tetap tak mau membalas?” bentak Cu-in melengak demi melihat darah yang mengucur dari mulut It-teng.

Dengan tersenyum It-teng menjawab: “Untuk apa aku membalas? Apa gunanya jika aku mengalahkan kau? Apa pula faedahnya kalau kau mengaIahkan diriku? Yang paling sukar adalah mengalahkan diri sendiri, mengekang perasaan sendiri.”

Cu-in tampak tertegun, lalu menggumam: “Mengalahkan diri sendiri, mengekang perasaan sendiri inilah yang sukar...?”

Beberapa kalimat ucapan It-teng itu laksana bunyi geledek yang menggetar hati Yo Ko. Pikirnya: “Untuk mengalahkan kehendak diri sendiri dan mengekang hasrat buruk sendiri memang jauh lebih sukar dari pada mengalahkan musuh yang tangguh.”

Ucapan pendeta agung ini benar-benar sangat tepat dan bernilai. Dalam pada itu dilihatnya kedua tangan Cu-in berhenti sejenak di atas, sesudah itu terus menghantam pula ke depan.

“Brakk!” tubuh It-teng terhuyung, darah segar kembali tersembur keluar, jenggotnya yang putih dan jubahnya berlepotan darah.

Dari caranya menerima serangan lawan serta daya tahannya, Yo Ko tahu ilmu silat It-teng sebenarnya lebih tinggi dari pada Hek-ih-ceng, tapi kalau menerima pukulan saja, biar pun tubuh terbuat dari besi akhirnya akan meleyot.

Kini Yo Ko luar biasa kagum dan hormatnya kepada It-teng Taysu, ia tahu It-teng sengaja mengorbankan diri untuk menginsafkan orang jahat. Tapi ia pun tidak dapat menyaksikan orang baik seperti It-teng tewas begitu saja, ia lantas mengangkat pedangnya dan mengitar ke samping It-teng. Waktu Cu-in melancarkan pukulan lagi...

“Srett!” ia pun membarengi dengan tusukan pedang.

Guncangan angin pukulan yang dahsyat itu menumbuk angin pukulan Cu-in, tubuh keduanya tergetar. Cu-in bersuara heran, tak tersangka olehnya bahwa di pegunungan sunyi ini ada seorang pemburu muda yang mempunyai ilmu silat setinggi ini. Sekejap It-teng memandang Yo Ko, hatinya juga heran luar biasa.

“Siapa kau?! Apa kehendakmu?!” bentak Cu-in dengan bengis.

“Gurumu memberi nasihat baik-baik, mengapa Taysu tidak mau sadar?” jawab Yo Ko. “Tidak mau menerima nasihat sudah keliru, malahan kau membalas kebaikan dengan kebencian dan melancarkan pukulan keji kepada gurumu. Bukankah manusia macam ini jauh lebih rendah dari pada binatang?”

Dengan marah Cu-in membentak: “Apakah kau pun orang Kay-pang? Begundal si Tianglo konyol tadi?”

“Kedua orang ini memang orang busuk Kay-pang,” jawab Yo Ko dengan tertawa, “Bahwa Taysu telah membinasakan mereka, padahal menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan, lalu mengapa engkau harus merasa menyesal?”

Untuk sejenak Cu-in melengak, lalu ia menggumam: “Menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan... menumpas kejahatan sama dengan berbuat kebajikan...”

Sesudah mengikuti percakapan It-teng dan Cu-in tadi, lapat-lapat Yo Ko paham isi hati mereka, yakni lantaran Cu-in merasa menyesal sehingga timbul rasa benci, dari benci timbul pikiran jahat. Maka dia berkata pula:

“Kedua orang itu adalah anggota khianat Kay-pang yang berkomplot dengan pihak musuh dan bermaksud menjual tanah air kita kepada bangsa lain. Dan sekarang Taysu membunuh mereka, ini adalah pahala yang maha besar. Kalau kedua orang ini tidak mati, entah berapa banyak orang baik-baik akan menjadi korban kejahatan mereka.”





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar