Selasa, 28 September 2021

Sin Tiauw Hiap Lu 144

TERPAKSA MENGUNGSI

Setelah melemparkan Kwe Hu ke sungai, dia berlari kembali ke dekat Siao-liong-li dengan baju dan rambut hangus, celananya juga terbakar sebagian, malahan pada pahanya timbul gelembung air akibat terbakar.

Siao-liong-li membawa Kwe Siang mundur ke tempat yang lebih jauh dari hawa panas, kemudian ia membelai rambut Yo Ko dan membetulkan pakaiannya. Tidak kepalang rasa bangganya mendapatkan seorang suami ksatria dan gagah perkasa. Dia pun bersandar pada tubuh Yo Ko dengan perasaan gembira dan bahagia. Yo Ko merangkul pinggang Siao-liong-li dan memandanginya dengan terkesima, si nona yang tersorot cahaya api itu bertambah molek. Sesaat mereka sama sekali melupakan segala duka derita di dunia ini.

Mereka berdua berada di tempat lebih tinggi. Bu Sam-thong, Kwe Hu dan Yalu Ce berlima yang berada di sungai itu memandang dari balik api yang ber-kobar. Tampak pakaian kedua suami isteri itu berkibar tertiup angin, sikapnya agung berwibawa laksana malaikat dewata. Biasanya Kwe Hu suka memandang hina si Yo Ko, tapi sekarang ia menjadi malu sendiri.

Sejenak Yo Ko berdua berdiri. Sambil memandangi api yang mengamuk itu, Siao-liong-li berkata dengan gegetun:

“Sesudah terbakar habis bersih, kelak kalau pepohonan tumbuh lagi di sini, entah bagaimana wujudnya nanti?”

“Api yang dinyalakan pasukan Mongol ini mungkin merupakan pesta bagi pernikahan kita,” ujar Yo Ko tertawa. “Marilah kita mengaso di goa sebelah sana.”

Siao-liong-li mengiyakan. Keduanya lantas berjalan ke balik gunung sana. Tiba-tiba saja Bu Sam-thong ingat sesuatu, cepat dia berteriak:

“Adik Yo, Susiok dan Cu-sute terkurung di Coat-ceng-kok, engkau mau menolong mereka tidak?”

Yo Ko rada melengak, dia menggumam sendiri: “Peduli amat urusan orang lain.” Sambii berkata begitu dia terus melangkah ke sana.

Meski racun mengeram hebat dalam tubuhnya, akan tetapi sementara ini belum bekerja, sebaliknya ilmu silatnya sudah mulai pulih karena Hiat-to yang tadinya terganggu telah berhasil diterobos semuanya. Dengan memondong Kwe Siang dia dapat melangkah cepat ke depan. Sudah lebih satu jam mereka berjalan dan semakin jauh meninggalkan Tiong-yang-kiong, dipandang dari jauh api masih berkobar di pegunungan itu. Angin utara meniup semakin kencang sehingga muka Kwe Siang kedinginan.

“Mari kita mencari sesuatu makanan, anak ini kedinginan dan lapar, mungkin tidak tahan,” kata Siao-liong-li.

“Ya, aku ini sungguh tolol, entah untuk apa kurebut anak ini, ternyata hanya menambah beban saja,” ujar Yo Ko.

Siao-liong-li mencium muka Kwe Siang yang merah apel itu, katanya kemudian: “Adik cilik ini sangat menyenangkan, apakah kau tidak suka padanya?”

“Anak orang lain, tetap saja anak orang Iain. Paling baik kalau kita dapat melahirkan anak sendiri,” kata Yo Ko tertawa.

Wajah Siao-liong-li menjadi kemerahan, ucapan Yo Ko ini menyentuh sifat keibuan di lubuk hatinya, pikirnya: “Ya, alangkah baiknya kalau aku dapat melahirkan anak bagimu, akan tetapi aihh...”

Kuatir si nona berduka, Yo Ko tak berani mengadu pandang, ia menengadah memandangi langit. Tampak awan tebal menggumpal bergeser dari sebelah barat-laut, begitu tebal dan luas gumpalan awan itu se-akan jatuh menimpa kepala. Katanya:

“Jika melihat gelagatnya, mungkin segera akan turun salju, kita perlu mencari rumah penduduk untuk mondok.”

Namun arah yang mereka tempuh adalah lereng pegunungan yang sunyi, di mana-mana hanya batu padat dan semak belukar belaka, mana ada rumah penduduk.

“Wah, tampaknya salju yang turun nanti pasti sangat lebat. Agar jalan kita tidak tertutup, sebaiknya kita memburu waktu dan turun gunung sekarang juga,” Yo Ko berkata sambil mempercepat langkahnya.

“Paman Bu dan nona Kwe akan kepergok pasukan Mongol tidak? Para Tosu Coan-cin-kau itu entah dapat lolos dengan selamat tidak?” Demikian Siao-liong-li berucap dengan nada yang simpatik.

“Kau benar-benar mempunyai Liangsim (hati nurani). Orang-orang itu sudah berbuat jahat padamu, tapi kau tetap tidak melupakan keselamatan mereka, pantas dahulu kakek guru mengharuskan kau berlatih ilmu yang bebas dari segala cinta rasa, urusan apa pun tidak peduli dan tidak ambil pusing. Akan tetapi karena kau menaruh perhatian kepadaku, hasil latihanmu selama 20 tahun telah hanyut seluruhnya dan mulailah kau menaruh perhatian terhadap siapa pun.”

Siao-liong-li tersenyum, katanya: “Sesungguhnya, pahit getir penderitaanku bagimu juga mendatangkan rasa manis, yang aku kuatirkan adalah kau tidak mau terima perhatianku kepadamu.”

“Ya, merasakan pahit dan manis jauh lebih baik dari pada tidak merasakan apa-apa!” kata Yo Ko. “Aku sendiri hanya suka ugal-ugalan dan angin-anginan, tidak pernah hidup tenang dan aman tenteram.”

“Bukankah kau mengatakan kita akan pergi ke selatan, di sana kita akan bercocok tanam dan beternak?” tanya si nona dengan tersenyum.

“Benar, semoga terkabul harapan kita,” ujar Yo Ko menghela napas.

Sampai di sini tampaklah kapas tipis mulai beterbangan dari angkasa, bunga salju telah mulai turun. Dengan Iwekang mereka yang tinggi, hawa dingin itu tidak menjadi soal, segera mereka melangkah dengan cepat.

“Eh, Ko-ji, coba kau terka ke mana perginya Suci-ku sekarang?”

“Kembali kau memperhatikan dia lagi. Akhirnya Giok-li-sim-keng dibawa lari olehnya dan terkabul cita-citanya. Kuatirnya kalau isi kitab itu berhasil diyakinkan dan ilmu silatnya maju pesat, bisa jadi kejahatannya akan bertambah hebat.”

“Sebenarnya suci juga harus dikasihani,” ujar Siao-liong-li.

“Tapi dia sendiri tidak rela dan ingin membikin setiap orang di dunia ini berduka dan merana seperti dia,“ kata Yo Ko.



Tengah bicara, cuaca semakin gelap. Setelah membelok ke lereng sana, tiba-tiba terlihat di antara dua pohon Siong tua terdapat dua buah rumah gubuk, atapnya sudah tertimbun salju setebal jari manusia.

“Aha, di sinilah kita lewatkan malam,” seru Yo Ko kegirangan.

Setiba di depan gubuk, tampak daun pintunya setengah tertutup. Tanah salju di situ tiada tanda-tanda bekas kaki. Ia coba berseru:

“Permisi! Karena hujan salju, kami mohon mondok satu malam saja.”

Tapi sampai sekian lama ternyata tiada suara jawaban. Yo Ko lantas mendorong pintu. Di dalam tidak ada seorang pun. Di atas meja kursi penuh debu, agaknya sudah lama tiada penghuninya. Segera dia memanggil Siao-liong-li masuk dan setelah menutup pintu, mereka lantas membuat api unggun. Pada dinding papan rumah itu tergantung busur dan anak panah, di pojok rumah sana terdapat sebuah alat perangkap kelinci. Agaknya rumah ini adalah pondok darurat kaum pemburu. Dengan busur dan anak panah itu Yo Ko keluar berburu dan mendapatkan buruan, maka mulailah mereka berpesta rusa panggang.

Sementara itu salju turun semakin lebat, namun hawa di dalam rumah cukup hangat oleh api unggun. Siao-liong-li mengunyah sedikit daging rusa dan menyuapi Kwe Siang. Sambil menikmati daging rusa panggang itu Yo Ko memandangi mereka berdua dengan tersenyum simpuI, suasana terasa hangat dan mesra laksana pengantin baru yang tengah bertamasya.

Sekonyong-konyong dari arah timur tanah salju itu berkumandang suara tindakan orang yang cepat, jelas itulah ginkang orang yang mahir ilmu silat. Yo Ko berdiri dan melongok ke sana melalui jendela. Dilihatnya dua kakek datang ke arah gubuk ini, seorang gemuk dan yang lain kurus, pakaian mereka rombeng. Kakek kurus itu memanggul sebuah HoIo (buli-buli dari sejenis labu besar) besar warna merah. Hati Yo Ko tergetar, teringat olehnya bahwa benda itu adalah milik Ang Chit-kong.

Dahulu Ang Chit-kong, ketua Kay-pang yang berjuluk pengemis sakti berjari sembilan, bertempur mati-matian dengan Auyang Hong di puncak tertinggi Hoa-san, akhirnya kedua orang sama-sama kehabisan tenaga dan gugur bersama. Yo Ko yang mengubur kedua orang tua itu dan Holo besar merah itu pun ditanam di samping jasad Ang Chit-kong. Kemudian dalam pertemuan besar para ksatria, seorang pengemis tua pernah membawa Holo merah itu sebagai tanda perintah Ang Chit-kong, katanya ketua itu belum meninggal, bahkan menganjurkan kaum jembel bangkit membela tanah air dan mengusir musuh.

Tatkala itu Yo Ko sangat heran dari mana munculnya Holo merah itu? Akan tetapi dalam pertemuan besar itu banyak terjadi persoalan sehingga tidak sempat mengusut urusan itu, kemudian juga tidak bertemu lagi dengan orang Kay-pang sehingga urusan itu pun sudah terlupa, dan sekarang dandanan kedua kakek ini jelas juga anggota Kay-pang. Yo Ko jadi tertarik demi ingat kejadian dahulu, segera ia membisiki Siao-liong-li:

“Di luar ada orang, kau rebah saja di pembaringan dan pura-pura sedang sakit.”

Siao-liong-li menurut. Dia pondong Kwe Siang lantas berbaring di atas ranjang, ditariknya selimut butut yang terletak di ujung tempat tidur. Yo Ko lantas memolesi mukanya dengan hangus, topinya ditarik hingga hampir menutupi mukanya, pedang pusakanya disembunyikan.

Dalam pada itu kedua orang tadi sudah mengetok pintu. Cepat Yo Ko menggosok-gosok tangannya yang berlepotan minyak daging rusa sehingga lebih mirip seorang pemburu yang kotor, habis itu pintu dibukanya.

Dengan tertawa si kakek gemuk lantas berkata: “Hujan salju ini amat hebat hingga sukar meneruskan perjalanan, mohon kemurahan hati tuan agar sudi menerima pengemis untuk mondok satu malam.”

“Ahh, pemburu macamku tidak perlu dipanggil tuan segala, silakan Lotiang (bapak) masuk dan bermalam di sini,” jawab Yo Ko.

Berulang-ulang pengemis gemuk itu mengucapkan terima kasih. Segera Yo Ko mengenali juga si pengemis kurus itu, jelas dia orang yang pernah menyampaikan perintah Ang Chit-kong dulu dengan membawa Holo besar merah. Diam-diam ia menjadi kuatir kalau-kalau dirinya akan dikenali pengemis kurus itu, cepat ia merobek dua potong daging panggang dan diberikan kepada kedua orang itu, katanya:

“Mumpung masih hangat, silakan makan seadanya. Hujan salju begini kebetulan bagiku untuk menambah penghasilan. Besok pagi aku harus pergi memasang perangkap untuk menangkap rase. Maafkan, aku tidak bisa menemani kalian lebih lama.”

“Oh, jangan sungkan-sungkan, silakan saja,” jawab si pengemis gemuk tadi.

Segera Yo Ko sengaja berseru dengan suara keras: “Ibunya bocah, apakah batukmu sudah baikan?”

“Wah, pergantian musim makin menambah sesak dadaku saja,” jawab Siao-liong-li sambil batuk lebih keras, berbareng ia sengaja menggoyangi Kwe Siang sehingga anak itu terjaga bangun, maka di antara suara batuk segera terseling dengan suara tangisan anak bayi, sandiwara keluarga pemburu benar-benar dimainkan mereka dengan sangat hidup.

Yo Ko lantas masuk ke ruangan dalam serta menutup pintu, lalu dia berbaring di samping Siao-liong-li. Diam-diam dia sedang mengingat-ingat muka si pengemis gemuk tadi seperti sudah pernah dikenalnya, cuma di mana, dia tidak ingat.

Kedua pengemis gemuk kurus itu menyangka Yo Ko betul-betul seorang pemburu miskin, maka mereka tidak menaruh perhatian kepadanya. Sembari makan daging rusa panggang mereka lantas mulai mengobrol. Si pengemis kurus berkata:

“Melihat api yang berkobar di Cong-lam-san itu, agaknya sudah berhasil.”

“Di mana tiba pasukan Mongol, di situ lantas ditaklukkan. Kalau hanya sekawanan Tosu Coan-cin-kau saja, apa artinya lagi?” ujar si pengemis gemuk tertawa.

“Tetapi beberapa hari yang lalu Kim-lun Hoat-ong dan begundalnya sudah pulang dengan mengalami kekalahan yang mengenaskan,” kata si kurus.

“Itu pun baik, biar Sri Baginda tahu bahwa untuk menduduki tanah air bangsa Han ini diperlukan tenaga bangsa Han sendiri, jika melulu mengandalkan orang Mongol dan orang asing lainnya jelas tidak akan jadi.”

Sampai di sini mendadak Yo Ko teringat bahwa si gemuk ini juga pernah dilihatnya dalam pertemuan besar kaum ksatria dahulu, cuma waktu itu si gemuk ini memakai mantel kulit dan berdandan sebagai orang Mongol serta selalu berbisik-bisik di samping Kim-lun Hoat-ong, jelas inilah orangnya. Diam-diam dia merasa gemas, pikirnya:

“Apa yang mereka bicarakan urusan pengkhianatan belaka. Sekarang kebetulan kepergok olehku, maka tidak dapat kuampuni.”

Ternyata pengemis gemuk ini adalah satu di antara su-tay-tianglo (empat tertua) dalam Kay-pang, yaitu Peng-tiangIo. Perbuatannya memang khianat, sudah lama dia menyerah kepada pihak Mongol. Begitulah terdengar si pengemis kurus berkata lagi:

“Peng-tianglo, sekali ini apa bila Kay-pang aliran selatan jadi didirikan, entah pangkat apa yang akan kau peroleh dari raja Mongol?”

“Raja menjanjikan pangkat ‘panglima besar wilayah selatan’ padaku,” jawab Peng-tianglo. “Akan tetapi seperti kata peribahasa kita, mengemis tiga tahun lebih bebas dari pada jadi raja tiga hari. Kaum pengemis seperti kita masa ingin menjadi pembesar segala?”

Biar pun demikian katanya, namun dari balik ruangan sana Yo Ko dapat menangkap nada ucapannya yang penuh ambisi dan harapan.

“Wah, untuk itu terimalah lebih dulu ucapan selamat dariku,” kata si kurus.

“Selama beberapa tahun terakhir ini jasamu juga tidak kecil, maka kelak tentu kau akan mendapat bagian yang sesuai juga.”

“Soal kedudukan tidak berani kuharapkan, cuma engkau pernah menjanjikan Liap-hun-tay-hoat (ilmu pengikat sukma, serupa hipnotisme pada masa sekarang), bilakah engkau akan mengajarkannya kepadaku?”

“Nanti kalau Kay-pang selatan sudah berdiri dengan resmi, sesudah aku menjadi Pangcu dan begitu ada waktu luang segera akan kuajarkan padamu.”

“Sesudah engkau menjadi Pangcu serta diangkat menjadi panglima, kukira pekerjaanmu semakin banyak dan sibuk, mana ada waktu luang?”

“Ahh, masa kau tidak percaya padaku?” ujar Peng-tianglo tertawa.

Si kurus tidak bicara lagi, hanya hidungnya mendengus perlahan, tampaknya dia masih ragu. Yo Ko membatin: “Di seluruh dunia hanya ada satu perkumpulan Kay-pang tanpa membedakan utara dan selatan, buat apa dia hendak mendirikan Kay-pang aliran selatan segala? Ini pasti permainan gila orang Mongol!”

Terdengar Peng-tianglo berkata dengan tertawa: “Sesudah berkeliling hendaklah kau menyebarkan perintah si setan tua she Ang, katakan utara dan selatan terhalang dan sukar mengadakan kontak, maka utara dan selatan perlu dipisahkan menjadi dua.”

“Dan para anggota bagian selatan dengan sendirinya berada di bawah pimpinanmu,” kata si kurus dengan suara dingin.

“Juga tidak perlu begitu. Biarlah kita mengangkat dulu Kan-tianglo sebagai ketua, usianya lebih tua, anak muridnya juga banyak, orang lain tentu tidak akan curiga. Nanti kalau dia telah kupengaruhi dengan Liap-hun-tay-hoat, tentu dia akan menyerahkan kedudukannya padaku, tatkala itu segalanya akan menjadi beres.”

“Sebenarnya Ang-lopangcu sudah lama wafat, kalau kusiarkan lagi perintah palsu beliau, mungkin akan lebih menimbulkan curiga orang. Kalau melulu mengandalkan Holo palsu ini rasanya sukar mendustai orang terus menerus. Jika kepungan terhadap Siang-yang telah mereda dan Oey-pangcu datang mengusut persoalan ini, wah, biar pun jiwaku pakai serep juga akan melayang semuanya.”

“Ha-ha-ha!” Peng-tianglo tertawa, “Asalkan kau bertindak cepat maka urusan akan cepat beres. Mengenai perempuan hina she Oey itu, sekarang dia terkepung di kota, jiwanya pasti sukar tertolong.”

Sampai di sini barulah Yo Ko paham duduknya perkara. Ternyata Holo merah itu adalah tiruan. Lantaran tidak ada orang yang menyaksikan meninggalnya Ang Chit-kong, mereka berdua lantas membawa Holo palsu untuk mempengaruhi murid-murid Kay-pang, dan karena seruan yang mereka sebar itu mengenai tugas suci kaum pahlawan, demi negara dan bangsa, maka anggota Kay-pang tidak menaruh curiga. Kalau semua anggota sudah percaya penuh barulah Peng-tianglo itu akan berusaha mendirikan aliran cabang selatan untuk memecah belah Kay-pang, organisasi terbesar pada jaman itu.

Meski Yo Ko hanya berkumpul beberapa hari saja dengan Ang Chit-kong, tapi dia benar-benar kagum dan hormat terhadap sifat ksatria tokoh tua itu, pikirnya: “Ang-locianpwe sedemikian perkasa, nama baiknya sesudah meninggal tak boleh dirusak oleh kaum tikus celurut begini.”

Apa lagi dia pun teringat kepada keganasan pasukan Mongol yang dilihatnya di sepanjang jalan, maka diam-diam dia bertekat akan membunuh kedua jahanam ini.

Demikianah terdengar si pengemis kurus tadi berkata lagi: “Peng-tianglo, barang yang sudah kau janjikan, harus kau berikan, cuma kulihat engkau rada-rada lain di mulut lain di hati.”

“Habis kau mau apa?” tanya Peng-tianglo dengan tak senang.

“Aku berani apa?” jawab si kurus, “Hanya aku ini memang penakut, selanjutnya aku tidak berani lagi menyiarkan perintah palsu Ang-pangcu.”

Yo Ko anggap ucapan si kurus itu benar-benar goblok, barang kali ingin mampus makanya berani berkata begitu.

Terdengar Peng-tianglo bergelak tertawa, katanya: “Baiklah, urusan ini masih dapat kita rundingkan lagi, jangan kau sangsi.”

Setelah berhenti sejenak si kurus lantas berkata pula: “Sisa daging rusa ini tidak kenyang kita makan, biar aku pergi mencari buruan lain.” Habis itu dia lantas membawa busur dan anak panah lalu melangkah keluar.

Segera Yo Ko mengintip dari sela-sela dinding papan. Dilihatnya begitu si kurus itu pergi, Peng-tiango juga bangkit dan melolos belati serta mendengarkan gerak-gerik kawannya dari balik pintu. Sesudah mendengar suara tindakan si kurus sudah pergi jauh, dengan ber-jengkit ia menyelinap keluar. Dengan tertawa Yo Ko membisiki Siao-liong-li:

“Jelas dua jahanam ini akan saling bunuh. Malah kebetulan bagiku, aku dapat mengirit tenaga. Kulihat si gemuk itu jauh lebih lihay dan si kurus bukan tandingannya.”

“Paling baik kalau keduanya tidak kembali sehingga gubuk ini akan tenang dan tenteram,” ujar Siao-liong-li.

Yo Ko mengiyakan. Tiba-tiba ia mendesis pula dengan suara tertahan: “Dengarkan suara tindakan orang.”

Terdengar ada orang berjalan dengan ber-jinjit di lereng sebelah barat terus memutar ke belakang gubuk.

“Agaknya si kurus tadi menyusup kembali hendak menyergap si gemuk,” bisik Yo Ko pula dengan tersenyum. Segera dia menolak daun jendela kemudian melompat keluar dengan enteng tanpa mengeluarkan suara sedikit pun.

Benar juga dilihatnya si pengemis kurus tengah mengintip dari sela-sela dinding. Rupanya ia menjadi ragu-ragu karena tidak menemukan bayangan si gemuk. Pada saat itulah Yo-Ko telah berada di belakangnya dan mendadak mengikik tawa. Sudah tentu si kurus terkejut, cepat dia berpaling dengan air muka ketakutan karena menyangka Peng-tianglo yang berada di belakangnya.

Tetapi Yo Ko lantas berkata dengan tertawa: “Jangan takut, jangan takut!” Berbareng itu cepat sekali dia menotok tiga Hiat-to penting di bagian dada, iga dan kaki orang, lalu dia menjinjing tubuh si kurus ke depan gubuk.

Ia memandang sekelilingnya yang sunyi dan salju belaka itu. Tiba-tiba timbul sifat kanak-kanaknya, serunya:

“Liong-ji, lekas kemari, bantulah aku membikin orang-orangan salju,” Habis itu dia terus mengeduk salju yang memenuhi bumi itu lantas diurukkan pada tubuh si pengemis kurus.

Siao-liong-li segera keluar dari gubuk lantas membantunya. Dengan tertawa cekakak dan cekikik Yo Ko dan Siao-liong-li benar-benar seperti anak kecil, hanya sebentar saja seluruh badan pengemis kurus itu penuh diuruki salju. Selain sepasang biji mata saja yang masih dapat bergerak, kini pengemis kurus itu sudah berubah menjadi orang-orangan salju yang gemuk laksana ‘gajah bengkak’, malahan pada punggungnya masih menggendong Holo besar yang juga berlapiskan bunga salju.

“Ha-ha-ha, kakek kurus kering ini hanya sekejap saja sudah berubah menjadi gemuk dan putih,” kata Yo Ko sambil tertawa.

“Dan kakek yang aslinya memang gemuk dan putih itu nanti hendak kau permak menjadi apa?” ujar Siao-liong-li dengan riang.

Belum lagi Yo Ko menjawab, terdengarlah Iangkah orang dari jauh. Cepat anak muda itu mendesis:

“Ssssst, si gemuk sudah kembali, lekas kita sembunyi dulu.”

Cepat mereka masuk lagi ke dalam rumah kemudian merapatkan pintu kamar. Siao-liong-li sengaja menggoyangkan Kwe Siang agar anak itu menangis, tapi niatnya tiada berhenti menimangnya agar lekas tidur. Selama hidupnya tidak pernah Siao-liong-li berdusta dan berbuat munafik, perbuatan yang aneh dan licik ini malah belum terbayang olehnya. Soalnya ia melihat Yo Ko suka berbuat begitu, maka ia pun ikut ramai-ramai saja.

Dalam pada itu Peng-tianglo telah kembali. Sepanjang jalan ia terus mengikuti jejak kaki, dilihatnya jejak kaki si kurus memutar balik dan sembunyi di kiri belakang rumah, maka ia pun mengikuti jejak itu ke belakang, hingga akhirnya sampai pula di depan rumah. Dari sela-sela dinding Yo Ko dan Siao-liong-li bisa melihat si gemuk sedang mengintip ke dalam rumah sambil menggenggam belati dan siap siaga. Biar pun pengemis kurus yang diuruki salju itu merasa kedinginan setengah mati, tapi dia masih sadar. Dilihatnya Peng-tianglo justru berada di sampingnya, tapi sedikit pun pengemis gemuk itu tidak menyadari hal ini, asal si kurus ayunkan tangannya ke bawah pasti dapat membinasakan si gemuk, celakanya tiga tempat Hiat-to si kurus tertotok sehingga tak bisa berkutik.

Tampaknya Peng-tianglo sangat heran ketika mengetahui si kurus tidak berada di dalam rumah. Dia lantas mendorong pintu dan sedang memikirkan ke mana perginya pengemis kurus itu. Pada saat itulah mendadak terdengar suara orang berjalan mendatangi. Muka Peng-tianglo tampak berkerut lalu dia sembunyi di balik pintu untuk menanti pulangnya si kurus.

Siao-liong-li dan Yo Ko juga sangat heran. Jelas pengemis kurus itu sudah menjadi orang salju, kenapa ada orang datang lagi? Baru saja mereka berpikir, segera terdengar bahwa yang datang itu seluruhnya dua orang, jelas pendatang baru dan bukan si kurus.

Karena Peng-tianglo itu bertujuan jahat dan bertekad hendak membinasakan si kurus, lagi pula daya pendengarannya memang kalah tajam dari pada Yo Ko dan Siao-liong-li, maka dia tidak mendengarnya dan baru tahu dugaannya meleset sesudah kedua pendatang itu berada di depan rumah.

“O-mi-to-hud: (Adhi Budaya)!” terdengar seorang di antaranya menyebut Budha, “Karena kehujanan salju, kami mohon Sicu suka memberi ijin mondok semalam di sini.”

Peng-tianglo menyelinap keluar. Dilihatnya di tanah salju sana berdiri dua Hwesio tua, seorang alis jenggotnya sudah putih, wajahnya welas asih, seorang lagi jenggot hitam kaku dan memakai jubah hitam. Walau pun di musim dingin tetapi pakaian kedua pendeta itu sangat tipis. Selagi Peng-tianglo masih melengak dan belum menjawab, tahu-tahu Yo Ko sudah keluar dan berseru:

“Silakan masuk, Toa-hwesio! Orang dalam perjalanan memang membawa rumah sendiri?”

Pada saat itu juga mendadak Peng-tianglo melihat Holo besar di punggung si pengemis kurus yang sudah berubah orang salju gemuk itu. Dia terkejut dan heran melihat keadaan kawannya yang aneh itu. Waktu dia menoleh pada Yo Ko, dilihatnya sikap anak muda ini biasa saja seperti tidak mengetahui sesuatu.

Dalam pada itu Yo Ko telah menyilakan kedua Hwesio tua itu ke dalam rumah, dari gerak-gerik kedua Hwesio itu ia yakin mereka pasti bukan sembarangan pendeta agama Budha, terlebih Hwesio jubah hitam yang berwajah bengis dan bersorot mata aneh itu. Ia menjadi sangsi jangan-jangan mereka adalah segolongan Peng-tianglo.

“Silakan tinggal saja di sini, Toa-hwesio,” kata Yo Ko kemudian, “cuma sayangnya orang gunung miskin seperti kami ini tidak punya alat perlengkapan tidur. Eh, apa kalian suka makan daging panggang?”

Padahal dia tahu umumnya kaum Budha tidak makan barang berjiwa. Maka si Hwesio alis putih sudah cepat menjawab:

“Ampun, ampun! Kami sendiri membawa sekedar rangsum kering, Sicu tidak perlu repot″

“Baiklah, kalau begitu,” kata Yo Ko, lalu dia pun masuk ke kamarnya dan membisiki Siao-liong-li: “Kedua Hwesio tua ini tampaknya adalah tokoh yang amat tangguh, sebentar kita harus dua lawan tiga.”

Siao-liong-li mengernyitkan keningnya, katanya kemudian dengan suara tertahan. “Orang jahat di dunia ini sungguh banyak sekali. Orang ingin hidup tenang di pegunungan sunyi tetap terganggu.”

Yo Ko coba mengintip gerak-gerik kedua Hwesio tua, dilihatnya si Hwesio alis putih telah mengeluarkan empat potong kue tawar, dua potong diberikan pada si Hwesio baju hitam, dia sendiri makan dua biji.

Dari wajah serta sikap Hwesio alis putih itu Yo Ko percaya pendeta itu pasti tinggi ibadat agamanya, cuma di dunia ini juga tidak kurang manusia jahat yang berwajah alim. Contoh di depan mata juga ada, yaitu Peng-tianglo. Bukankah sikapnya juga ramah tamah dan wajahnya selalu berseri, tetapi hatinya ternyata busuk? Yang aneh adalah Hwesio jubah hitam itu, mengapa sinar matanya begitu bengis buas.

Tengah berpikir, sekonyong-konyong terdengar suara gemerincing, si Hwesio jubah hitam mendadak mengeluarkan dua potong benda kehitam-hitaman terbuat dari besi.





OBJEK WISATA MANCA NEGARA


Teluk Wilhelmina Antartika

Kota Tua Samarkand, Uzbekistan
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Air Terjun Victoria Afrika
Air Terjun Victoria Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Panci Makgadikgadi Botswana, Afrika
Pulau Falkland Antartika Inggris
Pulau Falkland Antartika Inggris
Panorama Alam Georgia
Panorama Alam Georgia
Kebun Raya Singapura
Kebun Raya Singapura
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Pagoda Shwedagon Yangon, Myanmar
Dataran Guci Xiangkhouang, Laos
Dataran Guci Xiangkhoung, Laos
Danau Iskanderkul Tajikistan
Danau Iskanderkul Tajikistan
Piramida Giza Mesir
Piramida Giza Mesir
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Ngarai Sungai Ikan Namibia, Afrika
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Taman Nasional Ala Archa Kirgistan
Selat Drake Antartika Amerika
Selat Drake Antartika Amerika
Istana Kekaisaran Tokyo
Istana Kekaisaran Tokyo
Jembatan Gerbang Emas
Jembatan Gerbang Emas - Amerika
Air Terjun Niagara
Air Terjun Niagara Prancis
Grand Canyon
Grand Canyon Amerika
Pasar Terbesar di Bangkok
Pasar Terbesar di Bangkok
Taman Nasional Yellowstone
Taman Nasional Yellowstone - Amerika
Burj Khalifa - Dubai
Budj Khalifa Dubai
Taj Mahal
Taj Mahal India
Musium Amir Temur Uzbekistan
Musium Amir Temur Uzbekista
Blackpool - Amerika
Blackpool Irlandia
Taman Nasional Blue Mountain - Sydney
Taman Nasional Blue Mountain Sydney
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Jembatan Baja Terbesar di Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Taman Nasional Kakadu Australia
Danau Baikal Rusia
Danau Baikal Rusia
Biara Meteora Yunani
Biara Meteora Yunani
Pantai Bondi Australia
Pantai Bondi Australia
Menara Eiffel Prancis
Menara Eiffel Prancis
Musium Van Gogh Belanda
Musium Van Gogh Belanda
Gedung Opera Sydney
Gedung Opera Sydney
Gunung Meja Afrika
Gunung Meja Afrika
Menara Kembar Petronas Malaysia
Menara Kembar Petronas Malaysia

===============================




Air Terjun Victoria Afrika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar